Part 18Empat puluh hari sudah terlewati, kini keadaanku sudah lebih baik dari semula. Lelah. Berjuang sendirian mengatasi hati dan pikiran yang koyak. Seperti ini ternyata rasanya tertekan. Untung saja aku masih waras dengan tidak melakukan hal-hal apapun terhadap Abhi, anakku yang sudah terlihat gemuk--seperti cerita kebanyakan wanita tertekan di luaran sana. "Kita jadi pindah ke rumah kita, 'kan?" tanya Mas Fahmi tepat setelah Abhi habis dicukur rambutnya."Aku masih mau di sini," jawabku. Ini adalah kali pertama aku berbicara padanya. "Kamu boleh kembali ke sana kalau mau. Aku tidak melarang.""Hanum, akhirnya kamu bicara denganku," kata Mas Fahmi bahagia. Aku kembali diam. Bermain dengan bayiku. Selama ini, Mbak Hani, juga Mbak Rima--istri kakak pertama--sebenarnya sering bertanya tentang keadaanku. Mengapa aku seperti berbeda. Namun, aku hanya menjawabnya dengan kalimat, aku lelah setelah hamil sembilan bulan. "Hanum, maaf, kamu ada uang?" tanya dia lagi. "Uang buat apa?"Ma
Part 19Aku melirik jam di tangan. Sudah pukul sebelas siang. Sudah terlalu lama keluar rumah. Namun, hal yang sudah dimulai harus dituntaskan. Aku harus kembali ke daerah dimana tadi menemui Ema. Karena rumah Ema tidak jauh dari tempatnya mengajar. Jika mengendarai motor dari sekolah Mas Fahmi, maka jaraknya tidak sejauh dari rumah kontrakannya. Sebuah rumah yang tidak mewah. Aku memarkir kendaraan di halaman yang tidak luas. Sebelumnya, telah membeli cemilan untuk oleh-oleh. Dengan hati berdebar, aku mengetuk pintu yang tertutup. Seorang wanita yang wajahnya mirip dengan Ema membukakan pintu."Cari siapa, Mbak?""Ah, saya cari Ema, Bu,""Ema belum pulang. Mau menunggu?""Iya. Bolehkah?" tanya Hanum sopan. "Boleh. Silahkan masuk, Mbak ...."Aku masuk dan mengamati ruangan yang sederhana itu. Ema bukan berasal dari keluarga berada. Secara ekonomi sepertinya lebih mending keluargaku. "Mbak ada perlu apa ya?" tanya ibu Ema. "Ah, mau main saja, Bu. Mau antar barang Ema yang ketingg
Part 20Malam itu Mas Fahmi tidak pulang. Aku menunggu dia datang dan marah-marah agar orang rumah tahu tanpa aku harus capek-capek menjelaskan dari awal. Namun nyatanya, batang hidung Mas Fahmi tidak kelihatan. Tidak ada lagi pesan marah-marah yang aku terima dari mereka berdua. Sesekali kutatap wajah polos Abhi yang terlelap. Sungguh aku pun tidak menginginkan hal ini terjadi. Bayi yang baru lahir yang seharusnya sedang mendapat perhatian dan kasih sayang dari banyak orang, tapi dia melalui hari dengan sendirian tanpa aku mengajaknya bermain. Pikiranku tersita dengan masalah Mas Fahmi juga Ema. Aku memeluknya erat. Merasakan detak jantungnya di dada ini. Seharusnya Abhi saat ini ditemani ibu dan ayahnya yang menimang dengan bahasa kasih sayang. Wahai Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua? Tunjukkanlah kebenarannya, agar aku tidak larut dalam situasi yang membingungkan seperti ini. *Tiga hari Mas Fahmi tidak pulang. Mbak Hani yang juga sudah curiga dengan keada
Part 21"Mau mengelak apa lagi kalian?" Dengan tertatih berusaha untuk berdiri, aku berkata demikian. "Ema, kamu datang sama siapa?" tanya Mas Fahmi. "Berhenti bersandiwara Fahmi! Aku muak!" kataku.Ema mematung di depan pintu yang sudah ditutup. "Benar apa yang dikatakan teman-temanku ternyata. Ada seorang perempuan yang sedang menunggu suamiku di ruangan ini. Perempuan murahan yang mengganggu suami orang. Perempuan gatel yang sepertinya sudah tidak laku lagi bila dijual. Perempuan yang tidak punya harga diri karena rela menjadi simpanan suami orang padahal dia masih perawan. Betulkan, Ema?" kataku sinis. Aku tahu, yang tadi terucap adalah bahasa yang sangat kasar. Namun, dengan hal ini barangkali Ema akan terpojok lalu berkata jujur. "Hanum! Jangan berkata seperti itu!" Mas Fahmi membentak. "Kenapa diam, Ema? Kamu mengakuinya 'kan? Kamu sadar bila kamu memang wanita murahan, wanita rendahan, perempuan tidak laku?" Aku masih membatasi volume suara karena takut terdengar dari l
