Sehari setelah kedatangan Ibu mertuaku, Mas Ivan pulang dengan wajah santai tak berdosa. Ia mendekatiku dan ternyata sadar dengan tas yang sudah kukemasi beberapa pakaian.
“Mau kemana kamu?” tanyanya menyelidik.
“Bagus akhirnya kamu pulang! Aku cuma mau bilang kalau aku kau pulang ke rumah Bunda.” jawabku datar.
Apa-apaan? Nggak ada! Ngapain ke rumah Bunda segala?" Mas Ivan menolak mentah-mentah keinginanku yang ingin pulang ke rumah Bunda.
"Kenapa? Apa alasanmu melarangku?" tanyaku dengan menatapnya tajam.
"Karena kamu, Istriku!" jawabnya, dengan tegas.
"Oh, ya? Sejak kapan kamu kembali sadar?" tanyaku lagi, sungguh aku sudah sangat lelah dengan tingkahnya yang begitu memuakkan!
"Memangnya, kamu pikir selama ini aku gila?" tanyanya, terlihat kesal.
"Pokoknya, aku mau ke rumah Bunda!” ucapku, kali ini air mataku yang sejak tadi tertahan turun berhamburan.
"Aku, nggak ngizinin kamu!" jawabnya, lantang.
"Dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap ke sana!" ucapku dengan keras, tekadku sudah bulat, Aku lelah dengan semua ini.
"Kamu tahu kan, dosa kalau kamu sampai nggak menuruti perintah suami!” ucapnya berlagak bijak.
"Dan kamu juga tahu kan, Mas? Dosanya menyakiti hati Istri?" jawabku menyindirnya.
"Aku menyakitimu dalam hal apa?" tanyanya berlagak bodoh, seperti biasanya.
"Banyak! Apa perlu kusebutkan?" tantangku, membuatnya mengerutkan kening.
"Pertama, kamu dzolim! Kamu jarang memberiku nafkah, bahkan uangku yang kamu habiskan!"
"Dua, kamu selalu menggunakan rasa cintaku untuk menuruti semua inginmu, apa kamu ada berkontribusi dalam rumah tangga kita, Mas? Rumah, mobil, semua yang ada di rumah ini, termasuk isi perutmu aku yang beli, lalu di mana peranmu sebagai suami?" Tanyaku dengan geram.
"Tiga, apa hakmu mengadu pada Mama? Sedangkan selama ini, sesakit apa pun perlakuanmu padaku tak pernah satu kata pun terucap dari bibir ini untuk mengadu kepada siapapun, lalu sekarang dengan sok bijak kamu mengatakan soal dosa, Mas? Apa perlu kutarik tubuhmu ke depan cermin agar kamu bisa berkaca akan dosamu padaku?" Kali ini aku sudah tak bisa lagi menahan emosi, aku masih sabar dengan tingkahnya selama ini, namun saat kedatangan Ibu mertuaku kemarin yang dengan lantangnya menghina bahkan membawa-bawa orang tuaku tentu saja aku tak terima.
-FLASHBACK KEDATANGAN DIANA-
Mama datang dengan wajah yang tak dapat diartikan segera kucium tangannya dan kubawa ia ke sofa untuk duduk dengan tenang.
"Mama kenapa?" tanyaku khawatir.
Hening, belum ada jawaban, aku beranjak mengambilkan segelas air putih dan kuberikan pada Ibu mertuaku dengan hati-hati.
“Di depanku, kamu berlagak kaya menantu baik, perhatian dan penyayang, nyatanya berbeda!” Mama meminum air seteguk sebelum mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku sedikit bingung.
“Maksudnya, Ma?” tanyaku pelan.
“Masih nanya kenapa? Suamimu mana? Nggak ada kan di rumah dari kemarin? Apa kamu ada inisiatif nyari dia? Khawatirin dia? Karena apa? Nggak usah kamu jawab pertanyaanku, sudah jelas jawabannya karena kamu adalah istri yang angkuh Nanda! Dengan gajimu yang besar kamu dengan mudahnya meremehkan Ivan yang adalah suamimu! Kamu sadar nggak? Dia itu suamimu yang harus kamu hormati! Tapi karena perkara uang yang tak seberapa saja kamu bisa ya menghina dia?” Aku terdiam sedikit pusing mencoba mencerna kata demi kata yang keluar pedas dari mulut Ibu mertuaku, selama menikah aku memang sudah sering kena omel tapi tak pernah semenyakitkan ini.
