Bayu menatap orang di hadapannya dengan napas memburu. Sosok itu—seseorang yang seharusnya tidak ada lagi di dunia ini—tersenyum miring, seolah menikmati keterkejutannya.“Kau... siapa sebenarnya?” suara Bayu bergetar. Ia berusaha mempertahankan ketenangannya, tapi dadanya terasa sesak.Orang itu melangkah maju, cahaya redup lampu jalan menyinari wajahnya yang familiar, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sorot matanya lebih gelap, lebih tajam.“Kau masih tidak mengenaliku, Liyana?” suaranya rendah, penuh sindiran.Bayu mengepalkan tangannya. Nama itu. Sudah lama ia tidak mendengarnya dari orang lain selain Ryven.“Kau salah orang,” jawabnya dingin. “Aku Bayu.”Orang itu terkekeh. “Oh, tentu saja. Bayu yang selalu berada di sisi Bara, kan?”Bayu merasakan hawa dingin menjalari tengkuknya. Orang ini tahu terlalu banyak.“Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu.” Orang itu mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit. “Aku
---Bara menatap nenek Liyana dari balik meja makan. Cahaya sore yang menembus jendela membuat keriput di wajah perempuan tua itu tampak lembut, hampir hangat. Ia sedang menuangkan teh ke dalam cangkirnya sendiri, lalu ke cangkir Bara dengan tangan yang sedikit bergetar.“Aku tahu Mas Bara suka teh yang agak pahit,” katanya, tersenyum pelan. “Masih ingat dulu kita sering minum teh di teras belakang? Kau selalu komplain kalau tehnya kebanyakan gula.”Bara terdiam, tak langsung menjawab. Ia memandang teh di cangkir, lalu meneguknya perlahan. “Iya. Aku ingat.”Nenek Liyana tertawa kecil, suaranya terdengar rapuh, tapi ada kehangatan yang aneh di dalamnya. “Kau terlalu jujur waktu itu. Tapi aku suka… aku suka Mas Bara yang jujur.”Bayu yang berdiri tak jauh di sudut ruangan hanya bisa menahan napas. Adegan itu membuat perutnya mual—bukan karena rasa jijik, tapi karena perasaan bercampur yang meletup tanpa permisi. Di satu sisi, ia lega k
Di Rumah Utama Bara menuangkan teh hangat ke dalam cangkir porselen, mengaturnya di atas nampan dengan tenang yang pura-pura. Di hadapannya, si “nenek Liyana” duduk di kursi malas, berselimut kain hangat, tatapannya penuh kasih. “Mas Bara,” panggil si nenek, lembut. “Kamu makin mirip ayahmu. Tapi lebih lembut. Lebih tulus.” Bara tersenyum tipis. “Saya cuma berusaha jadi orang baik, Bu—eh, maksud saya… kamu.” Ia masih kikuk, menyebut perempuan tua ini sebagai istrinya. Tapi sejak “Liyana” datang dalam wujud tua dan renta, semua orang di rumah menjadi lebih tenang. Seolah misteri itu telah selesai. Tapi tidak dengan Bara. Dalam diam, ia mempelajari gerak-gerik perempuan tua itu. Ia tidak bodoh. Namun, ia juga kelelahan mencari Liyana yang entah ke mana. Jadi mungkin, menerima kenyataan semu lebih baik daripada terus dihantui kehilangan. “Aku ingat pelukanmu, Mas. Dingin. Tapi selalu membuatku hangat,” ujar si nenek tiba-tiba. Bara menegang. Pelukan itu… hanya satu orang yang ta
---Di Taman Belakang, Pukul 04.27 PagiEmbun masih menetes di ujung daun saat Bara melangkah cepat ke luar rumah. Kepalanya dipenuhi spekulasi: kenapa nenek Liyana bisa lolos? Siapa yang membantunya? Atau… apakah dia tak selemah yang ia kira?Senter di tangannya menyapu tiap sudut taman, menyusuri jalur kerikil, menyusup ke balik semak bunga lavender.Dan di sanalah dia melihatnya.Nenek itu.Duduk di bangku kayu tua yang menghadap ke arah bukit. Rambutnya tergerai kusut, gaunnya sedikit kotor, tapi wajahnya... damai. Terlalu damai untuk seseorang yang katanya tak bisa bangun dari tempat tidur.“Nek!” seru Bara, langkahnya mempercepat. “Apa yang sedang Anda lakukan di sini?”Wanita itu menoleh perlahan, lalu tersenyum.“Aku hanya… mencari angin segar, Mas.”Mas. Bukan “Nak”.Bara menelan ludah. Ia duduk di sebelahnya, masih menjaga jarak. “Kenapa Anda pergi diam-diam? Pelayan pan
