Share

Provokasi

"Raline, kamu nggak bisa sudutkan aku begini. Kamu juga harus introspeksi diri. Kamu itu nggak becus ngurus anak, ngurus rumah tangga, Aku capek pulang kerja, rumah berantakan, kacau balau. Aku capek cari uang. Capek cari uang buat kalian, ngerti nggak?!" Galih pun berbalik marah, menutupi kesalahannya.

"A-aku dan Austin bukan hanya butuh materi. Tetapi kami butuh kamu ada di rumah!" ujar Raline dengan nada tinggi.

"Raline .... "

Galih dan Raline menengok ke arah wanita paruh baya itu. Wanita yang tidak lain adalah Ibu Galih, Nyonya Mira yang marah karena putra kesayangannya itu dimarahi istrinya.

Raline dan Galih terperanjat dengan kehadiran ibu mereka.

"Kamu kenapa sih terlalu menuntut suami kamu terus kayak begini?!" Wajah Bu Mira terlihat sangat kesal dengan kemarahan menantunya.

"Bu, Ibu kok ada di sini sih, Bu?" tegur Galih.

"Ya Ibu mana bisa diam di rumah kalau Ibu tahu cucu Ibu masuk rumah sakit kayak gini!" jawab Bu Mira ketus.

Dengan mata sembab, Raline pun menegur ibu mertuanya.

"Ibu apa kabar, Ibu sehat?" tanya Raline, mencium tangan ibu mertuanya dengan takjim.

"Ibu baik-baik aja. Raline, kamu dengar ya. Kamu itu nggak boleh menuntut suami kamu terus kayak begini. Itu tuh nggak baik!" tegur Bu Mira pada Raline.

"Maaf, Bu, aku cuma mau punya keluarga harmonis aja," jawab Raline dengan sabar menghadapi kemarahan ibu Galih itu.

"Gimana mau harmonis kalau kamu nuntut begini begitu terus?!" pekik Bu Mira menunjuk wajah Raline yang terus menangis. Matanya semakin sembab karena terlalu lama menangis.

"Ibu selalu saja nyalahin aku. Apapun yang aku lakuin, selalu saja salah dimata Ibu," batin Raline.

"Udah ya, Bu. Masalah ini sampai di sini saja. Nggak usah diperpanjang lagi." Galih pun menunduk. Ia genggam tangan Raline.

"Lin, aku sadar, ini semua salahku. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk. Aku tahu Raline begini karena panik. Austin masuk rumah sakit. Iya kan, Lin?!" terang Galih agar ibunya tidak curiga.

Raline hanya diam. Ia menundukkan wajahnya.

"Kamu ini emang suami yang bertanggung jawab. Ibu bangga sama kamu, Nak," ujar Bu Mira.

Galih hanya diam menunduk.

"Ayo, antarkan Ibu ketempat cucu Ibu." Bu Mira dan Galih melangkah pergi meninggalkan Raline yang hanya bisa menangis.

****

Kamar Austin

Raline pun menyusul suami dan Ibu mertuanya ke kamar Austin. Terlihat dokter yang menangani Austin sedang memeriksa.

"Demamnya Austin sudah turun. Kondisinya juga membaik. Sudah sehat. Austin sudah boleh dibawa pulang," terang sang dokter.

"Alhamdulillah," ucap syukur Galih.

"Terimakasih ya, Dok," ujar Raline dan Galih. Wajah mereka kini kembali tersenyum.

"Sama-sama." Dokter pun meninggalkan ruang perawatan Austin.

"Sayang, udah boleh pulang sekarang. Yuk, Papa gendong kita pulang, yuk!" kata Galih mengajak Austin bercanda. Anak kecil itu hanya tertawa.

Galih pun menggendong Austin sedangkan Raline membereskan barang milik Austin yang ada dilemari kecil milik rumah sakit itu.

"Kapok deh. Nggak lagi nakal diluaran. Ini aja Raline udah curiga. Kalau Ibu tahu, bisa makin parah," batin Galih sambil menciumi Austin. Raline hanya memerhatikan dari belakang tingkah suaminya.

****

Esok hari, di kantor Galih

"Apa, kapok?? Baru segitu aja udah kapok?! Cemen lu jadi orang!" gerutu Dion yang kesal karena sahabatnya itu mau berhenti berkencan lewat dunia maya.

"Gue nggak mau kehilangan anak dan istri gue. Tahu nggak, gue hampir aja ketahuan sama istri dan ibu gue," terang Galih.

"Justru disitu seninya, Galih. Antara ketahuan dan nggak ketahuan," jawab Dion tertawa.

"Ng-gak, nggaklah. Gue nggak mau ambil resiko. Gue nggak mau kehilangan semuanya.

"Ah, cemen lu. Baru segitu aja udah nyerah. Atau jangan-jangan lu suami takut istri?!"

"Ah, terserah lu mau ngomong apa deh," kata Galih pasrah.

"Ayolah, Lih. Masa lu mundur gitu aja?" Dion masih terus memprovokasi Galih.

"Ohya, biar tambah seru, gimana kalau kita taruhan?" ujar Dion memberi sahabatnya itu tantangan.

Galih pun menoleh ke arah Dion yabg duduk disampingnya.

"Taruhan?" tanya Galih mempertegas.

"Ayolah, Lih. Taruhan sama gue. Kalau nanti lu menang dan bisa dapatin cewek lebih banyak dari gue sampai 3 bulan ke depan, lu ambil tuh mobil gue. Mobil itu buat lu." Dion tertawa. Ia tak main-main dengan taruhannya.

"Gimana, mau nggak lu?" tanya Dion lagi.

Galih pun gamang. Mobil BMW versi terbaru itu nggak main-main harganya.

"Lu serius?!" tanya balik Galih.

"Kapan sih, gue bohong sama lu?!" ujar Dion tersenyum.

"Iya gue serius! Kalau gue kehilangan satu mobil itu kan ya nggak masalah. Kan bini gue tajir melintir," ujar Dion tertawa.

"Ah, benaran lu. Cemen banget sih jadi orang! Baru ketahuan gitu aja udah meringkuk.Ketakutan sama istri." Dion pun meledek sahabatnya itu, agar Galih semakin tertantang.

"Ya udah, gue berani taruhan sama lu!" jawab Galih mantap.

"Nah, gitu dong! Itu baru namanya sahabat gue." ujar Dion tersenyum karena provokasinya berhasil.

"Deal ya?" tanya Dion mempertegas.

"DEAL!!!" ujar Galih.

Kedua sahabat itu pun bersalaman sebagai tanda kesepakatan.

"Toss dong!" kata Dion tertawa.

Bersambung ....

"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status