Share

Bab 7

Author: Fahira Khanza
last update Last Updated: 2024-04-26 19:19:40

"Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya."

Rahma tersenyum sinis.

"Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan.

Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka.

Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.

Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat.

"Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. Memastikan jika tidak ada kesalahan.

Tak banyak yang ditulis oleh Rahma. Ia hanya menulis sebuah perjanjian jika salah satu pihak berselingkuh, maka seluruh harta akan diberikan kepada pihak yang tersakiti. Berikut juga dengan hak asuh anak akan jatuh kepada pihak yang tersakiti pula. Bahkan, jika salah satu pihak ketahuan selingkuh, maka dirinya hanya boleh membawa baju yang melekat di tubuhnya. Itu saja.

"Kurasa ini sudah adil. Toh harta itu juga untuk masa depan Rendy dan Manda, bukan untuk aku bersenang-senang," lirih Rahma.

Berikutnya, ia langsung mencetak selembar surat perjanjian itu pada kertas berwarna putih. Wanita itu pun lantas membuka laci meja kerja untuk mengambil materai.

Dan untuk ke sekian kalinya bibir Rahma tersenyum. Ia membayangkan jika sang suami hidup sengsara bersama selingkuhannya.

"Setelah ini lihat saja, Mas. Apakah Risa akan menerimamu di saat kamu miskin?" lirihnya.

"Ah, itu bukan urusanku. Entah pada akhirnya kamu didepak ataupun diselingkuhi, aku hanya akan melihat penderitaanmu sembari bertepuk tangan."

Rahma menghembuskan napas kasar. Sejenak ia terdiam, lalu ia kembali merapikan meja kerja sang suami–mematikan mesin komputer–lalu mengembalikan sisa materai ke dalam laci.

****

Rahma mengetuk-ngetuk pintu kamar Risa sembari sesekali memanggil nama sang art.

"Kemana dia?" lirih Rahma karena tak mendapatkan respon sama sekali.

Wanita itu pun lantas meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Hingga hanya dengan sekali dorong pintu itu terbuka.

Akan tetapi, begitu Rahma melongokkan kepala ke dalam, tak ia dapati siapapun.

Akhirnya Rahma mengutak-atik ponselnya, tentu untuk menghubungi Risa.

"Halo, Risa. Kamu dimana?" tanya Rahma begitu panggilan diangkat setelah dering ketiga.

"Maaf, Bu, ini lagi di minimarket sebentar, lagi cari pembalut. Ini lagi antri di kasir kok," ucap Risa dari seberang sana.

"Oh, yaudah, mampir ke apotek ya. Tolong belikan obat ...." Rahma menyebut salah satu obat pereda nyeri di kepala. "Kamu bawa uang?" tanya Rahma.

"Bawa, Bu. Kalau begitu habis dari minimarket, saya langsung ke apotek."

"Baiklah, makasih ya."

Panggilan dimatikan oleh Rahma. Selanjutnya, ia masukkan ponsel ke dalam saku daster.

"Kenapa rasanya ingin sekali aku masuk ke sana, ya. Apa ada sesuatu yang bakalan aku temukan?" lirih Rahma sembari ragu menutup pintu kamar.

"Bukankah insting seorang istri itu begitu kuat?"

"Ya, barangkali aku menemukan sesuatu," ucapnya lagi. Tangan kanannya kembali mendorong daun pintu.

Wanita 30 tahun itu pun membuang pandang ke arah kiri dan kanan, memastikan tak didapatinya Risa di sekitarnya. Rahma masih merasa khawatir meski ia tau jika jelas-jelas sang Art sedang berada di luar.

Setelah dirasa aman, gegas ia melangkah masuk lalu menutup kembali daun pintu. Dan begitu ia di dalam, sepasang iris hitam langsung menyorot ke lemari yang berdiri di sudut kamar.

Rahma melangkah, dengan perlahan ia mulai membuka sisi kanan pintu lemari. Dan begitu pintu lemari dibuka, sehelai baju lingeri terjatuh tepat di kakinya.

