LOGIN“Aaalah, dari dulu sudah berapa kali minta cerai, nyatanya sampai hari ini masih tinggal disini. Memangnya jika kamu diceraikan oleh Wanda kamu mau tinggal dimana, mau pulang ke rumah ibumu yang kumuh itu? Ya, sudah pergi sana!” cemooh Mak Onah, menghina keluarga Nadya.
“Tapi, jangan coba-coba kau bawa cucuku. Aku tidak sudi cucuku berbaur dengan keluargamu,” ucapnya dengan telunjuk masih mengacung ke wajah Nadya.
“menantu tidak tahu Terima kasih, sudah bagus diberi tempat tinggal gratis disini,” ungkit Mak Onah dengan pongah.
“Kamu kira, aku tidak bisa hidup ditempat lain, ha!” ucap Nadya gusar. "Dari dulu aku yidak pernah berharap tinggal disini, kalau bukan karena ayah,." Hati perempuan itu terasa begitu sakit karena ibu mertuanya telah mencabik-cabik harga diri nya di depan orang banyak.
__________
Lagi-lagi kisah tentang konflik ibu mertua dan menantu perempuan yang tidak pernah habis di muka bumi ini. Ibu mertua yang terlalu egois menganggap menantu perempuan sebagai benalu, perusak hubungannya dengan anak-anak lelaki mereka. Menganggap menantu perempuan racun yang merusak pemikiran anak-anak lelaki mereka. Merasa menantu perempuan penyebab dirinya tidak dipedulikan oleh anak-anak lelaki mereka.
Nadya salah satu perempuan di muka bumi ini yang telah bertahun-tahun berseteru dengan ibu mertuanya. Keadaan yang sama sekali tidak pernah diinginkannya.
Jauh di lubuk hatinya, Nadya Ingin menganggap ibu dari suaminya seperti ibu kandung sendiri. Apalagi mereka tinggal bersebelahan rumah. Dipekarangan rumah yang sama, yang dulu dibeli oleh ayah mertuanya dari hasil memeras keringat. Rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya. Rumah yang dibangun oleh ayah mertuanya dengan harapan agar mereka dapat hidup dengan rukun sebagai keluarga.
Semenjak kejadian siang itu rasa simpati Nadya pada ibu mertuanya semakin hilang.
Nadya masih ingat bagaimana perih hatinya mendengar secara langsung umpatan mertuanya yang menyalahkan dirinya ketika harus melahirkan dengan jalan cesar. Melahirkan anak pertama dengan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menganggap Nadya tidak mau berusaha melahirkan dengan jalan normal.
Kenyataan berkata lain. Sebulan setelah kelahiran anak pertama mereka, Wanda di PHK dari pekerjaan. Dan dengan seenak hati, tanpa memikirkan perasaan anak dan menantunya wanita tua itu menganggap kelahiran cucunya tidak membawa berkah. Bahkan dengan teganya ia berkata pada orang-orang jika cucunya anak pembawa sial.
“Malang sekali hidup anak kita pak. Istrinya tidak becus, dia hanya menyusahkan anak kita saja. Sekarang anaknya sudah lahir Wanda malah kena PHK. Sepertinya anak Nadya itu pembawa sial.” Saat itu mak Onah berkata pada suaminya di depan Nadya yang sedang menyusui bayinya.
Tanpa disadarinya Wanda yang baru saja pulang dari warung mendengar ucapan itu.
“Apa maksud mamak berbicara seperti itu. Anakku tidak membawa sial. Anakku bukan anak haram. Jika mamak menganggap anakku pembawa sial itu terserah mamak,” ucapnya kala itu dengan geram.
Tidak ada yang lebih menyakitkan didunia ini selain mendengar orang menghina darah dagingnya sendiri. Apalagi yang menghina itu adalah ibu kandung sendiri. Orang yang telah melahirkannya.
_______
Mak onah menjulurkan kepalanya ke arah pintu rumahnya yang terbuka lebar saat telinganya mendengar suara sepeda motor berhenti di halaman. Melihat siapa yang datang segera ia keluar dari rumah.
Ia melihat Rina menantu tertuanya nya berjalan ke arah pintu rumah Nadya. Dengan wajah tidak senang ia mengikuti langkah Rina yang sama sekali tidak memperdulikannya.
“Hei, Rina. Mau apa kamu ke rumah Nadya?” tanya Mak Onah dengan kasar. “Seharusnya kamu ke rumahku terlebih dahulu, karena karena aku mertuamu,” protesnya.
“Aku ke rumah Nadya karena aku punya urusan dengannya. Aku tidak ke rumah mamak karena aku tidak punya urusan dengan mamak,” ucap Rina dengan nada ketus, lalu meneruskan langkahnya ke rumah Nadya. Mendengar jawaban Rina mak Onah menggerutu tidak jelas, namun Rina yang sudah kenal dengan tabiat ibu mertuanya tidak sedikitpun menanggapi umpatan- umpatan yang keluar dari mulut wanita tua itu.
“Kakak dengar kalian ribut besar kemarin, benar itu Nadya?” tanya Rina setelah dia berada dirumah Nadya.
“Rasanya aku sudah tidak tahan lagi, Kak. Sudah penuh rasanya dadaku memendam perlakuan buruknya selama ini padaku,” jawab Nadya dengan wajah jengkel.
“Baguslah kalau kamu bisa meluapkan apa yang terpendam di hatimu,” ujar Rina. Ia khawatir jika Nadiya terus tertekan akan berakibat buruk.
"Memangnya kamu kemarin kemana?” Rina kembali bertanya. Bagaimanapun juga ia ingin mendengar berita yang didengarnya dari orang-orang langsung pada Nadya.
“sudah tiga bulan ini aku bekerja ditempat Bu Yanti menjahit gorden. aku sedang butuh uang banyak untuk biaya sekolah anak-anak. Beberapa bulan lagi anak-anak akan tamat sekolah. Tania ingin masuk SMK, dan aku berencana memasukkan Akmal ke pondok pesantren. Jika hanya mengandalkan uang dari Bang Wanda, sudah jelas tidak bisa,” jelas Nadya.
“Memangnya jualan obat-obat herbal sekarang bagaimana?” tanyanya lagi. Karena setahu Rina Nadya berjualan berbagai obat herbal.
“Alhamdulillah, aku tidak menyangka berkebang pesat. Mungkin rezeki anak- anakku, Kak,“ jawab Nadya.
“Syukurlah, aku ikut senang. Aku dan Bang Feri tidak bisa membantu apa-apa. Kamu tau sendiri bukan, keadaan kita sama,” ucap Rina.
“Aku heran, dari mana nenek-nenek itu mendapatkan cerita yang tidak-tidak tentang orang-orang yang jadi korban ghibahnya. Padahal setahuku mereka tidak pergi kemana-mana,”ujar Rina tidak habis pikir. “Apa mereka punya mata-mata?” tanyanya pula.
“Mata-mata mereka pasukan setan. Karena yang meridhoi pekerjaan mereka cuma setan,” balas Nadya dengan geram. Hatinya yang tadi terasa ingin meledak kini sudah lebih lega karena apa yang dipendamnya sudah keluar.
“Hahaha!“ Kedua menantu Mak Onah tertawa dengan keras. Hingga terdengar sampai ke rumah mertua mereka.
Bammm!
Tiba tiba dari luar terdengar pintu rumah dibanting, seketika kedua wanita itu terdiam. Serentak keduanya memandang kearah jendela. Tampak ibu mertua mereka berdiri di teras rumahnya sambil memegang pemukul kasur dan menghalau dua ekor kucing di hadapannya.
Kembali Nadya Dan Rina tertawa, bahkan lebih kertas.
