Share

ALARICK
ALARICK
Penulis: SereiaAlvenna_

Alarick Part 1

Seorang pria dengan jas hitam yang melekat di tubuh berototnya tengah berjalan menuju ruangan seseorang yang menjadi atasannya.

Pandangan lapar dari pegawai-pegawai wanita mereka tujukan pada pria berambut hitam kecoklatan itu, namun tak sedikitpun dia menaruh perhatian pada wanita-wanita yang sedari tadi menatapnya.

Tangannya mengudara hendak mengetuk pintu yang kini sudah ada di hadapannya. Sebelum tangannya menggapai pintu itu, pintu terbuka menampilkan seseorang berpakaian resmi seperti dirinya, namun jika dilihat usia mereka sepertinya terpaut cukup jauh.

“Apa yang Ayah inginkan dariku?” tanya pria muda itu. Langkah kakinya terus mengikuti pria paruh baya yang baru saja keluar dari ruangannya.

Pria tua itu sontak menghentikan langkahnya saat mendengar pertanyaan dari pria muda yang tak lain adalah anaknya.

“Kau masih bertanya apa mauku? Alarick Mauricio, jauhi gadis itu dan segeralah menikah dengan gadis pilihanku,” jawabnya mutlak.

Terkejut? Tidak. Alarick sudah mengetahui perihal perjodohannya dengan anak teman ayahnya.

“Maksudmu Haleth? Aku harus memutuskannya?” Alarick berdecak mendengar permintaan ayahnya. Sebenarnya dia sudah menduga ini sebelumnya, namun siapa sangka akan secepat ini?

“Maaf Ayah, untuk permintaanmu yang satu ini aku tidak bisa. Aku mencintainya.” Alarick berjalan meninggalkan ayahnya yang tetap berada di tempatnya.

“Bahkan jika aku tak memberikan perusahaan ini padamu?” Langkah Alarick kembali terhenti mendengar penuturan ayahnya. Dia menolehkan kepalanya, tak percaya ayahnya akan melakukan itu padanya.

“Baiklah lakukan apa maumu,” lanjut Tuan Mauricio pada Alarik dan segera melanjutkan langkahnya meninggalkan putranya itu.

***

Tubuh Nerissa merosot menyaksikan si jago merah melahap seluruh bagian rumahnya. Tak hanya rumahnya saja, seseorang yang sangat dia sayangi juga ada di dalamnya.

Tangisnya pecah mengingat dia tak punya siapa-siapa untuk dimintai pertolongan.

“Ibu, maafkan aku ...” isak tangis terdengar di tengah kobaran api yang membakar habis rumahnya.  Nerissa tak sempat menolong ibunya, kini hanya penyesalan yang dia miliki.

Seandainya saja dia lebih cepat datang, seandainya dia tidak lebih mementingkan pekerjaannya, semua ini tak akan pernah terjadi. Kini kata ‘seandainya’ itu hanya terganti dengan ‘penyesalan’.

Tangannya yang gemetar mencoba merogoh saku celananya berusaha mengambil benda persegi yang ada di sana. Tanpa pikir panjang dia segera menghubungi orang yang menjadi pilihan terakhir untuk diteleponnya saat dia dalam keadaan terpuruk.

“Ayah, bisakah kau pulang kali ini saja?” Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata indah gadis itu. Begitu juga suara isak yang menemani kesunyian malam ini.

“Aku tak bisa Nerissa. Pekerjaanku belum selesai. Dan kau, jadilah kuat, kau sudah dewasa dan ingat, kau keturunan Frore, tak ada satupun dari kami yang terlahir menjadi manusia lemah. Dan kau, Nerissa Frore harus menjadi kuat apapun yang terjadi,” ucap pria yang dipanggil ayah di seberang sana. Sambungan telepon diputuskan begitu saja tanpa mendengar penjelasan Nerissa.

Seperti dugaannya, ayahnya tak mungkin pulang hanya dengan rengekannya. Bahkan mungkin pria yang menjadi ayahnya itu juga tidak akan peduli jika Nerissa mati sekalipun.

Dengan sisa kekuatan yang dia miliki, Nerissa berusaha bangkit. Langkahnya tertatih, bahkan untuk berjalan saja rasanya sangat berat. Apa lagi yang harus dia lakukan di sini?

Walaupun dia bisa menunggu api itu padam,  tapi apakah ibunya bisa di selamatkan? Rasanya tidak. Nerissa memilih untuk kembali ke apartemennya.

