Nenek Liyana, yang sebenarnya adalah Liyana yang menyamar, memergoki adegan tersebut dan marah. "Apa yang terjadi di sini?!" nenek bertanya dengan suara keras.Bayu berusaha melepaskan diri dari pelukan Abara. "Nyonya, tidak apa-apa! Abara hanya mabuk dan terjatuh!"Nenek Liyana mendekati mereka dengan mata marah. "Abara, kamu tidak bisa mengendalikan diri! Bayu, lepaskan diri dari pelukannya!"Abara, masih mabuk, membuka mata dan melihat nenek. "Liy... Liyana... kamu...?" dia berbicara tidak jelas.Nenek Liyana terkejut. "Abara, kamu mengenal aku?!"Bayu berusaha menenangkan situasi. "Nenek, dia hanya mabuk. Dia tidak tahu apa yang dia katakan."Namun, nenek Liyana sudah marah. "Bayu, bawa Abara ke kamar sekarang juga!"Nenek Liyana, yang masih marah, memandang Abara dengan tajam. "Abara, kamu tidak bisa mengendalikan diri! Bayu, bawa dia ke kamar sekarang juga cepat!" timpalnya lagi dengan berteriak.Bayu mengangguk dan membantu Abara berdiri. Abara masih terhuyung-huyung, tapi dia
"Pak Abara, aku tidak tahu apa yang tuan maksud. Aku hanya ingin membantumu dan Nyonya Liyana," kata Bayu, mencoba menjawab dan tetap tenang.Abara menatap Bayu dengan mata yang tajam, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Saya tidak percaya padamu, Bayu. Saya merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku."Bayu merasa hatinya berdebar, takut Abara akan menemukan kebenaran tentang identitasnya. "Pak Abara, aku benar-benar tidak tahu apa yang tuan maksud. Sungguh Aku hanya ingin membantumu dan Nyonya Liyana," kata Bayu sekali lagi, mencoba tetap tenang.Abara menghela napas, lalu berpaling dan hendak berjalan ke dalam kamar. Bayu menatapnya dengan perasaan lega, tapi juga khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. "Lebih baik kau tidur lagi denganku Bayu, sekarang saya takut jika tidur sendiri," ucapan itu membuat Bayu seakan ingin tertawa. Namun, ia harus menahannya. Sejak kapan Sang Bos menjadi penakut seperti ini? 🥀🥀Abara dengan diikuti Bayu berjalan kembali ke dalam k
Abara menutup matanya lagi, dan Bayu bisa melihat bahwa Abara sedang berusaha untuk tidur. Bayu juga menutup matanya, tapi dia tidak bisa tidur karena masih memikirkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dia memikirkan tentang Nyonya Liyana (Nenek tua), dan tentang kekhawatiran Abara.Setelah beberapa saat, Bayu mendengar suara napas Abara yang teratur, menandakan bahwa Abara sudah tertidur. Bayu berusaha untuk tidur juga, tapi dia masih terjaga karena masih memikirkan tentang banyak hal.Bayu terus berbaring di tempat tidurnya, memikirkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dia memikirkan tentang Nyonya Liyana, dan tentang kekhawatiran Abara. Dia juga memikirkan tentang janjinya untuk mencari Liyana yang asli, padahal itu adalah dirinya sendiri. Dan tentang apa yang harus dia lakukan untuk memenuhi janjinya itu.Saat Bayu masih memikirkan tentang semua itu, dia mendengar suara langkah kaki yang lembut di luar kamar. Bayu membuka matanya dan menatap ke arah pintu, berusaha untuk melihat
Di dalam mobil, Abara dan Bayu berbicara tentang rencana hari ini. Abara memiliki pertemuan dengan beberapa klien penting, dan Bayu harus membantunya untuk mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan.Saat mereka berbicara, Bayu tidak bisa tidak memikirkan tentang wanita yang datang ke rumah semalam. Dia masih penasaran tentang siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Abara."Pak Abara, saya ingin bertanya sesuatu," kata Bayu, dengan suara yang hati-hati.Abara memandang Bayu dengan mata yang penasaran. "Apa itu, Bayu?"Bayu berhenti sejenak sebelum bertanya. "Maaf Pak, kalo boleh tahu siapa wanita yang datang ke rumah semalam?"Abara memandang Bayu dengan mata yang tegas, dan Bayu bisa melihat bahwa Abara tidak ingin membicarakan hal itu lagi. "Saya sudah bilang, Bayu. Saya tidak ingin membicarakan hal itu sekarang."Bayu memandang Abara dengan mata yang penasaran, tapi dia tidak mau memaksa Abara untuk membicarakan hal itu lagi. Dia memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan."
