"Mbak, aku balik ke kantor sekarang, ya ... barusan ojek online-nya bilang OTW." Tiba-tiba terdengar seruan Kanzu dari arah pintu. "Oh iya, siapa namamu?" Pertanyaan Kanzu saat ia melihat Wafa berdiri di samping ranjang Tamara.
"Dia, Wafa ... Kanzu. Sekretaris Mbak Via inilah, yang tadi Mbak rekomendasi untuk ikutan merancang bangunan rusun." Tamara mengisyaratkan agar Wafa keluar dari kamarnya. "Temani, Kanzu sebentar di ruang tamu. Seandainya jadi bergabung, dia nanti jadi atasanmu," bisik Tamara mengarah ke telinga Wafa."Maksudnya, Mbak?""Cuti Asri sebentar lagi habis. Kalau dia balik, kemungkinan kamu akan ditarik ke Setyabiru. Karena untuk mengerjakan rancangan bangunan, digarap di studionya mas Rayyan," lirih Tamara memberikan penjelasan pada Wafa."Ya, sudah. Aku pergi dulu ya, Mbak. Semoga Mbak Tamara lekas sehat seperti sedia kala." Kanzu mengulang pamit untuk kedua kali."Eh, barusan Wafa buat minuman. Sudah diminum belum?"Malamnya usai mengerjakan salat Isya berjamaah dengan bibinya, terdengar panggilan masuk dari ponsel Wafa. "Wafa angkat telepon dulu ya, Bi," pamit Wafa sembari meraih tangan bibinya untuk ia cium."Iya, angkatlah. Siapa tahu dari ibumu, karena kemarin ia bilang kangen padamu."Wafa mengangguk. Bergegas ia berdiri menuju ke kamarnya. Sesampainya di kamar, segera ia raih ponselnya yang terletak di nakas. "Bunda Syaiba," gumam Wafa seketika mengusap layar untuk menerima video call dari bundanya Kanaya itu."Mama Nunun!" seru bocah tampan yang amat ia rindukan tadi pagi. Apakah rasa rindunya pada Saka, terhubung dengan baik."Saka! Mama kangen, Nak," ujar Wafa dengan mata berkaca. Bocah yang berada di layar ponselnya berceloteh dengan lucu ditemani sang nenek yang duduk di belakangnya."Saka juga kangen, Mama Ainun," ucap Bu Syaiba dengan suara bergetar, melihat Wafa berusaha keras menyembunyikan tangis harunya tak urung membuat hatinya tren
"Hanya padamu, aku mengakui ini, Nun. Aku telah menghancurkan masa depan gadis itu," air mata Satria menetes saat pernyataan jujur itu meluncur dari bibirnya.Kedua mata Wafa membulat sempurna, mendengar pengakuan dari Satria. "Jadi, ternyata kamu manusia bejat itu!" telunjuk gadis itu, tepat mengarah ke dada Satria. Dengan mata memerah, menahan geram ia telangkupkan telunjuknya menjadi kepalan."Iya, Nun. Boleh dikatakan aku telah memperdaya Kanaya. Aku mengambil kesempatan saat dia tak berdaya. Pada kenyataannya, imanku hanya setipis belahan tisu."Wafa beranjak berdiri, kemudian dengan cepat ia layangkan tinju pada muka Satria hingga pria itu tersungkur dari bangku taman.Satria memegang pipi kirinya, pukulan dari Wafa menembus nyeri hingga rahangnya. Kejadian barusan, diluar prediksinya hingga ia terkejut dan tak sempat menghindar."Kamu tahu, akibat dari perbuatanmu itu. Kanaya sangat menderita. Tetapi, ia masih melindungimu dengan t
"Bu Ninik, sudah!" Panggil seseorang sembari memencet bel yang disediakan di atas meja kasir. Wafa meminta Mbak Wahyu untuk menggantikannya, karena ia pergi ke atas untuk melaksanakan salat Dhuhur. Gadis itu, ke atas setelah waktu makan siang karyawan selesai. "Iya, sebentar!" seru Wafa dari ujung tangga atas. Sambil menuruni tangga, gadis itu mengancingkan lengan gamisnya."Ainun!" tunjuk seorang pria dengan tatapan tak percaya di depan meja kasir."Satria," ujar gadis itu mempercepat langkahnya menuju meja kasir. "Yaa ampun, kok bisa-bisanya kita bertemu di sini. Kamu anaknya Bu Ninik?" tanya Satria.Wafa menggelengkan kepala. "Aku keponakannya. Kamu sendiri kok bisa berada di sini?""Aku sudah dua bulan magang di sini, kamu sudah lama tinggal di kantin ini?""Sudahlah, aku kan juga bekerja di sini.""Masak sih, kok kita enggak pernah ketemu.""Aku di devisi perencanaan. Anggota Bu Tamara.
Penjelasan dari dokter kandungan membuat Wafa dan Kanaya syok, tak percaya. Terlebih Kanaya, putri kesayangan almarhum Ghizra Arsyad itu, bahkan tak terdengar isakan tangisnya. Air matanya tumpah, sebagai tanda hatinya terguncang. Tidak dalam keadaan baik-baik. "Kak Ainun, jangan ninggalin aku ya ... semua boleh pergi, kecuali kakak. Kalau aku enggak dianggap bagian keluarga Santosa lagi. Boleh kan, aku tinggal sama kakak," pinta Kanaya lirih dengan tatapan kosong sepulang mereka dari dokter kandungan. "Kakak percaya kan, padaku ... bahwa aku tak mungkin melakukan zina. Aku masih waras, Kak! Aku sayang keluargaku. Enggak mungkin aku mencoreng muka mereka dengan tindakan bodoh seperti itu. "Dik, coba ingat. Mungkin kamu pernah dirudapaksa dalam keadaan tak sadar?" tanya Wafa dengan nada cemas. Namun, gelengan kepala dari Kanaya, membuat Wafa meraih bahunya. Keduanya saling berpelukan erat dengan tangis nestapa. Dua bulan setelah pemeriksaa
["Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan sholat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Subuh."(HR Tirmidzi)] Kanzu tersenyum membaca balasan pesan singkat dari Wafa tersebut. Anggota timnya itu, selalu mengirimi pesan berisi nasehat memperbaiki ibadah. Sebenarnya untuk mengingatkan diri sendiri juga, syukur-syukur yang menerima pesannya juga melaksanakan. Demikian pemikiran Wafa. Tidak pernah lagi membahas mengenai perasaan. Namun, Kanzu selalu membuka gawainya di pagi hari untuk mengirim pesan dahulu kepada Wafa sebelum melakukan pekerjaannya di kantor. Apakah ini, bisa dimaknai perselingkuhan? Bisa jadi demikian, karena setiap membuka pesan dari Wafa, hati Kanzu berbunga. Padahal ia sadar, dianya sudah menikah demikian juga wanita yang dihubungi, mengaku sudah memi
"Di mana Saka lihat Mama Ainun?" terdengar suara Bu Syaiba dari ponsel Kanzu.Wafa dengan cepat bergeser, menjauh dari Kanzu. Supaya tidak terlihat bayangannya di layar ponsel pria tersebut. Dalam hati dia berharap, pintu lift segera terbuka, sehingga bisa pergi menjauh dari atasan."Hayo, mana Mama Ainun?" Kembali suara Bu Syaiba terdengar. "Memang papamu sama siapa?""Waduh! mati aku!" Wafa memejam sembari merapal doa, semoga Kanzu tak mengarahkan ponsel padanya."Ada sama anggota, Bun?" jawab Kanzu sembari melirik ke arah Wafa yang menggeser tubuhnya hingga di pojokkan lift. Seolah menghindar supaya tak tertangkap kamera di handphone miliknya."Oh, begitu. Pasti cantik, ya ... makanya tadi, Saka seperti lihat mama Ainunnya," lanjut Bu Syaiba."Hmmm ...." Terdengar tawa Bu Syaiba. "Ngomong-ngomong tentang Ainun. Bunda sudah lama enggak menghubunginya, Kanzu. Ya, bagaimana mau menghubunginya saat permasalahan kalian be