“Heh!” Mama menjentikkan jari di depan wajahku dan membuatku tersadar dari lamunan.
“Kenapa kamu diam? Akhirnya sadar? Atau apa? Atau mau berkilah? Silahkan, biar aku dengar dan lihat sendiri keangkuhanmu!” lanjut Mama lagi tanpa jeda.
“Ma, sabar dulu, bentar dulu, ini kenapa? Ada apa? Kenapa Mama datang langsung marah-marah ke Nanda? Nanda memang ada masalah sama Mas Ivan tapi sama sekali nggak ada satu kalimatpun dari yang Mama ucapin tadi yang nyambung ke masalah kami, Ma! Mas Ivan ngadu ke Mama? Dia bilang apa? Ini pasti ada salah paham, Ma! Tolong dengarin dulu dari sisi Nanda gimana,” ucapku setengah memohon.
“Apa yang harus aku dengar lagi dari kamu, Nan? Kata-katamu yang bilang kalau putraku itu nggak tahu diri? Iya?” bentak Ibu mertuaku dengan sangat nyaring dan menyakitkan hati.
“Kamu ngaku nggak pernah ngeluarin kata-kata itu ke Ivan?” tanyanya lagi.
Aku tak bisa mengelak, karena memang kalimat itu ada terucap kemarin saat emosiku meledak karena Mas Ivan benar-benar membuatku muak.
“Nggak bisa ngelak kan kamu?” Aku hanya diam, air mataku runtuh.
“Didikan seperti apa yang kamu dapat dari orang tuamu yang sok suci itu? Bahkan untuk menghormati dan patuh sama suamimu aja kamu nggak bisa!”
Sebuah kalimat yang cukup panjang itu menggema, menyakitkan sangat! Orang tuaku yang mendidikku dengan baik dan penuh kasih sayang dihina oleh wanita yang melahirkan suamiku. Aku hanya diam menahan sesak di dada.
Bukan! Bukan karena aku tak bisa menjawab atau takut tapi karena aku memilih untuk menghormatinya, menghormati wanita yang sudah kuanggap sebagai Ibuku walaupun aku tahu ia tak menganggapku sama.
-FLASHBACK BERAKHIR-
Mas Ivan menghela nafas panjang, lalu ia duduk di sampingku.
"Dengarin aku ya, Nan!" ucapnya tegas.
"Aku, nggak ngizinin kamu kemana-mana, Aku adalah Suamimu, dan suka nggak suka, kamu harus nurut sama Aku. Perihal alasan-alasanmu tadi, aku tahu akan kesalahanku itu. Tapi, bukankah kita menikah karena cinta? Kamu juga yang mengatakan, akan membantuku untuk bisa mapan kan? Kalau aku mapan nanti, toh yang menikmati hasilnya, kamu juga! Aku masih berusaha, Nan. Aku nggak diam aja!" ucapnya membela diri.
"Rumah, Mobil, semuanya memang kamu yang beli, tapi itu karena kamu memang mampu! Kamu tahu jelas, bagaimana keuanganku, bagaimana aku masih berusaha merintis dari bawah, dan sekarang baru mulai maju, Nan!" lanjutnya lagi.
"Masalah Mama, aku minta maaf kalau ada perkataan Mama, yang menyakitimu. Aku memang pulang ke rumah Mama kemarin malam, Mama nanya Aku kenapa? Nggak mungkin aku bohong kan? Jadi, kuceritakan semua padanya. Mungkin karena itu, Mama marah sama kamu, maafin Aku dan Mama, ya!" ucapnya dengan raut wajah sedih, entah benar atau tidak perasaan sedihnya itu. Aku tak mampu lagi membedakan, karena yang kutahu lelaki di depanku ini sungguh bermuka dua.
"Kamu bilang kamu tahu kamu salah, kamu pun sadar akan ketidakmampuanmu soal ekonomi, lalu kenapa kamu masih saja berfoya-foya dengan membeli banyak barang mahal untuk koleksimu itu, Mas? Coba kamu buka lemari itu, lihat berapa banyak barang di sana?" tanyaku dengan emosi yang membara, dia mengaku salah, namun pembelaannya seakan ia merasa benar dengan kesalahannya itu.
"Kamu bilang kamu mulai merintis usaha dari bawah, tapi nyatanya apa, Mas? bahkan berkali-kali aku harus membantumu melunasi hutang untuk menombok semua kerugian toko! Untung yang tak seberapa pun, kamu embat kembali kan?" lanjutku lagi, kutatap lekat matanya yang masih melihat ke arahku.
"Dan kamu tahu Mas? hal yang membuatku merasa lebih sakit dari semua itu adalah Mama! Bagaimana dia menghakimiku, bahkan menghina orang tuaku tanpa bertanya terlebih dahulu apa masalahnya? Apa sebenarnya yang kamu adukan ke Mama? Kenapa Mama bisa marah besar dan mengeluarkan ucapan yang nyakitin gitu, Mas? Kamu ngomong apa?” Aku berteriak, kukeluarkan semua sesak yang kutahan, tapi bukan jawaban yang kudapat. Mas Ivan diam tak mengatakan atau menjelaskan apapun.
Hening...
"Maaf, Mas. Aku tetap pada keputusanku. Aku mau menenangkan diri, dan pulang ke rumah Bunda!" ucapku dengan tegas.
"Nggak boleh!" ucapnya tak mau kalah.
"Terserah!" tantangku tak peduli.
"Nanda!" Kali ini suaranya sedikit keras, namun aku tetap tak mau mengalah.
'Biarlah, aku perlu waktu untuk menenangkan diri' batinku.
Sehari setelah kedatangan Ibu mertuaku, Mas Ivan pulang dengan wajah santai tak berdosa. Ia mendekatiku dan ternyata sadar dengan tas yang sudah kukemasi beberapa pakaian. “Mau kemana kamu?” tanyanya menyelidik. “Bagus akhirnya kamu pulang! Aku cuma mau bilang kalau aku kau pulang ke rumah Bunda.” jawabku datar. Apa-apaan? Nggak ada! Ngapain ke rumah Bunda segala?" Mas Ivan menolak mentah-mentah keinginanku yang ingin pulang ke rumah Bunda. "Kenapa? Apa alasanmu melarangku?" tanyaku dengan menatapnya tajam. "Karena kamu, Istriku!" jawabnya, dengan tegas. "Oh, ya? Sejak kapan kamu kembali sadar?" tanyaku lagi, sungguh aku sudah sangat lelah dengan tingkahnya yang begitu memuakkan! "Memangnya, kamu pikir selama ini aku gila?" tanyanya, terlihat kesal. "Pokoknya, aku mau ke rumah Bunda!” ucapku, kali ini air mataku yang sejak tadi tertahan turun berhamburan. "Aku, nggak ngizinin kamu!" jawabnya, lantang. "Dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap ke sana!" ucapku dengan keras, t
"Ma, Ivan gak tahan lama-lama sama Nanda, dia itu makin hari makin keterlaluan, karena dia selalu merasa kalau gajinya lebih besar dari uang yang Ivan hasilkan," Lagi untuk ke sekian kalinya Ivan mengadu pada Mamanya karena sangat emosi dengan tingkah Nanda yang semakin menjadi. "Keterlaluan gimana sih, Van?" tanya Diana dengan santai, tak ada raut wajah marah di sana, masih biasa saja. "Ya, keterlaluan!" jawab Ivan dengan bingung, serba salah. Jika ia mengatakan yang sebenarnya belum tentu Mamanya akan membelanya, dan akhirnya ia memilih untuk berbohong saja, biarlah yang penting mamanya memihaknya terlebih dahulu. "Ivan tuh kaya nggak ada harga diri tahu Ma, di depan Nanda sama keluarganya, Nanda itu terlalu sering ngehina Ivan secara terang-terangan!" jawab Ivan berpura-pura sedih, sesekali ia melirik wajah Mamanya yang akhirnya mulai terpancing. ‘Yes! Berhasil!’ batin Ivan."Ngehina gimana?" Pertanyaan Diana jelas saja membuat semangat provokator Ivan membara."Dia bilang kala
