Share

AKU DITALAK KARENA TIDAK BEKERJA
AKU DITALAK KARENA TIDAK BEKERJA
Author: Firsyaka

sikap Revan yang berubah

Suamiku marah karena di matanya aku terlihat santai dan berleha-lehe. Dia mengeluh capek karena harus mencari nafkah seorang diri. Dulu dia tidak pemarah seperti ini. Ada apa sebenarnya? Apa yang coba dia sembunyikan dariku?

 

Bab 1

“Enak banget, kamu! suami capek-capek kerja, kamu malah enak-enakan nonton televisi sambil makan cemilan!” teriak Mas Revan.

 

Aku terlonjak mendengar suara bariton yang terdengar dari arah ruang tamu. Itu suara Mas Revan_suamiku,  karena asyiknya nonton TV sampai tidak mendengar lelakiku pulang. Sekarang sudah jam 21.00, dia telat pulang, biasanya setelah Magrib sudah sampai rumah.

 

“Tak biasanya lelaki yang bertubuh atletik itu teriak-teriak sambil ngomong yang menusuk sanubariku, itu bukan sifatnya.

 

 Tapi kenapa sekarang begitu? Pikiranku berkecamuk, apa yang terjadi dengan suamiku? batinku.

“Mas, sudah pulang?” kucium punggung tangannya dengan takzim.

 

“Tumben, Mas, pulang terlambat? apa Mas lembur?” kucecar lelaki yang berhidung mancung itu.

“Mas pulang seperti biasa, hanya tadi habis nongkrong sama teman-teman,” ketus  suamiku.

“Sudah makan belum, Mas? Ini aku sudah masak makanan kesukaanmu. Ada masakan jengkol, rendang, sama tumis daun pepaya.” Aku berjalan mengambil piring dan sendok di rak  untuk suamiku.

“Mas sudah makan tadi di luar sama teman, sekarang mau langsung istirahat, capek banget.” Mas Revan berlalu  dan pergi ke kamar di lantai dua.

“Oh ya, Manaf mana kenapa tidak kelihatan?” Suamiku berhenti sejenak lalu menengok ke belakang dan menatapku tajam.

“Sudah tidur, Mas, dari tadi. Makanya aku duduk santai sambil menunggu Mas pulang.” Aku sambil  membereskan makanan yang gak jadi dimakan oleh suamiku.

 

Di dalam kamar aku melihat Mas Revan sedang memegang benda pipih berbentuk kotak, sambil asyik memainkan jemarinya dengan senyum menyungging di bibirnya. Tidak tahulah dengan siapa lelakiku berkirim pesan.

 

“Mas, mau aku pijit?” rayuku sambil  memeluk tubuh atletiknya dari belakang.

“Boleh, kebetulan Mas lagi tidak enak badan, badan pada sakit,” jawabnya dengan antusias.

 

Saat suamiku membuka kausnya, mataku terbelalak melihat kenyataan di depan mata. Di dada bidangnya banyak bekas gambar bibir perempuan dengan lipstik merah terang. Pikiranku mulai tak karuan, tubuhku lunglai seketika, butiran kristal tidak terasa jatuh dari netra mataku, kututup mulut ini dengan kedua tanganku agar tidak bersuara.

 

“Apa yang kaulakukan di belakangku, Mas? Batinku.

Aku mulai memijat-mijatnya dari ujung kaki dulu, baru ke betisnya. Tanganku bekerja tapi pikiranku entah berkelana ke mana.

 

“Urutnya yang benar! Kayak tak punya tenaga, tidak berasa tahu!” bentaknya membuatku terlonjak kaget.

“Ma-maaf, Mas, mungkin aku capek jadi tenagaku berkurang,” dalihku sambil menyeka buliran air yang menetes di pipi dengan punggung tanganku.

 

“Memangnya, kamu seharian ngerjain apa? Orang tidak kerja, cuma tiduran, lihat TV. Terus capek apanya?” Cecarnya dengan tatapan mata elangnya membuatku tertunduk takut.

 

“Mas, kenapa ngomongnya begitu? Picik banget pikiranmu. Kamu  pikirlah! Siapa yang membereskan rumah setiap hari, kalau bukan aku! Mas kira baju kotor bisa bersih sendiri? Piring kotor bisa bersih sendiri terus jalan sendiri ke raknya? Lantai kotor bisa bening sendiri? Tanaman  di depan bisa menyiram sendiri? Belum lagi anak kita yang masih balita, siapa yang mau momong, apalagi sekarang dia lagi aktif-aktifnya. Memang itu semua tidak pakai tenaga?” belaku tak terima dianggap santai-santai di rumah.

 

“Kenapa kamu jadi ceramah kayak ibu ustazah?” timpalnya berang.

“Mas yang mulai dulu,” sambungku.

“Harusnya Mas yang marah, setiap hari pusing sendirian memikirkan pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan. Mas harus kerja sendiri, kamu tidak mau kerja bantu suami,”  terangnya lagi  seraya  tatapan matanya menusuk jantungku dan suaranya naik satu oktaf.

