Share

bab 4. LDR

Flash back On

"Dek, kita kan udah nikah, nih, gimana sekarang enaknya? apa kamu resign dan ikut aku aja?" tanya mas Arya.

Saat ini kami berada di rumahku.

"Duh, gak bisa kayaknya Mas, posisi aku sudah lumayan di sana, sudah 2 tahun kerja jadi admin kantor di mall itu. Aku juga bisa nabung sedikit-sedikit dari gaji. " Sahutku keberatan.

"Aku juga gak bisa ninggalin usaha travel yang baru kurintis, Dek, " ujar mas Arya lagi.

"Ya sudah, kita LDR an dulu aja ya Mas. Kan banyak pasangan baru yang juga LDRan dan mereka bahagia." Sahutku.

"Emang kamu gak papa kalau LDRan?" tanya mas Arya.

"Ya gak papa, sih, asal saling setia aja sudah cukup." Jawabku.

Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba LDRan dulu selama setahun.

Sebulan setelah menikah, mas Arya mengunjungiku dan membawakan sekantung penuh snack dan kue dari betamart dan ayam goreng crispy dari kf*.

"Ya Allah, Mas, banyak banget ini. Habis berapa semua kue dan snack ini?" tanyaku.

"Ya gak papa,kemarin ada orang sewa mobil dan juga minta diantar ke Bali. Makanya ini hasilnya. Kan bisa dimakan bareng sama bapak dan ibu."

Jawab mas Arya santai.

"Kalau gitu, aku bisa minta jatah bulanan aku dong Mas, kan ini udah sebulan sejak kita menikah, waktunya Mas Arya memberi nafkah." Ucapku semanis mungkin.

Aku berencana kalau diberi nafkah oleh mas Arya, sebagian akan aku tabung ditambah dengan uang gajiku. Setelah cukup, aku ingin membeli rumah mungil.

"Ya, sudah habis, Dek, buat beli kue dan snack aja habis 300 ribu lebih, buat ayam kf* nya 250 ribu, beli bensin ke sini, jadi sisa untuk beli bensin pulang ke kantor travelku." Sahutnya.

"Ya Allah, Mas, seharusnya kalau dapat uang berapapun itu diberikan istri dulu, biar aku yang ngatur berapa untuk makan, untuk ditabung . Lah ini Mas boros banget. "Ujarku kecewa.

"Santai Dek, aku kan masih bisa jerja dan menghasilkan uang lagi. Ya kalau dapat uang sekarang, dihabiskan sekarang dong, besok kan bisa nyari lagi." Kata Mas Arya.

"Wah, jangan gitu Mas, sekarang mungkin masih bisa santai karena belum ada anak, kalau besok kita ada anak, dan tidak punya tabungan, gimana? Apa jangan-jangan Mas malah ga ada tabungan ya?" tanyaku menyelidik.

"Di ATM ku memang kosong, yang ada di dompet untuk pegangan sama makan aja. Kan bisa cari duit lagi. Kalau belum dapat ya, bisa minta mbak sama mas ku ." Sahutnya santai.

"Allah Gusti.... Mbak sama mas mu itu udah berkeluarga, Mas, mereka juga pasti punya kebutuhan sendiri." Ujarku keki.

"Walah Dek, burung yang kelaparan aja kalau berangkat pagi cari makan sorenya pulang bisa kenyang, masak kita manusia yang punya otak takut kelaparan." Kata mas Arya.

"Karena kita bukan burung dan kebutuhan kita nanti bukan cuma makan, Mas!" kataku .

"Udah ah, ayo dimakan saja ayamnya dan snacknya. Besok aku harus segera pulang, karena mobil rental ini harus dikembalikan."

Dan akupun terdiam karena perbedaan prinsip kami yang mulai terlihat.

Ingin mengadu tentang keborosan suami pada orang tuaku, tapi takut membuka aib suami dan membuat orang tua kepikiran. Akhirnya aku telan kekecewaanku ini bulat-bulat.

"Assalamualaikum, Dek, kamu ada duit gak?" tanya mas Arya di telepon.

"Waalaikumsalam, ada kok, aku punya tabungan." Jawabku.

"Bisa aku pinjam 600 ribu dulu gak? " tanyanya lagi.

"Lah, baru seminggu lalu, kamu ke sini dan beli snack banyak banget, sekaramg ngeluh ga ada duit. Makanya nabung." Semburku.

"Iya deh, nanti aku nabung. Sekarang pinjem dulu ya." Pintanya.

"Memang buat apa sih? " tanyaku.

"Buat benerin spion mobil yang nabrak tiang listrik nih," jawabnya.

Aku menghela nafas. 'Kasihan kalau gak dipinjami. Apa aku pinjami dulu ya, nanti kalau usaha mas Arya maju, siapa tahu dia mau ngasih nafkah. 'Batinku.

" Iya sudah, aku transfer nanti," jawabku akhirnya.

Esoknya, saat bekerja aku masih memikirkan keborosan suamiku sehingga tanpa sadar ekspresi ku jadi muram dan cemberut.

"Duh, manten baru cemberut aja, makanya jangan LDRan Neng, gih resign aja, atau Arya yang disuruh ikut kesini biar bareng-bareng terus." Sapa Rina.

Rina ini yang mengenalkan mas Arya padaku.

Sebenarnya aku ingin mengomel panjang lebar sama Rina. Karena telah mengenalkan orang yang begitu boros padaku. Tapi ini memang salahku, tidak menyelidiki lebih lanjut sebelum menerima lamaran mas Arya.

Maka dengan senyum yang dipaksakan aku menjawab. "Aku gak papa, Rin, tadi belum sarapan aja." Jawabku.

Dan Rinapun tidak bertanya lagi.

Seminggu berselang, sejak mas Arya meminjam uang padaku, mas Arya meneleponku dan ingin meminjam uang lagi.

"Duh, buat apa sih pinjam terus, Mas? " tanyaku manyun. Tabungan yang rencananya akan aku belikan rumah ambyar sudah.

"Buat tambahan modal beli peralatan di kantor, Dek, beli baliho dan bikin poster-poster promo." Jawabnya.

"Kenapa gak pinjam mas atau mbakmu saja Mas? " tanyaku tidak puas.

"Sudah, tapi gak cukup."Jawabnya.

Aku tidak tahu jawaban itu jujur atau tidak tapi aku merasa keberatan kalau meminjam uang yang setara dengan 2 bulan gajiku.

" Ayolah Dek, kan cuma 2,8 juta aja. nanti kalau ada rejeki, aku kembalikan." Sahutnya.

'Mau dipinjami, berat. Kalau tidak dipinjami dosa nggak sih?' bantinku.

"Oke deh, besok aku transfer." Putusku akhirnya.

Sebenarnya aku kecewa dengan prinsip hidupnya yang terlalu boros dan tidak mau menabung.

Aku mulai lelah, Mas.

Next?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Warni QiyamulLail
ada laki modelan gitu jual aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status