Share

Bab 5

Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.

Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.

“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.

“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.

Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga memiliki pandangan yang sama terhadap Friska. Namun, kenapa harus berakhir seperti ini?

Entah sudah berapa kali dalam beberapa hari terakhir ia mondar-mandir di depan pintu rumah, mengharap Franz datang untuk menemui Friska. Seperti yang biasa lelaki itu lakukan saat sedang bertengkar dengan Friska. Tapi sampai detik ini Franz tidak juga datang, membuat Bu Laura harus menerima kenyataan bahwa pertengkaran mereka kali ini bukan main-main.

“Kamu enggak mau cerita sama Mamah? Kenapa kamu putus sama Franz? Tidak mungkin karena masalah sepele, kan, kalian bisa seperti ini?” selidik Bu Laura sembari memandang Friska lekat.

Friska terdiam sejenak. Sebisa ia mungkin ia tutupi penyebab berakhirnya hubungan dengan Franz. Ia tidak ingin membuat Ayah dan Ibu kecewa. Astrid juga sudah ia beri peringatan agar tidak bercerita. Friska benar-benar merasa kalau hal ini bisa membuat kedua orang yang disayanginya bersedih, terutama Ibu.

Bu Laura menghela napas. Entah sudah berapa kali ia melempar pertanyaan yang sama. Namun, tetap mendapat reaksi yang sama pula dari Frisa, tanpa adanya jawaban.

“Bukannya baju ini sering kamu pakai?” Bu Laura mengambil sebuah jersey sepak bola berlogo Chelsea. “Malah kamu gak mau pakai baju lain selain ini waktu SMA dulu. Karena katanya ini tim sepak bola kesayangan Franz.”

Friska segera merebut baju itu dari tangan sang ibu, lalu memasukkan ke dalam dus dengan kasar.

Memang itu adalah baju kesayangannya, pemberian Franz di masa sekolah yang masih tersimpan manis di lemari. Sebuah baju yang memiliki banyak kenangan saat ia dan Franz menonton pertandingan sepak bola di Singapura.

Saat duduk di bangku SMA, Franz adalah kapten tim sepak bola sekolah. Namanya sangat terkenal hingga menjadi incaran cewek-cewek kala itu. Meski begitu, Franz malah menjatuhkan hatinya pada Friska yang saat itu tidak terlalu tertarik padanya. Sampai akhirnya, ia berhasil meluluhkan hati gadis itu.

Friska yang sama sekali tidak tahu apa pun tentang sepak bola, mendadak menyukai olahraga itu. Sekadar mendukung tim sepak bola yang sama dengan Franz, yaitu Chelsea. Sampai mereka pun memilih baju couple Chelsea untuk berkencan di usia remajanya.

“Apa tidak sebaiknya kalian bicara dulu? Dalam situasi yang lebih baik. Kalian, kan, sudah sering berantem. Tapi ujung-ujungnya balikan lagi,” bujuk Bu Laura, coba memberi nasihat.

Friska menghentikan aktivitasnya sejenak sambil menghela napas. “Mah, kali ini beda. Friska udah enggak mungkin bisa balikan sama Franz.” Ia sekuat mungkin menahan gejolak perasaannya. “Kalau Franz datang untuk minta maaf juga Friska enggak bakal maafin dia!” lanjutnya lagi dengan sedikit menaikkan nada suaranya.

Mendengar Friska berkata demikian, Bu Laura akhirnya berhenti memancing di air keruh. Ia takut putrinya kembali terluka. Ia lalu membantu Friska memasukkan barang-barang yang sudah terkumpul ke dalam dus.

Banyak juga ternyata yang sudah Franz berikan selama ini. Mulai dari yang biasa Friska pakai seperti baju, celana, handuk. Sampai ke barang berharga layaknya cincin dan kalung. Friska memandang gamang benda-benda itu. Satu sisi hatinya berkata tidak rela melepas hal berharga miliknya. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia harus membuang semuanya jika ingin memulai segalanya dari awal.

Dengan susah payah, ia mengangkat satu dus yang cukup berat. Kakinya bergetar, langkahnya sempoyongan terhuyung-huyung saat akan membawa dus itu ke teras rumah.

“Udah biar Mang Juned aja nanti yang bawain,” ucap Bu Laura sembari mengulum senyum melihat Friska.

“Suruh bawain dus yang satu lagi aja, Mah. Yang ini biar sama Friska aja, hitung-hitung olahraga pagi.”

Bu Laura hanya menggeleng melihat tingkah putrinya, lalu bergegas memanggil Mang Juned si tukang kebun untuk membawa dus.

Setelah bersusah payah mengangkat dus yang berat dengan tangan mungilnya, Friska akhirnya sampai di teras. Ia langsung menjatuhkan dus itu, lalu duduk di kursi dengan napas terengah-engah. Tak berselang lama, Mang Juned datang sambil membawa dus memakai satu tangan.

