Share

Bab 3

Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.

Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.

Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.

“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-kenapa.” Tatapan Bu Laura memandang sayu ke kamar Friska.

Pak Richard menekan sebuah nomor pada ponsel, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga. Wajahnya kembali gusar setelah hanya terdengar bunyi ‘tutt’ berulang-ulang.

“Nomor Franz tidak bisa dihubungi terus.” Pak Richard mengembuskan napas kasar. “Papah akan datangi anak itu kalau terjadi apa-apa sama Friska!” ancamnya dengan tatapan tajam mengarah pada nama Franz di layar ponsel.

“Ke mana, ya, dia? Padahal kalau lagi berantem sama Friska dia selalu ke sini,” tanggap Bu Laura.

“Mungkin dia melakukan kesalahan yang membuat Friska tidak bisa memaafkannya.”

Bu Laura berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita minta bantuan Astrid, Pah?”

“Astrid? Temennya Friska yang sering main ke sini?”

Bu Laura mengangguk. “Barangkali kalau Astrid datang, Friska bisa terhibur.”

Pak Richard tampak setuju dengan usulan istrinya. “Mamah punya nomornya Astrid?”

Bu Laura kembali mengangguk. “Mamah telepon dia sekarang, ya. Minta datang ke sini.” Wanita itu lantas menekan sebuah nomor pada ponselnya.

Sementara itu di dalam kamar, Friska terduduk di ranjang sambil menatap kosong ke langit-langit kamar. Air matanya mulai mengering. Ia tidak tahu harus melakukan apa saat itu, tidak ada hal yang mampu membuatnya bergairah menjalani hari.

Sampai akhirnya ia mengambil ponsel yang tersimpan di sisi, lalu membuka folder berisi rekaman video kebersamaannya dengan Franz. Satu per satu ia tonton video itu, mengenang momen yang telah berlalu dan berhasil diabadikan lewat tangkapan kamera. Kenangan-kenangan yang membuat luka di hatinya kian membesar.

Beberapa saat kemudian ia melempar ponselnya ke sisi bersamaan dengan air mata yang kembali mengalir. Ia tak kuasa menahan pilu begitu melihat senyuman Franz bersama dirinya. Senyuman yang selalu membuatnya nyaman saat bersama lelaki itu.

“Kenapa kamu tega berbuat seperti ini sama aku, Franz?” Friska bergumam pelan.

Ia mengambil kembali ponselnya, memandang folder berisi ratusan video itu gamang. Sebetulnya ia ingin menghapus fail-fail itu, tetapi rasanya sungguh berat. Jemarinya terasa tidak bisa digerakkan, hanya terpaku di atas icon tong sampah pada layar.

Di ruang depan, Bu Laura bersama Pak Richard sedang menunggu kedatangan Astrid yang berkata akan segera ke sana. Sampai akhirnya terdengar suara bel dari pintu depan berbunyi nyaring. Segera Bu Laura beranjak membuka pintu dan mendapati Astrid sudah berdiri di depannya.

Astrid menyalami tangan Bu Laura sambil tersenyum. “Tante. Maaf, aku gak bawa apa-apa.”

“Kamu, nih. Kayak sama siapa aja. Ayo masuk,” sambut Bu Laura lembut, ia menyingkir memberi jalan pada Astrid.

“Emang bener, Tan, kalau Friska sakit?” tanya Astrid sembari melangkah masuk. “Sakit apa dia? Dia cuman kasih tahu aku gak bisa masuk kerja karena gak enak badan.”

“Aduh, Trid, empat hari ini Friska terus-terusan ngurung diri di kamar. Seumur hidup, baru sekarang Tante lihat Friska seperti ini,” balas Bu Laura, menutup pintu, lalu berjalan beriringan dengan Astrid. “Om sama Tante jadi khawatir, udah gitu Franz juga gak bisa dihubungi. Makanya Tante minta kamu datang ke sini.”

Alis Astrid berjengit. Franz tidak bisa dihubungi? Perasaan ia selalu melihat Franz di kantor setiap hari, karena ia juga bekerja di tempat yang sama bersama Friska dan Franz.

“Langsung ke kamar aja, ya, Trid,” suruh Bu Laura.

“Iya, Tante.” Astrid mengangguk pelan begitu melihat Pak Richard yang sedang duduk di kursi.

Astrid berjalan menaiki tangga, lalu bergegas menuju ruangan paling sudut letak kamar Friska berada. Ia berdiri di depan kamar, lalu mengetuk pintu tiga kali.

“Fris, ini gue Astrid. Gue masuk, ya?”

Tak ada jawaban, Astrid diam sejenak. Tangannya memegang gagang pintu, hendak membukanya, tapi ternyata terkunci. Astrid memainkan gagang pintu sambil mengetuk lebih keras.

“Fris buka, dong. Gue bawa hadiah buat lo.” Astrid coba memancing.

Namun, tetap tidak ada jawaban. Astrid akhirnya kembali turun menemui Bu Laura.

“Tante, pintunya dikunci. Apa boleh aku dobrak aja?”

“Hush! Kamu, tuh, ada-ada aja.” Bu Laura bangkit dari duduknya. “Sebentar, Tante ambil dulu kunci cadangannya.”

Astrid memeletkan lidah, menunggu Bu Laura tiba. Tidak berselang lama, wanita berusia lima puluh tahun itu kembali dengan membawa kunci di tangan dan menyerahkannya pada Astrid.

