Sepertinya semesta memang benar-benar sedang mempermainkannya. Lihatlah saat ini, seseorang yang Nerissa tunggu kedatangannya satu minggu yang lalu kini baru menampakkan batang hidungnya.
Apakah dia tak punya hati? Atau dia tak mendengar kabar duka satu minggu lalu? Mustahil. Keluarganya adalah salah satu keluarga terpandang di Negeri ini, apakah mungkin kematian sang istri dari keluarga Frore tidak diliput sama sekali? Bahkan Nerissa sendiri melihat bagaimana ramainya media di depan rumahnya pagi hari setelah kejadian itu.
Lalu bagaimana bisa ayahnya baru datang saat semuanya sudah mulai melupakan kejadian itu?
“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dingin sambil berlalu meninggalkan pria paruh baya itu di depan pintu apartemennya.
Tuan Frore segera mengikuti langkah kaki anaknya ke dalam apartemen. Nerissa mengambil segelas air putih. Untuk ayahnya? Tentu saja bukan. Kalian boleh menyebutnya seorang anak yang tak tahu sopan santun.
Ah sopan santun? Bahkan dia tidak belajar itu dari keluarganya, bukankah harusnya keluarga menjadi guru terbaik untuk anaknya? Nyatanya itu tidak berlaku bagi keluarga Nerissa.
“Aku ingin kau menikah.” Nerissa tersedak air minumnya. Bagaimana tidak? Ibunya meninggal satu minggu lalu, dan dia melewati itu sendiri. Dan sekarang apa? Ayahnya ingin dia menikah disaat luka hatinya bahkan belum mengering?
Nerissa membuang muka kemudian berdecak. Dia berjalan mendekati sang ayah yang kini tengah duduk di sofa.
“Aku akan menikah, tapi tidak dengan paksaanmu,” ujar Nerissa. Gadis itu melanjutkan acara minumnya. Dia tidak haus, hal ini dilakukan hanya untuk menghindari suasana canggung.
Kalian yang memiliki keluarga, dan tak ada rasa canggung di antara satu sama lain, beruntunglah. Itu artinya mereka benar-benar peduli dan dekat dengan kalian.
“Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, kau bisa pergi.” Nerissa beranjak dari duduknya dan berjalan begitu saja ke arah kamarnya meninggalkan Tuan Frore yang masih terdiam di tempatnya dengan tatapan sendu.
***
“Aku sudah bilang padamu, aku tak ingin berpisah dengan Haleth,” ucap Alarick lelah. Saat badannya terasa remuk karena pekerjaannya yang menumpuk, dering ponsel memaksanya untuk menghentikan acara menandatangani dokumen-dokumen yang ada di depannya.
Ayahnya menginginkannya pulang malam ini. Ya, rumah kediaman Mauricio. Dan di sinilah Alarick berada dengan emosi yang hampir meledak karena pembicaraan mengenai perjodohan dirinya dengan anak teman ayahnya.
“Dan bukannya aku juga sudah bilang, kalau aku tak akan mewariskan hartaku padamu jika kau tetap dengan wanita itu?” Lagi-lagi Alarick tak bisa menjawab ayahnya. Pria berumur 24 tahun itu memalingkan wajahnya, dia benar-benar muak dengan segala paksaan yang dilakukan ayahnya. Bukan hanya sekali, dua kali tapi Alarick merasakan paksaan berkali-kali.
“Bagaimana? Kau setuju dengan tawaranku?” lanjut Tuan Mauricio. Sang istri hanya memandang sendu putranya yang harus melewati semua ini, namun dia tahu bahwa ini yang terbaik untuk putranya.
Alarick menyimpan garpu dan pisaunya dengan kasar. Wajah tampannya memerah karena amarah.
“Sampai kapan kau akan selalu memaksaku!? Ini hidupku, kenapa kau selalu ikut campur?!” Sifat arogannya itu yang membuat Tuan Mauricio khawatir dengan kehidupan putranya.
“Apa aku pernah mengajarimu berlaku tak sopan pada orang tua!?” bentak Tuan Mauricio. Melihat tak ada jawaban dari putranya, Tuan Mauricio menghela napasnya dan melanjutkan kalimatnya.
“Aku memberimu waktu satu minggu untuk mengakhiri semuanya dan kau akan baik-baik saja, namun jika dalam waktu satu minggu kau gagal, maka semua harta kekayaanku tak akan pernah menjadi milikmu.” Katakanlah Alarick gila harta, dia benar-benar tak punya apapun jika dia tak mendapatkannya dari keluarga ini.