Ya, di usia ke 24 ini dia sudah memiliki apartemen sendiri. Dia memilih tinggal sendiri karena dirasa itulah yang dia butuhkan. Anti sosial? Bukan. Nerissa orang yang pandai bersosialisasi kecuali dengan keluarganya.

Kakinya terus melangkah berusaha mencapai kamarnya. Nerissa mendongak untuk memastikan bahwa kamar yang ada di hadapannya ini memang kamarnya.

Tepat sebelum Nerissa menempelkan sidik jarinya untuk membuka kunci, kepalanya mulai pening dengan cairan merah yang mengalir dari hidungnya. Perlahan pandangannya mulai kabur dan semuanya gelap.

***

Alarick berjalan dengan langkah kesal karena penuturan ayahnya. Lalu pada siapa ayahnya akan memberikan perusahaan jika bukan padanya sementara Alarick merupakan anak tunggal di keluarga Mauricio.

Mungkin saat ini apartemennya menjadi tujuan utama. Di sanalah dia, jika sedang memiliki masalah. Namun sebelum mencapai kamarnya, netranya menangkap sesuatu. Seorang gadis yang tergeletak dengan darah yang sudah sedikit mengering di bagian hidungnya.

“Nerissa?” Dengan cepat Alarick menggendong gadis itu menuju kamarnya. Tak ada maksud apa-apa, dia tak tahu di mana gadis ini tinggal dan tidak mungkin juga dia membiarkan temannya ini tergeletak dengan keadaan yang bisa dibilang jauh dari kata baik-baik saja.

Alarick merebahkan tubuh Nerissa di atas ranjangnya sebelum kemudian dia mengambil air dan saputangan untuk membersihkan noda darah itu.

Nerissa, Alarick tahu gadis ini. Dia temannya saat SMA dan kuliah, namun dia tidak mengetahui jika gadis ini tinggal di dekat apartemennya.

Mata Nerissa mulai mengerjap menandakan kesadarannya telah kembali. Hal pertama yang dilihatnya adalah Alarick, dia juga mengenal pria arogan ini. Bibirnya yang pucat mulai mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap maksudnya oleh Alarick karena suara Nerissa yang serak.

“Air ...” ucapnya sedikit keras. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Alarick pergi meninggalkan Nerissa dengan mata yang berkaca-kaca. Bahkan seorang teman pun tak mempedulikannya sama sekali.

Dugaan Nerissa salah, Alarick kembali dengan segelas air dan beberapa makanan di tangannya. Nerissa bisa bangkit dari tidurnya dengan bantuan Alarick. Air itu perlahan tandas sesaat setelah Alarick memberikannya pada Nerissa.

“Terima kasih,” ujarnya pada Alarick. Bibir pucatnya berusaha tersenyum. Namun sebelum hal itu terjadi perkataan Alarick menohok hatinya dan dia mengurungkan niatnya untuk tersenyum pada pria itu.

“Kau bisa pergi jika sudah selesai.” Kalimat singkat yang berhasil menohok hati Nerissa. Tanpa menjawab, Nerissa segara turun dari ranjang yang mungkin itu milik Alarick.

“Terima kasih sekali lagi.” Walaupun dia kecewa dengan perkataan Alarick, tapi Nerissa bukan tipe orang yang tak tahu terima kasih karena dia tahu bagaimana rasanya tidak dihargai.

Alarick memperhatikan punggung lesu Nerissa yang perlahan hilang dari pandangannya. Alarick menghela napas  sebelum kemudian mengganti seprai dengan yang baru.

“Haleth akan marah jika dia tahu aku membawa wanita ke sini,” ujarnya lebih pada dirinya sendiri. Setelah selesai dengan kegiatannya Alarick merogoh sakunya saat dirasa ponselnya bergetar.

Nomor kekasihnya yang tertera di layar ponsel. Dengan segera dia mengangkat panggilan itu sebelum orang di sebrang sana mengamuk karena lama mengangkatnya.

“Sayang, jemput aku di mal xxx sekarang jangan lama,” ucap gadis itu manja. Alarick menghela napasnya kasar sesaat setelah sambungan diputuskan sepihak.

“Tak bisakah aku istirahat sebentar saja?” ucapnya. Walau begitu dia mulai mengambil kunci mobilnya dan segera melangkahkan kakinya keluar menuju mal yang disebutkan Haleth tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status