“Hus, pergi kalian, dasar tidak berguna! Bisanya cuma numpang hidup disini! Hus, hus, pergi!” Kembali terdengar suara Mak Onah. Suaranya begitu keras hingga terdengar sampai ke dalam rumah Nadya. Kedua menantunya tahu jika Mak Onah memarahi dua kucing itu sebagai pelampiasan kekesalannya pada mereka.
“Jangan diusir, Mak, nanti mamak tidak ada teman. Lebih baik mamak berteman dengan kucing daripada berteman dengan teman-teman mamak itu.” Tanpa disangka Mak Onah, Rina sudah berdiri di halaman. Mendengar ucapan Rina yang seolah mengejeknya Mak Onah semakin emosi.
Bammm!!!. Mak omah masuk kedalam rumah sambil menghempaskan daun pintu dengan keras hingga membuat dinding rumahnya bergetar.
*****
Bersambung.
Bab 90:Nady semakin cemas. Jenazah Mak Onah sudah dibawa ke masjid yang tidak jauh dari rumah Feri untuk di sholatkan. Tidak semua warga yang berkeinginan menyolatkan nya. Terutama perempuan. Ternyata tidak dapat dipungkiri perbuatan seseorang semasa hidupnya akan berefek pada perlakuan orang padanya saat tua dan diakhir hayatnya. “Hardi. Kamu yang jadi imam sholat jenazah” pinta Mbah Giran. Tidak hanya Pak Hardi yang terkejut. Semua jamaah juga terkejut dan saling pandang. Kenapa Mbah Giran selaku orang yang dituakan di sana malah meminta orang yang tidak mereka kenal untuk menjadi imam. Mbah Giran mengerti dengan apa yang dipikirkan mereka, terlihat jelas dari raut wajah jemaah yang bertanya-tanya dan menyimpan keraguan. Dengan menepuk-nepuk pundak Pak Hardi ia menerangkan alasannya. “Hardi ini murid saya waktu di Gontor. Dia mondok di sana sejak SD sampai Tamat Aliyah. Jadi insyaallah dia paham dengan urusan ini,” ucapnya dengan memandangi wajah
Bab 89: Bertemu Mah Giran. Diantara orang-orang yang sedang mempersiapkan keberangkatan jenazah Mak Onah ke masjid untuk disholatkan. Mata Nadya terus mencari-cari Akmal. Sejak kedatangannya ia belum bertemu dengan anaknya. Membuat hati perempuan itu semakin gelisah. Ia tidak peduli dengan kegiatan disana. Juga ketika jenazah Mak Yeyen dijemput oleh pihak keluarganya dan dibawa pulang ke rumahnya. “Kak, Rina. Dari tadi aku tidak melihat Akmal. Apa kakak tahu dia dimana?” tanya Nadya pada Rina yang juga terlihat sibuk “Oh, Akmal. Dari pagi dia ikut Danur ke pemakaman. Dia ingin ikut membuat lubang liang lahat untuk neneknya, Jelas Rina. “ Aku tinggal dulu, ya. Oh iya kamu tidak ikut ke makam?” tanya Rina. Sebentar matanya melirik pak Hardi yang ada disamping Nadya. Sebenarnya sejak kedatangan Nadya bersama Pak Hardi tadi malam Rina merasa sangat penasaran. Tapi ingin bertanya secara langsung dia juga tidak enak. “Lho, kamu Hardi, ya? Dengan siapa ka
Bab 88: Mak Yeyen Minta maaf. “Mak Yeyen?” bibir Nadya bergetar begitu menyebut nama perempuan tua di hadapannya. Tubuh wanita itu tidak bergerak. Matanya menatap pias wanita yang terlihat sudah semakin tua. Ingatannya Tentang perbuatan tiga teman mantan ibu mertuanya masih melekat kuat dibenaknya. Bahkan semuanya masih menancap di hati Nadya. Perlakuan empat perempuan tua yang menyebabkan perceraiannya dengan Wanda. “Nadya…maafkan aku, Nadya…” Suara keras tangisan Mak Yeyen memecah keheningan suasana berkabung. Disaat beberapa orang sedang menggotong keranda yang akan membawa jenazah Mak Onah ke peristirahatan terakhir. Tanpa disangka wanita tua itu berlutut di kaki Nadya. Memuat semua mata terkesima memandangnya. “Nadya tetap berdiri mematung di samping Pak Hardi yang terus mendampinginya. Memaafkan perempuan tua itu bukanlah urusan mudah baginya. “Nadya, keinginan terakhir dalam hidupku aku hanya berharap kamu membukakan pintu maaf untuk
