Seorang pria dengan jas hitam yang melekat di tubuh berototnya tengah berjalan menuju ruangan seseorang yang menjadi atasannya.
Pandangan lapar dari pegawai-pegawai wanita mereka tujukan pada pria berambut hitam kecoklatan itu, namun tak sedikitpun dia menaruh perhatian pada wanita-wanita yang sedari tadi menatapnya.
Tangannya mengudara hendak mengetuk pintu yang kini sudah ada di hadapannya. Sebelum tangannya menggapai pintu itu, pintu terbuka menampilkan seseorang berpakaian resmi seperti dirinya, namun jika dilihat usia mereka sepertinya terpaut cukup jauh.
“Apa yang Ayah inginkan dariku?” tanya pria muda itu. Langkah kakinya terus mengikuti pria paruh baya yang baru saja keluar dari ruangannya.
Pria tua itu sontak menghentikan langkahnya saat mendengar pertanyaan dari pria muda yang tak lain adalah anaknya.
“Kau masih bertanya apa mauku? Alarick Mauricio, jauhi gadis itu dan segeralah menikah dengan gadis pilihanku,” jawabnya mutlak.
Terkejut? Tidak. Alarick sudah mengetahui perihal perjodohannya dengan anak teman ayahnya.
“Maksudmu Haleth? Aku harus memutuskannya?” Alarick berdecak mendengar permintaan ayahnya. Sebenarnya dia sudah menduga ini sebelumnya, namun siapa sangka akan secepat ini?
“Maaf Ayah, untuk permintaanmu yang satu ini aku tidak bisa. Aku mencintainya.” Alarick berjalan meninggalkan ayahnya yang tetap berada di tempatnya.
“Bahkan jika aku tak memberikan perusahaan ini padamu?” Langkah Alarick kembali terhenti mendengar penuturan ayahnya. Dia menolehkan kepalanya, tak percaya ayahnya akan melakukan itu padanya.
“Baiklah lakukan apa maumu,” lanjut Tuan Mauricio pada Alarik dan segera melanjutkan langkahnya meninggalkan putranya itu.
***
Tubuh Nerissa merosot menyaksikan si jago merah melahap seluruh bagian rumahnya. Tak hanya rumahnya saja, seseorang yang sangat dia sayangi juga ada di dalamnya.
Tangisnya pecah mengingat dia tak punya siapa-siapa untuk dimintai pertolongan.
“Ibu, maafkan aku ...” isak tangis terdengar di tengah kobaran api yang membakar habis rumahnya. Nerissa tak sempat menolong ibunya, kini hanya penyesalan yang dia miliki.
Seandainya saja dia lebih cepat datang, seandainya dia tidak lebih mementingkan pekerjaannya, semua ini tak akan pernah terjadi. Kini kata ‘seandainya’ itu hanya terganti dengan ‘penyesalan’.
Tangannya yang gemetar mencoba merogoh saku celananya berusaha mengambil benda persegi yang ada di sana. Tanpa pikir panjang dia segera menghubungi orang yang menjadi pilihan terakhir untuk diteleponnya saat dia dalam keadaan terpuruk.
“Ayah, bisakah kau pulang kali ini saja?” Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata indah gadis itu. Begitu juga suara isak yang menemani kesunyian malam ini.
“Aku tak bisa Nerissa. Pekerjaanku belum selesai. Dan kau, jadilah kuat, kau sudah dewasa dan ingat, kau keturunan Frore, tak ada satupun dari kami yang terlahir menjadi manusia lemah. Dan kau, Nerissa Frore harus menjadi kuat apapun yang terjadi,” ucap pria yang dipanggil ayah di seberang sana. Sambungan telepon diputuskan begitu saja tanpa mendengar penjelasan Nerissa.
Seperti dugaannya, ayahnya tak mungkin pulang hanya dengan rengekannya. Bahkan mungkin pria yang menjadi ayahnya itu juga tidak akan peduli jika Nerissa mati sekalipun.
Dengan sisa kekuatan yang dia miliki, Nerissa berusaha bangkit. Langkahnya tertatih, bahkan untuk berjalan saja rasanya sangat berat. Apa lagi yang harus dia lakukan di sini?
Walaupun dia bisa menunggu api itu padam, tapi apakah ibunya bisa di selamatkan? Rasanya tidak. Nerissa memilih untuk kembali ke apartemennya.