Setelah mendapat kunci, Astrid segera menuju kamar Friska diikuti Bu Laura dan Pak Richard. Perempuan itu memasukkan kunci ke lubang pintu dan memutarnya. Begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu tampak gelap, tidak ada sinar mentari yang masuk lantaran gorden tertutup rapat.

Tangan Astrid meraba-raba tembok mencari saklar lampu dan segera menyalakannya. Ia cukup terkejut begitu melihat kamar Friska yang berantakan. Banyak cangkang minuman dan bungkus makanan berserakan di mana-mana. Peralatan kosmetik yang berada tidak pada tempatnya. Juga lemari pakaian yang terbuka dengan baju dan celana tersebar di segala penjuru.

Apalagi saat melihat Friska sedang tidur menyender pada dipan dengan tatapan yang sayu. Astrid seperti tidak mengenali sahabatnya itu. Ia sangat mengenal Friska yang selalu mengutamakan kebersihan dalam hal apa pun. Dilihat dari kamarnya yang seperti kapal pecah ini sudah bisa dipastikan, kalau Friska sedang mengalami fase terburuk dalam hidupnya.

Bu Laura dan Pak Richard yang menyaksikan hal itu pun kian dirundung khawatir. Mata Bu Laura berkaca-kaca melihat kondisi putrinya. Astrid lantas mendekati lalu meraih kepala sahabatanya, membenamkan pada dadanya. Tangannya mengusap lembut rambut Friska.

“Lo kenapa bisa kayak gini, sih, Fris? Apa yang udah terjadi sama lo?”

Astrid cukup menyesal karena tidak menengok Friska sejak awal. Ia sebenarnya sudah memiliki firasat buruk sejak hari ketika Friska tidak masuk kerja. Apalagi saat itu ia juga melihat Franz kerap bersama perempuan yang tidak dikenalnya. Namun, ia tidak menyangka kondisi Friska separah ini.

“Apa yang bisa gue lakuin buat lo?”

Friska tidak menjawab. Namun, sesekali perempuan itu sesenggukan. Membenamkan wajahnya pada dada Astrid semakin kuat.

“Trid, Franz ... Franz ... dia ....” Friska terisak-isak.

Astrid mengusap pelan rambut Friska, lalu mengangkat wajah sahabatnya itu secara lembut hingga tertuju padanya. Jari telunjuk Astrid menyuruh Friska untuk diam.

Akan tetapi, Friska terus menangis. Akhirnya Astrid menambahkan jari telunjuk yang satu lagi, berharap kali ini temannya itu akan menurut. Namun, usaha Astrid memberi kode dengan jari telunjuknya itu sia-sia.

“Fris, apa gue harus ngeluarin jempol kaki buat ngasih isyarat ke elo supaya berhenti nangis?” ujar Astrid konyol.

Akhirnya Friska tertawa dalam tangisnya, tawa pertama sejak empat hari terakhir. Tapi emosi yang masih melanda hatinya tidak tertahankan. Ia memeluk Astrid erat, sambil berusaha menghentikan tangisnya. Astrid pun berusaha menenangkan Friska, tangannya mengusap lembut rambut temannya itu.

Hanya melihat dari kondisi Friska sekarang, Astrid bisa tahu apa yang telah terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Sudah pasti suatu prahara yang pelik telah terjadi.

“Lo harus move on, Fris. Lo gak bisa kayak gini terus.”

Friska melepas pelukannya, menatap sahabatnya lekat. “Gimana caranya, Trid? I-ini terlalu berat bagi gue.” Nada suaranya masih terdengar bergetar.

Astrid menghirup udara sejenak, lalu mengembuskannya kuat-kuat. “Duhh bau banget, sih, kayak bukan kamar lo aja.” Astrid menutup hidung.

Friska hanya tersenyum kecil.

“Ayo kita keluar, jalan-jalan. Nanti gue kasih tahu tips buat cepet move on,” ajak Astrid sembari beringsut dari tempat tidur, lalu memandang sekeliling. “Lo harus cari udara segar, biar otak lo bisa berpikir jernih. Kalau terus-terusan ngurung diri di sarang tarzan, ya, lo bisa makin galau.”

Friska tak mampu menahan senyum, ia mengambil bantal dan melemparnya hingga mengenai kepala Astrid. “Enak aja lo!”

Bu Laura akhirnya lega setelah melihat Friska tersenyum, ia memandang suaminya lembut. Keputusannya untuk meminta Astrid datang adalah hal tepat. Buktinya, perempuan berbadan jangkung itu mampu membuat Friska yang beberapa hari seperti bunga yang layu, kini menjadi mekar. Meski masih belum sepenuhnya wajah putrinya itu kembali ceria.

Bu Laura melangkah menghampiri Friska dan menampilkan seulas senyum. Ia meraih kepala anaknya, mengusapnya penuh kasih sayang.

“Ayo, kamu main sama Astrid. Tenangin pikiran kamu. Nanti biar Mamah yang beresin kamar sama Bi Wati.”

Friska bergelayut manja di pelukan mamanya. Setelahnya ia berdiri, merentangkan tangan sejenak begitu dirasa tubuhnya kaku. Detik selanjutnya, ia bergegas ke kamar mandi hendak membersihkan diri setelah empat hari tidak mandi.

“Apa? Jadi lo belum mandi selama empat hari?” Astrid sontak menutup hidung. “Gue kira bau apaan, ternyata bau elo.”

Friska hanya tertawa, lalu berjalan keluar kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status