Begitu keluar dari lift keduanya berjalan beriringan keluar gedung menuju area parkir.
"Sebentar, Fa! Kok tiba-tiba kakak merasa lemas ya, baru rasanya badan kayak melay--" belum selesai kalimat Tamara, laksana tak bertulang, tubuhnya hilang keseimbangan."Eh, Mbak Via kenapa?" Refleks Wafa menangkap tubuh Tamara. Gadis itu, terduduk seraya menyangga tubuh Tamara. "Mbak Via sadar, Mbak!" Wafa menepuk perlahan pipi Tamara. Namun, istri dari dr.Radit tetap lunglai tak sadarkan diri.Wafa mengedarkan pandangan sekelilingnya, berharap ada orang lain selain mereka berdua yang bisa diminta tolong untuk membantu mengangkat tubuh Tamara."Astaghfirullah ... ini kenapa!" terdengar seru seseorang dari belakang Wafa. Wajah gadis itu, terkejut saat sosok yang berseru tadi mengambil alih tubuh Tamara. "Cepat buka pintu mobilnya, segera kita antar ke rumah sakit terdekat.""Eh, i-ya ... sebentar, " ucap Wafa tergagap. Bergegas ia mengambil kunci mobil"Sudah selesai salat Dhuhanya?" Pertanyaan dari Kanzu membuat Wafa mengerjap seketika. Karena gadis itu, tak menyangka tetiba Kanzu bangkit dari tempat duduknya, dan memutar badan hingga pandangan mata keduanya bertemu.Seringnya melihat Wafa di mushola atau sekedar berpapasan di jembatan, jalan pintas menuju lift di gedung, membuat Kanzu mulai hafal rutinitas dari anggota timnya itu."Sudah, Pak," jawab Wafa mengangguk. "Saya permisi dulu, Pak Kanzu." Akhirnya Wafa memilih segera berlalu dari hadapan Kanzu."Silakan."Wafa mempercepat langkahnya menuju jembatan tanpa menoleh ke belakang. Pengalaman yang sudah-sudah ketika ia menoleh, Kanzu masih memperhatikan dirinya. Di situlah, wajahnya menjadi memerah malu saat satu ruangan dengan ketua timnya tersebut.***Rr**"Assalamualaikum, selamat pagi, Pak," sapa Wafa begitu ia memasuki ruang kerja Kanzu."Waalaikumsalam, pagi ... silakan duduk, Wafa!" titah Kanzu d
"Siang, Pak KG! Mau bergabung bersama kami," terdengar tawaran Yoshi di belakang mereka berdua. Kedua gadis itu, sontak menoleh. Dan saat itulah, pandangan Wafa berserobok dengan Kanzu yang berjarak lima langkah darinya."Silakan dilanjut, Yos!" Kanzu menepuk bahu salah satu anggota timnya itu. Kembali menatap dua gadis di hadapannya sembari mengulas senyum tipis, pria itu memilih melewati mereka. Ia berjalan menuju pojok mini restaurant menarik kursi, mengeluarkan laptop dari tas yang dijinjingnya tadi. Seolah memang mencari tempat untuk menyendiri dan mungkin sudah dihafal tabiat dari seorang Kanzu Al Ghifari memang demikian. Karena itulah, segan karyawan Setyabiru menghampiri dirinya, saat dilihatnya ia fokus pada laptop sambil memainkan jari-jarinya dengan ekspresinya kaku dan dingin."Jangan kaget sama Pak KG ya, Fa ... dia itu, dah mirip tokoh-tokoh utama dramkor yang cool habis itulah. Syukurnya dia tampan, jadi lumayanlah buat cuci mata kita para
Bunyi jam beker di pukul dua dini hari itu membangunkan pemiliknya. Wafa segera meraih jam kecil berbentuk kelinci itu, memelototi jarumnya. Ia yang terbiasa bangun Subuh, sengaja memakai alarm untuk membangunkan dirinya lebih awal dari jam biasa ia bangun pagi.Sebelum bangkit dari tempat tidur untuk pergi ke kamar mandi, Wafa menggeser tombol on yang terletak di belakang jam itu. Gadis itu mengusap wajahnya, termanggu sejenak mengingat mimpinya barusan. Mimpi yang sangat manis menurutnya. Dirinya berjalan dengan seorang pria ke sebuah taman yang sangat indah.Sayangnya ia tidak menatap pria yang menggenggam tangannya. Hingga ia tidak bisa mengingat wajah pria itu seperti apa. Yang jelas di dalam mimpi dianya bahagia. Dan perasaan bahagia itu, masih terasa hingga dirinya terbangun barusan.Sambil tersenyum karena mengingat adegan manis dalam mimpinya, Wafa kembali mengusap wajahnya. "Entah, apa makna mimpi itu, Yaa Rabb ... apakah jodohku semakin dekat. Y
