POV. DEWI.
***Aku menangis.Pernah menangis. Bahkan berhari-hari kuluapkan kecewa dan sakit hatiku pada Tuhan. Bantal dan sajadah biru pemberian almarhum ibunya mas Pras menjadi saksi bagaimana aku meluapkan sakit hatiku atas apa yang telah dilakukan putranya padaku.“Ijinkan aku menikahi Aini, Sayang.”Sudah kuduga. Ini sudah menjadi firasatku beberapa bulan ini. Saat kawan lamaku tak lagi datang bertamu. Suamiku juga semakin sibuk dan kerap lembur. Bahkan mas Pras pernah tak pulang semalaman. Alasannya lembur hingga pagi.Kawan yang datang bertamu. Ternyata bukan hanya sekadar ingin bertanya kabar, tapi ternyata ingin juga mencuri apa yang menjadi milikku.Mungkin aku bisa meraung marah, andai hanya perempuan itu yang memaksa. Namun, ini mas Pras sendiri yang meminta ijin.Lama aku berusaha meredam gemuruh badai yang dalam hati.Di antara kepingan hatiku yang berserak atas permintaan mas Pras. Ada satu hal yang aku sadari, bila mas Pras sudah tak nyaman denganku. Bahkan janji untuk setia dalam keadaan ada anak atau tanpa anak, semua sudah terlupa seiring dengan keinginanya menikahi kawan lamaku yang sudah menjanda.“Apa maksudnya, Mas?”Wajah basahku menatap wajah bersalah mas Pras. Tak kusangka lelaki yang mengurung rinduku begitu rapat, ternyata bisa setega ini meminta hal yang sungguh ia tahu ini akan menyakiti dengan sangat.“Maaf, Sayang. Aku nggak mau berdosa dengan menjalin hubungan diam-diam di belakangmu.”“Ya, Allah.” Kutekan dadaku sekuat mungkin. Ini sungguh sakit. Jadi firasatku dan apa yang kulihat hari itu ternyata benar adanya.“Dewi.”Mas Pras coba menyentuhku yang sudah tersedu kuat.“Jangan sentuh, Mas!”Aku tepis jemari Mas Pras yang coba menggenngam jemariku. Aku merasa ditipu oleh lelakiku. Mengapa Aku yang menahan rindu hanya untuk dia, mengurangi interaksi dengan lawan jenis hanya demi menjaga perasaannya dan marwahku sebagai seorang istri yang patuh, tapi dia yang baru hadir sekedar mampir di rumah kami, bisa membuat mas Pras melupakan janji itu.Mereka berdua telah mendorongku ke jurang kesakitan yang tak bertepian.“Dewi. Maaf, Sayang!”Mas Pras merampas tubuhku yang terguncang hebat.Memanglah sakit rasanya.lelaki ini memeluk, berusaha menenangkanku setelah menggoreskan luka yang begitu dalam.Ini seperti kepalsuan cinta yang mas Pras berikan padaku.“Kenapa kamu tega, Mas. Apa arti janji yang dulu terucap itu, kalau dia mampu membuatmu berkhianat.”Aku tergugu lagi.Bahkan di tangisanku bukan hanya ada rasa sakit tapi juga ada amarah yang beriak.Aku seolah tak mengenal mas Pras.“Maaf.”“Sejak kapan kalian berkhianat di belakangku?”“Dewi,”“Jawab, Mas.”“Aku hanya kasihan pada Aini. Dan mungkin saja kita bisa punya anak darinya. Anak kita. Aku janji akan adil.”Kudorong kuat tubuh mas Pras. Kupukuli dada yang dulu menjadi tempatku bersandar. Mana saja bagian tubuhnya yang bisa kujangkau kuha-jar sebisaku.Kata-katanya sungguh menyakitiku. Setega apa lelaki yang selama ini kutemani tidurnya.Bahkan kata-kata manis yang dulu menjadi kiasan romantis di antara kami, kini seolah selumbar bisa mematikan.Aku benar-benar menangis kala itu.Aku tergugu dalam rasa sakit yang mas Pras dan kawan lamaku berikan.Namun keteguhan mas Pras ingin menikahi Aini, membuatku undur diri dalam kesedihan yang mendalam.Aku tersedu-sedu begitu lama. Namun akhirnya aku sadar bila masa berputar membawa bukan hanya bahagia, kadang rasa sakit dan kesedihan juga mengambil porsinya.“Pergilah, Mas!” kataku akhirnya.Tentu berat.Tapi lelakiku inginkan ini semua.“Dewi, aku akan pulang, Sayang.”“Pergi, Mas!”Lalu mas Pras benar-benar pergi sore itu. Melangkah menerobos hujan demi membagi hatinya dengan wanita lain yang kemarin datang bertamu ke rumah kami.Sudah.Tangisan itu sudah selesai.Walau perihnya masih membuatku tertatih. Namun, semua luka perlahan akan sembuh. Begitupun dengan lukaku.Janjiku bertemu Hera sore ini harus tertunda sebentar, sebab rinai hujan kembali turun. Padahal mentari bersinar cukup terik beberapa hari ini.“Nanti aku kabari kalau hujan sudah redah, Wi.”“Oke kita ketemu di café Smile aja. Disana ada menu pisang bakar. Aku pengen coba.”Lalu pesan masuk dari Hera bila sedang on the way, membuatku juga harus bersiap.Sudah saatnya aku jalan-jalan keluar. Mungkin menghirup udara segar di luar sana dan bertemu kawan-kawan lain, bisa sedikit mengobati kegamangan dalam hatiku.Ku ambil pakaian kasual. Jelana jeans hitam dan blouse biru bergambar teddy bear menjadi pilihanku.Kusisir rambut sebahuku dan menguncirya menjadi satu.Hera dan suaminya akan menjemputku. Suami Hera juga bekerja di tempat yang sama dengan mas Pras hanya beda Divisi saja. Namanya mas Arman.Mas Arman akan mengantarkan kami saja. Suami Hera itu mungkin mengerti bila ibu-ibu juga ingin me time. Terutama aku.Sepatu kets warna coklat menjadi pilihanku di sore yang masih mendung ini.Aku duduk di ruang tamu agar bisa melihat kalau Hera sudah datang.Ku ambil ponsel dari dalam tas yang tak berhenti bergetar sejak tadi.Lalu netraku memicing melihat siapa yang melakukan panggilan berulang kali.Pov. Dewi***Kumatikan ponsel yang tak henti berdering. Ku_reject berulang kali panggilan mas Pras. Ada apa lagi menelpon sore-sore begini.Bukankah dia sedang menikmati masa indahnya bersama sahabat lawasku. Bahkan aku berharap, apa yang mas Pras inginkan bisa tercapai dengan menikahi Aini.Mungkin akulah yang memang tak bisa memberinya keturunan. Dan mas Pras bosan dengan kata setia.“Mungkin kita bisa punya anak bersama.”Begitu katanya. Namun kalimat itu sungguh menyakitiku. Aku bukan perempuan ikhlas saat suamiku mendua demi mendapatkan keturunan. Kurasapun mereka bermain di belakangku bukan karna inginkan keturunan.Laki-laki dan perempuan dewasa rela berkhianat diam-diam, apalagi yang mendorong keduanya kalau bukan nafsu.Lukaku belum sembuh. Bahkan perihnya kadang-kadang masih membuatku terbangun tiba-tiba dan meneteskan air mata. Tiga minggu lamanya, hampir empat minggu. Aku dan mas Pras tak pernah bertemu. Beberapa helai pakaian kerjanya yang tertinggal di dalam lemari d
Pov. Dewi*** Kuamati wajah Aini yang tiba-tiba kehilangan senyum. Bahkan keceriaan yang tadi ia tampilkan di wajah berpoles make up yang cukup tebal kini hilang berganti dengan raut terkejut.Mungkin ia tak menyangka bila aku benar-benar sudah tahu tentang pernikahannya dengan mas Pras.Perempuan yang jilbabnya semakin pendek ini kulihat diam tak berkutik. Bahkan begitu canggung senyum yang berusaha ia lemparkan.Sementara