"Yank, jam tanganku mana?" tanya Mas Ivan dengan wajah panik, aku mah tetap santai.
"Mana aku tahu Mas," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kue yang sedang kusiapkan untuk dibawa.
"Kenapa gak ada di lemari, Yank?" tanyanya dengan kesal.
"Ya mana aku tahu, Mas!" jawabku lagi.
"Kok, bisa nggak tahu? Kan cuma kita berdua yang tinggal di rumah ini!" ucapnya lagi seperti menuduhku yang mengambil jam miliknya.
"Jadi maksudmu, karena hanya ada kita berdua di rumah ini terus aku yang ngambil jam kamu gitu?" tanyaku dengan marah.
"Ya, mungkin aja kan!" jawabnya enteng.
"Keterlaluan kamu, Mas," balasku dengan marah.
"Buru, mana jam tanganku? Nggak kamu jual kan?" tanyanya lagi tanpa berdosa, dan jujur ingin rasanya ku jahit bibir suamiku yang asal ceplos ini.
"Nanti kalau ketemu, pasti aku jual!" jawabku pelan.
"Apa, Yank?" tanyanya memastikan, ia pasti tak mendengar karena suaraku memang sangat pelan.
"Mas, sini deh!" Aku menyuruhnya mendekat dan ia menurut.
"Lemari yang isinya barang berhargamu itu, dikunci kan?" tanyaku dengan serius, Mas Ivan mengangguk pasti.
"Terus kuncinya selalu kamu bawa atau kamu sembunyikan di suatu tempat yang sangaaat aman kan?" tanyaku lagi, dan ia kembali mengangguk.
"Terus kenapa sekarang kamu nuduh aku, Mas Bambang?" ucapku dengan keras tepat di telinganya dan sukses membuat wajahnya memerah karena marah.
"Bambang, siapa Maimunah?" tanyanya terlihat kesal.
"Kamu tuh aneh tahu Mas, setiap ada barang yang hilang pasti nuduh aku yang jual. Seandainya memang bisa, sudah dari kemarin-kemarin kujual itu barang satu lemari!" ancamku padanya.
"Terus jam tanganku mana, Yank?" rengeknya lagi.
"Menyebalkan!" Aku ke dalam Kamar dan membuka laci lemari di mana jam tangannya tersimpan di sana, bisa-bisanya dia lupa padahal dia sendiri yang meletakkannya di sana.
"Ups, maafin aku ya. Aku kira kamu…."
"Apa? Makanya jangan asal nyeplos nuduh-nuduh nggak ada bukti! Mau ku laporin karena pencemaran nama baik?" ancamku dan sukses membuatnya terperangah.
"Sadis amat sih, Yank, masa suami sendiri mau dilaporin?" ucapnya tegang.
Tak kuhiraukan Mas Ivan yang kini kembali sibuk dengan jam tangannya, tapi ada satu hal yang membuatku sangat bersemangat dan aku yakin dia akan sangat marah saat mengetahuinya.
***
Nanda dan Ivan sudah berada di rumah Tante Erni, saat selesai do'a bersama kini mereka semua berkumpul di halaman belakang dan makan sepuasnya dengan berbagai hidangan yang telah disediakan.
"Bang, sini dulu bentar," ucap Arka anak dari Tante Erni, Ivan segera mengikutinya ke arah kolam renang.
"Kenapa, Ka?" tanya Ivan dengan lembut.
"Uang yang Abang pinjam udah Abang transfer?" tanyanya, membuat Ivan kaget sekaligus bingung.
"Uang yang mana?" tanya Ivan tak mengerti.
"Kan tadi pagi Abang bilang pinjam dua puluh juta terus mau diganti malam ini, Abang suka bercanda deh!" jawab Arka sembari tertawa, namun tawanya sukses membuat lelaki yang berada di depannya mematung.
‘Berarti uang yang tadi pagi kupakai untuk bayar barang dan beli tas Nanda adalah uang Arka. Dan Nanda bilang kalau aku yang pinjam, terus sekarang aku harus gimana?’ batin Ivan gelisah.
"Emm, emang Nanda ya, yang bilang kalau aku yang pinjam?" tanya Ivan berpura-pura santai.
"Enggak Bang, kan Abang sendiri yang Wa aku pakai Hp Kak Nanda," jawabnya sembari menunjukkan Ponselnya padaku.
[Arka, ini Bang Ivan. Bisa tolong pinjam uang nggak kaya biasa? Dua puluh juta aja sih perlunya pagi ini. Soalnya ada barang datang, entar malam aku ganti sekalian kita ketemu di Rumahmu ya.]
[Kok tumben, pakai hp Kak Nanda, Bang?]
[Iya, Hp Abang, ketinggalan di Toko.]
[Oke, Bang, lima belas menit lagi aku transfer ya.]