Bab 87: Warga tercengang. Wajah Nadya dan pak Hardi memerah disertai rasa panas yang menjalar sampai ke tengkuk. Dari kaca kecil yang tergantung di depan nya Pak Hardi masih sempat melihat Nadya tersipu malu dan salah tingkah. Sementara Bude Ijum yang duduk di samping Nadya malah memandang keluar melalui jendela yang sengaja tidak ditutup. ‘Menikah? Ah, dari kemarin dia tidak juga melamarku,” gerutu Nadya di hatinya karena kesal, ia merasa berada di suatu penantian yang tidak pasti. Sekilas ia pun sempat menatap kaca kecil di depan Pak Hardi yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya. Deg! Ia merasa darahnya berdesir. Rasanya baru kali ini ia menatap sorot mata lelaki dengan jelas meski hanya dari sebuah cermin. Tapi ia yakin tatapan itu sama sekali tidak bohong. Nadya tahu Pak Hardi juga sedang merasakan sebuah getaran yang sama dengan yang ia rasakan. Hanya saja sepertinya Tania yang duduk sendiri di bangku belakang tidak merespon per
Bab 86: Perjuangan belum berakhir. “Pak Hardi tadi bicara apa?” tanya Nadya. Sebuah pertanyaan yang membuat harapannya kembali muncul. Bagaimana tidak. Meski pertanyaan itu tidak jelas. Tapi Nadya tahu pertanyaan itu sangat serius. “Itu, tadi…maksudnya…” kembali Pak merasa lidahnya terkunci. Kalimat yang harusnya sudah bisa di utarakan langsung pada Nadya harus tertahan di kerongkongan. Sebuah rasa yang sangat menyiksanya. Membuat ia hanya bisa mengumpat pada diri sendiri.Padahal ini adalah kesempatan yang tepat. Ia kembali menarik nafas panjang agar kekuatannya kembali terkumpul untuk menyatakan isi hatinya. Tapi sayangnya, saat itu pula Bude Ijum muncul dengan membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas teh panas. “Nadya makan dulu. Ini juga aku buatkan teh panas supaya tubuhmu segar.” Bude Ijum meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas teh di hadapan Nadya. “Ih, Bude. Bisa tidak munculnya nanti saja. Gagal lagi…gagal lagi,” getutu
Bab 85: Curhat dengan Pak Hardi. Nadya turun dari motornya sejenak dia diam berdiri samping motor yang selalu menemaninya pegi. Wajahnya terlihat letih. Letih menanggung rasa takut yang berlebihan. Wanita itu menghela nafas. Ia memandangi dua orang yang juga memperhatikannya dengan menyimpan sebuah pertanyaan. “Kenapa melamun disitu, Nadya?” tanya Bude Ijum dari tempat duduknya. Pak Hardi yang sebenarnya ingin bertanya mulutnya terkunci. Bukan lagi karena merasa malu. Tapi karena teringat dengan peristiwa tadi malam. “Pak Hardi saya takut Akmal pergi dari hidup saya.” Nadya mendekati Pak Hardi yang kemudian memberinya sebuah kursi kosong untuk duduk agar dapat bercerita bercerita lebih tenang. Lelaki itu sekilas menatap wajah Nadya yang terlihat sembab karena menangis semalaman. “Bu Nadya jangan berpikir yang aneh-aneh seperti itu. Tidak mungkin Akmal meninggalkan ibunya. Percaya sama saya,” ucap Pak Hardi tidak bertele-tele, dan tidak