 

“Bukan, bukan aku tidak mau, Mas. Tapi kalau aku kerja siapa yang jaga Manaf?” jawabku seraya memegang kedua tangannya.

 

Kulihat dia mendengkus dan kedua tangannya melepaskan genggaman tanganku lalu menarik rambutnya dengan kasar.

 

“Kalau kayak begini terus, Mas bisa stres!” berangnya.

“Kamu itu kenapa sih, Mas? Akhir-akhir ini sikapmu berubah tidak seperti yang dulu, penuh kelembutan dan kehangatan,” tanyaku lembut.

 

“Aku kangen Mas Revan yang dulu, yang perhatian, humoris, dan penyayang,” lirihku dengan air mata ini tak terasa mengalir lagi tanpa perintah.

 

“Mungkin sekarang aku sudah bosan dengan kehidupan rumah tangga seperti ini terus, capek!” serunya emosi.

 

“Apa Mas punya wanita lain?” tanyaku penasaran seraya menatapnya penuh selidik.

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Indira!” bentaknya seraya telunjuknya mengarah ke wajahku.

 

“Tidak perlu teriak! Kupingku masih normal untuk mendengar,” jelasku dengan santai, namun sakit hati ini mendengar bentakannya.

 

Tidak lama kemudian telepon seluler Mas Revan berdering. Ada panggilan masuk, lalu dia mengangkatnya sambil berjalan ke luar kamar dan membanting pintu dengan keras.

 

Aku juga keluar hendak ke dapur mau mengambil minum, sedari tadi tenggorokanku kering karena adu mulut dengannya sambil mataku mencari keberadaan lelaki pemarah itu. Saat kulihat ternyata dia lagi ngomong sama seseorang lewat sambungan telepon selulernya di teras belakang, samar-samar kudengar di seberang sana suara perempuan.

 

Waktu menjelang pagi, tapi mata ini sulit untuk aku pejamkan. Aku bergegas bangun dan menunaikan salat sunah setiap kali hati ini di landa kecemasan. Kupanjatkan doa kepada Sang Khalik agar dimudahkan dalam menapaki bahtera rumah tangga ini.

 

Setelah salat Subuh, seperti biasa aku memasak untuk sarapan dan bekal Mas Revan. Walau hati ini masih kesal karenanya, tapi melayaninya adalah kewajibanku sebagai istri. Kukesampingkan ego ini demi baktiku pada suami.

 

“Mas, ayo sarapan!” Aku menata masakan di atas meja  lalu mengambil piring dan menyendokkan nasi untuknya.

Mas Revan keluar dari kamar mengenakan baju kemeja biru dan jam tangan membuatnya semakin gagah dan keren.

 

Kami duduk bersama, hening, tak ada suara, hanya ada suara piring dan sendok yang saling beradu. Di raut wajahnya masih terlihat amarah sisa pertengkaran semalam.

 

“Mas berangkat kerja dulu, tolong jaga Manaf!” serunya datar tanpa aksi dan ekspresi seperti biasanya.

“Iya pasti, hati-hati, Mas, di jalan,” jawabku dengan senyuman tanpa balasan.

 

Kumelangkah masuk, mataku tertuju pada benda pipih di atas kasur. Aku membukanya yang tanpa kunci, aku mengecek aplikasi berlogo gambar gagang telepon. Aku terkejut melihat banyaknya pesan mesra dan foto-foto Mas Revan dengan perempuan lain yang tidak senonoh.

 

“Mas ... sejauh inikah kau berbuat? Apa kau tidak memikirkan perasaanku?” gerutuku kesal sambil tanganku memukul-mukul kasur.

“Siapa perempuan itu ... ?”  gumamku  dengan  rasa penasaran  yang  meronta-ronta.

Sore menjelang malam, ketika azan Magrib berkumandang. Suara deru mobil terdengar di halaman, tidak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk. Kubergegas membukanya.

 

“Mas,” sapaku ramah dan tak lupa senyum untuknya.

“Mas, sudah makan belum? Ini makanan sudah siap,” tanyaku seraya meraih tas kerja  dari tangannya.

 

“Mas mandi dulu, gerah,” timpalnya dingin.

Selepas kami makan, kami bercengkerama sambil lihat acara TV. Kuberanikan  diri  bertanya tentang siapa wanita yang ada di HP-nya.

“Ma_mas, aku mau tanya, boleh enggak?” ucapku ragu.

“Mau tanya apa?” timpalnya dengan mata  yang tetap fokus pada acara televisi.

 

“Foto perempuan siapa di ponselmu?” tanyaku ragu seraya sesekali menatap wajahnya.

“Kamu buka-buka HP, Mas? Kamu lihat semuanya?” cecarnya penuh murka dan tatapan mata elangnya tak lepas menatapku.

 

“I_iya, Mas,” lirihku gugup.

“Pl***k, lancang kamu ya, itu privasi! Dasar tak punya etika!” geramnya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nisaaja Sabar
saat lihat banyak bekas bibir ditubuh suami knp diam saja? malah nanya yg chatt di hp
goodnovel comment avatar
Iftiati Maisyaroh
kereeen Kak...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status