"Yank, jam tanganku mana?" tanya Mas Ivan dengan wajah panik, aku mah tetap santai. "Mana aku tahu Mas," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kue yang sedang kusiapkan untuk dibawa. "Kenapa gak ada di lemari, Yank?" tanyanya dengan kesal. "Ya mana aku tahu, Mas!" jawabku lagi. "Kok, bisa nggak tahu? Kan cuma kita berdua yang tinggal di rumah ini!" ucapnya lagi seperti menuduhku yang mengambil jam miliknya. "Jadi maksudmu, karena hanya ada kita berdua di rumah ini terus aku yang ngambil jam kamu gitu?" tanyaku dengan marah. "Ya, mungkin aja kan!" jawabnya enteng. "Keterlaluan kamu, Mas," balasku dengan marah. "Buru, mana jam tanganku? Nggak kamu jual kan?" tanyanya lagi tanpa berdosa, dan jujur ingin rasanya ku jahit bibir suamiku yang asal ceplos ini. "Nanti kalau ketemu, pasti aku jual!" jawabku pelan. "Apa, Yank?" tanyanya memastikan, ia pasti tak mendengar karena suaraku memang sangat pelan. "Mas, sini deh!" Aku menyuruhnya mendekat dan ia menurut. "Lemari yang isin
BEBERAPA JAM KEMUDIAN."YANK...." Mas Ivan pulang dengan wajah yang memerah, aku bergegas mendatanginya dengan membawa segelas air putih. "Aciyee, belanja banyak," sindirku padanya melihat tentengan yang ia bawa. "Kenapa mukamu cembetut gitu?" tanyaku berpura-pura tak tahu, padahal aku yakin dia kesal setengah mati sekarang. "Kenapa ATM-ku bisa ada di dompetmu?" tanyanya setelah menghabiskan segelas air. "Lah, kamu ambil ATM di dompetku ya?" tanyaku polos. "Jawab!" ucapnya marah. "Bukannya kamu yang harus jawab?" tanyaku balik. "Apaan?" tanyanya bingung. "Kamu kenapa ngambil ATM di dompetku?" tanyaku lagi. "Karena aku mau belanja," jawabnya enteng. "Terus?" tanyaku. "Kenapa ATM-nya jadi ATM-ku?" tanyanya lagi. "Lah, memangnya aku ada bilang kalau yang di dompetku itu ATMku?" tanyaku balik membuatnya melongo. "Terus kenapa bisa ATM-ku ada di dompetmu Yank?" tanyanya mulai kesal. "Karena aku tahu kamu mau ambil kan?" jawabku santai. "Kan aku mau ambil ATM-mu" ucapnya tanp
“Yank, minta duit ya buat beli baju," ucap Mas Ivan santai mengalihkan sedikit perhatianku yang saat ini sedang sibuk dengan penggorengan yang menyala di atas kompor.Mas Ivan memang sangat menjengkelkan, sudah ngasih uang jarang-jarang, malah sesuka hatinya belanja pake uangku terus. "Baju apa lagi sih, Mas? Bukannya kamu baru belanja ya minggu lalu?" tanyaku kesal, seharusnya dia peka dengan suara wajan dan spatula yang mulai nyaring ini."Kan itu minggu lalu, Yank! Minggu ini kan belum!" jawabnya sembari mendekat, dengan wajah polos seperti tak berdosa."Boleh, ya!" bujuknya manja.“Ayank .., Maaf, kamu masih marah, ya?” ucapnya manja sembari mulai merayuku dengan pelukan yang disangkanya romantis, padahal sangat membuatku jengah.Merasa tak kutanggapi, ia semakin bertingkah manja.“Kamu masak apa, Yank? Harumnya bikin lapar, pasti enak banget,” lanjutnya lagi dengan memuji dan terdengar tak tulus. Jelas saja, ia pasti melakukannya karena ada maunya. “Punya mata kan ya? Liat aja