Share

Bab 4

Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.

Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.

“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”

“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.

“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”

“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Bijak sekali Anda.”

“Yee! Gue di sini, kan, buat ngehibur lo biar gak manyun terus! Lo-nya malah cengengesan. Sia-sia, deh, dari tadi gue mikirin cara buat lo terhibur.” Astrid mendengkus.

Friska mengulum senyum. Ia tahu perkataan Astrid tadi juga salah satu cara agar membuatnya bisa menghilangkan pikiran tentang Franz. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Astrid. Ini bukan kali pertama Astrid sigap mendatanginya saat ia sedang berada dalam masalah.

Teman semasa kuliahnya itu selalu menjadi yang pertama dalam hal memberi perhatian padanya.

“Terus, kapan lo mau cerita sama gue tentang apa yang udah lo alamin?” Kali ini tatapan Astrid berubah menjadi serius.

Friska tidak memberi tanggapan, terus berjalan sambil menatap angkasa.

“Tapi kalo lo gak siap cerita sekarang, jangan dipaksain. Yang penting lo harus bisa tenangin pikiran dulu,” lanjut Astrid lagi.

Astrid adalah saksi dari perjalanan cinta antara Friska dan Franz. Sejak mengenal Friska saat penerimaan mahasiswa baru. Ia langsung akrab dengan perempuan itu apalagi mereka berada di jurusan yang sama. Ia selalu menjadi tempat Friska bercerita. Mulai dari permasalahannya dengan Franz yang kerap berselisih, masalah tugas, atau pun kehidupannya di rumah.

Tak jarang ia pun memberi masukan pada setiap permasalahan Friska. Mulai dari bagaimana cara menyikapi agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan, sampai pada sebuah solusi yang selalu membuat Friska merasa lebih baik.

Akhirnya setelah menguatkan diri, Friska menceritakan pertemuannya dengan Franz tempo hari. Dengan suara yang masih terdengar gemetar kala nama Franz terucap dari mulutnya.

“Lo gak harus cerita sekarang kalau masih belum bisa,” saran Astrid begitu mendengar penuturan Friska.

“Enggak apa-apa, Trid. Lo di sini, kan, mau ngehibur gue, salah satunya dengan dengerin cerita gue, kan?” Friska tersenyum dengan mata terpejam. “Lagi pula, anggap aja ini cara awal gue buat move on,” imbuhnya lagi.

Astrid menepuk pundak Friska tiga kali, lalu memasang telinga lebih tajam ketika sahabatnya kembali bercerita. Mereka terus berjalan sampai akhirnya tiba di taman. Suasana taman di dekat perumahan tempat tinggal Friska saat itu cukup sepi, hanya ada beberapa muda-mudi yang sedang asyik berkumpul di sana.

Kedua perempuan itu menuju bangku di dekat pohon besar paling sudut. Kebetulan di sana ada tukang jualan siomay yang mangkal di luar tembok taman, tepat di samping tempat duduk mereka. Friska memesan dua porsi siomay beserta teh manis pada Bang Icuk, nama tukang penjual siomay itu.

“Apa?” Astrid tertawa terpingkal-pingkal begitu Friska mengakhiri ceritanya. “Habis marah-marah gitu lo balik ke kafe karena lupa belum bayar?” Suara perempuan itu terdengar cukup nyaring.

Sontak Friska menempelkan tangan ke mulut Astrid sambil tatapannya menyapu sekeliling. “Lo kalau ngomong jangan keras-keras kenapa? Gue jadi tengsin, nih!”

“Sori, sori.” Astrid menerima dua piring siomay yang dijulurkan Bang Icuk. “Tapi sumpah lo konyol banget. Bisa-bisanya balik lagi. Kalau gue bodo amat, deh, biar Franz yang bayar.”

Friska mengaduk-aduk teh manisnya. “Harga diri. Gue enggak mau berutang apa pun sama cowok berengsek itu!” Wajah Friska mendadak berubah serius. “Gue juga kepikiran buat balikin semua barang pemberian dia.”

Astrid yang sedang menelan siomay seketika tersedak. Ia memukul-mukul dada, lalu mengambil gelas teh manis dan meminumnya sampai habis setengah.

“Mau lo balikin? Enggak usah, mending kasih ke orang yang membutuhkan, yaitu gue.”

Mendengar jawaban Astrid, sontak Friska melempar tatapan tajam ke arahnya. Astrid jadi kikuk.

“Bercanda, Fris,” bela Astrid sambil memeletkan lidah.

Jika memberikan semua barang pemberian Franz pada Astrid sama saja bohong. Suatu saat ia pasti bisa kembali melihatnya. Friska ingin melenyapkan semua hal yang berhubungan dengan kekasihnya itu tanpa tersisa. Walau ia masih belum bisa untuk menghapus semua rekaman yang masih tersimpan manis dalam ponsel maupun laptopnya.

