Share

BAB 4

Penulis: Rahma Amma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-21 17:52:06

"Ma, Ivan gak tahan lama-lama sama Nanda, dia itu makin hari makin keterlaluan, karena dia selalu merasa kalau gajinya lebih besar dari uang yang Ivan hasilkan," Lagi untuk ke sekian kalinya Ivan mengadu pada Mamanya karena sangat emosi dengan tingkah Nanda yang semakin menjadi. 

"Keterlaluan gimana sih, Van?" tanya Diana dengan santai, tak ada raut wajah marah di sana, masih biasa saja. 

"Ya, keterlaluan!" jawab Ivan dengan bingung, serba salah. Jika ia mengatakan yang sebenarnya belum tentu Mamanya akan membelanya, dan akhirnya ia memilih untuk berbohong saja, biarlah yang penting mamanya memihaknya terlebih dahulu. 

"Ivan tuh kaya nggak ada harga diri tahu Ma, di depan Nanda sama keluarganya, Nanda itu terlalu sering ngehina Ivan secara terang-terangan!" jawab Ivan berpura-pura sedih, sesekali ia melirik wajah Mamanya yang akhirnya mulai terpancing. 

‘Yes! Berhasil!’ batin Ivan.

"Ngehina gimana?" Pertanyaan Diana jelas saja membuat semangat provokator Ivan membara.

"Dia bilang kalau Ivan nggak tahu diri, Ivan nggak guna jadi suami, masih banyak lagi perkataannya yang menyakitkan hati, Ma!" jawabku dengan penuh emosi. 

"Kenapa Nanda bisa gitu? Perasaan dia nggak pernah….”

"Karena dia merasa uangnya banyak Ma, dia ngerasa jabatannya tinggi, jadi Ivan ini nggak ada harganya, di depan dia" sanggah Ivan cepat, tepat sebelum Diana melanjutkan kalimatnya. 

Diana nampak diam, ia bahkan terlihat marah, memang tak ditunjukkan tapi Ivan tahu jelas, karena Ivan adalah Putra kesayangannya.

"Nanti Mama ngomong sama Nanda," ucap Diana bergetar, terdengar ada suara marah di sana, Ivan pun bersorak dalam hati. 

"Oke, Ma," jawab Ivankembali berpura-pura sedih. 

"Kamu mau kemana?" tanya Mama yang ternyata melihat Ivan menaiki tangga. 

"Ivan nginap di sini aja ya, Ma" pinta Ivan dengan penuh harap. 

"Ya sudah, terserah kamu!" jawab Diana, tumben. Tak seperti biasanya, Ivan sangat yakin kali ini Mamanya akan memarahi Nanda habis-habisan dan setelah itu Nanda pasti akan kembali bersikap seperti awal dan menuruti semua maunya lagi.

“Rasain kamu Nanda, kamu pikir aku akan terus-terusan mengalah sama kamu? Hanya karena kamu punya uang banyak, jangan kamu pikir bisa mendikte aku sesukamu,” ucap Ivan dengan riang sesaat setelah ia menutup pintu kamarnya.

'Ah, bahagianya' ucap Ivan dalam hati. 

*** 

Pertengkaran antara aku dan Mas Ivan begitu sangat menegangkan, Mas Ivan sangat marah saat mengetahui kalau aku meminjam uang dari Arka, dan yang membuatnya lebih murka adalah ketika tahu aku berpura-pura menjadi dirinya untuk itu. 

"Kamu gila ya, Nan?" tanya Mas Ivan dengan penuh emosi, sesaat ketika kami baru saja masuk ke dalam rumah. 

"Gila apa sih Mas?" tanyaku santai seperti biasanya.

"Kenapa kamu menjual namaku pada Arka, dan meminjam uang darinya tanpa sepengetahuanku?" tanya Mas Ivan lagi, ia memblokir jalanku. 

"Menjual namamu? Nggak salah?" tanyaku, mendecih. 

"Iya! Kamu tau? Karena sikap teledormu itu, aku harus menggadaikan jam tanganku padanya!" ucap Mas Ivan dengan emosi membara, ia bahkan berkali-kali mengusap kasar wajahnya. 

"Aku nggak pernah menjual namamu, Mas! Yang kukatakan benar adanya, uang itu kamu yang pakai kan? Urusan jam tanganmu ya aku mana tahu menahu!" jawabku dengan santai, aku bahkan melewatinya begitu saja. 

"Keterlaluan banget kamu, Nan," ucap Mas Ivan dengan lantang. 

