Alarick berdecak ketika dia mengetahui gadis yang dimaksud ayahnya. Nerissa, gadis itu kini ada di hadapannya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Bahagia? Tentu saja. Namun apakah Nerissa akan terus bahagia ketika dia harus mengambil kebahagiaan dari orang yang dia sayang.
Ya. Nerissa telah menyimpan perasaan itu selama empat atau lima tahun mungkin. Sementara Alarick, pria itu tak menyangka akan dipertemukan dengan Nerissa dalam sebuah perjodohan.
“Aku menolaknya,” tegas Alarick. Tuan Mauricio sontak menatap anaknya tak percaya.
“Ya. Aku menolak perjodohan ini,” lanjutnya, pandangan Alarick tertuju pada Tuan Frore.
“Maafkan saya, Tuan. Saya sudah memiliki seseorang yang saya sayang,” ucapnya pada Tuan Frore.
Alarick beranjak dari duduknya dan segera meninggalkan restoran itu.
“Maaf Frore, sepertinya aku harus berbicara lagi padanya.”
“Tak apa, aku bisa memahaminya.” Tuan Mauricio mengangguk dan segera menyusul putranya.
“Jadi apa alasanmu kali ini? Pria itu bahkan tak ingin menikah denganku.” Nerissa tersenyum sinis menatap ayahnya.
“Keluarga Mauricio telah banyak membantu keluarga kita. Tidak bisakah kita sedikit berbalas budi padanya dengan menuruti keinginannya?” tanya Tuan Frore.
“Dengan menjualku?” Nerissa merotasikan bola matanya. Apakah dia benar-benar dijual? Oleh ayahnya sendiri?
“Bukan beg—“
“Aku pergi.” Pergi dari sana adalah hal yang paling ingin Nerissa lakukan saat ini.
Dinginnya malam menemani tangisan Nerissa. Lagi dan lagi dia harus mengeluarkan air mata ini. apakah lebih baik mati dan menghilang?
Netranya menatap ke arah sungai yang ada di bawahnya. Ya, saat ini dia tepat berada di tengah-tengah jembatan.
Bagaiman bisa seorang ayah tega menukar anaknya dengan sebuah harta? Nerissa akui bahwa gadis itu menyukai Alarick, namun Nerissa cukup tahu diri untuk tidak mendekati pria itu. Selain Alarick yang sudah memiliki seorang kekasih, pria itu juga tak akan tergapai tak peduli seberapa keras dia mencoba.
Sangat percaya diri bukan? Tentu saja, Nerissa sudah pernah mencoba. Gadis itu tertawa getir bersamaan dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.
Ponselnya berdering. Nerissa mengusap kasar air matanya. Senyum getir terukir di bibirnya saat dia berhasil mengetahui siapa yang menghubunginya.
“Bisa kita bertemu di restoran xxx?” tanya orang di sebrang sana.
“Oke.” Singkat. Dia pun sangat ingin bertemu dengan orang itu. Memesan taksi adalah pilihan terakhirnya mengingat dia tak membawa kendaraan karena berangkat bersama ayahnya tadi.
Restoran yang terbilang mewah saat ini ada di hadapannya. Dia pikir dia datang tepat waktu karena beberapa saat setelah dia keluar dari taksi, Alarick datang dengan seorang gadis di gandengannya.
Mereka bertiga saling mengenal. Bagaiman tidak, mereka satu SMA dan Nerissa menjadi saksi di mana Alarick menyatakan perasaannya pada Haleth.
Walaupun saling mengenal, kini Nerissa berjalan di belakang mereka. Seperti seorang babu? Ya, itu juga yang ada dalam pikiran Nerissa. Nerissa tersenyum getir membayangkan penolakan Alarick padanya beberapa jam lalu.
Beginilah orang-orang seperti Alarick. Saat datang, makanan sudah tepat berada di hadapan mereka. Walaupun bisa dikatakan keluarga Nerissa kaya, namun kekayaannya tak lebih banyak dari keluarga Alarick.
“Jadi ... apa yang ingin kau bicarakan?” Tanpa menghela nafas terlebih dahulu, Nerissa langsung menanyakan maksud dari undangan Alarick.
“Kau tahu kalau aku sudah memiliki kekasih,” ucapnya sambil melirik Haleth yang ada di sampingnya. Nerissa turut menolehkan pandangannya pada Haleth seraya berdecih.
“Lalu?” tanya Nerissa angkuh.
“Tak bisakah kau menolak perjodohan ini?” tanya Alarick.