Part 22 POV EMACinta itu buta, kiranya memang benar adanya. Karena banyak perempuan yang menjadi bodoh karena perasaannya itu terhadap seorang laki-laki. Lima tahun berpacaran tentu bukan waktu yang singkat untuk kami berdua saling tahu sikap dan sifat masing-masing. Mas Fahmi seorang lelaki playboy. Menjalani hubungan yang putus nyambung, aku tahu jika pria yang sangat kucintai itu memiliki pacar lain. Termasuk Hanum. Perempuan mapan yang berprofesi sebagai PNS di rumah sakit. Aku bisa menang apa dari Hanum? Aku hanya seorang guru honorer di TK yang bayarannya jauh dari kata cukup. Akan tetapi, nyatanya cinta Mas Fahmi lebih besar padaku ketimbang Hanum.Mas Fahmi orang yang sangat menarik. Itu sebabnya pacarnya banyak. Dia juga suka begadang di malam hari. Untuk keburukannya yang lain, biarlah aku saja yang tahu. "Aku ingin menikahi kamu," ucapnya suatu hari. Siapa yang tidak suka bila dilamar orang yang dicintai? Terlebih, kami pasangan yang serasi. Sama-sama masih menjadi gur
Part 23Mulut ini masih diam tidak bersuara sedikitpun. Badan tiba-tiba terasa dingin karena baju seksi yang kupakai, ditambah lagi dengan permintaan yang keluar dari mulut Mas Fahmi. "Ema, bagaimana? Apa kamu mengizinkan aku menikah? Orang tuaku sudah menuntut aku untuk menikah secepatnya karena dikejar umur. Mereka merasa malu karena aku belum juga menikah dan membina rumah tangga. Kamu paham 'kan posisi mereka?" tanya Mas Fahmi saat aku hanya diam. Kali ini aku menatapnya dengan netra yang sudah berair. "Lalu, kamu anggap aku perasaanku ini, Mas? Kamu anggap apa, aku ini di mata kamu? Apa kamu tidak memikirkan perasaanku? Kenapa kamu tidak mengakui saja jika kita sudah menikah. Lalu kita menikah secara resmi, toh aku sudah bilang, Bapak tidak akan pernah bisa menjadi wali nikah. Meskipun aku menikah dengan orang yang mereka setujui, tetap saja aku akan menikah dengan wali hakim. Jadi, tidak ada bedanya. Aku ingin, kamu mengakuiku di hadapan mereka, di hadapan keluarga kamu, Mas.
Part 24“Maafkan aku, Ema. Bisnisku sedang tidak baik-baik saja,” kata Mas Fahmi.Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimanapun, kehilangan anak adalah sesuatu hal yang menyedihkan meski hamil dalam keadaan tidak diakui oleh siapapun. Tidak ada sepatah katapun yang mampu terucap dari bibir ini. Mas Fahmi merawatku dengan penuh kasih sayang. Ia rela tidak berangkat ke sekolah. Tetapi, saat malam tiba, ia pasti meminta izin untuk pulang. “Aku tidak mau Hanum curiga,” katanya.“Mau sampai kapan seperti ini, Mas?” tanyaku memastikan.“Bersabarlah!”“Kenapa kamu mengambil pilihan ini? Jika kamu tidak mampu, kenapa kamu harus memiliki istri dua?”“Ema, ambil hikmahnya saja! Dengan seperti ini, aku tidak akan pusing dengan biaya anakku kelak dengan Hanum. Karena dia adalah wanita yang mapan.”“Aku bukan wanita mapan, tapi aku membiayai semuanya sendiri.”“Jangan banyak pikiran, ya? Nanti kamu bakalan tidak lekas pulih. Nanti kalau sudah sembuh, kita akan buat anak lagi,” goda Mas Fahmi. Malam i
Part 25POV SANTIShock. Hal yang aku rasakan pertama kali saat mendengar pengakuan dari Ema. Bagaimana tidak? Aku adalah orang yang mengurus semua pernikahan Fahmi. Aku orang yang paling mendukung hubungannya dengan Hanum. Dan aku pula orang yang boleh dikatakan paling bahagia dengan pernikahan mereka.Akan tetapi saat ini, ada seorang perempuan yang mengaku menjadi istri Fahmi bahkan sebelum menikah dengan Hanum.Ema. Sosok yang selama ini kami kenal sebagai mantan pacar Fahmi, kini mengaku telah menikah dengan adikku. Awalnya se-keluarga menyetujui hubungan mereka. Namun, ucapan yang sering kami dengar dari keluarga Ema dan terasa cukup menyakitkan, membuat kami akhirnya melarang Fahmi untuk meneruskan hubungan mereka.Saat Fahmi mengenalkan sosok Hanum yang jauh lebih segalanya dari Ema, wajar bila satu keluarga langsung suka dan setuju. Ibarat kata, ditolak ikan teri, dapat ikan kakap. Semenjak itulah sosok Ema seakan lenyap dalam kehidupan kami. Hingga akhirnya dia datang pada h