"Keterlaluan mana dibandingkan dengan sikapmu?" tanyaku, menantang. 

"Maksudmu?" tanya Mas Ivan, seolah tak mengerti. 

"Kamu memakai uang untuk berbelanja, saat ada masalah kamu malah meminta bantuanku, nggak sekali dua kali kamu ngulangin itu Mas, dan untuk masalah ini, kamu memintaku untuk meminjam uang Kantor. Otakmu di mana Mas? Apa kamu nggak merasa keterlaluan memintaku begitu, sedangkan kamu punya opsi lain dengan menjual semua koleksi barang mahalmu itu!" Akhirnya ku keluarkan semua amarah yang mengganjal di dalam dada. 

"Sekarang kamu kembali mengungkit bantuanmu padaku, Nan?" tanya Mas Ivan lagi, sepertinya ia merasa terhina. 

"Aku nggak ngungkit, Mas. Tapi memang itu nyatanya. Kamu harus berhenti sekarang, mau sampai kapan begini terus?" tanyaku balik, lelah rasanya menghadapi tingkah kekanak-kanakan Mas Ivan. 

"Oke, aku janji akan berubah. Tapi dengan satu syarat!" ucapnya bernegosiasi. 

"Kenapa harus pakai syarat?" tanyaku heran. 

"Ya, terserah kamu! Kamu mau atau nggak?" tanyanya lagi. 

"Syarat apa dulu?" tanyaku curiga. 

"Tebusin jam tanganku sama Arka!" jawabnya enteng, sungguh sangat tak tahu diri! Saat seperti ini, dia bahkan hanya mementingkan barang miliknya, bukan perasaanku yang sudah sangat lelah dengan semua kekonyolan ini. 

"Biarlah Mas, jam tangan itu buat Arka aja. Supaya kamu nggak banyak nyari tambahan bayarnya!" ucapku memberi solusi. 

"Apa-apaan? Harga jam tangan itu malah melebihi uang Arka yang kupakai!" jawabnya keceplosan. 

'Yes, berhasil!' batinku senang, akhirnya dia membongkar kebohongannya sendiri. 

Aku baru mengetahui bahwa harga jam tangan itu sebesar dua puluh lima juta, yang membuatku sangat marah adalah ia memakai uang bonusku untuk itu, sedangkan saat kutanya perihal untuk apa uang itu ia gunakan, ia menjawab untuk menambah modal tokonya. 

-LIMA BULAN YANG LALU- 

"Sayang, kamu habis narik uang dua puluh lima juta ya? Buat apa?" tanyaku heran, karena ada sms banking masuk tadi siang, tepat setelah beberapa jam uang bonusku sebanyak tiga puluh juta baru saja mampir di sana. 

"Iya, Sayang. Maaf ya, aku lupa bilang. Aku pakai uangnya buat nambah modal toko," jawabnya dengan wajah bersalah, membuatku tak tega. 

"Ya sudah, nggak apa-apa. Tapi lain kali, bilang dulu ya!" ucapku mengingatkan dan diangguki olehnya. Namun kini pandanganku tertuju ke tangan kanannya yang menggunakan jam tangan baru, terlihat sangat mewah, hatiku berdesir dan otakku mulai bekerja untuk mencurigainya. 

"Kamu, beli jam tangan baru lagi, Mas?" tanyaku langsung, kulihat ia gugup. 

"Iya, Sayang. Murah lagi diskon," jawabnya tak berani menatapku. 

"Berapa?" tanyaku menyelidik. 

"Lima juta aja kok," jawabnya enteng. 

Lima juta dianggapnya murah? Aku kerja pagi sampai sore, nguras otak, tapi uangnya malah dipakainya untuk membeli barang mewah seperti ini. 

Kuhela nafas panjang, tak ingin mempermasalahkan ini semua, biar bagaimanapun dia adalah suamiku, anggap saja ini hadiahku untuknya. Toh, katanya cuma lima juta. Ya, aku memilih diam dan tak memperpanjang soal jam tangan saat itu, hingga hari ini Rina mengirimiku Wa yang membuat mataku sukses membelalak karena isi pesannya. 

[Tadi aku sama Mas Rian ketemu suamimu di Mall, Nan.]

[Beli apa dia?] Balasku pada Rina, sahabatku yang menikah dengan teman sebangkunya Rian. Ya, kami bertiga adalah teman satu sekolah dulunya. 