---Dini HariDi Dalam MobilMeski jam menunjukkan lewat tengah malam, Bara sudah duduk di kursi kemudi, mobil terparkir jauh dari vila utama. Ia menyalakan tablet kecil yang terkoneksi ke server pengawasan perkebunan. Jemarinya cepat, tajam, seperti pikirannya malam ini.Ia membuka rekaman CCTV di sekitar kamar tamu, ruang makan, halaman belakang. Matanya menyipit saat menemukan potongan waktu ketika “nenek Liyana” berdiri sendirian di dapur, seperti sedang berbicara... tapi tak ada siapa-siapa di sekitarnya.Bara menekan pause.“Ngomong dengan siapa dia?”Lalu ia mempercepat. Ada satu bagian aneh—nenek itu masuk ke gudang kecil di belakang rumah, tempat penyimpanan alat-alat tua. Ia keluar dua jam kemudian... membawa sesuatu dalam tas plastik hitam.“Kenapa harus diam-diam? Apa yang dia sembunyikan?”Bara menuliskan waktu kejadian itu. Niatnya sudah bulat. Pagi nanti, sebelum siapa pun bangun, ia akan ke g
Tepi Sungai, Masih Dini Hari.Bara berdiri mematung. Kata-kata sang nenek menggantung di udara, menusuk relung pikirannya seperti jarum-jarum halus."Aku mungkin bukan Liyana yang kau kenal, Mas... tapi aku adalah Liyana yang tersisa."Apa maksudnya? Kalimat itu tak memberi kejelasan, justru menyesakkan.“Liyana yang tersisa?” Bara mengulang pelan, setengah tak percaya. “Ibu bicara seperti seseorang yang... menyerah.”Sang nenek melangkah mendekat. Bayu langsung bergerak, berdiri setengah di depan Bara—refleks pelindung yang tak bisa ia kendalikan.Namun Bara mengangkat tangan, menghentikan Bayu tanpa berkata apa-apa.“Aku tidak menyerah, Mas Bara,” ucap si nenek tenang. “Aku hanya… menyadari, bahwa kadang cinta tak harus dikenali lewat wajah yang sama.”Bara menahan napas.Bayu, di sisi lain, nyaris kehilangan kendali.Berhenti. Jangan bujuk dia lagi dengan puisi-puisi palsu itu.“Kalau begitu…” Bara berkata perlahan, “katakan padaku satu hal. Apa yang kau ingat tentang pernikahan ki
Tepi Sungai, Masih Dini Hari.Bara berdiri mematung. Kata-kata sang nenek menggantung di udara, menusuk relung pikirannya seperti jarum-jarum halus."Aku mungkin bukan Liyana yang kau kenal, Mas... tapi aku adalah Liyana yang tersisa."Apa maksudnya? Kalimat itu tak memberi kejelasan, justru menyesakkan.“Liyana yang tersisa?” Bara mengulang pelan, setengah tak percaya. “Ibu bicara seperti seseorang yang... menyerah.”Sang nenek melangkah mendekat. Bayu langsung bergerak, berdiri setengah di depan Bara—refleks pelindung yang tak bisa ia kendalikan.Namun Bara mengangkat tangan, menghentikan Bayu tanpa berkata apa-apa.“Aku tidak menyerah, Mas Bara,” ucap si nenek tenang. “Aku hanya… menyadari, bahwa kadang cinta tak harus dikenali lewat wajah yang sama.”Bara menahan napas.Bayu, di sisi lain, nyaris kehilangan kendali.Berhenti. Jangan bujuk dia lagi dengan puisi-puisi palsu itu.“Kalau begitu…” Bara berkata perlahan, “katakan padaku satu hal. Apa yang kau ingat tentang pernikahan ki
---Masih dini hari, kamar utama terasa sesakBayu menutup pintu kamar perlahan, meninggalkan Bara yang masih berdiri membelakangi jendela. Langit di luar belum sepenuhnya terang, namun cahaya samar mulai menyusup di antara tirai. Bayu berjalan pelan menuju koridor, dadanya terasa seperti dipenuhi duri. Setiap langkah menjauh dari kamar Bara adalah langkah menuju keputusasaan yang harus ia telan sendiri.Ia tidak tidur malam itu.Di kamarnya yang gelap, Bayu duduk di lantai, menatap kosong ke arah dinding. Di meja kecil, tersimpan ponsel dengan satu pesan draf yang belum pernah ia kirim:"Pak, saya ini sebenarnya—"Ia menghapusnya. Lagi.Tangannya gemetar. Ia ingin jujur. Ingin melepaskan semuanya. Tapi wajah kedua orangtuanya selalu muncul di benaknya. Ibunya yang lembut, ayahnya yang keras tapi hangat. Mereka bukan hanya sandaran hidup—mereka adalah alasan kenapa ia harus bertahan menyamar sejauh ini.Bayu menarik napas panjang. “Aku harus temukan mereka... sebelum semuanya hancur.”
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam itu Bayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu. Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi. Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya. Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati. Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu. Tok. Tok. Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka. Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya. Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut. “Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar. Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.” Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini s
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in