LOGIN
Prank!
Dengan sangat emosi, Nadya melempar sepiring sambal ikan nila yang masih penuh ke tengah halaman rumah. Membuat sekumpulan ibu-ibu yang sedang berkumpul di teras rumah ibu mertuanya tercengang dan menghentikan obrolan seru mereka.
“Kenapa sambal itu kamu buang, memangnya sudah basi?” tanya salah satu teman ibu mertuanya yang bertubuh gempal. Yang dari tadi tidak berhenti mengunyah makanan.
“Mak Asnah, jangan sok perhatian, pura-pura baik di depanku. Padahal di belakangku kalian menceritakan aku seenak hati kalian!” bentak Nadya. Meski ia berkata pada Mak Asnah, namun ucapannya jelas ditujukan kepada keempat wanita yang sudah berusia tidak muda lagi. Tanpa terkecuali kepada ibu mertuanya sendiri.
“Nadya!” Mak Onah, ibu mertua Nadiya yang dari tadi hanya diam berdiri, kemudian mendekat lalu jari telunjuknya mengarah ke wajah Nadya. “Apa kamu tidak bisa berpikir? Anakku sudah susah payah mencari uang untuk makan kalian, kamu malah membuangnya. Dasar istri tidak tau diri!” umpat mak Onah tak kalah sengitnya.
“Bukankah mamak sebenarnya yang jadi biang kerok semua ini. Mamak juga kan, yang sudah bercerita yang bukan-bukan tentang aku pada semua orang di kampung ini. Mamak mengatakan jika aku istri yang tidak becus mengurus rumah tangga, yang suka keluyuran keluar rumah.” sengit Nadya dengan suara lantang.
Mendengar suara keributan yang tidak biasa terjadi, sebentar saja halaman rumah Mak Onah dan Nadya dikerumuni orang.
“Siapa yang bilang?” ucap wanita tua itu sambil memperbaiki letak kacamatanya yang hampir melorot.
“Mamak kira aku tidak punya telinga. Biarpun aku jarang bergaul dengan tetangga di rumah ini, tapi aku sudah banyak mendapat informasi tentang mamak yang selalu menjelek-jelekkan aku!” ujar Nadya dengan kemarahan yang semakin membuncah.
“Kapan aku menjelek-jelekkanmu?” ucap wanita tua itu berkilah, sambil mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
“Mamak jangan berkilah. Bukankah mamak yang selalu bercerita ke semua orang jika pergi keluar rumah, aku tidak pernah masak!” ucap Nadya. Hatinya semakin geram melihat ibu mertuanya seakan tidak merasa bersalah.
“Eh, Mak Endah, pasti kamu yang membocorkan cerita ini pada Nadya.” Mak Sri yang masih berada di teras langsung menatap curiga pada Mak Endah yang menundukkan kepala sambil meremas jemarinya.
“Sekarang lihat itu yang di depan mata kalian, siapa bilang aku tidak masak!” tunjuk Nadya pada piring sambal yang ia lempar tadi, agar semua orang melihatnya dan tau jika semua yang dikatakan ibu mertuanya tidak benar.
“Huuuu…! Suruh saja mereka berempat memakan sambal itu, Nadiya!” seru salah seorang tetangga.
“Sekarang, aku tanya sama kamu Mak Endah, dari siapa kamu tahu jika aku pergi keluar rumah karena ingin bertemu dengan lelaki lain!” desak Nadya pada wanita tua yang sejak tadi hanya menunduk.
Mendengar Nadya menyebut nama salah satu temannya mata Mak Onah langsung tertuju menatapnya Mak Endah yang terlihat gugup dan ketakutan.
“Jawab yang jujur Mak Endah!” bentak Nadya sekali lagi. Ia sudah tidak peduli jika yang dibentaknya itu adalah wanita tua yang seharusnya ia hormati.
Sementara, Mak Endah sama sekali tidak menyangka jika Nadya sudah berani membuka mulut tentang perkataan Mak Onah yang menjelek-jelekkan Nadya.
“Huuu…! Katanya teman sejati tidak taunya menusuk dari belakang!” teriak seorang perempuan dengan nada mencemooh.
Melihat suasana yang tidak kondusif dan semakin memanas, dua wanita tua lainnya bergegas beranjak dari tempat duduknya, karena tak ingin ikut terlibat lebih jauh dengan urusan Mak Onah dan menantunya.
“Mau kemana kalian, kalian takut ya, jika semua kelakuan kalian aku bongkar di sini!” semprot Nadya dengan suara semakin keras, membuat tetangga yang berkumpul semakin penasaran. Ingin menyaksikan Nadya mendamprat empat orang wanita tua, yang selama ini sudah semena-mena melukai hati dan perasaannya.
Bagai bom waktu yang menunggu saatnya untuk meledak. Nadya yang Selama ini hanya mampu menahan perasaannya yang sangat tertekan karena selalu dihina, akhirnya meluapkan semua emosi yang sudah menggunung di dadanya.
Setengah jam sebelum kejadian, saat Nadya baru pulang dari tempatnya bekerja, Akmal anak bungsu Nadya yang masih SD mengadu.
“Tadi nenek ngomel sama Akmal, Ma,” adu Akmal.
"Memangnya kenapa nenek ngomel sama kamu?” tanya Nadya yang saat itu akan makan siang.
Akmal menceritakan pada Nadya ketika pulang sekolah neneknya bertanya apakah dia sudah makan. Akmal tidak menjawab pertanyaan neneknya, tapi malah balik bertanya jika neneknya memasak apa. Tidak taunya Mak Onah malah salah sangka. Dia mengira cucunya hendak meminta sambal.
“Nenek juga memarahi mama,” ucap Akmal, membuat Nadya ingin tahu apa yang membuat ibu mertuanya marah.
“Memang itu kebiasaan jelek mama kamu. Kalau pergi tidak pernah masak. Suami sama anak makan terlantar, kasihan Wanda anakku. Malang sekali hidupnya punya istri seperti Nadya,” cerita Akmal, menirukan kata-kata yang ia dengar dari neneknya.
Dada Nadya langsung bergemuruh mendengar pengaduan Akmal. Hatinya sangat tidak terima dengan perkataan ibu mertuanya. Yang Nadya lebih tidak terima mengapa ibu mertuanya mengatakannya pada anaknya yang tidak tau apa-apa.
Pengaduan yang sudah sering ia dengar dari kedua anaknya. Pengaduan yang membuat hatinya teriris. Belum lagi pengaduan-pengaduan dari tetangga- tetangga yang membuat telinganya panas dan hati mendidih.
Pengaduan-pengaduan yang sudah beberapa kali membuat dia dan suaminya hampir bercerai.
“Menurut kalian apa yang aku kerjakan harus aku laporkan pada semua orang? Lagi pula apa yang aku kerjakan dirumah maupun diluar rumah bukan urusan kalian!” teriak Nadya dengan keras dan mata melotot ke arah empat wanita tua yang terkenal sebagai biang gosip di kampung itu.
“Ada apa ini Nadya?” tanya seorang lelaki yang baru datang. Wajahnya tampak keheranan menatap piring sambal yang tertelungkup di tengah halaman rumah.
“Tanya sendiri pada mamakmu itu!” bentak Nadya pada Wanda suaminya yang baru pulang kerja.
Wanda tau selama ini ibunya tidak pernah merasa senang dengan istrinya. Tapi ia sama sekali tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini. Nadya istrinya yang tidak banyak bicara telah berani melawan ibunya.
Wanda memandang ke arah ibunya yang terlihat gemetaran, namun tetap memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja. Seolah di depan anaknya ia ingin menunjukkan jika dirinya tidak bersalah.
“Istrimu salah paham,” ujarnya dengan suara yang sudah sedikit melembut.
“Salah paham apa?!. Aku tahu mamak maunya aku pergi dari rumah ini dan–“ ucapan Nadya terhenti, karena buru- buru Wanda memotongnya.
“Nadya, jangan bicara seperti itu,” pinta Wanda memelas.
“Sekarang, di depan ibumu dan di depan semua orang, ceraikan aku. Biar dia puas!” jerit Nadya membuat orang yang berkerumun beristighfar.
*********
Bersambung.
Bab 90:Nady semakin cemas. Jenazah Mak Onah sudah dibawa ke masjid yang tidak jauh dari rumah Feri untuk di sholatkan. Tidak semua warga yang berkeinginan menyolatkan nya. Terutama perempuan. Ternyata tidak dapat dipungkiri perbuatan seseorang semasa hidupnya akan berefek pada perlakuan orang padanya saat tua dan diakhir hayatnya. “Hardi. Kamu yang jadi imam sholat jenazah” pinta Mbah Giran. Tidak hanya Pak Hardi yang terkejut. Semua jamaah juga terkejut dan saling pandang. Kenapa Mbah Giran selaku orang yang dituakan di sana malah meminta orang yang tidak mereka kenal untuk menjadi imam. Mbah Giran mengerti dengan apa yang dipikirkan mereka, terlihat jelas dari raut wajah jemaah yang bertanya-tanya dan menyimpan keraguan. Dengan menepuk-nepuk pundak Pak Hardi ia menerangkan alasannya. “Hardi ini murid saya waktu di Gontor. Dia mondok di sana sejak SD sampai Tamat Aliyah. Jadi insyaallah dia paham dengan urusan ini,” ucapnya dengan memandangi wajah
Bab 89: Bertemu Mah Giran. Diantara orang-orang yang sedang mempersiapkan keberangkatan jenazah Mak Onah ke masjid untuk disholatkan. Mata Nadya terus mencari-cari Akmal. Sejak kedatangannya ia belum bertemu dengan anaknya. Membuat hati perempuan itu semakin gelisah. Ia tidak peduli dengan kegiatan disana. Juga ketika jenazah Mak Yeyen dijemput oleh pihak keluarganya dan dibawa pulang ke rumahnya. “Kak, Rina. Dari tadi aku tidak melihat Akmal. Apa kakak tahu dia dimana?” tanya Nadya pada Rina yang juga terlihat sibuk “Oh, Akmal. Dari pagi dia ikut Danur ke pemakaman. Dia ingin ikut membuat lubang liang lahat untuk neneknya, Jelas Rina. “ Aku tinggal dulu, ya. Oh iya kamu tidak ikut ke makam?” tanya Rina. Sebentar matanya melirik pak Hardi yang ada disamping Nadya. Sebenarnya sejak kedatangan Nadya bersama Pak Hardi tadi malam Rina merasa sangat penasaran. Tapi ingin bertanya secara langsung dia juga tidak enak. “Lho, kamu Hardi, ya? Dengan siapa ka
Bab 88: Mak Yeyen Minta maaf. “Mak Yeyen?” bibir Nadya bergetar begitu menyebut nama perempuan tua di hadapannya. Tubuh wanita itu tidak bergerak. Matanya menatap pias wanita yang terlihat sudah semakin tua. Ingatannya Tentang perbuatan tiga teman mantan ibu mertuanya masih melekat kuat dibenaknya. Bahkan semuanya masih menancap di hati Nadya. Perlakuan empat perempuan tua yang menyebabkan perceraiannya dengan Wanda. “Nadya…maafkan aku, Nadya…” Suara keras tangisan Mak Yeyen memecah keheningan suasana berkabung. Disaat beberapa orang sedang menggotong keranda yang akan membawa jenazah Mak Onah ke peristirahatan terakhir. Tanpa disangka wanita tua itu berlutut di kaki Nadya. Memuat semua mata terkesima memandangnya. “Nadya tetap berdiri mematung di samping Pak Hardi yang terus mendampinginya. Memaafkan perempuan tua itu bukanlah urusan mudah baginya. “Nadya, keinginan terakhir dalam hidupku aku hanya berharap kamu membukakan pintu maaf untuk
Bab 87: Warga tercengang. Wajah Nadya dan pak Hardi memerah disertai rasa panas yang menjalar sampai ke tengkuk. Dari kaca kecil yang tergantung di depan nya Pak Hardi masih sempat melihat Nadya tersipu malu dan salah tingkah. Sementara Bude Ijum yang duduk di samping Nadya malah memandang keluar melalui jendela yang sengaja tidak ditutup. ‘Menikah? Ah, dari kemarin dia tidak juga melamarku,” gerutu Nadya di hatinya karena kesal, ia merasa berada di suatu penantian yang tidak pasti. Sekilas ia pun sempat menatap kaca kecil di depan Pak Hardi yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya. Deg! Ia merasa darahnya berdesir. Rasanya baru kali ini ia menatap sorot mata lelaki dengan jelas meski hanya dari sebuah cermin. Tapi ia yakin tatapan itu sama sekali tidak bohong. Nadya tahu Pak Hardi juga sedang merasakan sebuah getaran yang sama dengan yang ia rasakan. Hanya saja sepertinya Tania yang duduk sendiri di bangku belakang tidak merespon per
Bab 86: Perjuangan belum berakhir. “Pak Hardi tadi bicara apa?” tanya Nadya. Sebuah pertanyaan yang membuat harapannya kembali muncul. Bagaimana tidak. Meski pertanyaan itu tidak jelas. Tapi Nadya tahu pertanyaan itu sangat serius. “Itu, tadi…maksudnya…” kembali Pak merasa lidahnya terkunci. Kalimat yang harusnya sudah bisa di utarakan langsung pada Nadya harus tertahan di kerongkongan. Sebuah rasa yang sangat menyiksanya. Membuat ia hanya bisa mengumpat pada diri sendiri.Padahal ini adalah kesempatan yang tepat. Ia kembali menarik nafas panjang agar kekuatannya kembali terkumpul untuk menyatakan isi hatinya. Tapi sayangnya, saat itu pula Bude Ijum muncul dengan membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas teh panas. “Nadya makan dulu. Ini juga aku buatkan teh panas supaya tubuhmu segar.” Bude Ijum meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas teh di hadapan Nadya. “Ih, Bude. Bisa tidak munculnya nanti saja. Gagal lagi…gagal lagi,” getutu
Bab 85: Curhat dengan Pak Hardi. Nadya turun dari motornya sejenak dia diam berdiri samping motor yang selalu menemaninya pegi. Wajahnya terlihat letih. Letih menanggung rasa takut yang berlebihan. Wanita itu menghela nafas. Ia memandangi dua orang yang juga memperhatikannya dengan menyimpan sebuah pertanyaan. “Kenapa melamun disitu, Nadya?” tanya Bude Ijum dari tempat duduknya. Pak Hardi yang sebenarnya ingin bertanya mulutnya terkunci. Bukan lagi karena merasa malu. Tapi karena teringat dengan peristiwa tadi malam. “Pak Hardi saya takut Akmal pergi dari hidup saya.” Nadya mendekati Pak Hardi yang kemudian memberinya sebuah kursi kosong untuk duduk agar dapat bercerita bercerita lebih tenang. Lelaki itu sekilas menatap wajah Nadya yang terlihat sembab karena menangis semalaman. “Bu Nadya jangan berpikir yang aneh-aneh seperti itu. Tidak mungkin Akmal meninggalkan ibunya. Percaya sama saya,” ucap Pak Hardi tidak bertele-tele, dan tidak