Penyesalan perlahan menjalar di hatinya. Harusnya sejak dulu dia masuk dalam dunia bisnis, harusnya dia tak menghabiskan masa mudanya dengan hanya bermain-main di luar sana. Hingga dia mengalami hal seperti ini, dia akan baik-baik saja dengan aset yang dimilikinya, namun sekarang dia benar-benar tak punya apapun selain apa yang diberikan keluarganya.
Pria muda itu menatap sang ibu berusaha meminta bantuan, namun ibunya justru malah memalingkan muka. Tak peduli? Bukan. Dia hanya tak pernah diijinkan ikut campur dalam hal seperti ini.
Alarick tersenyum getir karena tak seorang pun berada di pihaknya saat ini.
“Aku selesai.” Alarick meninggalkan Tuan dan Nyonya Mauricio begitu saja. Hanya satu tempat tujuannya saat ini.
“Halo, ke club sekarang.” Tanpa menunggu balasan dari sebrang sana, Alarick menutup sambungan teleponnya begitu saja.
***
“Lama tak berjumpa, bagaimana kabarmu?” Kedua pria paruh baya itu saling mengulurkan tangannya untuk berjabat
“Baik, bagaimana denganmu?”
“Aku baik.”
“Jadi ... bagaimana? Kau sudah berbicara dengan putrimu?” tanya Tuan Mauricio pada orang di hadapannya.
“Aku butuh waktu untuk membujuknya. Kau tahu sendiri bagaimana sikap dia padaku.” Tuan mauricio mengangguk mengiyakan karena memang sulit untuk menyatukan keduanya.
“Santai saja, Frore. Lagi pula mereka masih muda.” Mereka berdua tertawa. Sudah hampir 5 bulan Tuan Mauricio tidak menemui sahabatnya ini.
“Bagaimana denganmu?” Dengan santai Tuan Frore meneguk minuman yang ada di depannya.
“Aku sudah berusaha, beri aku satu minggu untuk memastikan semuanya,” jawab Tuan Mauricio.
***
“Bu, bisa tolong buatkan aku sandwich?” Panggilan ibu pada PRT-nya itu adalah atas kehendak Nerissa sendiri. Dia memilih itu sekedar untuk mengobati rasa rindu pada ibunya. Baru lima hari orang yang dia panggil ibu itu bekerja di sini. Nerissa merasa membutuhkan seseorang untuk mengurusnya mengingat dia sibuk dengan pekerjaannya dan selalu dikejar deadline.
“Baik, Non.” Ibu Inah menolak untuk memanggil Nerissa hanya dengan nama. Katanya, bagaimanapun Nerissa adalah majikannya.
Jari-jari lentik Nerissa terus bergerak lincah di atas keyboard mengetik kalimat-kalimat indah yang manarik bagi pembacanya. Ya, Nerissa seorang penulis. Kurang lebih lima tahun lamanya dia telah berkecimpung dalam dunia kepenulisan ini.
Nerissa meregangkan badannya setelah dia menyelesaikan kalimat terakhir dalam tulisannya.
“Ini, Non.” Ibu Inah menyimpan satu piring isi sandwich di atas meja tepat di depan Nerissa.
“Terimakasih, Bu.” Nerissa memberikan senyum pada wanita paruh baya itu.
“Ibu bisa duduk di sini? Temani Nerissa makan.” Nerissa menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya berharap agar ibu Inah bersedia menemaninya.
Tanpa menjawab, wanita paruh baya itu tersenyum dan menghampiri Nerissa untuk makan bersama.
***
“Bagaimana? Kapan kamu lamar aku?” Kini Haleth tengah bergelayut manja di samping Alarick. Entah bagaimana perempuan itu bisa ada di sini. Niatnya ke sini untuk menenangkan pikiran bersama kedua temannya, namun alangkah sial hidupnya malah bertemu dengan kekasihnya di sini.
Bukannya tak mau, hanya saja waktunnya tidak tepat. Kini kepalanya terasa hendak pecah. Bagaimana bisa Haleth menanyakan perihal pernikahan sementara Alarick sendiri harus segera memutuskan gadis itu.
“Rick, sepertinya kita harus pergi dulu” Dengan canggung Zio pergi ke meja lain membawa Lucifer. Dia tak mau mencampuri urusan temannya. Toh jika temannya memang perlu bantuan, maka Alarick akan memintanya sendiri tanpa sebuah tawaran.
Alarick melirik Zio sekilas sebelum pria itu pergi. Dia kembali mengarahkan pandangannya ke arah Haleth. Sepertinya gadis itu sangat mabuk saat ini. Alarick tak menjawab pertanyaan Haleth, toh gadis itu juga tak akan ingat dengan apa yang dia katakan.
