Share

Bab 6

Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.

Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.

Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.

Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar tidak teringat pada perkataan Dito. Namun, percuma, lagi-lagi Dito mengambil alih pikirannya.

“Lo kenapa, Fris?” Astrid yang melihat gelagat aneh Friska mengomentari. “Jangan bilang lo terkesima sama Dito tadi.”

Friska spontan menoleh. “Sembarangan lo ngomong! Ya, enggaklah. Kenapa juga gue bisa terpukau sama dia?”

Astrid ketawa, ia terus mengemudikan mobilnya menuju tempat tujuan sambil sesekali mengangguk-angguk, mengikuti irama musik yang diputar.

“Tapi menurut gue, lo cocok, deh, sama Dito.” Astrid menyunggingkan senyum. “Kalau dilihat-lihat, Dito ganteng, sih, menurut gue. Beda tipislah sama Franz.”

“Trid, please, deh!” Friska menekuk wajah, sebal mendengar perkataan Astrid.

“Sori. Gue enggak bermaksud.” Astrid memandang lurus. “Cuman, sayang aja kalau lo jadi il-feel sama Dito gara-gara ini. Seenggaknya, coba kasih dia kesempatan.”

Setelah Astrid menampar Dito. Lelaki itu tetap berdiri di halaman rumah, tidak bergeming sedikit pun. Ia terus memandang pintu, berharap Friska segera kembali. Sesekali tangannya mengelus-elus pipi, lantaran tamparan Astrid cukup terasa.

Sebenanya, ia juga tidak ingin menyatakan perasaannya kepada Friska seperti sekarang. Ia mengerti perempuan yang dicintainya itu baru saja terluka. Namun, entah kenapa, setelah membaca diary Friska. Ada sesuatu yang menggebu-gebu muncul dalam hatinya.

Meski harus Dito sesali pada akhirnya. Sekarang mungkin saja Friska memiliki pandangan buruk terhadapnya. Ia mengusap wajah perlahan, lalu mengacak-acak rambutnya kasar.

Sementara itu dari dalam rumah, Friska bersama Astrid mencuri pandang lewat jendela. Mereka terus menyaksikan Dito yang tetap mematung di tempat selama hampir dua puluh menit. Astrid yang duduk di sofa pun sampai menggeleng demi melihat tingkah Dito pagi ini.

Ia memang sudah memiliki dugaan kalau Dito memiliki perasaan terhadap Friska. Namun, ia sama sekali tidak menyangka lelaki itu akan mengungkapkannya seperti sekarang.

“Dito kapan perginya, sih?” Wajah Friska terlihat gelisah. “Kalau terus begini bisa telat masuk kerja kita.”

Astrid mencibir, “Halah! Jangan sok ngomentarin Dito, deh. Lo sendiri masih belum mandi, ‘kan?”

Friska cengengesan. “Tahu aja lo, Trid.”

“Jelas. Baunya masih sama kayak kemarin.” Astrid menutup hidung sambil berlagak menjaga jarak dengan Friska.

“Ah, enggak asyik lo!” Friska memukul bahu Astrid dengan wajah cemberut.

Sudut bibir Friska terangkat, menyunggingkan seulas senyum begitu melihat Dito yang tampak gelisah berdiri tepat di depan pagar rumah. Sekilas lelaki itu saling bertegur sapa dengan orang-orang yang kebetulan lewat.

Ia terus mengamati Dito sampai tidak sadar Pak Mail sudah berada di belakangnya.

“Barangnya mau diantar sekarang, Non?”

Friska terlonjak kaget mendengar suara Pak Mail yang membahana.

“Aduh, Pak Mail ngagetin aja!” Friska mengusap dada. Pak Mail hanya cengengesan. “Iya, Pak, anterin sekarang. Simpan aja di depan pintu rumahnya. Enggak usah temuin orangnya.”

“Enggak sopan dong, Non, kalau gitu.” Pak Mail menggeleng heran, lalu melangkah keluar rumah sambil memutar-mutar kunci mobil di tangannya.

Begitu pintu rumah terbuka, Dito lantas bereaksi karena dipikirnya itu Friska. Namun, ketika dilihatnya yang keluar adalah seorang pria berbadan kekar, wajah Dito kembali layu.

Astrid yang melihat ekspresi Dito dari balik jendela hanya tertawa.

“Fris, lo cepat mandi sana. Kalau gini terus bisa beneran telat,” bujuk Astrid sembari mendorong-dorong badan Friska.

Friska melihat jam di dinding menunjukkan pukul 07:15 WIB. Masih ada sekitar lima puluh menit lagi untuk masuk kantor. Ia bangkit dari duduknya, lalu merentangkan tangan, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku.

“Tapi kalau Dito masih ada di sana gimana?”

Astrid memonyongkan bibir. “Yaelah. Lo sama Dito doang sampai malu gitu. Jangan-jangan lo beneran kesemsem sama dia?”

“Jangan sembarangan lo, ya!” Friska menekuk wajah, lalu berlalu meninggalkan Astid yang masih menertawakannya.

Dua puluh menit berselang, Friska sudah selesai mandi dan telah berseragam rapi. Ia melihat pantulan diri di cermin. Mengoleskan lipstik pada bibirnya dengan lembut. Setelahnya ia kembali memandang parasnya yang ia rasa lebih cantik daripada cewek pilihan Franz.

“Gadis cantik ini gak akan bisa lo dapatin lagi, Franz.” Ia bergumam pelan sembari mengembuskan napas panjang.

Setelah dirasa siap, ia segera melangkah keluar sambil membawa tas. Ia menghampiri Astrid yang sedang duduk di sofa, tengah memainkan ponsel.