Sontak Friska memelotot. Ia rasa dus itu sama beratnya, tetapi Mang Juned terlihat tidak kesulitan sama sekali.

“Itu enggak berat, Mang? Aku aja sampai capek gini bawanya.”

“Ah, itu mah Non Friska aja yang enggak biasa bawa yang berat-berat.” Mang Juned menyahut. “Ada lagi yang harus diambil, Non?”

Friska menggeleng. “Udah, Mang, cuman itu aja. Makasih, ya.”

“Sama-sama, Non.” Mang Juned lalu kembali ke dalam rumah.

Semua barang-barang ini akan langsung dikirim ke rumah Franz. Friska akan meminta Pak Mail, sopir pribadi keluarga untuk mengantarkannya.

Friska bangkit dari duduknya, berjalan ke halaman rumah. Ia meregangkan tangan, menghirup udara pagi itu yang terasa segar dan nikmat. Akhirnya setelah empat hari ini hidungnya terus-terusan menghirup udara pengap, kini paru-parunya kembali terisi oleh sesuatu yang menyegarkan.

Sesekali ia melakukan gerakan-gerakan kecil agar tubuhnya tidak terasa kaku. Suara cuitan burung-burung yang ada di dahan pohon sekitar rumah terdengar merdu di telinganya. Wajahnya begitu berseri-seri mengawali pagi ini, seolah-olah sudah mulai bisa meninggalkan sakit hatinya.

Pandangannya lalu tertuju pada seorang lelaki yang membuka pagar rumah dan berjalan mendekatinya. Friska melempar senyuman pada teman masa kecilnya itu.

“Halo, Dito. Tumben pagi-pagi ke sini, mau ngapain?” sambutnya ramah.

Lelaki bernama Dito Prayoga itu memasang wajah datar, terus berjalan menghampiri Friska. Tangannya menggenggam buku bersampul merah muda.

“Kamu udah sehat, Fris? Aku denger kemarin kamu sakit.”

“Kalau aku masih sakit, enggak mungkin dong aku ada di sini?” balas Friska sambil tertawa.

Dito menjulurkan tangan, memberikan buku yang dibawanya pada Friska. “Ini, aku mau balikin buku kamu. Waktu itu kamu kayaknya enggak sadar bukunya jatuh dari tas.”

Friska menerima buku itu, lalu membukanya. Ia baru sadar buku diary-nya memang tidak ada di dalam tas.

“Maaf, aku udah baca semua isinya,” aku Dito dengan wajah tertekuk.

Seketika Friska menoleh, menatap lelaki di hadapannya dengan kening mengerut. Ia mendadak sebal, berani-beraninya Dito membaca buku diary miliknya tanpa izin. Meski ia memang sudah mengenalnya sejak kecil, tapi bukan berarti Dito bisa berbuat seenaknya. Termasuk membaca buku diary yang tentu ia rahasiakan dari siapa pun.

“Ternyata yang ada di pikiran kamu selama ini hanya Franz, ya, Fris,” ucap Dito tiba-tiba.

Kening Friska semakin mengerut, tidak paham kenapa Dito berkata demikian.

“Maksud kamu?”

“Kamu sama sekali enggak pernah lihat aku sedikit pun, Fris.”

“Kamu ngomong apa, sih, Dit? Sumpah aku enggak ngerti.” Friska melempar tatapan heran.

Dito tidak lagi berkata, hanya menunduk dengan wajah datar. Entah kenapa, tetapi Friska bisa melihat raut kekecewaan tercetak di wajah temannya itu.

“Aku suka kamu, Fris. Sudah lama aku simpan perasaan ini sendiri.” Dito mengangkat kepala, dilihatnya wajah perempuan di depannya itu lekat. “Tapi rupanya, untuk bisa miliki kamu. Aku enggak punya gambaran sedikit pun sampai sana. Apalagi setelah membaca itu,” sambungnya lagi sambil menunjuk buku yang dipegang Friska.

Friska tidak bisa berkata apa-apa begitu mendengar pengakuan teman yang sudah dikenalnya dari kecil. Ia mengorek-ngorek telinganya, barangkali ia salah mendengar.

Sementara itu, wajah Dito menampilkan kesungguhan pada ucapannya. Ia tidak bisa lagi menahan perasaannya yang sudah terpendam bertahun-tahun. Setelah membaca buku diary Friska, sebilah pisau seperti menggelincir deras di hatinya. Meninggalkan goresan luka yang menyayat.

“Aku udah tahu dari mama kamu. Kamu putus sama Franz, ‘kan?” Dito mengangkat alis. “Tapi entah kenapa, aku ngerasa kamu tetap gak bakal lihat aku, Fris,” lanjutnya sembari tersenyum tipis.

