LOGIN"Alhamdulillah kenyang." Aldory bersendawa usai meneguk habis air putih dalam botol minum yang dibawanya.
"Wuenak tenan. Makan ikan segar gini. Dibakar sebentar disiram sambal dabu-dabu. Habiskan nasi sewakul, pokoknya." Kekeh Agus masih asyik makan ikan. "Di sini, sumber protein melimpah. Harusnya anak-anak pada cerdas 'kan, ya ... Tapi, realita di lapangan. Ngajarin mereka, lebih sering pakai otot." Aldory berkomentar mengenai anak didik mereka. "Mereka susah nangkap pelajaran karena tidak mau belajar. Itu poin pentingnya. Bukan karena makanan berprotein tinggi atau rendah. Anak kelas tiga kemarin kutanya. Kenapa kok, enggak semangat belajar, padahal sebentar lagi ujian. Apa enggak mau lanjutin sekolah. Mereka jawabnya begini, kami pinter pun tetap saja nanti cari uangnya berlayar atau pergi ke ladang, Bu Guru. Sekarang kami sudah bisa melakukan itu tanpa pergi ke sekolah. Kalau sudah orientasi begitu, kita ngasih semangat kayak bagaimana lagi, coba." Agus dan Aldory hanya tertawa mendengar cerita Amalia. "Guru yang mengajar di sini 'kan, semua dari luar daerah. Hanya Renata yang asli sini. Itupun hanya sebagai tenaga pembantu. Orang ijazahnya masih SMP, sekarang ikut kejar paket C. Semoga nanti dia ada kemauan kuliah sarjana pendidikan. Supaya bisa jadi guru beneran di sini." "Hmm ... siapa tahu dia jodohnya si Marmit. Karena enggak mungkin, sampean mau sama dia 'kan, Bu Alia." Agus nimpali ucapan Amalia. Amalia hanya menanggapi dengan senyuman. Gurauan dari rekannya itu. Matahari semakin mengelincir, waktu Dhuhur berganti Ashar. Amalia memperhatikan sepuluh muridnya yang mengerjakan tugas dan ulangan harian di dalam perahu yang ditepikan di daratan. "Mereka sebenarnya polos banget. Kadang kasihan kita melihatnya. Ingatkan saat kita datang. Dengan gaya sok akrab mereka menyapa kita, 'Hai, Bro!' ... baju anak-anak gadis pada kurang bahan semua. Yang mereka lihat di TV, dikira seperti itulah gaya hidup orang modern. Mereka enggak mau ketinggalan. Makanya, berpakaian dan ngomong bahasa gaul." Amalia mengalihkan pandangan ke hamparan lautan ketika ombak datang. "Iya, bener Bu Alia. Mereka polos banget, untuk ukuran anak seusianya. Paling ngeri kalau sudah Pak Martin main buluh sama anak-anak itu. Dan sampean kalau anak-anak lagi dibuluh, langsung pergi ke UKS nungguin mereka di sana sambil pegang minyak tawon." "Jujur aku enggak tega, Pak Agus. Pernah nanyak, apa orang tuanya enggak marah anaknya dipukuli kayak gitu. Lha bapaknya sendiri malah yang nyerahkan bambu untuk mukul anaknya." Aldory berdiri saat dilihatnya tiga anak menghampiri mereka bertiga dengan membawa tumpukan kertas ulangan dan buku tulis. "Sudah selesai semua temannya?" ucap Aldory menerima tumpukan buku. Sedangkan Agus menerima bagian lembaran. Amalia yang berada dibelakang mereka, membereskan bebas bakaran ikan dan wadah bekal yang dibawa tadi. Selesai membereskan semuanya, Ia masukan semua dalam kantong plastik. "Asyik sekali, ya ... Kita belajar di alam terbuka," ucap Yosep disambut anggukan kedua temannya. "Besok, kita belajar di sini lagi, ya Ibuk Guru," rayu Firda pada Amalia. Anak rambut pirang itu memegangi lengan Amalia. "Boleh. Kita besok belajar di taman dekat sekolah." Jawaban Amalia tak urung membuat muridnya cemberut. "Kita tidak sanggup kalau setiap hari ke sini, Firda. Besok kalian pada masuk, ya ... hari Senin ujian kenaikan kelas. Belajar yang rajin." Agus menepuk bahu Yosep dan Firda. Akhirnya kegiatan yang diagendakan mereka bertiga berjalan lancar sesuai angan. Tempat bekal yang telah habis isinya pun dipenuhi oleh cumi pemberian dari salah satu orang tua murid. "Wah, kita ambil foto dulu, Bu Alia. Pemandangan yang bagus banget ini." Agus membidikkan kamera di ponselnya saat mereka berada di atas bukit paling akhir menuju rumah Batumawira. "Dory, cepat ambil fotoku dengan gaya nangkap matahari." Aldory tergopoh-gopoh mengambil ponsel Agus, kemudian bak fotografer profesional dia mengarahkan berbagai macam gaya dari pengambilan gambar di setiap tempat yang menurutnya bagus. "Indah banget pemandangan di lihat dari sini, Pak Agus, Dory." Amalia juga mengarahkan kamera di ponselnya untuk mengambil gambar pemandangan di waktu senja itu. "Hampir semua momens perayaan kita rayakan di sini dari idul Adha, Natalan, Tahun baru, sebentar lagi puasa dan lebaran. Setelahnya sayonara. Niat awal untuk menghindari tanggung jawab, mengurus orang di kampung halaman. Sekalinya di sini kita memiliki banyak tanggung jawab yang harus kita selesaikan." "Eh, tumben anak ini. Agak bener ngomongnya Bu Alia," sahut Agus membuat Aldory menabok bahunya. "Alhamdulillah kalau dia sudah dewasa, Pak Agus. Pulang kampung, tinggal ijab qabul, nanti." Gurau Amalia menimpali. "Masih lama itu, setahun lagi. PPG dulu kita, Bu Alia. Lagian sudah mantep memang, Dory. Menikah itu tanggung jawab yang besar, lo. Kalau memang dirimu belum siap, mendingan jangan dulu." Agus mencoba menasehati rekannya. Aldory muda setahun dari Amalia, dan dua tahun lebih muda dari Agus. Karena itulah dirinya dianggap adik diantara mereka bertiga. Di keluarganya Aldory Febrian anak pertama dari bertiga saudara. Laki-laki sendiri. Oleh sebab itulah, harapan besar berada di pundak pria itu. Dalam keluarga besarnya di Lampung. Kekerabatan amat dijunjung tinggi, karenanya ia sudah diwanti-wanti oleh ibunya tidak boleh pacaran. Jodohnya sudah disiapkan yang tak lain sepupunya dari pihak ibunya sendiri. Berhektar-hektar hamparan sawit akan diwariskan untuk dikelola olehnya nanti, saat dirinya kembali ke kampung halaman.Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag
“Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny
"Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak
“Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu
"Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n
RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d







