Pov. Pras***Kupandangi wajah bocah lelaki itu. Sungguh perpaduan yang sempurna dari wajah kedua orang tuanya. Netra sendu Dewi jelas dimiliki putranya itu. Alis tajamnya tentu menurun dari ayahnya. Sudah lima tahun saja sejak kepergian istri keduaku. Arina. Aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku dan memilih tinggal di rumah peninggalan orang tuaku. Tentu saja kedua mantan mertuaku tak kulupakan begitu saja. setiap bulan aku selalu mengirimkan mereka uang belanja. ini bentuk baktiku pada orang tua Arina. "Menikahlah bila masih ada jodohmu, Nak. Kami tak apa. Sudah takdirnya Rina pergi dengan cara seperti itu." Kedua mertuaku tentu mengerti kondisiku. Namun setelah kebersamaan singkatku bersama Arina. Rasanya aku tak ingin lagi membuka hati. Pada Dewi aku mencinta, pada Arina aku pernah merasakan bahagia menjadi calon ayah. Ah, bukan. Ini pernikahan yang ketiga. Namun apakah boleh bila kucatat dalam memoriku sebagai pernikahan ke
Pov. Dewi*** Aku tak menyangka hari ini melihatnya lagi. Ternyata mas Pras menjadi sopir taksi online. Tak sengaja hari ini dia yang mengantar putraku dari sekolah. Gemuruh badai sudah benar-benar meredah dari hatiku. Tak ada lagi dendam dan luka saat melihat wajah dan tubuhnya yang semakin kurus. Bahkan kulihat sedikit tak terurus. Sungguh aku terkejut saat mas Pras memberitahukan bila istrinya meninggal dalam keadaan hamil. "Innallillah, ... kami turut berduka, Mas." Aku ikut prihatin atas ujian hidup yang menimpanya. Apalagi katanya, istrinya meninggal dalam keadaan hamil. Tak ada luka yang benar-benar sembuh. Pun denganku. Namun perih yang dulu ada benar--benar sudah hilang terbawa waktu. Meski bekas lukanya tak bisa hilang begitu saja. Namun luka yang dulu ada hanya tersisa samarnya yang tak ingin kulihat lagi. "Mama, om yang tadi itu siapa?" Davin mendekat dan duduk di sampingku. "Om tadi itu teman mama sama papa, Nak. Namany
POV. Sita*** “Aku ini duda, Dek.”“Mana surat cerainya, Mas?”“Nggak ada. Kamu tahu kan, orang di kampung. Kami hanya nikah siri.”“Serius kah, Mas?”“Serius, Dek. Aku serius sama kamu. Ngapain aku deketin kamu kalau aku ada istri.”“Kenapa pilih aku, Mas?”“Karna kamu beda dari yang lain. Kamu pekerja keras, tapi nggak keras kepala.”“Aku ini tulang punggung keluarga, Mas. Ayah dan ibuku bukan orang yang mampu.”“Masya Allah. Aku ingin kita bangun rumah tangga ini dengan keikhlasan. Kalau kamu jadi istriku, kedua orang tuamu juga adalah orang tuaku.”Begitulah mulut manis mas Firman saat merayuku dengan tipuannya tiga bulan yang lalu.Karna pengakuannya sebagai seorang duda itulah yang membuatku hari ini terbaring di rumah sakit dengan luka memar di wajah dan beberapa bagian tubuhku.Seorang wanita yang sedang hamil besar datang ke rumah kontrakanku yang berapa bulan ini kutempati bersama mas Firman.Wanita hamil itu datang dan mengaku sebagai istri sah mas Firman. Saat kuakui bila
Pov. Sita*** “Saya sama sekali tidak tahu, Pak, kalau pak Firman sudah beristri.”“Bagaimana anda yakin kalau dia seorang bujang?”“Pak Firman sendiri yang mengatakan pada saya dan kedua orang tua saya. Beliau sangat meyakinkan kami saat itu tentang statusnya sebagai duda dari pernikahan siri bersama seorang wanita yang sudah berakhir.”“Jadi pak Firman dulu mengaku pada bu Sita ini kalau beliau seorang duda?”“Benar, Pak.”Ditemani bapak dan ibu juga Neni dan suaminya, hari ini aku menghadap ke kantor polisi untuk memberikan keterangan atas kejadian yang kulaporkan pada pihak yang berwajib.Aku tak tahu apakah mas Firman dan istrinya ditahan atau tidak selama menunggu masa pemulihanku di rumah sakit. Yang jelas, hari ini kulihat keduanya datang bersama.Mas Firman mencoba mendekatiku tadi, tapi gegas kuangkat tangan padanya memberi tanda agar ia tak mendekat.Jelas sekali rasa bersalah di wajah maskulinnya. Aku benar-benar tak menyangka bila pria yang membuatku jatuh cinta dengan k