Abara merasa tidak nyaman dengan kehadiran Sapphire yang begitu dekat. Dia mencoba untuk menjaga jarak, tapi Sapphire terus berjalan mendekatinya."Apa yang kamu inginkan, Sapphire?" tanya Abara lagi, dengan suara yang sedikit lebih keras.Sapphire tersenyum dan berhenti di depan Abara. "Saya ingin tahu mengapa kamu menolak saya dulu," kata Sapphire, dengan mata yang berkilau. "Apa yang salah dengan saya?"Abara merasa terjebak. Dia tidak ingin membicarakan tentang masa lalunya dengan Sapphire, tapi dia juga tidak ingin membuat Sapphire marah."Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan," kata Abara, dengan suara yang sedikit ragu-ragu.Sapphire tersenyum lagi dan bergerak lebih dekat ke Abara. "Tidak apa-apa, Abara," kata Sapphire, dengan suara yang sedikit berbisik. "Saya sudah tahu apa yang terjadi. Dan saya sudah siap untuk memulai lagi."Abara merasa tidak nyaman dengan kehadiran Sapphire yang begitu dekat. Dia mencoba untuk menjauhkan diri, tapi Sapphire terus bergerak
Setelah Abara selesai berganti pakaian, dia berjalan untuk keluar dari kamar dan menemui Bayu (Liyana) yang masih berdiri di dekat pintu kamar."Baik, saya sudah siap," kata Abara, dengan suara yang santai.Bayu (Liyana) tersenyum dan mengangguk. "Baik, Pak Abara. Saya akan mengantar Anda ke ruang makan untuk makan malam."Abara mengangguk dan berjalan bersama Bayu (Liyana) ke ruang makan. Saat mereka berjalan, Abara tidak bisa tidak memandang Bayu (Liyana) dengan mata yang sedikit lebih tajam. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang Bayu (Liyana) hari ini, tapi dia tidak tahu apa itu.Saat mereka tiba di ruang makan, Abara melihat bahwa nenek Liyana sudah menunggu mereka di sana. Dia tersenyum dan mengucapkan selamat malam kepada Abara dan Bayu (Liyana)."Selamat malam, Mas Suami," kata nenek Liyana, dengan suara yang hangat. "Saya harap kamu sudah siap untuk makan malam."Abara mengangguk dan duduk di kursi tengah utama yang disediakan untuknya. Bayu (Liyana) juga duduk di
Setelah mereka berdua selesai tertawa dan bercanda, Abara dan Bayu (Liyana) memutuskan untuk menonton TV bersama. Mereka berdua duduk di sofa, dengan jarak yang tidak terlalu jauh.Abara memilih saluran TV yang menayangkan acara bola, dan mereka berdua menontonnya dengan tegang, tertawa dan bercanda. Malam itu, suasana di rumah Abara menjadi lebih tenang. Abara duduk di ruang tamu, menonton TV sambil minum teh. Bayu (Liyana) duduk di sebelahnya, sembari membaca buku.Nenek Liyana sudah tidur, dan rumah menjadi lebih sunyi. Abara merasa bahwa suasana malam itu sangat nyaman, dan dia merasa bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama Bayu (Liyana).Saat Abara menonton TV, dia tidak bisa tidak memperhatikan Bayu (Liyana) yang duduk di sebelahnya. Dia melihat bahwa Bayu (Liyana) sangat fokus membaca buku, dan dia merasa kagum dengan ketekunan Bayu (Liyana).Abara merasa bahwa dia ingin mengobrol dengan Bayu (Liyana), tapi dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia hanya duduk di s
Bayu (Liyana) membuka mata dan terbangun dari tidurnya di sofa, ia masih sedikit bingung, ternyata mereka ketiduran di sini. Ia juga merasa sedikit lelah dari menonton TV semalam. Dia melihat Abara masih memeluknya dengan erat, seperti tidak mau melepaskannya. Bayu (Liyana) merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini, karena dia masih menyamar sebagai Bayu, asisten Abara.Dia berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Abara, tapi Abara seakan tidak mau melepaskannya. Bayu (Liyana) harus berhati-hati agar tidak terbongkar identitasnya yang sebenarnya. Dia tidak ingin Abara mengetahui bahwa dia adalah Liyana, istri Abara yang hilang."Abara, saya harus bangun," kata Bayu (Liyana), dengan suara yang berat, berusaha untuk tidak terdengar seperti Liyana.Abara membuka matanya dan memandang Bayu (Liyana) dengan agak sedikit kaget. "Maaf, Bayu," kata Abara, dengan suara yang masih serak. "Saya tidak sadar bahwa saya memeluk kamu."Bayu (Liyana) tersenyum dan memandang Abara dengan rasa m
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam ituBayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu.Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi.Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya.Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati.Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu.Tok. Tok.Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka.Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya.Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut.“Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar.Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.”Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini soal pekerjaan, besok pa
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in
--- Keesokan Paginya – Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp