Share

Bab. 6

POV. DEWI.

***

Aku menangis.

Pernah menangis. Bahkan berhari-hari kuluapkan kecewa dan sakit hatiku pada Tuhan. Bantal dan sajadah biru pemberian almarhum ibunya mas Pras menjadi saksi bagaimana aku meluapkan sakit hatiku atas apa yang telah dilakukan putranya padaku.

“Ijinkan aku menikahi Aini, Sayang.”

Sudah kuduga. Ini sudah menjadi firasatku beberapa bulan ini. Saat kawan lamaku tak lagi datang bertamu. Suamiku juga semakin sibuk dan kerap lembur. Bahkan mas Pras pernah tak pulang semalaman. Alasannya lembur hingga pagi.

Kawan yang datang bertamu. Ternyata bukan hanya sekadar ingin bertanya kabar, tapi ternyata ingin juga mencuri apa yang menjadi milikku.

Mungkin aku bisa meraung marah, andai hanya perempuan itu yang memaksa. Namun, ini mas Pras sendiri yang meminta ijin.

Lama aku berusaha meredam gemuruh badai yang dalam hati.

Di antara kepingan hatiku yang berserak atas permintaan mas Pras. Ada satu hal yang aku sadari, bila mas Pras sudah tak nyaman denganku. Bahkan janji untuk setia dalam keadaan ada anak atau tanpa anak, semua sudah terlupa seiring dengan keinginanya menikahi kawan lamaku yang sudah menjanda.

“Apa maksudnya, Mas?”

Wajah basahku menatap wajah bersalah mas Pras. Tak kusangka lelaki yang mengurung rinduku begitu rapat, ternyata bisa setega ini meminta hal yang sungguh ia tahu ini akan menyakiti dengan sangat.

“Maaf, Sayang. Aku nggak mau berdosa dengan menjalin hubungan diam-diam di belakangmu.”

“Ya, Allah.” Kutekan dadaku sekuat mungkin. Ini sungguh sakit. Jadi firasatku dan apa yang kulihat hari itu ternyata benar adanya.

“Dewi.”

Mas Pras coba menyentuhku yang sudah tersedu kuat.

“Jangan sentuh, Mas!”

Aku tepis jemari Mas Pras yang coba menggenngam jemariku. Aku merasa ditipu oleh lelakiku. Mengapa Aku yang menahan rindu hanya untuk dia, mengurangi interaksi dengan lawan jenis hanya demi menjaga perasaannya dan marwahku sebagai seorang istri yang patuh, tapi dia yang baru hadir sekedar mampir di rumah kami, bisa membuat mas Pras melupakan janji itu.

Mereka berdua telah mendorongku ke jurang kesakitan yang tak bertepian.

“Dewi. Maaf, Sayang!”

Mas Pras merampas tubuhku yang terguncang hebat.

Memanglah sakit rasanya.

lelaki ini memeluk, berusaha menenangkanku setelah menggoreskan luka yang begitu dalam.

Ini seperti kepalsuan cinta yang mas Pras berikan padaku.

“Kenapa kamu tega, Mas. Apa arti janji yang dulu terucap itu, kalau dia mampu membuatmu berkhianat.”

Aku tergugu lagi.

Bahkan di tangisanku bukan hanya ada rasa sakit tapi juga ada amarah yang beriak.

Aku seolah tak mengenal mas Pras.

“Maaf.”

“Sejak kapan kalian berkhianat di belakangku?”

“Dewi,”

“Jawab, Mas.”

“Aku hanya kasihan pada Aini. Dan mungkin saja kita bisa punya anak darinya. Anak kita. Aku janji akan adil.”

Kudorong kuat tubuh mas Pras. Kupukuli dada yang dulu menjadi tempatku bersandar. Mana saja bagian tubuhnya yang bisa kujangkau kuha-jar sebisaku.

Kata-katanya sungguh menyakitiku. Setega apa lelaki yang selama ini kutemani tidurnya.

Bahkan kata-kata manis yang dulu menjadi kiasan romantis di antara kami, kini seolah selumbar bisa mematikan.

Aku benar-benar menangis kala itu.

Aku tergugu dalam rasa sakit yang mas Pras dan kawan lamaku berikan.

Namun keteguhan mas Pras ingin menikahi Aini, membuatku undur diri dalam kesedihan yang mendalam.

Aku tersedu-sedu begitu lama. Namun akhirnya aku sadar bila masa berputar membawa bukan hanya bahagia, kadang rasa sakit dan kesedihan juga mengambil porsinya.

“Pergilah, Mas!” kataku akhirnya.

Tentu berat.

Tapi lelakiku inginkan ini semua.

“Dewi, aku akan pulang, Sayang.”

“Pergi, Mas!”

Lalu mas Pras benar-benar pergi sore itu. Melangkah menerobos hujan demi membagi hatinya dengan wanita lain yang kemarin datang bertamu ke rumah kami.

Sudah.

Tangisan itu sudah selesai.

Walau perihnya masih membuatku tertatih. Namun, semua luka perlahan akan sembuh. Begitupun dengan lukaku.

Janjiku bertemu Hera sore ini harus tertunda sebentar, sebab rinai hujan kembali turun. Padahal mentari bersinar cukup terik beberapa hari ini.

“Nanti aku kabari kalau hujan sudah redah, Wi.”

“Oke kita ketemu di café Smile aja. Disana ada menu pisang bakar. Aku pengen coba.”

Lalu pesan masuk dari Hera bila sedang on the way, membuatku juga harus bersiap.

Sudah saatnya aku jalan-jalan keluar. Mungkin menghirup udara segar di luar sana dan bertemu kawan-kawan lain, bisa sedikit mengobati kegamangan dalam hatiku.

Ku ambil pakaian kasual. Jelana jeans hitam dan blouse biru bergambar teddy bear menjadi pilihanku.

Kusisir rambut sebahuku dan menguncirya menjadi satu.

Hera dan suaminya akan menjemputku. Suami Hera juga bekerja di tempat yang sama dengan mas Pras hanya beda Divisi saja. Namanya mas Arman.

Mas Arman akan mengantarkan kami saja. Suami Hera itu mungkin mengerti bila ibu-ibu juga ingin me time. Terutama aku.

Sepatu kets warna coklat menjadi pilihanku di sore yang masih mendung ini.

Aku duduk di ruang tamu agar bisa melihat kalau Hera sudah datang.

Ku ambil ponsel dari dalam tas yang tak berhenti bergetar sejak tadi.

Lalu netraku memicing melihat siapa yang melakukan panggilan berulang kali.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tetaplah bertahan biar kamu bisa meratapi nasib dan mengasihani diri sendiri.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status