Alarick berdecak ketika dia mengetahui gadis yang dimaksud ayahnya. Nerissa, gadis itu kini ada di hadapannya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Bahagia? Tentu saja. Namun apakah Nerissa akan terus bahagia ketika dia harus mengambil kebahagiaan dari orang yang dia sayang.Ya. Nerissa telah menyimpan perasaan itu selama empat atau lima tahun mungkin. Sementara Alarick, pria itu tak menyangka akan dipertemukan dengan Nerissa dalam sebuah perjodohan.“Aku menolaknya,” tegas Alarick. Tuan Mauricio sontak menatap anaknya tak percaya.“Ya. Aku menolak perjodohan ini,” lanjutnya, pandangan Alarick tertuju pada Tuan Frore.“Maafkan saya, Tuan. Saya sudah memiliki seseorang yang saya sayang,” ucapnya pada Tuan Frore.Alarick beranjak dari duduknya dan segera meninggalkan restoran itu.“Maaf Frore, sepertinya aku harus berbicara lagi padanya.”“Tak apa, aku bisa memahaminya.” T
“Minumlah selagi hangat.” Nerissa memandang ragu pada Lovetta. Lovetta yang mengerti dengan tatapan temannya mendengus kesal.“Sudah aku rebus. Memang kau kira sudah berapa lama kita berteman?” Nerissa yang mendengar penuturan temannya itu tersenyum simpul.“Terima kasih.”“Sepertinya bukan aku yang harus hati-hati dengan menu makananmu, tapi dirimu sendiri. Makanan macam apa lagi yang kau makan dalam seminggu ini?” Lovetta menatap Nerissa curiga karena dia memang sudah tahu seperti apa sifat Nerissa.“Hanya dua potong sandwich,” ujar Nerissa tanppa beban. Sebuah bantal melayang tepat mengenai kepalanya.“Aku jadi ragu kau punya umur pendek.” Lovetta kesal dengan temannya ini.“Sudahlah, aku sedang menikmati masa-masa hidupku.” Penuturan Nerissa sukses membuat Lovetta bungkam. Dengan segera gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan.“Jad
Seperti yang direncanakan beberapa hari yang lalu, kini kedua keluarga itu dipertemukan kembali untuk membahas apa yang seharusnya mereka bahas. Wajah Alarick seperti biasanya, terlihat datar. Pria itu mengeluarkan ponsel setelah menyelesaikan acara makannya. Jari-jarinya menari indah di atas ponsel pintar itu.Nomor yang ditujunya saat ini adalah mantan kekasihnya. Entah gadis itu akan membalas atau tidak, yang penting dia sudah mencoba.“Baiklah, seperti yang kita bicarakan beberapa hari lalu Nerissa, maukah kau menikah dengan putraku?” Tuan Maurucio memandang penuh harap pada Nerissa.Sejenak gadis itu terdiam mengingat percakapannya dengan Alarick di telepon satu hari lalu.“Aku benar-benar tak ingin menikah denganmu, dan sayangnya hanya kau yang bisa menolak pernikahan ini. Aku harap kau mengerti maksudku.” Katakanlah Alarick labil. bukannya dia sudah menyetujui untuk pernikahan ini?Lagi dan lagi serangkaian kalimat ya
Fillan Elfern, adalah seorang pria beruntung yang bisa bekerja dengan keluarga Frore. Banyak sekali pria gagah di luar sana yang melamar untuk menjadi bawahan Tuan Frore, namun nyatanya Tuan Frore memilih Fillan sebagai salah satu orang kepercayaannya.Tugasnya selama ini hanya satu, yaitu mengawasi Nerissa Frore putri dari Tuan Frore. Tuan Frore sebenarnya tak pernah melepaskan perhatian dari sosok putrinya itu, hanya saja cara dia memberikan perhatian sangat berbeda.Jika Nyonya Frore merupakan wanita lembut yang selalu memanjakan putra putrinya, berbeda dengan Tuan Frore yang memilih mendidik anaknya untuk menjadi orang yang mandiri. Namun sepertinya didikannya itu menjadi kesalah pahaman dalam keluarganya.Tuan Frore memilih Fillan sebagai ketua bodyguard dalam menjaga anaknya bukan tanpa alasan. Pria paruh baya itu telah melihat sejak lama kepribadian seorang Fillan. Pria itu cerdas, jujur, setia dan yang menjadi poin tambahan untuknya adalah ketam
