Share

Alarick Part 3

Alarick berdecak ketika dia mengetahui gadis yang dimaksud ayahnya. Nerissa, gadis itu kini ada di hadapannya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Bahagia? Tentu saja. Namun apakah Nerissa akan terus bahagia ketika dia harus mengambil kebahagiaan dari orang yang dia sayang.

Ya. Nerissa telah menyimpan perasaan itu selama empat atau lima tahun mungkin. Sementara Alarick, pria itu tak menyangka akan dipertemukan dengan Nerissa dalam sebuah perjodohan.

“Aku menolaknya,” tegas Alarick. Tuan Mauricio sontak menatap anaknya tak percaya.

“Ya. Aku menolak perjodohan ini,” lanjutnya, pandangan Alarick tertuju pada Tuan Frore.

“Maafkan saya, Tuan. Saya sudah memiliki seseorang yang saya sayang,” ucapnya pada Tuan Frore.

Alarick beranjak dari duduknya dan segera meninggalkan restoran itu.

“Maaf Frore, sepertinya aku harus berbicara lagi padanya.”

“Tak apa, aku bisa memahaminya.” Tuan Mauricio mengangguk dan segera menyusul putranya.

“Jadi apa alasanmu kali ini? Pria itu bahkan tak ingin menikah denganku.” Nerissa tersenyum sinis menatap ayahnya.

“Keluarga Mauricio telah banyak membantu keluarga kita. Tidak bisakah kita sedikit berbalas budi padanya dengan menuruti keinginannya?” tanya Tuan Frore.

“Dengan menjualku?” Nerissa merotasikan bola matanya. Apakah dia benar-benar dijual? Oleh ayahnya sendiri?

“Bukan beg—“

“Aku pergi.” Pergi dari sana adalah hal yang paling ingin Nerissa lakukan saat ini.

Dinginnya malam menemani tangisan Nerissa. Lagi dan lagi dia harus mengeluarkan air mata ini. apakah lebih baik mati dan menghilang?

Netranya menatap ke arah sungai yang ada di bawahnya. Ya, saat ini dia tepat berada di tengah-tengah jembatan.

Bagaiman bisa seorang ayah tega menukar anaknya dengan sebuah harta? Nerissa akui bahwa gadis itu menyukai Alarick, namun Nerissa cukup tahu diri untuk tidak mendekati pria itu. Selain Alarick yang sudah memiliki seorang kekasih, pria itu juga tak akan tergapai tak peduli seberapa keras dia mencoba.

Sangat percaya diri bukan? Tentu saja, Nerissa sudah pernah mencoba. Gadis itu tertawa getir bersamaan dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

Ponselnya berdering. Nerissa mengusap kasar air matanya. Senyum getir terukir di bibirnya saat dia berhasil mengetahui siapa yang menghubunginya.

“Bisa kita bertemu di restoran xxx?” tanya orang di sebrang sana.

“Oke.” Singkat. Dia pun sangat ingin bertemu dengan orang itu. Memesan taksi adalah pilihan terakhirnya mengingat dia tak membawa kendaraan karena berangkat bersama ayahnya tadi.

Restoran yang terbilang mewah saat ini ada di hadapannya. Dia pikir dia datang tepat waktu karena beberapa saat setelah dia keluar dari taksi, Alarick datang dengan seorang gadis di gandengannya.

Mereka bertiga saling mengenal. Bagaiman tidak, mereka satu SMA dan Nerissa menjadi saksi di mana Alarick menyatakan perasaannya pada Haleth.

Walaupun saling mengenal, kini Nerissa berjalan di belakang mereka. Seperti seorang babu? Ya, itu juga yang ada dalam pikiran Nerissa. Nerissa tersenyum getir membayangkan penolakan Alarick padanya beberapa jam lalu.

Beginilah orang-orang seperti Alarick. Saat datang, makanan sudah tepat berada di hadapan mereka. Walaupun bisa dikatakan keluarga Nerissa kaya, namun kekayaannya tak lebih banyak dari keluarga Alarick.

“Jadi ... apa yang ingin kau bicarakan?” Tanpa menghela nafas terlebih dahulu, Nerissa langsung menanyakan maksud dari undangan Alarick.

“Kau tahu kalau aku sudah memiliki kekasih,” ucapnya sambil melirik Haleth yang ada di sampingnya. Nerissa turut menolehkan pandangannya pada Haleth seraya berdecih.

“Lalu?” tanya Nerissa angkuh.

“Tak bisakah kau menolak perjodohan ini?” tanya Alarick.