“Mengapa harus aku? Bukankah kau juga bisa membujuk ayahmu untuk menghentikan rencana konyol ini?”
“Jika aku bisa, aku tak akan bertemu denganmu saat ini.” Ya benar. Alarick berkata benar.
“Lalu apa yang harus aku lakukan jika aku juga tak bisa menolaknya? Kau pikir hanya kau yang tak setuju dengan perjodohan ini?!” ucapnya. Nada suara Nerissa sedikit meninggi.
“Kenapa kau membentak kekasihku?!” Nerissa berdecak mendengar penuturan Haleth.
“Ak—” tak sampai selesai Nerissa mengucapkan kata yang hendak di keluarkannya, sesuatu yang menetes dari hidungnya yang menjadi penyebabnya.
“Darah sialan ini lagi,” umpatnya. Tanpa permisi, Nerissa melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ini kali kedua Alarick melihat darah dari hidung Nerissa.
“Kenapa dia?” tanya Haleth kebingungan.
Alarick mengedikkan bahunya pertanda dia juga tak mengetahui apa-apa. Nerissa kembali dengan hidung yang sudah bersih.
“Kapan acara pernikahannya?” tanya Nerissa. Keadaanya sudah sedikit lebih tenang daripada sebelumnya.
“Satu minggu lagi?” Alarick berucap ragu karena memang dia tidak mengetahui kapan tepatnya.
“Oke, aku pergi.” Nerissa kembali bangkit dari duduknya dan pergi dari sana tanpa mempedulikan teriakan Haleth yang menyuruhnya untuk tidak pergi.
“Aku pikir, kau memang harus menikah dengannya jika itu yang menjadi alasan ayahmu melakukannya.” Sebuah penuturan yang berhasil membuat Alarick tercengang. Bagaimana bisa kekasihnya menyerahkan dirinya begitu saja?
“Maksudmu? Aku harus menikah dengannya karena sebuah harta?!” Nada bicara Alarick sedikit meninggi. Dia tak habis pikir dengan Haleth.
“Bukan begitu. Maaf aku baru memberitahumu sekarang, tapi aku akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan karirku.” Mata Alarick sontak membulat mendengar penuturan kekasihnya.
“Kita bisa terus berhubungan tak peduli seberapa jauh jarak antara kita.” Alarick menggenggam kedua tangan Haleth berharap gadis itu akan mendengarkan bujukannya.
“Mungkin kau bisa, namun tidak denganku. Aku tak berpikir hubungan jarak jauh akan berhasil.” Tatapan mata Haleth mulai sendu.
“Jadi ... mari kita akhiri di sini, aku pergi.” Haleth melepaskan genggaman Alarick pada tangannya. Dia pergi menyisakan luka dalam di hati Alarick. Meskipun gadis itu kerap merepotkannya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dia mencintai kekasihnya itu, oh apakah sekarang menjadi mantan kekasih?
***
Kakinya terus melangkah enggan terhenti walaupun kini hatinya terasa sangat nyeri. Penolakan yang dilayangkan Alarick untuk yang kedua kalinya mampu membuat perasaan Nerissa berantakan. Tangannya terangkat kemudian menekan bel yang ada di hadapannya.
Satu, dua kali tak ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Nerissa merogoh ponselnya mencari nama pemilik apartemen ini. Sedetik sebelum dia menekan tombol hijau di ponselnya, pintu itu terbuka menampilkan sosok cantik dengan penampilan yang acak-acakan.
Tanpa berbicara atau sekedar menyapa pada sang tuan rumah, Nerissa masuk begitu saja ke dalam apartemen itu. Sang pemilik apartemen yang sudah terbiasa dengan itu, hanya mengikuti langkah Nerissa menuju ke dalam.
“Hidungmu berdarah lagi.” Bukan pertanyaan, itu adalah sebuah pernyataan.
Dengan segera, Nerissa memegang bagian bawah hidungnya dan benar saja, cairan merah itu dengan kurang ajarnya mengalir lagi dari hidungnya.
“Sialan!” umpat Nerissa.
“Sudah ku katakan untuk terapi rutin saja.” Gadis itu menyodorkan beberapa lembar tisu pada Nerissa untuk menghapus darah itu.
“Dan sudah ku katakan pula bahwa itu tak berguna, Love.” Daciana Lovetta. Satu-satunya teman dekat Nerissa. Lovetta menghela nafasnya kasar. Lagi-lagi sebuah penolakan yang dia dapatkan.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota