"Ma, Ivan gak tahan lama-lama sama Nanda, dia itu makin hari makin keterlaluan, karena dia selalu merasa kalau gajinya lebih besar dari uang yang Ivan hasilkan," Lagi untuk ke sekian kalinya Ivan mengadu pada Mamanya karena sangat emosi dengan tingkah Nanda yang semakin menjadi.
"Keterlaluan gimana sih, Van?" tanya Diana dengan santai, tak ada raut wajah marah di sana, masih biasa saja.
"Ya, keterlaluan!" jawab Ivan dengan bingung, serba salah. Jika ia mengatakan yang sebenarnya belum tentu Mamanya akan membelanya, dan akhirnya ia memilih untuk berbohong saja, biarlah yang penting mamanya memihaknya terlebih dahulu.
"Ivan tuh kaya nggak ada harga diri tahu Ma, di depan Nanda sama keluarganya, Nanda itu terlalu sering ngehina Ivan secara terang-terangan!" jawab Ivan berpura-pura sedih, sesekali ia melirik wajah Mamanya yang akhirnya mulai terpancing.
‘Yes! Berhasil!’ batin Ivan.
"Ngehina gimana?" Pertanyaan Diana jelas saja membuat semangat provokator Ivan membara.
"Dia bilang kalau Ivan nggak tahu diri, Ivan nggak guna jadi suami, masih banyak lagi perkataannya yang menyakitkan hati, Ma!" jawabku dengan penuh emosi.
"Kenapa Nanda bisa gitu? Perasaan dia nggak pernah….”
"Karena dia merasa uangnya banyak Ma, dia ngerasa jabatannya tinggi, jadi Ivan ini nggak ada harganya, di depan dia" sanggah Ivan cepat, tepat sebelum Diana melanjutkan kalimatnya.
Diana nampak diam, ia bahkan terlihat marah, memang tak ditunjukkan tapi Ivan tahu jelas, karena Ivan adalah Putra kesayangannya.
"Nanti Mama ngomong sama Nanda," ucap Diana bergetar, terdengar ada suara marah di sana, Ivan pun bersorak dalam hati.
"Oke, Ma," jawab Ivankembali berpura-pura sedih.
"Kamu mau kemana?" tanya Mama yang ternyata melihat Ivan menaiki tangga.
"Ivan nginap di sini aja ya, Ma" pinta Ivan dengan penuh harap.
"Ya sudah, terserah kamu!" jawab Diana, tumben. Tak seperti biasanya, Ivan sangat yakin kali ini Mamanya akan memarahi Nanda habis-habisan dan setelah itu Nanda pasti akan kembali bersikap seperti awal dan menuruti semua maunya lagi.
“Rasain kamu Nanda, kamu pikir aku akan terus-terusan mengalah sama kamu? Hanya karena kamu punya uang banyak, jangan kamu pikir bisa mendikte aku sesukamu,” ucap Ivan dengan riang sesaat setelah ia menutup pintu kamarnya.
'Ah, bahagianya' ucap Ivan dalam hati.
***
Pertengkaran antara aku dan Mas Ivan begitu sangat menegangkan, Mas Ivan sangat marah saat mengetahui kalau aku meminjam uang dari Arka, dan yang membuatnya lebih murka adalah ketika tahu aku berpura-pura menjadi dirinya untuk itu.
"Kamu gila ya, Nan?" tanya Mas Ivan dengan penuh emosi, sesaat ketika kami baru saja masuk ke dalam rumah.
"Gila apa sih Mas?" tanyaku santai seperti biasanya.
"Kenapa kamu menjual namaku pada Arka, dan meminjam uang darinya tanpa sepengetahuanku?" tanya Mas Ivan lagi, ia memblokir jalanku.
"Menjual namamu? Nggak salah?" tanyaku, mendecih.
"Iya! Kamu tau? Karena sikap teledormu itu, aku harus menggadaikan jam tanganku padanya!" ucap Mas Ivan dengan emosi membara, ia bahkan berkali-kali mengusap kasar wajahnya.
"Aku nggak pernah menjual namamu, Mas! Yang kukatakan benar adanya, uang itu kamu yang pakai kan? Urusan jam tanganmu ya aku mana tahu menahu!" jawabku dengan santai, aku bahkan melewatinya begitu saja.
"Keterlaluan banget kamu, Nan," ucap Mas Ivan dengan lantang.
"Keterlaluan mana dibandingkan dengan sikapmu?" tanyaku, menantang.
"Maksudmu?" tanya Mas Ivan, seolah tak mengerti.
"Kamu memakai uang untuk berbelanja, saat ada masalah kamu malah meminta bantuanku, nggak sekali dua kali kamu ngulangin itu Mas, dan untuk masalah ini, kamu memintaku untuk meminjam uang Kantor. Otakmu di mana Mas? Apa kamu nggak merasa keterlaluan memintaku begitu, sedangkan kamu punya opsi lain dengan menjual semua koleksi barang mahalmu itu!" Akhirnya ku keluarkan semua amarah yang mengganjal di dalam dada.
"Sekarang kamu kembali mengungkit bantuanmu padaku, Nan?" tanya Mas Ivan lagi, sepertinya ia merasa terhina.
"Aku nggak ngungkit, Mas. Tapi memang itu nyatanya. Kamu harus berhenti sekarang, mau sampai kapan begini terus?" tanyaku balik, lelah rasanya menghadapi tingkah kekanak-kanakan Mas Ivan.
"Oke, aku janji akan berubah. Tapi dengan satu syarat!" ucapnya bernegosiasi.
"Kenapa harus pakai syarat?" tanyaku heran.
"Ya, terserah kamu! Kamu mau atau nggak?" tanyanya lagi.
"Syarat apa dulu?" tanyaku curiga.
"Tebusin jam tanganku sama Arka!" jawabnya enteng, sungguh sangat tak tahu diri! Saat seperti ini, dia bahkan hanya mementingkan barang miliknya, bukan perasaanku yang sudah sangat lelah dengan semua kekonyolan ini.
"Biarlah Mas, jam tangan itu buat Arka aja. Supaya kamu nggak banyak nyari tambahan bayarnya!" ucapku memberi solusi.
"Apa-apaan? Harga jam tangan itu malah melebihi uang Arka yang kupakai!" jawabnya keceplosan.
'Yes, berhasil!' batinku senang, akhirnya dia membongkar kebohongannya sendiri.
Aku baru mengetahui bahwa harga jam tangan itu sebesar dua puluh lima juta, yang membuatku sangat marah adalah ia memakai uang bonusku untuk itu, sedangkan saat kutanya perihal untuk apa uang itu ia gunakan, ia menjawab untuk menambah modal tokonya.
-LIMA BULAN YANG LALU-
"Sayang, kamu habis narik uang dua puluh lima juta ya? Buat apa?" tanyaku heran, karena ada sms banking masuk tadi siang, tepat setelah beberapa jam uang bonusku sebanyak tiga puluh juta baru saja mampir di sana.
"Iya, Sayang. Maaf ya, aku lupa bilang. Aku pakai uangnya buat nambah modal toko," jawabnya dengan wajah bersalah, membuatku tak tega.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Tapi lain kali, bilang dulu ya!" ucapku mengingatkan dan diangguki olehnya. Namun kini pandanganku tertuju ke tangan kanannya yang menggunakan jam tangan baru, terlihat sangat mewah, hatiku berdesir dan otakku mulai bekerja untuk mencurigainya.
"Kamu, beli jam tangan baru lagi, Mas?" tanyaku langsung, kulihat ia gugup.
"Iya, Sayang. Murah lagi diskon," jawabnya tak berani menatapku.
"Berapa?" tanyaku menyelidik.
"Lima juta aja kok," jawabnya enteng.
Lima juta dianggapnya murah? Aku kerja pagi sampai sore, nguras otak, tapi uangnya malah dipakainya untuk membeli barang mewah seperti ini.
Kuhela nafas panjang, tak ingin mempermasalahkan ini semua, biar bagaimanapun dia adalah suamiku, anggap saja ini hadiahku untuknya. Toh, katanya cuma lima juta. Ya, aku memilih diam dan tak memperpanjang soal jam tangan saat itu, hingga hari ini Rina mengirimiku Wa yang membuat mataku sukses membelalak karena isi pesannya.
[Tadi aku sama Mas Rian ketemu suamimu di Mall, Nan.]
[Beli apa dia?] Balasku pada Rina, sahabatku yang menikah dengan teman sebangkunya Rian. Ya, kami bertiga adalah teman satu sekolah dulunya.
[Nggak tahu sih, cuma kata Rian, dia pamer kalau punya jam tangan yang sama kaya yang dipakai Rian.]
Kukerutkan keningku, mencoba mengingat jam tangan yang dimaksud, dan Rina yang seperti mengerti apa yang kupikirkan, mengirimi foto jam yang ia maksud.