“Gue juga ada rencana mau resign dari kerjaan.”

Mata Astrid memelotot begitu mendengar Friska berkata demikian. Ia masih menganggap wajar bila sahabatnya itu mengembalikan semua barang pemberian Franz. Namun, keluar dari pekerjaan apakah itu perlu?

“Sadar, Fris. Jangan sampai rasa sakit hati lo menyebar ke hal yang seharusnya enggak lo lakuin.” Astrid berusaha memberi masukan. “Lo inget tujuan lo waktu masuk dunia kerja? Lo enggak pengen terus bergantung sama orangtua. Lo pengen hidup mandiri. Dan sekarang lo udah dapatin apa yang lo mau. Jangan segampang itu ninggalin apa yang lo inginkan selama ini.”

“Ini enggak gampang, Trid. Serius. Gue tahu gue terlalu egois jika benar-benar keluar dari perusahaan. Cuman—“ Friska tak mampu meneruskan perkataannya. Ia tertunduk, tangannya mengusap wajah perlahan.

Semilir angin yang berembus kala itu menggerak-gerakan rambutnya. Mengantar udara dingin menerpa wajahnya lembut. Friska tahu betul bila ia tetap bekerja di tempat yang sama dengan Franz, rasa sakitnya tidak akan bisa hilang. Oleh karena itu, ia ingin mencari tempat baru di mana ia bisa memulai segalanya dari awal.

Tujuh tahun memang bukan waktu yang singkat. Waktu yang memberikan banyak cerita yang terkemas dalam balutan canda dan tawa, suka cita, juga beribu air mata. Namun, hanya dalam satu hari, waktu yang sangat singkat, tetapi mampu menghancurkan cerita yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.

“Lo inget saat kita lulus kuliah? Terus kita sama-sama ngelamar di perusahaan? Dan kita juga diterima bareng-bareng.” Astrid menempelkan sedotan ke mulut. “Entah berapa banyak duit yang kita keluarin buat nge-print berkas lamaran, terus ngelamar ke sana-sini.”

Friska tertawa, ia menancapkan garpu pada siomay, lalu memasukkannya ke mulut. “Enggak mungkin gue lupa. Itu salah satu momen terindah dalam hidup gue.”

“Terus sekarang lo mau ninggalin semua itu begitu saja?”

Sorot mata Astrid yang sarat akan keseriusan membuat perasaan Friska cukup gundah. Ia paham sahabatnya itu sangat peduli padanya. Ia pun sering mengiakan saran dari Astrid yang terbukti mampu mengatasi masalahnya. Namun, kali ini ia benar-benar sulit untuk menuruti saran sahabat baiknya itu.

“Fris, gue tahu luka yang lo derita enggak bisa sembuh dalam satu atau dua hari, bahkan bisa berbulan-bulan, sampai bertahun-tahun. Tapi seenggaknya, lo harus jalani hari seperti biasa.” Astrid menautkan kedua tangan, lalu meletakkan dagu di atasnya. “Kalau ketemu Franz, ya, udah, lo bersikap sewajarnya. Jangan malah coba melarikan diri dari masalah. Itu sama aja lo buat Franz berpikir enggak ada cowok lain yang berarti buat lo selain dia.”

Perkataan Astrid benar-benar meresap ke dalam hati Friska. Benar juga. Kenapa baru sekarang ia terpikir hal itu? Jika ia terus-terusan menangisi kisah cintanya dengan Franz yang berakhir tragis, itu malah membuatnya seperti tidak bisa hidup tanpa Franz.

Padahal Friska sama sekali tidak menginginkan itu, malah memiliki anggapan bahwa Franz kini menempati peringkat pertama dalam urutan cowok berengsek yang pernah ia temui. Jika seperti itu, kenapa pula ia harus menghindar? Yang harus ia lakukan hanyalah mengabaikan setiap kali bertemu lelaki itu.

Sudut bibir Friska terangkat, menampilkan sunggingan sinis. Ia rasa saran dari Astrid cukup berguna. Oleh karena itu, ia sekarang bertekad untuk menunjukkan pada Franz bahwa ia juga bisa menjalani hidup tanpanya. Lalu, suatu saat mungkin akan bertemu lelaki yang tulus mencintainya.

“Friska berubah menjadi mode jahat,” komentar Astrid begitu melihat perubahan ekspresi sahabatnya.

Friska tertawa sambil menggeleng berulang-ulang. “Oke, Trid, gue ikuti saran lo. Bakal gue abaikan setiap kali ketemu cowok berengsek itu! Bahkan dalam urusan pekerjaan sekali pun tetep bakal gue cuekin!”

“Nah! Ini baru Friska yang gue kenal,” tanggap Astrid riang.

“Karena kita ke sini dalam rangka lo ngehibur gue. Lo yang bayar, ya.”

Setelah mengatakan itu, Friska bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Astrid yang termangu di tempat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status