[Nggak tahu sih, cuma kata Rian, dia pamer kalau punya jam tangan yang sama kaya yang dipakai Rian.] 

Kukerutkan keningku, mencoba mengingat jam tangan yang dimaksud, dan Rina yang seperti mengerti apa yang kupikirkan, mengirimi foto jam yang ia maksud. 

[Aku beli jam tangan itu susah banget loh Nan, kamu kok gak bilang-bilang sih kalau sudah beli duluan. Tau gitu kan aku bisa nitip kamu.] Rina protes, karena mengira akulah yang membelikan jam itu pada Mas Ivan, padahal aku mana tahu menahu dengan barang-barang mahal milik suamiku itu. 

[Kamu beli harga berapa Rin?] tanyaku berbasa-basi, padahal aku pun tak tahu harga jam tangan yang selalu dibanggakan oleh Mas Ivan itu. 

[Dua puluh lima, lah. Memangnya ada harga lebih murah dari itu?] tanyanya balik dengan emot tertawa, membuat darahku mendidih. 

-FLASHBACK BERAKHIR- 

"Hutangmu dua puluh juta, bukannya jam tanganmu harganya cuma lima juta ya?" tanyaku berpura-pura bingung. 

"Siapa yang bilang kalau harga jam tangan itu lima juta?" tanyanya balik, seperti orang amnesia. 

Selalu seperti ini, jika ketahuan berbohong dia akan bertingkah layaknya orang bodoh. Dulu, menurutku dia lucu namun sekarang, Muak rasanya! 

"Kamu tuh benar-benar nggak tahu diri, Mas. Aku capek!" Untuk pertama kalinya, keluar kata kasar dari mulutku ini padanya. Kata-kata yang kutahu membuatnya tersakiti, tak ada jawaban lagi dari lelaki yang sudah menikahiku satu tahun yang lalu itu. Ia berbalik, dan pergi begitu saja. Bahkan sudah menjelang pagi pun ia tetap tak kunjung pulang. 

"Apa aku keterlaluan?" tanyaku berulang kali, sungguh aku merasa bersalah padanya. 

Pintu terbuka, kupikir Mas Ivan yang pulang. Ternyata Mama mertuaku yang datang. Membuat hati ini sedikit tak nyaman, apa ada hubungannya dengan pertengkaranku dengan Mas Ivan tadi malam? 

'Semoga semuanya baik-baik saja' do'aku dalam hati. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 5

    Sehari setelah kedatangan Ibu mertuaku, Mas Ivan pulang dengan wajah santai tak berdosa. Ia mendekatiku dan ternyata sadar dengan tas yang sudah kukemasi beberapa pakaian. “Mau kemana kamu?” tanyanya menyelidik. “Bagus akhirnya kamu pulang! Aku cuma mau bilang kalau aku kau pulang ke rumah Bunda.” jawabku datar. Apa-apaan? Nggak ada! Ngapain ke rumah Bunda segala?" Mas Ivan menolak mentah-mentah keinginanku yang ingin pulang ke rumah Bunda. "Kenapa? Apa alasanmu melarangku?" tanyaku dengan menatapnya tajam. "Karena kamu, Istriku!" jawabnya, dengan tegas. "Oh, ya? Sejak kapan kamu kembali sadar?" tanyaku lagi, sungguh aku sudah sangat lelah dengan tingkahnya yang begitu memuakkan! "Memangnya, kamu pikir selama ini aku gila?" tanyanya, terlihat kesal. "Pokoknya, aku mau ke rumah Bunda!” ucapku, kali ini air mataku yang sejak tadi tertahan turun berhamburan. "Aku, nggak ngizinin kamu!" jawabnya, lantang. "Dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap ke sana!" ucapku dengan keras, t

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 4

    "Ma, Ivan gak tahan lama-lama sama Nanda, dia itu makin hari makin keterlaluan, karena dia selalu merasa kalau gajinya lebih besar dari uang yang Ivan hasilkan," Lagi untuk ke sekian kalinya Ivan mengadu pada Mamanya karena sangat emosi dengan tingkah Nanda yang semakin menjadi. "Keterlaluan gimana sih, Van?" tanya Diana dengan santai, tak ada raut wajah marah di sana, masih biasa saja. "Ya, keterlaluan!" jawab Ivan dengan bingung, serba salah. Jika ia mengatakan yang sebenarnya belum tentu Mamanya akan membelanya, dan akhirnya ia memilih untuk berbohong saja, biarlah yang penting mamanya memihaknya terlebih dahulu. "Ivan tuh kaya nggak ada harga diri tahu Ma, di depan Nanda sama keluarganya, Nanda itu terlalu sering ngehina Ivan secara terang-terangan!" jawab Ivan berpura-pura sedih, sesekali ia melirik wajah Mamanya yang akhirnya mulai terpancing. ‘Yes! Berhasil!’ batin Ivan."Ngehina gimana?" Pertanyaan Diana jelas saja membuat semangat provokator Ivan membara."Dia bilang kala