Hera menatap ke arah Aini dengan sinisnya, membuat istri muda mas Pras ini semakin pucat.Lalu bisik-bisik pengunjung di dekat kami jelas terdengar mereka mencibir Aini. Bahkan beberapa di antara mereka kudengar membandingkan wajah Aini dan wajahku. Ada pula yang mencibir pakaiannya yang tertutup tapi tak ada akhlak dengan menjadi pelakor.Walaupun aku tak menyebut Aini demikian sebab kutahu mas Pras juga menginginkan menjalin hubungan dengan kawanku ini, tapi anggapan di masyarakat tetaplah wanita kedua yang salah.“Kok diam? Jawab dong!” Hera tak tahan untuk ta
Akhirnya _me time_ku bersama Hera gagal. Curahan hati yang sedari tadi telah kusiapkan akhirnya menjadi curahan omelan dan kemarahan kawanku ini.Bahkan setelah kepergian Aini, Hera masih meluapkan amarahnya dan meladeni pertanyaan beberapa pengunjung yang kepo dengan kejadian tadi.Sementara Aini yang kutohok dengan kata-kata indah tadi, semakin malu dengan air mata yang melaju deras. Perempuan perebut itu akhirnya memilih meninggalkan cefe ini dengan wajah memerah dan diiringi terikan mencemoh dari pengunjung.Bisa-bisanya ia juga datang disini dan mempermalukan dirinya sendiri.Dan apa tadi katanya mas Pras tak bersamanya.Kemana lelaki itu. Harusnya mereka menikmati masa-masa indahnya pengantin baru mereka.Bukankah mas Pras mengatakan ingin punya anak dari perempuan itu."Dasar perempuan nggak tahu diri. Nggak punya kaca apa ya?""Cepet habisin, Her. Bentar lagi suamimu datang.""Kamu kok nggak jambak dia tadi sih? Gemes tahu!"Aku tertawa kecil mendengar kemarahan Hera.Siapa bi
"Dewi, tolong dengarkan aku!"Mas Pras mencengkal pergelenganku saat kuminta ia untuk pulang ke rumah istri mudanya.Tentu saja aku terkejut melihat lelakiku ini ada disini. Meski rasa rindu tak bisa kuenyahkan. Namun rasa sakit atas pengkhianatannya mampu menahanku agar tak memeluk tubuh tegapnya.Bahkan saat ia ingin membantu membawa sebagian belanjaanku, kutolaknya."Kenapa kesini, Mas? Nggak enak sama Aini. Kamu sama dia waktunya satu bulan dan aku, tahu dia nggak mau kamu datang menemuiku."Kutepis mas Pras, lalu kukeluarkan kunci dari dalam tas selempang yang tadi kugunakan.Biasanya aku dan mas Pras akan menyimpan kunci di bawah keset kaki bila kami sama-sama berangkat kerja.Agar bila salah satu di antara kami pulang duluan tetap bisa masuk ke rumah tanpa saling menunggu.Sebenarnya dulu kunci pintu ini ada dua. Namun salah satunya hilang entah kemana. Mungkin saja aku yang lupa menyimpannya dimana."Tadi mas mau masuk tapi di bawah keset nggak ada kunci."Mas Pras tak menangg
Pov. Dewi***"TEGA KAMU YA!" Mbak Widia meraung marah dan melampiaskan rasa kecewanya pada mas Pras. Mbak Widia adalah kakak tertua mas Pras. Dia satu-satunya ipar yang kupunya. Walau hubungan kami sangat baik, tapi aku sangat jarang menyampaikan kesusahan ataupun masalah rumah tanggaku pada mbak Widya. Beliau pun juga jarang tinggal di kota ini, sebab ia lebih banyak menghabiskan waktu di Surabaya bersama suaminya yang sibuk dengan usaha toko kain mereka. "Maaf, Mbak! Saya benar-benar khilaf. "Khilaf katamu! Khilaf sampai menikahi perempun tak tahu diri itu. Dimana kalian menikah? Siapa yang jadi saksinya. Jangan-jangan kalian hanya kumpul kebo!" Mas Pras bersimpuh di hadapan mbak Widia yang sedang di bakar amarah. Memohon maaf atas khilafnya pada pernikahan kami. Khilaf katanya? Khilaf apa yang menyakitkan begini mas. Sedu sedan di antara rinai air mataku membuat mbak Widia tak kuasa menahan air mata di antara kemarahannya. Kami berdua me