Ya, di usia ke 24 ini dia sudah memiliki apartemen sendiri. Dia memilih tinggal sendiri karena dirasa itulah yang dia butuhkan. Anti sosial? Bukan. Nerissa orang yang pandai bersosialisasi kecuali dengan keluarganya.
Kakinya terus melangkah berusaha mencapai kamarnya. Nerissa mendongak untuk memastikan bahwa kamar yang ada di hadapannya ini memang kamarnya.
Tepat sebelum Nerissa menempelkan sidik jarinya untuk membuka kunci, kepalanya mulai pening dengan cairan merah yang mengalir dari hidungnya. Perlahan pandangannya mulai kabur dan semuanya gelap.
***
Alarick berjalan dengan langkah kesal karena penuturan ayahnya. Lalu pada siapa ayahnya akan memberikan perusahaan jika bukan padanya sementara Alarick merupakan anak tunggal di keluarga Mauricio.
Mungkin saat ini apartemennya menjadi tujuan utama. Di sanalah dia, jika sedang memiliki masalah. Namun sebelum mencapai kamarnya, netranya menangkap sesuatu. Seorang gadis yang tergeletak dengan darah yang sudah sedikit mengering di bagian hidungnya.
“Nerissa?” Dengan cepat Alarick menggendong gadis itu menuju kamarnya. Tak ada maksud apa-apa, dia tak tahu di mana gadis ini tinggal dan tidak mungkin juga dia membiarkan temannya ini tergeletak dengan keadaan yang bisa dibilang jauh dari kata baik-baik saja.
Alarick merebahkan tubuh Nerissa di atas ranjangnya sebelum kemudian dia mengambil air dan saputangan untuk membersihkan noda darah itu.
Nerissa, Alarick tahu gadis ini. Dia temannya saat SMA dan kuliah, namun dia tidak mengetahui jika gadis ini tinggal di dekat apartemennya.
Mata Nerissa mulai mengerjap menandakan kesadarannya telah kembali. Hal pertama yang dilihatnya adalah Alarick, dia juga mengenal pria arogan ini. Bibirnya yang pucat mulai mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap maksudnya oleh Alarick karena suara Nerissa yang serak.
“Air ...” ucapnya sedikit keras. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Alarick pergi meninggalkan Nerissa dengan mata yang berkaca-kaca. Bahkan seorang teman pun tak mempedulikannya sama sekali.
Dugaan Nerissa salah, Alarick kembali dengan segelas air dan beberapa makanan di tangannya. Nerissa bisa bangkit dari tidurnya dengan bantuan Alarick. Air itu perlahan tandas sesaat setelah Alarick memberikannya pada Nerissa.
“Terima kasih,” ujarnya pada Alarick. Bibir pucatnya berusaha tersenyum. Namun sebelum hal itu terjadi perkataan Alarick menohok hatinya dan dia mengurungkan niatnya untuk tersenyum pada pria itu.
“Kau bisa pergi jika sudah selesai.” Kalimat singkat yang berhasil menohok hati Nerissa. Tanpa menjawab, Nerissa segara turun dari ranjang yang mungkin itu milik Alarick.
“Terima kasih sekali lagi.” Walaupun dia kecewa dengan perkataan Alarick, tapi Nerissa bukan tipe orang yang tak tahu terima kasih karena dia tahu bagaimana rasanya tidak dihargai.
Alarick memperhatikan punggung lesu Nerissa yang perlahan hilang dari pandangannya. Alarick menghela napas sebelum kemudian mengganti seprai dengan yang baru.
“Haleth akan marah jika dia tahu aku membawa wanita ke sini,” ujarnya lebih pada dirinya sendiri. Setelah selesai dengan kegiatannya Alarick merogoh sakunya saat dirasa ponselnya bergetar.
Nomor kekasihnya yang tertera di layar ponsel. Dengan segera dia mengangkat panggilan itu sebelum orang di sebrang sana mengamuk karena lama mengangkatnya.
“Sayang, jemput aku di mal xxx sekarang jangan lama,” ucap gadis itu manja. Alarick menghela napasnya kasar sesaat setelah sambungan diputuskan sepihak.
“Tak bisakah aku istirahat sebentar saja?” ucapnya. Walau begitu dia mulai mengambil kunci mobilnya dan segera melangkahkan kakinya keluar menuju mal yang disebutkan Haleth tadi.