Mata Ivan tak berkedip membaca pesan yang seolah dikirimkan olehnya sendiri. Ivan juga tak mungkin menyangkalnya, karena memang uang itu ia yang memakainya.
‘Benar-benar Nanda sangat menjengkelkan!’ maki Ivan dalam hati.
"Jadi gimana Bang?" tanya Arka lagi membuat Ivan sadar dari lamunan.
"Oh, iya! Besok Abang transfer ya. Untuk sekarang kamu pegang aja dulu jam tangan Abang ini," ucap Ivan seraya melepas jam tangan kesayangannya dengan berat hati, ada rasa harap semoga Arka menolaknya, namun sayangnya mata lelaki di depannya itu malah terlihat berbinar.
"Ini jam limited edition keluaran toko Raja kan, ya?" tanyanya dengan semangat.
"Aku sudah lama banget ngincar ini tapi selalu telat dan kehabisan!" lanjutnya lagi, sembari mengambil jam tangan itu dari tangan Ivan dan kini ia sedang menatapnya dengan penuh cinta.
"Oh, he'eh" jawab Ivan dengan sangat berat.
Kini Ivan hanya bisa diam mematung melihat jam itu bertengger manis di tangan kiri Arka, perih rasa hatinya.
"Mas...." Suara Nanda membuat hati lelaki dengan tubuh tinggi ideal itu mendidih, namun karena masih ada Arka di depannya, Ivan harus menahan emosi dengan kuat.
"Eh, Kak Nanda," tegur Arka dengan senyum tampannya.
"Ngapain kalian di sini?" tanya Nanda sembari melirik ke arah suaminya yang membalas dengan tatapan tajam.
"Ini…." tunjuk Arka ke arah jam yang ia pakai.
"Loh, bukannya itu Jam tangannya Mas Ivan, ya?" tanya Nanda polos seolah tak berdosa, padahal Ivan yakin istrinya itulah yang merencanakan semua ini untuk membalas dirinya.
"Iya, tapi untuk lebih jelasnya tanya Bang Ivan aja ya, Kak!" jawab Arka kemudian berlalu.
Nanda ingin mengikuti Arka namun dengan cepat Ivan menghentikan istrinya dengan menarik tangannya.
"Apa, Mas?" tanya Nanda bingung.
"Kamu...."
"Mau berantem? Entar aja di rumah! Di sini banyak keluarga!" jawab Nanda enteng kemudian melepas genggaman Ivan lalu pergi begitu saja kembali berkumpul dengan keluarganya.
'Awas kamu ya, Nan!' Batin Ivan.
"Mas, ayo gabung!" teriaknya lagi dengan sengaja, agar Ivan tak bisa menolaknya.
“Ternyata, sungguh sangat menjengkelkan memiliki Istri yang otaknya cemerlang seperti Nanda,” lirih Ivan hampir tak terdengar, ia terus melangkah mendekati Istrinya itu agar mereka terlihat baik-baik saja. Bagaimanapun juga, Ivan dan Nanda harus terlihat seperti pasangan yang kompak dan bahagia walaupun sebenarnya bagi Ivan sangat menyebalkan dan selalu saja membuat masalah, begitu pula sebaliknya Nandapun merasakan hal yang sama.
Sehari setelah kedatangan Ibu mertuaku, Mas Ivan pulang dengan wajah santai tak berdosa. Ia mendekatiku dan ternyata sadar dengan tas yang sudah kukemasi beberapa pakaian. “Mau kemana kamu?” tanyanya menyelidik. “Bagus akhirnya kamu pulang! Aku cuma mau bilang kalau aku kau pulang ke rumah Bunda.” jawabku datar. Apa-apaan? Nggak ada! Ngapain ke rumah Bunda segala?" Mas Ivan menolak mentah-mentah keinginanku yang ingin pulang ke rumah Bunda. "Kenapa? Apa alasanmu melarangku?" tanyaku dengan menatapnya tajam. "Karena kamu, Istriku!" jawabnya, dengan tegas. "Oh, ya? Sejak kapan kamu kembali sadar?" tanyaku lagi, sungguh aku sudah sangat lelah dengan tingkahnya yang begitu memuakkan! "Memangnya, kamu pikir selama ini aku gila?" tanyanya, terlihat kesal. "Pokoknya, aku mau ke rumah Bunda!” ucapku, kali ini air mataku yang sejak tadi tertahan turun berhamburan. "Aku, nggak ngizinin kamu!" jawabnya, lantang. "Dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap ke sana!" ucapku dengan keras, t