[Aku beli jam tangan itu susah banget loh Nan, kamu kok gak bilang-bilang sih kalau sudah beli duluan. Tau gitu kan aku bisa nitip kamu.] Rina protes, karena mengira akulah yang membelikan jam itu pada Mas Ivan, padahal aku mana tahu menahu dengan barang-barang mahal milik suamiku itu.
[Kamu beli harga berapa Rin?] tanyaku berbasa-basi, padahal aku pun tak tahu harga jam tangan yang selalu dibanggakan oleh Mas Ivan itu.
[Dua puluh lima, lah. Memangnya ada harga lebih murah dari itu?] tanyanya balik dengan emot tertawa, membuat darahku mendidih.
-FLASHBACK BERAKHIR-
"Hutangmu dua puluh juta, bukannya jam tanganmu harganya cuma lima juta ya?" tanyaku berpura-pura bingung.
"Siapa yang bilang kalau harga jam tangan itu lima juta?" tanyanya balik, seperti orang amnesia.
Selalu seperti ini, jika ketahuan berbohong dia akan bertingkah layaknya orang bodoh. Dulu, menurutku dia lucu namun sekarang, Muak rasanya!
"Kamu tuh benar-benar nggak tahu diri, Mas. Aku capek!" Untuk pertama kalinya, keluar kata kasar dari mulutku ini padanya. Kata-kata yang kutahu membuatnya tersakiti, tak ada jawaban lagi dari lelaki yang sudah menikahiku satu tahun yang lalu itu. Ia berbalik, dan pergi begitu saja. Bahkan sudah menjelang pagi pun ia tetap tak kunjung pulang.
"Apa aku keterlaluan?" tanyaku berulang kali, sungguh aku merasa bersalah padanya.
Pintu terbuka, kupikir Mas Ivan yang pulang. Ternyata Mama mertuaku yang datang. Membuat hati ini sedikit tak nyaman, apa ada hubungannya dengan pertengkaranku dengan Mas Ivan tadi malam?
'Semoga semuanya baik-baik saja' do'aku dalam hati.
[Mbak, Mas Ivan lagi ada di sini, kayanya kecurigaan kita emang bener deh, Mbak, kalau dari apa yang aku lihat, kayanya Mas Ivan memang ada main sama si Irma.] Dengan mantap Inara mengirim pesan kepada kakak ipar yang disayanginya, tentu saja tak hanya sekedar kalimat, ia juga mengirimkan sebuah video berdurasi lima belas detik di mana Ivan dan Irma sedang duduk berhadapan di meja makan sambil tertawa lepas bersama. Nanda yang baru saja selesai mandi tersenyum miring melihat Video yang dikirimkan adik iparnya itu, pantas saja Ivan tak membalas pesan yang dikirimkannya sejak beberapa jam tadi rupanya lelaki itu sedang asik dengan selingkuhannya. Memilih tak membalas pesan Inara, Nanda dengan sigap bersiap, ia memakai sedikit make up dan memakai baju santai lalu dengan cepat memesan taksi online, ya tujuannya adalah ke rumah mertuanya. ‘Sepertinya bakalan seru!’ ucapnya dalam hati. Sepanjang perjalanan pikiran Nanda sedikit berkecamuk, ia merasa lelah dengan semua keadaan yang pals
Tiga hari berlalu dengan rutinitas biasa, berusaha baik-baik saja walaupun sebenarnya retak di mana-mana. Nanda sudah pulang ke rumah dan Ivan berlaku sebagai suami pada umumnya, berangkat pagi ke toko dan pulang sore. “Assalamualaikum,” ucap Ivan masuk ke dalam rumah dan mendapati istrinya sedang asik-asikan nonton drakor sambil makan kue kering dengan lahapnya. “Waalaikumussalam, udah pulang ya, Mas?” sahut Nanda sembari mendekati suaminya itu, mengambil tangan dan mengecupnya singkat. “Enak banget ya kamu, di rumah seharian nggak ngapa-ngapain cuma ngedrakor aja sambil nyemil,” sindir Ivan, entah kenapa moodnya hari ini jelek, selain karena toko tak seramai biasanya juga karena Irma merengek dan lumayan menguras tenaga untuk membujuknya. “Loh? Terus aku harus ngapain? Kan aku mau bantu kamu ke toko tapi kamu nggak izinin, kamu bilang aku cukup di rumah aja doain kamu! Lagian ya Mas, yang kamu liat aku ngedrakor sama nyemil ini pas akunya aja lagi istirahat, sebelumnya aku nggak