Mata Astrid bergerak, menatap sahabatnya yang sudah berdiri di hadapannya. Ia lantas berdiri, menepuk-nepuk Friska dari bahu sampai tangan.

“Wah, cantik banget lo, Fris. Kalau gini, sih, Dito bakal makin cinta sama lo.” Astrid kembali menggoda. “Malah, Franz juga bisa nyesel karena ninggalin lo.”

Mendadak senyuman di wajah Friska sirna begitu mendengar Astrid berkata demikian.

“Lo jangan bikin mood gue pagi ini yang udah rusak, jadi hancur, Trid.”

Astrid cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, lalu mengikuti Friska yang tengah membuka pintu rumah.

Bak tersengat aliran listrik, Dito yang sedang duduk menyender pada pagar rumah seketika berdiri begitu bola matanya menangkap sosok Friska di kejauhan. Dengan langkah pasti, ia menghampiri perempuan itu yang berjalan cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.

Hanya dari melihat sorot matanya pun Dito sudah bisa menebak bahwa Friska tidak ingin menanggapinya. Sejenak ia merasa segan untuk mengajaknya berbicara. Namun, ia tidak ingin Friska semakin menjauhinya bila ia tidak meminta maaf sekarang.

“Fris.” Dito berdiri di hadapan Friska sambil memasang tatapan lekat.

Friska tidak menyahut, terus berjalan melewati Dito. Baru ketika tangan mungilnya ditarik oleh tangan kekar milik Dito, ia mulai bereaksi.

“Udah, deh, Dit. Aku enggak pengen denger kamu ngomong gitu lagi sekarang.” Friska menyibakkan tangan Dito kasar, lalu melangkah. Namun, Dito kembali menahannya.

“Aku enggak bakal ngomongin hal itu lagi. Aku mau minta maaf,” ucap Dito dengan memasang tatapan sayu. “Oke, aku salah karena ngungkapin perasaan aku ke kamu sekarang. Aku pun punya alasan kenapa melakukannya. Tapi, akhirnya aku sadar kalau aku emang egois. Karena itu, maafin aku, Fris.”

Friska masih tidak berkata-kata, hanya bibirnya terlihat bergetar merasakan emosi yang meluap di dalam hati. Ia menghirup udara sejenak, lalu mengembuskannya secara perlahan-lahan berusahan menenangkan diri.

“Aku mohon sama kamu, jangan menjauh dari aku gara-gara ini,” pinta Dito, masih memandang Friska lekat.

Paham dengan situasi Friska sekarang, Astrid segera menengahi pembicaraan mereka. Ia berjalan di antara Friska dan Dito, melepas pegangan lelaki itu.

“Nanti aja, ya, Dit. Sebentar lagi kita masuk kerja,” ucap Astrid sambil tersenyum dengan mata terpejam.

Setelahnya, ia segera menarik tangan Friska dan membawa temannya itu berjalan menjauhi Dito. Sementara Dito tetap berada di sana, memandang Friska yang sedang memasuki mobil, kemudian menghilang dari bola matanya. Ia tersenyum kecut, lalu mengalihkan pandangannya menatap angkasa.

Saat ini, sambil menyender pada jok mobil, Friska masih saja terbayang oleh Dito. Sampai akhirnya ia teralihkan oleh lagu yang diputar Astrid.

Tuhan, maafkan diri ini

Yang tak pernah bisa menjauh

Dari angan tentangnya ...

Seketika Friska terhenyak, lantas mematikan lagu, menatap Astrid berang.

“Bisa enggak, sih, lagunya jangan ini?” Friska mendengkus sebal.

“Kenapa emang?” Astrid menaikkan alis, merasa tidak berdosa. “Ini, kan, lagu favorit lo. Ampir tiap hari gue denger lagu ini dari playlist lo.”

“Favorit, sih, favorit. Tapi, ya, lo mesti tahu timing-lah! Lo mirip sama Dito asli. Jangan-jangan kalian jodoh,” ejek Friska, akhirnya bisa membalas Astrid.

“Sialan lo!” Astrid memukul bahu Friska pelan sambil ikut tertawa.

Tidak terasa, mobil yang dikemudikan Astrid sudah hampir mencapai tujuan. Gedung bertingkat dengan nama Abraham Company sudah terlihat.

Begitu tiba di tempat parkir kantor, Friska membuka pintu mobil hendak turun. Ia menggerak-gerakkan lehernya sejenak, lalu keluar. Baru sedetik pandangannya menyapu area itu, bola matanya menangkap sebuah mobil sedan hitam berhenti tidak jauh darinya.

Seorang lelaki memakai kacamata hitam turun dari mobil. Ia membuka kacamata miliknya sambil menoleh pada perempuan yang juga keluar dari kendaraan itu. Sang perempuan mendekat, memberikan tas pada si lelaki seraya mendaratkan kecupan di pipi. Setelahnya, perempuan itu kembali masuk ke mobil, lalu meninggalkan tempat itu.

Jantung Friska berdegup kencang seketika. Kakinya gemetar hebat seakan-akan tidak dapat menopang berat tubuhnya. Berulang-ulang ia coba menguatkan hati. Ia sudah berlatih agar bisa bersikap normal kala melihat Franz, tetapi ternyata hal itu sulit dilakukan.

Saat itu, Franz membalikkan badan dan sontak sosok Friska terlihat jelas di bola matanya. Lelaki itu terdiam sejenak, menatap mantan kekasihnya lamat-lamat.

Rasanya Friska tidak mampu berdiri di sana lebih lama lagi jika tidak ingin pingsan. Ia segera berjalan meninggalkan tempat itu tanpa berkata terlebih dahulu kepada Astrid. Meski sudah berusaha tegar, rupanya bagian lain dalam hatinya masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Franz kini telah menjadi milik orang lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status