Sepertinya semesta memang benar-benar sedang mempermainkannya. Lihatlah saat ini, seseorang yang Nerissa tunggu kedatangannya satu minggu yang lalu kini baru menampakkan batang hidungnya.Apakah dia tak punya hati? Atau dia tak mendengar kabar duka satu minggu lalu? Mustahil. Keluarganya adalah salah satu keluarga terpandang di Negeri ini, apakah mungkin kematian sang istri dari keluarga Frore tidak diliput sama sekali? Bahkan Nerissa sendiri melihat bagaimana ramainya media di depan rumahnya pagi hari setelah kejadian itu.Lalu bagaimana bisa ayahnya baru datang saat semuanya sudah mulai melupakan kejadian itu?“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dingin sambil berlalu meninggalkan pria paruh baya itu di depan pintu apartemennya.Tuan Frore segera mengikuti langkah kaki anaknya ke dalam apartemen. Nerissa mengambil segelas air putih. Untuk ayahnya? Tentu saja bukan. Kalian boleh menyebutnya seorang anak yang tak tahu sopan santun.Ah sopa
Alarick berdecak ketika dia mengetahui gadis yang dimaksud ayahnya. Nerissa, gadis itu kini ada di hadapannya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Bahagia? Tentu saja. Namun apakah Nerissa akan terus bahagia ketika dia harus mengambil kebahagiaan dari orang yang dia sayang.Ya. Nerissa telah menyimpan perasaan itu selama empat atau lima tahun mungkin. Sementara Alarick, pria itu tak menyangka akan dipertemukan dengan Nerissa dalam sebuah perjodohan.“Aku menolaknya,” tegas Alarick. Tuan Mauricio sontak menatap anaknya tak percaya.“Ya. Aku menolak perjodohan ini,” lanjutnya, pandangan Alarick tertuju pada Tuan Frore.“Maafkan saya, Tuan. Saya sudah memiliki seseorang yang saya sayang,” ucapnya pada Tuan Frore.Alarick beranjak dari duduknya dan segera meninggalkan restoran itu.“Maaf Frore, sepertinya aku harus berbicara lagi padanya.”“Tak apa, aku bisa memahaminya.” T
“Minumlah selagi hangat.” Nerissa memandang ragu pada Lovetta. Lovetta yang mengerti dengan tatapan temannya mendengus kesal.“Sudah aku rebus. Memang kau kira sudah berapa lama kita berteman?” Nerissa yang mendengar penuturan temannya itu tersenyum simpul.“Terima kasih.”“Sepertinya bukan aku yang harus hati-hati dengan menu makananmu, tapi dirimu sendiri. Makanan macam apa lagi yang kau makan dalam seminggu ini?” Lovetta menatap Nerissa curiga karena dia memang sudah tahu seperti apa sifat Nerissa.“Hanya dua potong sandwich,” ujar Nerissa tanppa beban. Sebuah bantal melayang tepat mengenai kepalanya.“Aku jadi ragu kau punya umur pendek.” Lovetta kesal dengan temannya ini.“Sudahlah, aku sedang menikmati masa-masa hidupku.” Penuturan Nerissa sukses membuat Lovetta bungkam. Dengan segera gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan.“Jad
Seperti yang direncanakan beberapa hari yang lalu, kini kedua keluarga itu dipertemukan kembali untuk membahas apa yang seharusnya mereka bahas. Wajah Alarick seperti biasanya, terlihat datar. Pria itu mengeluarkan ponsel setelah menyelesaikan acara makannya. Jari-jarinya menari indah di atas ponsel pintar itu.Nomor yang ditujunya saat ini adalah mantan kekasihnya. Entah gadis itu akan membalas atau tidak, yang penting dia sudah mencoba.“Baiklah, seperti yang kita bicarakan beberapa hari lalu Nerissa, maukah kau menikah dengan putraku?” Tuan Maurucio memandang penuh harap pada Nerissa.Sejenak gadis itu terdiam mengingat percakapannya dengan Alarick di telepon satu hari lalu.“Aku benar-benar tak ingin menikah denganmu, dan sayangnya hanya kau yang bisa menolak pernikahan ini. Aku harap kau mengerti maksudku.” Katakanlah Alarick labil. bukannya dia sudah menyetujui untuk pernikahan ini?Lagi dan lagi serangkaian kalimat ya