“Ma, kayanya Irma mau pulang aja ke kampung,” ucap gadis sok polos itu dengan raut wajah disedih-sedihkan. “Lah, kenapa Sayang? Memangnya ada masalah di sana?” tanya Diana kaget. “Nggak ada sih, Ma, cuma Irma ngerasa nggak enak aja di sini apalagi Inara ….” Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang sebenarnya memang tak pernah turun, Irma mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. “Kenapa sama Nara?” tanya Diana mulai terdengar tak enak. “Inara kayanya nggak suka aku di sini, Ma!” lanjutnya lagi, kini gerakan tangannya dipercepat seolah air mata turun dengan banyak. “Kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin lah Nara kaya gitu, orang dia yang ajak dan bawa ke sini, lagian ada alasan apa Nara nggak suka kamu disini?” jawab Diana tertawa kecil. “Nara ngira Irma sama Mas Ivan ada apa-apa, Ma,” sahut Irma, ia mulai sesenggukan dan jelas itu dibuat-buatnya. “Maksudnya?” Kembali Diana teralihkan dan kini sesuatu yang dianggapnya hanya lelucon menjadi topik yang cukup serius. “Kamu ke
Tak sadar karena lelah dengan apa yang kurasakan, ternyata aku tertidur, dan satu jam hampir berlalu. Kudengar sudah tak ada suara berdebat dari luar. ‘Apa Mama sudah pulang?’ batinku. Baru saja hendak membuka pintu, samar aku mendengar seperti ada suara tapi sangat jauh, sepertinya dari depan, dan aku membuka pintu sangat pelan. Kulihat Mas Ivan membuka pintu hanya sedikit saja, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dari luar, aku penasaran dan langsung keluar. “Siapa Mas?” tanyaku yang ternyata membuatnya sangat terkejut, dan tentu saja ekspresinya itu membuatku curiga. “Orang salah alamat!” jawabnya terlihat salah tingkah. “Oh ya? Nyari siapa dia?” tanyaku lagi, kali ini aku berniat keluar melihat secara langsung tapi alangkah terkejutnya lagi aku ketika tubuhku ditarik dan masuk dalam pelukan Mas Ivan. “Maaf,” lirihnya, membuatku terpaku sejenak. Tak ada perasaan nyaman seperti dulu saat pelukan dari lelaki ini adalah tempatku berpulang dan merasa aman, kali ini se
Irma seorang gadis desa yang terlihat lugu dan sederhana, namun pepatah jangan melihat buku dari sampulnya saja itu berlaku pada gadis ini, nyatanya keluguan diluar tak sesuai dengan kelicikan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan untuknya malah ia jadikan sebagai pencipta ide-ide jahat yang mengalirkan pundi-pundi uang ke rekeningnya dan kehidupannya selama ini, dengan bermodalkan kisah sedih keluarga yang kurang mampu, kuliah dari beasiswa, dan orang tua yang sudah ringkih dan tak mampu mencari uang lagi menjadikannya sebagai pusat perhatian semua orang termasuk Inara dan keluarganya yang kini sudah masuk ke dalam perangkapnya. Tapi apa mungkin waktu seminggu mampu mendekatkan seorang lelaki dengan gadis yang baru saja dikenalnya, bahkan kini mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang dimabuk cinta. Tentu saja tidak! Enam bulan yang lalu saat Ivan sedang mengunjungi Inara di kota dimana adik perempuannya itu sedang menimba ilmu di saat
“Assalamualaikum, Bun,” ucap Nanda dengan lembut setelah telepon tersambung. “Waalaikumussalam, kenapa Sayang?” tanya Bunda Nanda tak kalah lembut dan penuh kasih dari putri kesayangannya. “Bun, sekarang Nanda lagi ada di rumah Nanda, ini Nanda sama Mas Ivan lagi ada masalah yang kayanya butuh Bunda di sini,” ucap Nanda serius, membuat Ivan dan Diana saling berpandangan dan tanpa pikir panjang Ivan menarik paksa ponsel Nanda dan mengambil alih telepon, ia kira istrinya itu hanya membentak dan mengancam saja tapi ternyata Nanda tak main-main telepon benar-benar tersambung dan suara lembut di seberang sana membuat jantung Ivan berdebar kencang. “Masalah apa, Nan? Kok ….” “Assalamualaikum Bunda, ini Ivan, maaf ya Bun ngagetin Bunda, Nanda lagi PMS jadi agak sensitif sampai nelepon Bunda padahal kami cuma lagi debat kecil biasa, Bun, hehehe,” potong Ivan cepat, ia berusaha berbicara dengan sesantai mungkin agar tidak membuat ibu mertuanya itu curiga kalau mereka memang sedang sangat t