“Mengapa harus aku? Bukankah kau juga bisa membujuk ayahmu untuk menghentikan rencana konyol ini?”

“Jika aku bisa, aku tak akan bertemu denganmu saat ini.” Ya benar. Alarick berkata benar.

“Lalu apa yang harus aku lakukan jika aku juga tak bisa menolaknya? Kau pikir hanya kau yang tak setuju dengan perjodohan ini?!” ucapnya. Nada suara Nerissa sedikit meninggi.

“Kenapa kau membentak kekasihku?!” Nerissa berdecak mendengar penuturan Haleth.

“Ak—” tak sampai selesai Nerissa mengucapkan kata yang hendak di keluarkannya, sesuatu yang menetes dari hidungnya yang menjadi penyebabnya.

“Darah sialan ini lagi,” umpatnya. Tanpa permisi, Nerissa melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ini kali kedua Alarick melihat darah dari hidung Nerissa.

“Kenapa dia?” tanya Haleth kebingungan.

Alarick mengedikkan bahunya pertanda dia juga tak mengetahui apa-apa. Nerissa kembali dengan hidung yang sudah bersih.

“Kapan acara pernikahannya?” tanya Nerissa. Keadaanya sudah sedikit lebih tenang daripada sebelumnya.

“Satu minggu lagi?” Alarick berucap ragu karena memang dia tidak mengetahui kapan tepatnya.

“Oke, aku pergi.” Nerissa kembali bangkit dari duduknya dan pergi dari sana tanpa mempedulikan teriakan Haleth yang menyuruhnya untuk tidak pergi.

“Aku pikir, kau memang harus menikah dengannya jika itu yang menjadi alasan ayahmu melakukannya.” Sebuah penuturan yang berhasil membuat Alarick tercengang. Bagaimana bisa kekasihnya menyerahkan dirinya begitu saja?

“Maksudmu? Aku harus menikah dengannya karena sebuah harta?!” Nada bicara Alarick sedikit meninggi. Dia tak habis pikir dengan Haleth.

“Bukan begitu. Maaf aku baru memberitahumu sekarang, tapi aku akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan karirku.” Mata Alarick sontak membulat mendengar penuturan kekasihnya.

“Kita bisa terus berhubungan tak peduli seberapa jauh jarak antara kita.” Alarick menggenggam kedua tangan Haleth berharap gadis itu akan mendengarkan bujukannya.

“Mungkin kau bisa, namun tidak denganku. Aku tak berpikir hubungan jarak jauh akan berhasil.” Tatapan mata Haleth mulai sendu.

“Jadi ... mari kita akhiri di sini, aku pergi.” Haleth melepaskan genggaman Alarick pada tangannya. Dia pergi menyisakan luka dalam di hati Alarick. Meskipun gadis itu kerap merepotkannya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dia mencintai kekasihnya itu, oh apakah sekarang menjadi mantan kekasih?

***

Kakinya terus melangkah enggan terhenti walaupun kini hatinya terasa sangat nyeri. Penolakan yang dilayangkan Alarick untuk yang kedua kalinya mampu membuat perasaan Nerissa berantakan. Tangannya terangkat kemudian menekan bel yang ada di hadapannya.

Satu, dua kali tak ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Nerissa merogoh ponselnya mencari nama pemilik apartemen ini. Sedetik sebelum dia menekan tombol hijau di ponselnya, pintu itu terbuka menampilkan sosok cantik dengan penampilan yang acak-acakan.

Tanpa berbicara atau sekedar menyapa pada sang tuan rumah, Nerissa masuk begitu saja ke dalam apartemen itu. Sang pemilik apartemen yang sudah terbiasa dengan itu, hanya mengikuti langkah Nerissa menuju ke dalam.

“Hidungmu berdarah lagi.” Bukan pertanyaan, itu adalah sebuah pernyataan.

Dengan segera, Nerissa memegang bagian bawah hidungnya dan benar saja, cairan merah itu dengan kurang ajarnya mengalir lagi dari hidungnya.

“Sialan!” umpat Nerissa.

“Sudah ku katakan untuk terapi rutin saja.” Gadis itu menyodorkan beberapa lembar tisu pada Nerissa untuk menghapus darah itu.

“Dan sudah ku katakan pula bahwa itu tak berguna, Love.” Daciana Lovetta. Satu-satunya teman dekat Nerissa. Lovetta menghela nafasnya kasar. Lagi-lagi sebuah penolakan yang dia dapatkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status