"Mbak, aku balik ke kantor sekarang, ya ... barusan ojek online-nya bilang OTW." Tiba-tiba terdengar seruan Kanzu dari arah pintu. "Oh iya, siapa namamu?" Pertanyaan Kanzu saat ia melihat Wafa berdiri di samping ranjang Tamara."Dia, Wafa ... Kanzu. Sekretaris Mbak Via inilah, yang tadi Mbak rekomendasi untuk ikutan merancang bangunan rusun." Tamara mengisyaratkan agar Wafa keluar dari kamarnya. "Temani, Kanzu sebentar di ruang tamu. Seandainya jadi bergabung, dia nanti jadi atasanmu," bisik Tamara mengarah ke telinga Wafa."Maksudnya, Mbak?" "Cuti Asri sebentar lagi habis. Kalau dia balik, kemungkinan kamu akan ditarik ke Setyabiru. Karena untuk mengerjakan rancangan bangunan, digarap di studionya mas Rayyan," lirih Tamara memberikan penjelasan pada Wafa. "Ya, sudah. Aku pergi dulu ya, Mbak. Semoga Mbak Tamara lekas sehat seperti sedia kala." Kanzu mengulang pamit untuk kedua kali."Eh, barusan Wafa buat minuman. Sudah diminum belum?"
Begitu keluar dari lift keduanya berjalan beriringan keluar gedung menuju area parkir."Sebentar, Fa! Kok tiba-tiba kakak merasa lemas ya, baru rasanya badan kayak melay--" belum selesai kalimat Tamara, laksana tak bertulang, tubuhnya hilang keseimbangan."Eh, Mbak Via kenapa?" Refleks Wafa menangkap tubuh Tamara. Gadis itu, terduduk seraya menyangga tubuh Tamara. "Mbak Via sadar, Mbak!" Wafa menepuk perlahan pipi Tamara. Namun, istri dari dr.Radit tetap lunglai tak sadarkan diri.Wafa mengedarkan pandangan sekelilingnya, berharap ada orang lain selain mereka berdua yang bisa diminta tolong untuk membantu mengangkat tubuh Tamara."Astaghfirullah ... ini kenapa!" terdengar seru seseorang dari belakang Wafa. Wajah gadis itu, terkejut saat sosok yang berseru tadi mengambil alih tubuh Tamara. "Cepat buka pintu mobilnya, segera kita antar ke rumah sakit terdekat.""Eh, i-ya ... sebentar, " ucap Wafa tergagap. Bergegas ia mengambil kunci mobil
Kanzu yang berada di belakang kemudi nampak memperhatikan kaca spionnya. Entah kenapa, ia merasa tak asing dengan sosok gadis yang masih tertunduk itu. Ponsel yang ia letakkan di dasbort kembali berpedar, diliriknya panggilan siapa yang masuk dengan menegakkan sedikit tubuhnya. "Oh, dari Bunda," gumam Kanzu saat melihat profil yang menelpon nomernya.Berhubung kedua tangannya digunakan untuk menggerakkan setir mencari tempat parkir untuk mobilnya, Kanzu membiarkan ponselnya hingga tak berpedar lagi."Iya, Bun. Maaf, tadi barusan parkir mobil. Jadi, enggak bisa angkat telepon." Kanzu segera menghubungi nomer bundanya sambil berjalan menuju ke gedung berlantai tujuh belas dimana Rayyan menyewa lantai tiga belas sebagai kantor perusahaannya."Iya, enggak apa-apa. Bunda cuma mau ingatkan tiga bulan lagi kita memperingati seribu hari ayahmu, Kanzu. Kalau nenek tidak membuat acara, pulanglah ke Surabaya." Terdengar pinta Bu Syaiba, ibu tiri Kanzu.