Pov. Dewi *** Masa berlalu meninggalkan kenangannya pada tiap-tiap musim. Ada luka dan perih yang menjejas jelas, tapi aku tak memungkiri cinta juga pernah hadir begitu jelas. Bukan pernah, tapi mungkin masih. Hanya saja aku tak sanggup membawa hatiku yang terluka dalam kehidupan sosialku. Aku butuh tenaga dan hati yang damai untuk tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sakit memang sakit. Namun aku butuh kewarasan. Sebab itu aku memilih melepaskan rasa sakitku dengan caraku sendiri. "Hukumlah aku sayang. Asal jangan minta perceraian. Aku nggak sanggup kehilangan kamu." Mas Pras memeluk erat. Bahkan ia nyaris tak melepaskanku saat mbak Widya sudah pulang meninggalkan kami berdua saja. Kakak iparku itu tadi bahkan minta maaf sambil menangis memelukku. Beliau minta maaf atas apa yang adiknya lakukan padaku. Mungkin aku sedikit beruntung mendapatkan ipar sebaik mbak Widya. "Jangan gini, Mas. Pulanglah Aini menunggumu." Kal
POV. Pras***Hatiku terseok-seok di antara dua perempuan yang mengisi hidupku. Kupikir aku lelaki yang kuat iman. Kupikir aku lelaki yang bisa mengendalikan cintaku hanya untuk Dewi seorang. Kupikir aku lelaki setia yang patut di perhitungkan di zaman modern sekarang ini.Nyatanya aku hanyalah pecundang cinta yangtega berkhianat di atas ikatan suci yang pernah kujanjikan untuk Dewi seorang.Kehadiran kawan lama istriku yang kusangka lugu, rupanya berhasil membawaku pada jurang kehancuran yang paling dalam.Benar kata Dewi. Aku bukan menikahi Aini karna hanya ingin punya keturunan. Tapi karna nafsu dunia yang tak bisa kutahankan.Bahkan diam-diam wanita berwajah lugu dan bermulut manis itu mampu membuaiku siang itu. Bukan di hotel mewah atau di rumah kost sederhana yang ia tempati.Tapi kehadirannya yang memaksa berjumpa di siang itu, membuat aku berhasil mencumbui dirinya di ruang tengah.Ruangan dimana aku kerap menuntut Dewi untuk memuaskanku.“Aini, ini salah.”“Tapi kamu udah nye
Pov. Dewi***Tak perlu menunggu waktu yang lama untuk rasa sakit yang kualami. Memang tak serta merta cinta itu bisa kuhilangkan. Namun, sakit ini seolah menikamku begitu kuat. Dengan bantuan Hera dan suaminya. Aku dibantu salah seorang pengacara muda yang masih kerabat dari mas Arman.Bukan soal apa membayar pengacara. Tapi untuk masalah harta gono gini aku tak ingin berdebat dengan mas Pras. Cukuplah rasa sakitku atas pengkhianatan yang dilakukannya bersama kawan lamaku. Namun untuk urusan harta, walau tak banyak, tapi aku tak ingin merugi lahir batin.Cukuplah batinku tersiksa sedemikian rupa, tapi aku butuh melanjutkan hidup dan kupastikan harta yang kuhasilkan bersama mas Pras bisa menjadi milikku. Biar saja dia dan perempuan itu mulai lagi dari awal.Agar perempuan itu tahu bagaimana memulai semuanya dari nol. Minimal mereka harus merasakan bagaimana repotnya bila ingin punya rumah sendiri. Kulihat di kursi sebelah mas Pras tertunduk. Sesekali kurasa ia menatap ke arahku. Na