Share

A Romantic Story Between Football and You
A Romantic Story Between Football and You
Penulis: Aldy arc

Bab 1

Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah.

Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang.

“Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?”

Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu.

Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.

Meski tak bisa dipungkiri ia merasa cukup khawatir karena pertengkarannya tempo hari bisa merusak hubungan. Sebab, seminggu lebih Franz tidak juga datang padanya untuk meminta maaf. Berhari-hari kekasihnya itu tidak ada kabar. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, bahkan sampai mengambil cuti dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Oleh karena itu, ia merasa lega dengan datangnya hari ini setelah lelah menunggu. Namun, sial, saking bahagianya, Friska datang satu jam lebih awal, membuatnya harus rela kembali menunggu. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia habiskan.

“Mau pesan lagi, Mbak?” tanya salah seorang pelayan begitu mengambil gelas kosong di meja Friska.

Friska hanya tersenyum garing, jika memesan lagi takut kandung kemihnya penuh. Jika tidak, ia juga malu diam di sana tanpa memesan di saat Franz belum datang. Akhirnya ia menunjuk pada sebuah minuman yang menjadi kesukaannya,   .

Pelayan tadi mengangguk, lalu kembali hendak menyiapkan pesanan.

Ponsel Friska tiba-tiba bergetar, dengan cepat tangannya membuka tas mengambil benda pipih itu mengira ada panggilan dari Franz. Wajahnya seketika tertekuk begitu nama Dito terpampang di layar. Dengan malas ia mengangkat telepon dari teman masa kecilnya itu.

“Iya, Dit, ada apa? Jangan telepon dulu, deh. Aku lagi nunggu Franz, mau kencan,” cerocos Friska tanpa mengucap salam terlebih dahulu.

Ia cukup risi oleh sikap Dito akhir-akhir ini yang selalu mengajaknya pergi. Entah jalan-jalan di sekitar kompleks, nonton ke bioskop, atau lari pagi ke taman kota. Sebenarnya ia tak masalah dengan hal itu. Namun, rasanya ia menangkap gelagat lain dari teman lelakinya itu.

“Hah? Kencan? Bukannya kamu lagi marahan sama Franz?”

Dengan santai Friska menjawab. “Udah baikan, kok.”

Terdapat jeda beberapa saat, Dito tidak lantas menjawab membiarkan panggilan tetap terhubung.

“Kamu pulang jam berapa?”

“Kenapa emang?” respons Friska cepat sambil tetap memberi nada suara angkuh.

“Kamu lupa? Bukannya kemarin kamu bilang ‘iya’ waktu aku ngajak nonton?”

Friska menepuk jidat, ia benar-benar lupa dengan janji yang dibuatnya kemarin saking bahagianya mendapat kabar dari Franz. Meskipun sebenarnya ia menerima tawaran itu hanya untuk melepas penat. Kali ini, ia merasa bersalah pada Dito.

Beberapa saat kemudian, pintu masuk kafe kembali terbuka, Friska refleks memalingkan pandang. Senyuman sontak tercetak di wajah begitu ia melihat lelaki dengan badan ideal bertubuh jangkung. Berambut cepak memakai jaket levis dan celana hitam panjang memasuki kafe. Sebastian Franz telah datang.

“Maaf, Dit, aku enggak bisa. Batalin aja, ya, nontonnya.” Friska segera memutuskan panggilan, lalu merapikan rambutnya.

Di saat yang sama, alis Friska bertaut. Ia memandang heran ketika Franz ternyata tidak datang seorang diri. Lelaki itu bersama seorang perempuan berambut panjang dan bergigi gingsul. Busana off shoulder putih dengan celana pallazo yang perempuan itu kenakan membuatnya terlihat begitu menawan

Kepala Franz bergerak ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Friska, sampai tatapannya berhenti di meja paling sudut. Lelaki itu tersenyum, lalu berjalan mendekat diikuti perempuan di belakangnya.

“Maaf, aku telat. Kamu udah lama?” tanya Franz sembari duduk berhadapan dengan Friska, sementara perempuan yang datang bersamanya berdiri di samping meja.

Friska menelan ludah sambil menggeleng pelan. Ia sedikit melirik pada perempuan itu. Perempuan yang tidak diketahuinya. Ia sudah kenal dengan kakak atau adik Franz, bahkan ia juga sudah mengenal sepupu kekasihnya itu. Namun, ia belum pernah melihat perempuan yang kini terlihat jelas di bola matanya.

“Ini, Mbak, minumannya,” ucap pelayan tadi, meletakkan gelas minuman di depan Friska. “Kalau, Mas, sama mbaknya mau pesan apa?” Ia menatap ramah pada Franz.

