Share

Alarick Part 2

Sepertinya semesta memang benar-benar sedang mempermainkannya. Lihatlah saat ini, seseorang yang Nerissa tunggu kedatangannya satu minggu yang lalu kini baru menampakkan batang hidungnya.

Apakah dia tak punya hati? Atau dia tak mendengar kabar duka satu minggu lalu? Mustahil. Keluarganya adalah salah satu keluarga terpandang di Negeri ini, apakah mungkin kematian sang istri dari keluarga Frore tidak diliput sama sekali? Bahkan Nerissa sendiri melihat bagaimana ramainya media di depan rumahnya pagi hari setelah kejadian itu.

Lalu bagaimana bisa ayahnya baru datang saat semuanya sudah mulai melupakan kejadian itu?

“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dingin sambil berlalu meninggalkan pria paruh baya itu di depan pintu apartemennya.

Tuan Frore segera mengikuti langkah kaki anaknya ke dalam apartemen. Nerissa mengambil segelas air putih. Untuk ayahnya? Tentu saja bukan. Kalian boleh menyebutnya seorang anak yang tak tahu sopan santun.

Ah sopan santun? Bahkan dia tidak belajar itu dari keluarganya, bukankah harusnya keluarga menjadi guru terbaik untuk anaknya? Nyatanya itu tidak berlaku bagi keluarga Nerissa.

“Aku ingin kau menikah.” Nerissa tersedak air minumnya. Bagaimana tidak? Ibunya meninggal satu minggu lalu, dan dia melewati itu sendiri. Dan sekarang apa? Ayahnya ingin dia menikah disaat luka hatinya bahkan belum mengering?

Nerissa membuang muka kemudian berdecak. Dia berjalan mendekati sang ayah yang kini tengah duduk di sofa.

“Aku akan menikah, tapi tidak dengan paksaanmu,” ujar Nerissa. Gadis itu melanjutkan acara minumnya. Dia tidak haus, hal ini dilakukan hanya untuk menghindari suasana canggung.

Kalian yang memiliki keluarga, dan tak ada rasa canggung di antara satu sama lain, beruntunglah. Itu artinya mereka benar-benar peduli dan dekat dengan kalian.

“Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, kau bisa pergi.” Nerissa beranjak dari duduknya dan berjalan begitu saja ke arah kamarnya meninggalkan Tuan Frore yang masih terdiam di tempatnya dengan tatapan sendu.

***

“Aku sudah bilang padamu, aku tak ingin berpisah dengan Haleth,” ucap Alarick lelah. Saat badannya terasa remuk karena pekerjaannya yang menumpuk, dering ponsel memaksanya untuk menghentikan acara menandatangani dokumen-dokumen yang ada di depannya.

Ayahnya menginginkannya pulang malam ini. Ya, rumah kediaman Mauricio. Dan di sinilah Alarick berada dengan emosi yang hampir meledak karena pembicaraan mengenai perjodohan dirinya dengan anak teman ayahnya.

“Dan bukannya aku juga sudah bilang, kalau aku tak akan mewariskan hartaku padamu jika kau tetap dengan wanita itu?” Lagi-lagi Alarick tak bisa menjawab ayahnya. Pria berumur 24 tahun itu memalingkan wajahnya, dia benar-benar muak dengan segala paksaan yang dilakukan ayahnya. Bukan hanya sekali, dua kali tapi Alarick merasakan paksaan berkali-kali.

“Bagaimana? Kau setuju dengan tawaranku?” lanjut Tuan Mauricio. Sang istri hanya memandang sendu putranya yang harus melewati semua ini, namun dia tahu bahwa ini yang terbaik untuk putranya.

Alarick menyimpan garpu dan pisaunya dengan kasar. Wajah tampannya memerah karena amarah.

“Sampai kapan kau akan selalu memaksaku!? Ini hidupku, kenapa kau selalu ikut campur?!” Sifat arogannya itu yang membuat Tuan Mauricio khawatir dengan kehidupan putranya.

“Apa aku pernah mengajarimu berlaku tak sopan pada orang tua!?” bentak Tuan Mauricio. Melihat tak ada jawaban dari putranya, Tuan Mauricio menghela napasnya dan melanjutkan kalimatnya.

“Aku memberimu waktu satu minggu untuk mengakhiri semuanya dan kau akan baik-baik saja, namun jika dalam waktu satu minggu kau gagal, maka semua harta kekayaanku tak akan pernah menjadi milikmu.” Katakanlah Alarick gila harta, dia benar-benar tak punya apapun jika dia tak mendapatkannya dari keluarga ini.