Fillan Elfern, adalah seorang pria beruntung yang bisa bekerja dengan keluarga Frore. Banyak sekali pria gagah di luar sana yang melamar untuk menjadi bawahan Tuan Frore, namun nyatanya Tuan Frore memilih Fillan sebagai salah satu orang kepercayaannya.Tugasnya selama ini hanya satu, yaitu mengawasi Nerissa Frore putri dari Tuan Frore. Tuan Frore sebenarnya tak pernah melepaskan perhatian dari sosok putrinya itu, hanya saja cara dia memberikan perhatian sangat berbeda.Jika Nyonya Frore merupakan wanita lembut yang selalu memanjakan putra putrinya, berbeda dengan Tuan Frore yang memilih mendidik anaknya untuk menjadi orang yang mandiri. Namun sepertinya didikannya itu menjadi kesalah pahaman dalam keluarganya.Tuan Frore memilih Fillan sebagai ketua bodyguard dalam menjaga anaknya bukan tanpa alasan. Pria paruh baya itu telah melihat sejak lama kepribadian seorang Fillan. Pria itu cerdas, jujur, setia dan yang menjadi poin tambahan untuknya adalah ketam
“Jadi mulai dari mana kau akan bercerita?” Ya, Lovetta datang ke rumah sakit setelah Nerissa menghubunginya. Tangannya sibuk mengupas buah jeruk yang barusan dia bawa.“Rasanya aku tak perlu mengatakan apapun padamu.” Dengan tenang Nerissa mengambil sepotong jeruk yang diberikan Lovetta.“Kau ingin mati?!” Raut wajah Lovetta sukses membuat Nerissa terkekeh.“Ya benar. Bagaimana kau bisa tahu jika aku ingin mati?” Untuk kesekian kalinya Lovetta dikejutkan dengan perkataan Nerissa.“Apa maksudmu?” Tak hanya memberikannya pada Nerissa, gadis itu juga memakan buah jeruk yang sudah dia kupas.“Apa lagi yang bisa ku lakukan selain bunuh diri untuk menggagalkan perjodohan ini?” Lovetta benar-benar tak habis pikir dengan temannya ini.“Lakukan saja, pernikahan itu. Lagipula kau bisa bercerai jika sudah memiliki beberapa bukti kekasaran Alarick padamu.” Dengan lancarn
“Jason Marick, pria itu kakaknya Nerissa.” Tuan Frore memandang Tuan Mauricio lekat-lekat. Dia berharap Tuan Mauricio bisa mengerti dengan ucapannya.“Lalu Merick? Bagaimana bisa nama belakangnya berbeda denganmu?” Rupanya rasa penasaran Tuan Mauricio belum terjawab sepenuhnya.“Dia anak angkatku. Dua puluh dua tahun lalu sebelum aku memiliki Nerissa aku mengadopsinya dari sebuah panti asuhan dan dia sudah memiliki nama yang mungkin diberikan oleh orang tuanya.” Pikiran Tuan Frore melayang pada moment di mana dia dan istrinya mengadopsi Jason anak laki-laki yang sangat tampan dan juga baik hati.Sebelum mengadopsinya, Tuan Frore sudah lama memperhatikan kehidupan anak itu di panti asuhan. Seorang anak laki-laki berumur kurang lebih 4 tahun itu gemar berbagi pada temannya. Itulah yang menarik perhatian Tuan Frore untuk mengadopsi anak itu.“Nerissa mengetahuinya?” tanya Tuan Mauricio.“Ya. Aku me
Sebuah perjodohan antara Alarick dan Nerissa tak dapat dielakkan lagi. Kedua keluarga mereka sama-sama menginginkan perjodohan itu, namun tidak dengan Alarick begitupun Nerissa.Tak ada lagi cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari perjodohan tak masuk akal ini. Bahkan percobaan bunuh diri pun sudah Nerissa lakukan, dan apa hasilnya? Sebuah kegagalan.Hari yang seharusnya menjadi impian para pasangan, namun bagi Nerissa ini adalah awal dari kehancurannya. Seorang suami dengan harta melimpah yang tentu saja akan memenuhi kebutuhan finansialnya, tak menjadikan Nerissa luluh akan pria itu.Memang benar Nerissa telah mencintai pria itu sejak lama, namun bukan berarti dia akan menerima begitu saja sebuah perjodohan yang bahkan sangat tidak diinginkan oleh Alarick.“Bagaimana, Nona?” Seorang pelayan di sebuah butik menatap penuh harap pada Nerissa. Pelayan itu tentu saja menantikan sebuah jawaban positif dari seorang Nona Frore ini, ah akank