“Nanti saja, Mbak. Saya masih bingung mau makan apa.” Franz menyunggingkan senyum.

Pelayan itu tersenyum garing, kemudian meninggalkan mereka.

Kali ini, Friska memandang Franz sembari memberi isyarat tentang siapa perempuan yang datang bersamanya. Namun, Franz tidak menangkap maksud Friska.

“Aku ngajak kamu ketemu karena ada hal penting yang harus diomongin secara langsung.” Franz memandang Friska lembut.

Pasti kamu mau minta maaf. Pakai basa-basi segala. Friska membatin.

Franz menoleh, menatap perempuan di sebelahnya lalu menyuruh duduk di sampingnya. Ia tersenyum manis sekali menampilkan gigi putihnya yang berderet rapi. Franz juga sempat merapikan rambut panjang perempuan itu yang sedikit menutupi mata.

Pemandangan itu jelas membuat Friska kesal. Ia tak habis pikir Franz berani melakukan itu di hadapannya. Ia memang belum tahu siapa perempuan itu. Entah sepupu atau teman, tapi yang jelas, ia rasa Franz tidak seharusnya bersikap demikian.

“Siapa, sih, cewek itu? Kamu kok perhatian banget!” seru Friska tak mampu menahan rasa cemburu.

Franz tetap tenang tidak terpancing dengan omongan Friska. Lelaki itu memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan-lahan.

“Dia yang mau aku omongin sama kamu.” Tatapan Franz mengarah tajam pada Friska, membuat perempuan itu sedikit gugup. “Aku harap, kamu bisa maafin aku setelah tahu yang sebenarnya.”

Mendadak perasaan Friska jadi tidak enak. Memang ia mendengar kata maaf keluar dari mulut Franz, tapi entah kenapa rasanya lain. Perkataan itu seperti mengantarkan suatu perasaan gelisah pada hatinya. Terdengar dari nada bicara Franz yang berbeda.

Suara alunan musik yang sedari tadi memenuhi telinganya seolah hilang begitu saja. Ia begitu terpaku dengan irama jantungnya yang tiba-tiba berdebar cepat.

Franz mengangkat tangan kanannya yang sedari tadi ia simpan di atas paha, memperlihatkan cincin yang tersemat di jari manisnya.

Sambil memejamkan mata, Franz berkata lirih, “Aku sudah bertunangan.” Bola mata Franz melirik pada perempuan di sampingnya. “Dia namanya Jessi, yang jadi tunangan aku,” lanjutnya lagi sembari tersenyum dengan mata terpejam. “Aku sudah cerita semuanya tentang kita sama Jessi. Makanya aku ajak dia ke sini, biar bisa memahami perasaan aku.”

Friska masih belum bisa menyerap setiap perkataan Franz. Tatapannya kosong dengan mulut menganga, ia sama sekali tidak bergerak seolah-olah jiwanya sudah meninggalkan raga. Ia benar-benar tidak bisa memahami apa yang terjadi. Franz tunangan? Dengan perempuan yang ada di sampingnya?

“Fris?” Franz kembali berbicara setelah melihat Friska terdiam untuk beberapa menit. “Kamu enggak apa-apa?”

Akhirnya Friska tersadar, ia mulai bisa menguasai diri.

“Kamu udah tunangan? Kapan?” Friska menatap tidak percaya, matanya mulai memerah.

“Dua hari yang lalu. Rencananya, tahun depan kami menikah.”

Franz seperti tanpa dosa berkata seperti itu langsung kepada Friska. Ia seakan-akan tidak memikirkan Friska terluka karenanya.

“Kenapa?” Tak sadar air mata Friska mulai berlinang. “Kenapa harus seperti ini?”

Franz mengusap wajah perlahan, lalu mengembuskan napas.

“Aku kira kamu bakal minta maaf karena pertengkaran kita waktu itu. Tapi ternyata—“ Friska tertahan, tak mampu melanjutkan ucapannya. Matanya semakin berkaca-kaca. “Tapi ternyata kamu malah kasih aku sesuatu yang bikin aku sakit, Franz.” Ia mengusap air yang mulai mengalir dari matanya. Berusaha menaha intan-intan bening itu agar berhenti menetes

Suara Friska sedikit bergetar senada dengan hatinya yang begitu teriris melihat kenyataan yang sedang ia hadapi. Ekspektasi tinggi akan sore hari yang indah bersama Franz setelah mereka berbaikan. Kini sirna dengan kabar yang dibawa lelaki itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status