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 3

    "Yank, jam tanganku mana?" tanya Mas Ivan dengan wajah panik, aku mah tetap santai. "Mana aku tahu Mas," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kue yang sedang kusiapkan untuk dibawa. "Kenapa gak ada di lemari, Yank?" tanyanya dengan kesal. "Ya mana aku tahu, Mas!" jawabku lagi. "Kok, bisa nggak tahu? Kan cuma kita berdua yang tinggal di rumah ini!" ucapnya lagi seperti menuduhku yang mengambil jam miliknya. "Jadi maksudmu, karena hanya ada kita berdua di rumah ini terus aku yang ngambil jam kamu gitu?" tanyaku dengan marah. "Ya, mungkin aja kan!" jawabnya enteng. "Keterlaluan kamu, Mas," balasku dengan marah. "Buru, mana jam tanganku? Nggak kamu jual kan?" tanyanya lagi tanpa berdosa, dan jujur ingin rasanya ku jahit bibir suamiku yang asal ceplos ini. "Nanti kalau ketemu, pasti aku jual!" jawabku pelan. "Apa, Yank?" tanyanya memastikan, ia pasti tak mendengar karena suaraku memang sangat pelan. "Mas, sini deh!" Aku menyuruhnya mendekat dan ia menurut. "Lemari yang isin

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 2

    BEBERAPA JAM KEMUDIAN."YANK...." Mas Ivan pulang dengan wajah yang memerah, aku bergegas mendatanginya dengan membawa segelas air putih. "Aciyee, belanja banyak," sindirku padanya melihat tentengan yang ia bawa. "Kenapa mukamu cembetut gitu?" tanyaku berpura-pura tak tahu, padahal aku yakin dia kesal setengah mati sekarang. "Kenapa ATM-ku bisa ada di dompetmu?" tanyanya setelah menghabiskan segelas air. "Lah, kamu ambil ATM di dompetku ya?" tanyaku polos. "Jawab!" ucapnya marah. "Bukannya kamu yang harus jawab?" tanyaku balik. "Apaan?" tanyanya bingung. "Kamu kenapa ngambil ATM di dompetku?" tanyaku lagi. "Karena aku mau belanja," jawabnya enteng. "Terus?" tanyaku. "Kenapa ATM-nya jadi ATM-ku?" tanyanya lagi. "Lah, memangnya aku ada bilang kalau yang di dompetku itu ATMku?" tanyaku balik membuatnya melongo. "Terus kenapa bisa ATM-ku ada di dompetmu Yank?" tanyanya mulai kesal. "Karena aku tahu kamu mau ambil kan?" jawabku santai. "Kan aku mau ambil ATM-mu" ucapnya tanp

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 1

    “Yank, minta duit ya buat beli baju," ucap Mas Ivan santai mengalihkan sedikit perhatianku yang saat ini sedang sibuk dengan penggorengan yang menyala di atas kompor.Mas Ivan memang sangat menjengkelkan, sudah ngasih uang jarang-jarang, malah sesuka hatinya belanja pake uangku terus. "Baju apa lagi sih, Mas? Bukannya kamu baru belanja ya minggu lalu?" tanyaku kesal, seharusnya dia peka dengan suara wajan dan spatula yang mulai nyaring ini."Kan itu minggu lalu, Yank! Minggu ini kan belum!" jawabnya sembari mendekat, dengan wajah polos seperti tak berdosa."Boleh, ya!" bujuknya manja.“Ayank .., Maaf, kamu masih marah, ya?” ucapnya manja sembari mulai merayuku dengan pelukan yang disangkanya romantis, padahal sangat membuatku jengah.Merasa tak kutanggapi, ia semakin bertingkah manja.“Kamu masak apa, Yank? Harumnya bikin lapar, pasti enak banget,” lanjutnya lagi dengan memuji dan terdengar tak tulus. Jelas saja, ia pasti melakukannya karena ada maunya. “Punya mata kan ya? Liat aja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status