"Ma, Ivan gak tahan lama-lama sama Nanda, dia itu makin hari makin keterlaluan, karena dia selalu merasa kalau gajinya lebih besar dari uang yang Ivan hasilkan," Lagi untuk ke sekian kalinya Ivan mengadu pada Mamanya karena sangat emosi dengan tingkah Nanda yang semakin menjadi. "Keterlaluan gimana sih, Van?" tanya Diana dengan santai, tak ada raut wajah marah di sana, masih biasa saja. "Ya, keterlaluan!" jawab Ivan dengan bingung, serba salah. Jika ia mengatakan yang sebenarnya belum tentu Mamanya akan membelanya, dan akhirnya ia memilih untuk berbohong saja, biarlah yang penting mamanya memihaknya terlebih dahulu. "Ivan tuh kaya nggak ada harga diri tahu Ma, di depan Nanda sama keluarganya, Nanda itu terlalu sering ngehina Ivan secara terang-terangan!" jawab Ivan berpura-pura sedih, sesekali ia melirik wajah Mamanya yang akhirnya mulai terpancing. ‘Yes! Berhasil!’ batin Ivan."Ngehina gimana?" Pertanyaan Diana jelas saja membuat semangat provokator Ivan membara."Dia bilang kala
"Yank, jam tanganku mana?" tanya Mas Ivan dengan wajah panik, aku mah tetap santai. "Mana aku tahu Mas," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kue yang sedang kusiapkan untuk dibawa. "Kenapa gak ada di lemari, Yank?" tanyanya dengan kesal. "Ya mana aku tahu, Mas!" jawabku lagi. "Kok, bisa nggak tahu? Kan cuma kita berdua yang tinggal di rumah ini!" ucapnya lagi seperti menuduhku yang mengambil jam miliknya. "Jadi maksudmu, karena hanya ada kita berdua di rumah ini terus aku yang ngambil jam kamu gitu?" tanyaku dengan marah. "Ya, mungkin aja kan!" jawabnya enteng. "Keterlaluan kamu, Mas," balasku dengan marah. "Buru, mana jam tanganku? Nggak kamu jual kan?" tanyanya lagi tanpa berdosa, dan jujur ingin rasanya ku jahit bibir suamiku yang asal ceplos ini. "Nanti kalau ketemu, pasti aku jual!" jawabku pelan. "Apa, Yank?" tanyanya memastikan, ia pasti tak mendengar karena suaraku memang sangat pelan. "Mas, sini deh!" Aku menyuruhnya mendekat dan ia menurut. "Lemari yang isin
BEBERAPA JAM KEMUDIAN."YANK...." Mas Ivan pulang dengan wajah yang memerah, aku bergegas mendatanginya dengan membawa segelas air putih. "Aciyee, belanja banyak," sindirku padanya melihat tentengan yang ia bawa. "Kenapa mukamu cembetut gitu?" tanyaku berpura-pura tak tahu, padahal aku yakin dia kesal setengah mati sekarang. "Kenapa ATM-ku bisa ada di dompetmu?" tanyanya setelah menghabiskan segelas air. "Lah, kamu ambil ATM di dompetku ya?" tanyaku polos. "Jawab!" ucapnya marah. "Bukannya kamu yang harus jawab?" tanyaku balik. "Apaan?" tanyanya bingung. "Kamu kenapa ngambil ATM di dompetku?" tanyaku lagi. "Karena aku mau belanja," jawabnya enteng. "Terus?" tanyaku. "Kenapa ATM-nya jadi ATM-ku?" tanyanya lagi. "Lah, memangnya aku ada bilang kalau yang di dompetku itu ATMku?" tanyaku balik membuatnya melongo. "Terus kenapa bisa ATM-ku ada di dompetmu Yank?" tanyanya mulai kesal. "Karena aku tahu kamu mau ambil kan?" jawabku santai. "Kan aku mau ambil ATM-mu" ucapnya tanp
“Yank, minta duit ya buat beli baju," ucap Mas Ivan santai mengalihkan sedikit perhatianku yang saat ini sedang sibuk dengan penggorengan yang menyala di atas kompor.Mas Ivan memang sangat menjengkelkan, sudah ngasih uang jarang-jarang, malah sesuka hatinya belanja pake uangku terus. "Baju apa lagi sih, Mas? Bukannya kamu baru belanja ya minggu lalu?" tanyaku kesal, seharusnya dia peka dengan suara wajan dan spatula yang mulai nyaring ini."Kan itu minggu lalu, Yank! Minggu ini kan belum!" jawabnya sembari mendekat, dengan wajah polos seperti tak berdosa."Boleh, ya!" bujuknya manja.“Ayank .., Maaf, kamu masih marah, ya?” ucapnya manja sembari mulai merayuku dengan pelukan yang disangkanya romantis, padahal sangat membuatku jengah.Merasa tak kutanggapi, ia semakin bertingkah manja.“Kamu masak apa, Yank? Harumnya bikin lapar, pasti enak banget,” lanjutnya lagi dengan memuji dan terdengar tak tulus. Jelas saja, ia pasti melakukannya karena ada maunya. “Punya mata kan ya? Liat aja