Bayu mencoba untuk mengendalikan perasaannya dan memutuskan untuk bergabung dengan tamu-tamu lain yang sedang menari. Dia berharap bahwa dengan bergabung dengan kerumunan, dia bisa melupakan perasaan cemburunya.Namun, saat dia menari, matanya selalu kembali ke Bara dan Sapphire yang masih dansa bersama. Bayu bisa melihat bahwa Bara terlihat tidak nyaman, tapi Sapphire tampaknya sangat menikmati momen itu.Bayu merasa sedikit lega melihat bahwa Bara tidak terlalu menikmati dansa itu, tapi dia masih merasa cemburu karena Sapphire terlihat sangat dekat dengan Bara.Saat lagu dansa berakhir, Bara dan Sapphire berpisah dan Sapphire memandang Bayu dengan senyum yang seakan mengejek. "Hai, Bayu! Kamu tidak ingin dansa bersama aku?" tanya Sapphire dengan nada yang sedikit menggoda.Bayu merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan Sapphire, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Aku... aku tidak tahu, Sapphire. Aku tidak terlalu pandai menari," jawab Bayu dengan nada yang sedikit ragu.Sapphire
Baru hanya bisa pura-pura tersenyum. Padahal saat di bar tadi, Sapphire tiba-tiba berbicara dengan nada yang sedikit keras. "Kamu juga tahu, Bayu, aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya," kata Sapphire dengan mata yang sedikit mencorong.Bayu memandang Sapphire dengan mata yang sedikit terkejut. "Apa yang kamu maksud, Sapphire?" tanya Bayu dengan nada yang santai, tapi sedikit ragu.Sapphire tersenyum dengan nada yang sedikit menakutkan. "Apa kamu lupa? Aku tahu kamu adalah Liyana, Bayu. Aku tahu kamu telah menyamar sebagai Bayu untuk mengawasi aku dan Bara," kata Sapphire dengan nada yang sedikit keras.Bayu memandang Sapphire dengan mata yang sedikit tajam. Dia tidak menyangka bahwa Sapphire yang sudah tahu akan tentang identitasnya yang sebenarnya. Menggunakan itu sebagai ancaman bagi dirinya.Sapphire melanjutkan, "Aku ingin memberitahu kamu, Liyana, bahwa aku tidak ingin kamu ikut campur dalam hidupku dan Bara. Jika kamu tidak mau aku ikut campur dalam hidupmu, maka kamu harus dia
Bayu (Liyana) merasa sedikit terharu dengan kata-kata Bara. Dia tidak menyangka bahwa Bara akan begitu peduli dengan dirinya."Aku... aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, Bara," kata Bayu (Liyana) dengan nada yang sedikit ragu.Bara tersenyum dan memandang Bayu (Liyana) dengan mata yang sedikit hangat. "Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, Bayu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untuk kamu," kata Bara dengan nada yang santai.Bayu (Liyana) merasa sedikit lega dengan kata-kata Bara. Dia merasa bahwa dia tidak sendirian dan bahwa Bara akan selalu ada di sampingnya.Tapi, Bayu (Liyana) juga merasa sedikit khawatir. Dia tidak ingin Bara terlibat dalam konflik dengan Sapphire, dan dia tidak ingin Bara mengetahui tentang ancaman Sapphire terhadapnya."Aku... aku harus pergi sekarang, Bara," kata Bayu (Liyana) dengan nada yang sedikit ragu.Bara memandang Bayu (Liyana) dengan mata yang sedikit penasaran. "Apa yang terjadi, Bayu? Kamu tidak ingin berbicara denganku lagi?"
Bayu tersenyum dan memandang ke arah Ryven. "Hai, Ryven," kata Bayu dengan nada yang lembut.Ryven tersenyum dan memandang ke arah Bayu. "Hai, Bayu. Aku senang bisa bertemu dengan kamu lagi," kata Ryven dengan nada yang santai.Bayu memandang ke arah Ryven dan merasa sedikit bersemangat. Dia tidak bisa tidak memikirkan tentang betapa senangnya dia bisa bertemu dengan Ryven lagi."Aku juga senang bisa bertemu dengan kamu lagi, Ryven," kata Bayu dengan nada yang lembut.Ryven tersenyum dan memandang ke arah Bayu. "Aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu, Bayu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Bara," kata Ryven dengan nada yang serius.Bayu memandang ke arah Ryven dan merasa sedikit terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Ryven akan bertanya tentang hal itu.Ryven memandang ke arah Bayu dengan mata yang sedikit tajam. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Bara, Bayu. Apakah kamu sudah mulai merasa nyaman dengan peranmu sebagai "Bayu"?"