“Maksud kamu apa ngomong gini sama aku, Dit?” Mata Friska berkaca-kaca.

Dito menghirup udara sejenak, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. “Bukannya tadi aku udah bilang? Kalau aku suka—“

Belum selesai Dito berbicara, jari telunjuk Friska terangkat, mengarah ke mulut lelaki itu, memotong perkataannya.

Stop! Aku enggak mau denger perkataan itu keluar lagi dari mulut kamu!” Sorot mata Friska menatap Dito tajam.

“Aku boleh ngomong sesuatu sama kamu? Kamu cukup dengerin aja.”

“Enggak!” Friska merespons ketus.

“Sebentar saja.” Wajah Dito begitu memelas.

Sebenarnya Friska enggan mendengar lelaki itu bicara lebih jauh lagi dan ingin segera pergi meninggalkannya. Namun, ia juga tidak enak hati bila mengabaikan Dito begitu saja. Akhirnya ia mengangguk sembari memasang wajah judes. Ia melipat kedua tangan di dada.

“Kamu tahu? Aku suka sama kamu sejak kita kecil dulu. Sampai sekarang perasaan itu tidak berubah. Tapi aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk bilang ke kamu, karena kamu terlalu dekat sama cowok lain.” Dito menuturkan suara hatinya yang terdengar panas di telinga Friska. “Apalagi waktu kamu pacaran dengan Franz. Tujuh tahun. Tujuh tahun aku berharap kalian putus. Dan sekarang keinginan aku terkabul. Tapi ternyata sama saja, aku sepertinya gak bakal bisa menggapai kamu.”

Entah kenapa, perasaan Friska tiba-tiba bergejolak hebat. Apa ia benar-benar tidak salah dengar Dito berkata seperti itu? Apa kepalanya terlalu pusing karena mengangkat dus yang terlalu berat tadi? Sehingga ia tidak mampu mencerna perkataan Dito yang sebenarnya?

Tidak, ia yakin pendengarannya berfungsi normal. Tapi kenapa? Ia tidak mengerti kenapa lelaki yang sudah ia anggap sahabat terbaik itu tega mengatakan hal seperti itu di situasi sekarang. Saat luka yang dirasakannya belum hilang.

“Dito, cukup!” Friska tidak mampu menahan emosi yang mendera hatinya. “Kamu tuh bener-bener, ya! Egois!”

“Egois kamu bilang?” Kening Dito mengerut. “Memangnya kenapa, Fris? Apa aku salah jika punya perasaan sama kamu?”

Friska membuang napas sejenak, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak.

“Bukan itu masalahnya!” Friska mengusap keningnya kasar. “Kamu, tuh, enggak ngerti timing banget, ya!”

Bila saja Dito mengungkapkan perasaannya di kesempatan lain, saat Friska sudah sepenuhnya lepas dari sakit hati. Friska mungkin akan menanggapinya dengan perasaan berdebar-debar yang menggelora. Tapi sekarang, saat ia masih menyimpan kebencian terhadap lelaki. Ia menjadi berang dengan sikap Dito.

“Aku baru saja dikhianatin sama cowok yang sudah aku pacarin selama tujuh tahun, Dit. Tujuh tahun! Kamu ngerti?” Friska tergelak, debaran napasnya naik-turun tak karuan. “Dan sekarang kamu bilang gitu sama aku. Berharap aku bisa hapus sakit hati sama Franz gitu aja dengan pacaran sama kamu, begitu?”

Dito memandang Friska lamat. “Aku enggak mau jadi pacar kamu.”

“Terus mau kamu apa?” Friska berkacak pinggang sambil mengadahkan wajah mengarah pada Dito.

“Aku mau jadi suami kamu.”

Semilir angin yang bertiup saat itu mengantar perkataan Dito meresap di hati Friska. Perempuan itu memejamkan mata, sembari tertawa kecil. Entah kenapa kali ini ia meyakini kalau ada yang salah dengan telinganya. Tapi jika tidak, ia sudah tidak mengerti lagi apa yang ada dalam pikiran Dito saat ini.

Tanpa sepengetahuan Dito atau pun Friska, ternyata Astrid sudah berada di sana sedari tadi. Menguping pembicaraan mereka. Rupanya Friska tidak menyadari kehadiran sahabatnya itu karena terlalu terfokus pada perkataan Dito.

Astrid berjalan mendekati Dito, meraih kaus lelaki itu, menariknya hingga mereka berhadapan. Tangan kanan Astrid bergerak, melayangkan tamparan keras ke pipi lelaki itu hingga menimbulkan suara nyaring.

Detik selanjutnya, ia menggamit tangan Friska, mengajaknya masuk ke rumah meninggalkan Dito yang diam tanpa kata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status