“Jadi mulai dari mana kau akan bercerita?” Ya, Lovetta datang ke rumah sakit setelah Nerissa menghubunginya. Tangannya sibuk mengupas buah jeruk yang barusan dia bawa.“Rasanya aku tak perlu mengatakan apapun padamu.” Dengan tenang Nerissa mengambil sepotong jeruk yang diberikan Lovetta.“Kau ingin mati?!” Raut wajah Lovetta sukses membuat Nerissa terkekeh.“Ya benar. Bagaimana kau bisa tahu jika aku ingin mati?” Untuk kesekian kalinya Lovetta dikejutkan dengan perkataan Nerissa.“Apa maksudmu?” Tak hanya memberikannya pada Nerissa, gadis itu juga memakan buah jeruk yang sudah dia kupas.“Apa lagi yang bisa ku lakukan selain bunuh diri untuk menggagalkan perjodohan ini?” Lovetta benar-benar tak habis pikir dengan temannya ini.“Lakukan saja, pernikahan itu. Lagipula kau bisa bercerai jika sudah memiliki beberapa bukti kekasaran Alarick padamu.” Dengan lancarn
“Jason Marick, pria itu kakaknya Nerissa.” Tuan Frore memandang Tuan Mauricio lekat-lekat. Dia berharap Tuan Mauricio bisa mengerti dengan ucapannya.“Lalu Merick? Bagaimana bisa nama belakangnya berbeda denganmu?” Rupanya rasa penasaran Tuan Mauricio belum terjawab sepenuhnya.“Dia anak angkatku. Dua puluh dua tahun lalu sebelum aku memiliki Nerissa aku mengadopsinya dari sebuah panti asuhan dan dia sudah memiliki nama yang mungkin diberikan oleh orang tuanya.” Pikiran Tuan Frore melayang pada moment di mana dia dan istrinya mengadopsi Jason anak laki-laki yang sangat tampan dan juga baik hati.Sebelum mengadopsinya, Tuan Frore sudah lama memperhatikan kehidupan anak itu di panti asuhan. Seorang anak laki-laki berumur kurang lebih 4 tahun itu gemar berbagi pada temannya. Itulah yang menarik perhatian Tuan Frore untuk mengadopsi anak itu.“Nerissa mengetahuinya?” tanya Tuan Mauricio.“Ya. Aku me
Sebuah perjodohan antara Alarick dan Nerissa tak dapat dielakkan lagi. Kedua keluarga mereka sama-sama menginginkan perjodohan itu, namun tidak dengan Alarick begitupun Nerissa.Tak ada lagi cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari perjodohan tak masuk akal ini. Bahkan percobaan bunuh diri pun sudah Nerissa lakukan, dan apa hasilnya? Sebuah kegagalan.Hari yang seharusnya menjadi impian para pasangan, namun bagi Nerissa ini adalah awal dari kehancurannya. Seorang suami dengan harta melimpah yang tentu saja akan memenuhi kebutuhan finansialnya, tak menjadikan Nerissa luluh akan pria itu.Memang benar Nerissa telah mencintai pria itu sejak lama, namun bukan berarti dia akan menerima begitu saja sebuah perjodohan yang bahkan sangat tidak diinginkan oleh Alarick.“Bagaimana, Nona?” Seorang pelayan di sebuah butik menatap penuh harap pada Nerissa. Pelayan itu tentu saja menantikan sebuah jawaban positif dari seorang Nona Frore ini, ah akank
Pagi ini terasa begitu asing bagi Nerissa. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. Ini bukan kamarnya, hanya itu yang terlintas di pikirannya sebelum akhirnya dia mengingat dengan jelas proses pengucapan janji yang mereka lakukan kemarin sore. Ya, Nerissa kini sudah menjadi seorang istri. Istri dari seorang Alarick Mauricio.Cinta pertamanya yang kini berhasil dia miliki sepenuhnya namun tidak dengan hatinya. Perlahan Nerissa melirik seseorang yang tidur dengan pulas di sampingnya. Alarick, pria itu terlihat lebih tampan saat tertidur seperti ini. Ya, mereka memutuskan untuk tidur di kamar yang sama mengingat orang tuanya bisa datang kapan saja.Mentari memang belum menampakkan dirinya, pantas saja jika pria di sampingnya ini masih tertidur begitu nyenyak. Tangan Nerissa terangkat untuk menyentuh pahatan indah di depan matanya sebelum dia mengurungkan niatnya.Alarick mengerjapkan matanya. Entah apa yang membuat pria itu terbangun. Apakah gerakan Neriss