Musim hujan kembali datang. Siang malam deraiannya membasahi bumi. Curahnya membasahi tanah yang tertimpa kekeringan.Seperti hujan yang ingin menyembuhkan luka retak pada tanah. Seperti itu juga waktu menyembuhkan lukaku dengan perlahan.Walau tak mudah. Namun sakitnya mulai berkurang.Pada akhirnya memang setiap pertemuan harus ada perpisahan. Entah itu kematian atau sebab yang lain.Dan cintaku bersama mas Firman harus berkahir sebab satu fakta menyakitkan yang kuketahui setelah menjadi istrinya.Fakta bila lelaki itu menjadikan aku sebagai orang ketiga dalam rumah tangga kami sungguh menyakitkan bagiku dan juga menyakiti hati kedua orang tuaku.Bahkan teganya mas Firman. Demi perasaan cintanya padaku ia rela berbohong lagi. Keluarga yang diteleponnya hari itu untuk meyakinkan kami ternyata bukan keluarganya. Hanya kawan akrabnya saja.Maka semakin tak menyesallah aku melaporkan dan membuatnya mendekam di balik jeruji besi.Cinta memang pernah ada. Namun tipuannya membuat semua ras
Pov. Firman***Aku benar-benar khilaf. Telah kucipta badai atas rumah tangga keduaku bersama Sita. Dia wanita kedua dalamhidupku. Namun padanya aku jatuh cinta.Farida yang menjadi istri pertamaku di kampung halaman. Sudah lama kudengar kabarnya jika ia kerap jalan bersama lelaki lain. Bukan hanya rumor tapi juga bukti-bukti yang dikirimkan oleh keluargaku.Mungkin Farida tak tahan sebab sering kutinggalkan merantau. Pernah dulu kuajaknya untuk turut serta ke kota ini. Namun sepi dan terpencilnya daerah ini menjadi alasannya tak ingin ikut denganku.Akupun salah. Sebab tak jujur pada Farida dan Sita tentang pernikahan kami.Kata talak sudah hampir kujatuhkan pada Farida saat aku mengambil cuti tahun lalu. Namun kehamilannya menjadi alasan untukku mengurungkan niat untuk mengeluarkan kalimat sakral itu.“Aku lagi hamil, Mas. Mengapa tega menjatuhkan talak padaku?”Bibir merahnya sore itu berhasil membujukku untu membatalkan menjatuhkan talak padanya.Bukti-bukti Farida jalan bersama l
Pov. Firman*** "Bawa anakmu keluar dari rumah ini!" Aku berteriak lantang pada Farida yang tengah sibuk memasukkan baju-bajunya kedalam sebuah tas pakaian. Baru kali ini mataku terbuka. Setelah menjalani hukuman barulah Farida tertangkap basah olehku sedang main serong. Harusnya sejak dulu kuceraikan dia. Namun aku selalu berhasil dibuat luluh olehnya. Hingga akhirnya pernikahan keduaku bersama Sita juga harus kandas karna kelakuan Farida. Bukan hanya Farida yang salah. Akupun salah. Sebab tak jujur dari awal. "Dia juga anakmu. Kalau kubawa dia bagaimana aku mencari kerja?" Farida masih bersungut-sungut. Bahkan ia tak perdulikan pada tangisan bayinya. "BAWA DIA PADA AYAH KANDUNGNYA!" gertakku penuh amarah. Entah terbuat dari apa hati perempuan yang dijodohkan denganku ini. Bahkan wajah bayi ini tak ada miripnya sama sekali denganku. Juga dengam Farida. Namun aku menyadari mirip siapa anak tak berdosa ini. "A--apa maksudmu, Mas?" "
Pov. Sita ** Aku benar-benar terkejut saat melihat mas Firman sudah berdiri di ambang pintu rumah orang tuaku. "Sita." Dia menyebut namaku dengan aura penyesalan. Apa maksudnya lelaki ini datang kesini. Andai tak ada yang namanya etika. Ingin rasanya kuusir saja. Tak menjawab mas Firman, aku langsung masuk melewatinya tanpa menatap. Namun ibu dan bapak juga muncul di belakangnya dan memberitahuku bila mas Firman datang umtuk meminta maaf "Nak Firman datang untuk minta maaf, Ta. Jadi bapak sama ibu menerima." Aku hanya duduk diam dan mendengarkan. "Aku datang ingin minta maaf, Ta. Aku banyak salah sama kamu. Akulah yang salah karna nggak jujur dari awal. Dan aku sudah menjalani hukuman yang kamu berikan. Jujur saja, apa yang kamu lihat kemarin itu, sebenarnya sudah lama terjadi. Sebab itu aku berani menikahimu. Namun aku juga salah sebab tak jujur padamu." Panjang lebar mas Firman menjelaskan. Namun bukannya Simpati aku merasa muak mende