Bara memandang ke arah "nenek Liyana" dengan mata yang sedikit terheran-heran. Dia tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. "Nenek Liyana" yang seharusnya berusia lanjut, sekarang berperilaku seperti seorang wanita muda yang sedang jatuh cinta.Bara mulai merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan "nenek Liyana" ini. Dia mulai merasa bahwa "nenek Liyana" ini mungkin bukanlah Liyana yang sebenarnya.Tiba-tiba, Bara teringat akan sesuatu. Dia teringat akan cara "nenek Liyana" memasak, yang mirip dengan cara Liyana memasak. Dia juga teringat akan cara "nenek Liyana" berbicara, yang mirip dengan cara Liyana berbicara. Kini ia bingung.Bara memandang ke arah "nenek Liyana" dengan mata yang penuh dengan keraguan. "Siapa kamu, sebenarnya?" tanya Bara dengan nada yang santai."Nenek Liyana" tersenyum dan memandang ke arah Bara dengan mata yang sangat tajam. "Aku adalah istrimu Liyana, tentu saja," kata "nenek Liyana" dengan nada yang lembut dan menggoda.Tapi, Bara tidak percaya
Liyana (Bayu) memandang ke arah Ryven dan tersenyum lembut. Dia merasa sedikit lega karena Ryven tidak meminta dia untuk membuat keputusan sekarang. Namun, dia juga merasa sedikit bingung karena Ryven tampaknya memiliki perasaan yang lebih dalam terhadapnya."Baiklah, Ryven," kata Liyana (Bayu) dengan nada yang lembut. "Aku akan memikirkan tentang hal itu."Ryven tersenyum dan memandang ke arah Liyana (Bayu) dengan mata yang sangat tulus dan serius. "Aku senang kamu mau memikirkannya, Bayu," kata Ryven dengan nada yang santai. "Aku akan menunggu jawabanmu."Liyana (Bayu) merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons perasaan Ryven, dan dia juga tidak ingin menyakiti perasaan Bara cintanya. Namun, dia juga tidak ingin membiarkan Ryven memiliki harapan yang salah tentang perasaannya."Aku harus pergi sekarang, Ryven," kata Liyana (Bayu) dengan nada yang lembut. "Aku memiliki beberapa hal yang harus aku lakukan.""Mau pulang sekarang?" tanya Ryv
Bara memandang ke arah Bayu dengan lebih teliti, mencoba untuk mengingat dari mana dia mengenal wajah itu. Namun, dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Dia hanya tahu bahwa dia telah melihat wajah itu sebelumnya, tetapi dia tidak tahu kapan dan di mana."Bayu, kamu... kamu sebenarnya dari kota mana? Apa asli orang sini? Saya lupa," tanya Bara dengan nada yang sedikit penasaran.Bayu terkejut dengan pertanyaan Bara dan berusaha untuk tidak menunjukkan ketegangannya. "Aku dari ... dari kota lain, Pak Bara," jawab Bayu dengan nada yang santai.Bara memandang ke arah Bayu dengan ekspresi yang masih penasaran, tetapi dia tidak bertanya lagi. Dia hanya mengangguk dan kembali kepada pekerjaannya.Bayu merasa lega karena Bara tidak bertanya lebih lanjut tentang latar belakangnya. Dia tahu bahwa dia harus berhati-hati agar tidak mengungkapkan identitasnya yang sebenarnya.Saat Bayu kembali kepada pekerjaannya, dia tidak bisa tidak memikirkan tentang reaksi Bara tadi. Dia merasa bahwa Bara
Gustur menelan ludah. Tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ruangan itu terasa semakin sempit, seakan dindingnya bergerak mendekat."Laksmi, kamu tidak mengerti situasinya," katanya dengan suara rendah, hampir berbisik. "Semua ini... tidak semudah yang kamu kira."Laksmi menyipitkan mata. "Tidak semudah yang saya kira?" Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menusuk. "Saya sudah mempertaruhkan segalanya untuk Anda, Pak Gustur. Saya kehilangan pekerjaan, reputasi, teman, keluarga bahkan hampir kehilangan akal sehat karena ini!"Gustur mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tidak bisa memberimu bagianmu sekarang," katanya akhirnya. "Keadaan berubah. Ada... ada seseorang yang mulai mencium bau busuk dari semua ini."Laksmi mengerutkan dahi. "Seseorang?"Gustur mengangguk pelan. "Dani. Dia mulai bertanya-tanya soal hilangnya Liyana."Laksmi terdiam sejenak. Nama itu membuat bulu kuduknya meremang. Dani bukan orang yang mudah ditipu."Jadi, apa ren
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luar—dari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama “Titik Bening”:> “Sapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama ‘Arta Kencana’—pernah dengar dia sebut diam-diam.”Pesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam itu Bayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu. Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi. Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya. Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati. Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu. Tok. Tok. Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka. Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya. Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut. “Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar. Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.” Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini s
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se