"Kukira cupu, ternyata suhu. Ck!" ucap Rahma begitu ia lihat ternyata masih banyak lagi model lingerie dan baju-baju seksi di dalam lemari.

Wanita itu lantas memasukkan baju lingerie milik sang Pembantu kembali ke tempatnya. Hingga akhirnya sepasang iris hitamnya langsung menyorot ke sebuah meja yang ada di samping lemari.

Gegas Rahma bergerak ke samping. Setelahnya ia menarik laci.

"Ah, terkunci. Biasanya, kalau laci terkunci pasti ada sesuai di dalamnya. Dimana Risa simpan kuncinya, ya?"

Pandangan Rahma menyapu bagian atas meja. Dan terlihatlah sebuah mug keramik bergambar hello Kitty tertutup dengan sempurna.

Gegas Rahma membukanya, seketika bibirnya tersenyum kala mendapati ada sebuah kunci di dalam sana.

Rahma mengambilnya, lalu ia membuka laci tersebut dan menariknya.

"Kotak perhiasan?" lirih Rahma saat laci terbuka dan ia langsung melihat sebuah kotak perhiasan dengan bahan beludru merah yang berbentuk persegi tergeletak di dalam sana..

Ragu ia mengambilnya.

Dan betapa terbelalaklah kedua bola mata Rahma saat melihat ada beberapa perhiasan di dalam sana.

"Apa mungkin ini dibeli pakai gajinya sebagai seorang ART?"

Sejenak Rahma menatap perhiasan itu, lalu ia mengambil salah satu kalung.

"Kok sama?" Rahma menatap liontin yang ia pegang dan yang melingkar di kalungnya secara bergantian.

Bahkan, wanita itu sampai melepaskan liontin lalu disejajarkan. Dan benar saja, tak ada perbedaan di antara keduanya.

"Pasti ini yang belikan Mas Arjuna. Jadi lelaki itu beli 2 perhiasan yang sama lalu diberikan ke aku dan dia," lirih Rahma. Ia masih ingat kapan sang suami memberikannya perhiasan tersebut, yaitu saat hari ulang tahun pernikahan mereka tahun lalu.

Tak hanya liontin yang sama, cincin pun sama.

"Wah tidak bisa dibiarin ini. Aku harus mengambil perhiasan-perhiasan ini. Tidak mungkin Risa membeli semuanya ini pakai uang sendiri, mengingat gajinya yang hanya 2 juta per bulan."

Rahma kembali mengacak-acak isi laci. Dan akhirnya ia menemukan sebuah dompet kecil berwarna merah, dan begitu Rahma buka, ternyata ada tiga kwitansi pembelian emas.

Dengan dada yang bergemuruh, wanita itu lantas membuka satu per satu, dan benar saja, kwitansi pembelian liontin itu dibeli tepat satu hari sebelum sang suami memberikannya hadiah itu. Semua kwitansi atas nama Arjuna.

Rahma menggelengkan kepala, ia benar-benar tak menyangka jika sang suami sampai segitunya.

Sejenak ia terdiam, rencana apa yang akan ia lakukan untuk mengambil semua perhiasan-perhiasan itu tanpa disadari oleh Risa dan juga Arjuna.

"Aku harus memesan perhiasan palsu lalu kutukar semua ini. Kalau aku langsung mengambilnya, tentu saja Risa akan tau," batun Rahma begitu satu ide terbersit di kepalanya.

Gegas diambilnya gambar setiap perhiasan yang ada. Setelah selesai, ia memasukkan kembali benda itu ke dalam tempatnya lalu Rahma melangkah keluar dengan bibir tersenyum.

"Bersiap-siaplah kalian masuk ke dalam permainanku!" Rahma menyeringai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, pake acara pesan perhiasan palsu. nampak betul dungunya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 83

    Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 82

    Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 81

    "Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    "Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 78

    Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status