Penyesalan perlahan menjalar di hatinya. Harusnya sejak dulu dia masuk dalam dunia bisnis, harusnya dia tak menghabiskan masa mudanya dengan hanya bermain-main di luar sana. Hingga dia mengalami hal seperti ini, dia akan baik-baik saja dengan aset yang dimilikinya, namun sekarang dia benar-benar tak punya apapun selain apa yang diberikan keluarganya.

Pria muda itu menatap sang ibu berusaha meminta bantuan, namun ibunya justru malah memalingkan muka. Tak peduli? Bukan. Dia hanya tak pernah diijinkan ikut campur dalam hal seperti ini.

Alarick tersenyum getir karena tak seorang pun berada di pihaknya saat ini.

“Aku selesai.” Alarick meninggalkan Tuan dan Nyonya Mauricio begitu saja. Hanya satu tempat tujuannya saat ini.

“Halo, ke club sekarang.” Tanpa menunggu balasan dari sebrang sana, Alarick menutup sambungan teleponnya begitu saja.

***

“Lama tak berjumpa, bagaimana kabarmu?” Kedua pria paruh baya itu saling mengulurkan tangannya untuk berjabat

“Baik, bagaimana denganmu?”

“Aku baik.”

“Jadi ... bagaimana? Kau sudah berbicara dengan putrimu?” tanya Tuan Mauricio pada orang di hadapannya.

“Aku butuh waktu untuk membujuknya. Kau tahu sendiri bagaimana sikap dia padaku.” Tuan mauricio mengangguk mengiyakan karena memang sulit untuk menyatukan keduanya.

“Santai saja, Frore. Lagi pula mereka masih muda.” Mereka berdua tertawa. Sudah hampir 5 bulan Tuan Mauricio tidak menemui sahabatnya ini.

“Bagaimana denganmu?” Dengan santai Tuan Frore meneguk minuman yang ada di depannya.

“Aku sudah berusaha, beri aku satu minggu untuk memastikan semuanya,” jawab Tuan Mauricio.

***

“Bu, bisa tolong buatkan aku sandwich?” Panggilan ibu pada PRT-nya itu adalah atas kehendak Nerissa sendiri. Dia memilih itu sekedar untuk mengobati rasa rindu pada ibunya. Baru lima hari orang yang dia panggil ibu itu bekerja di sini. Nerissa merasa membutuhkan seseorang untuk mengurusnya mengingat dia sibuk dengan pekerjaannya dan selalu dikejar deadline.

“Baik, Non.” Ibu Inah menolak untuk memanggil Nerissa hanya dengan nama. Katanya, bagaimanapun Nerissa adalah majikannya.

Jari-jari lentik Nerissa terus bergerak lincah di atas keyboard mengetik kalimat-kalimat indah yang manarik bagi pembacanya. Ya, Nerissa seorang penulis. Kurang lebih lima tahun lamanya dia telah berkecimpung dalam dunia kepenulisan ini.

Nerissa meregangkan badannya setelah dia menyelesaikan kalimat terakhir dalam tulisannya.

“Ini, Non.” Ibu Inah menyimpan satu piring isi sandwich di atas meja tepat di depan Nerissa.

“Terimakasih, Bu.” Nerissa memberikan senyum pada wanita paruh baya itu.

“Ibu bisa duduk di sini? Temani Nerissa makan.” Nerissa menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya berharap agar ibu Inah bersedia menemaninya.

Tanpa menjawab, wanita paruh baya itu tersenyum dan menghampiri Nerissa untuk makan bersama.

***

“Bagaimana? Kapan kamu lamar aku?” Kini Haleth tengah bergelayut manja di samping Alarick. Entah bagaimana perempuan itu bisa ada di sini. Niatnya ke sini untuk menenangkan pikiran bersama kedua temannya, namun alangkah sial hidupnya malah bertemu dengan kekasihnya di sini.

Bukannya tak mau, hanya saja waktunnya tidak tepat. Kini kepalanya terasa hendak pecah. Bagaimana bisa Haleth menanyakan perihal pernikahan sementara Alarick sendiri harus segera memutuskan gadis itu.

“Rick, sepertinya kita harus pergi dulu” Dengan canggung Zio pergi ke meja lain membawa Lucifer. Dia tak mau mencampuri urusan temannya. Toh jika temannya memang perlu bantuan, maka Alarick akan memintanya sendiri tanpa sebuah tawaran.

Alarick melirik Zio sekilas sebelum pria itu pergi. Dia kembali mengarahkan pandangannya ke arah Haleth. Sepertinya gadis itu sangat mabuk saat ini. Alarick tak menjawab pertanyaan Haleth, toh gadis itu juga tak akan ingat dengan apa yang dia katakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status