Tak puas melampiaskan rasa dongkol pada dua kucing peliharaannya, sambil mengumpat-ngumpat dengan wajah bersungut-sungut Mak Onah pergi menemui teman-teman karibnya.
Seperti biasa empat nenek-nenek itu berkumpul setelah sholat dhuhur. Pertemuan rutin yang selalu mereka lakukan tanpa direncanakan. Seperti terjadwal secara otomatis. Kali ini rumah Mak Sri yang mereka dijadikan tempat untuk berkumpul. Membahas kehidupan orang-orang disekitar mereka.
Ada saja yang mereka bicarakan, seakan tidak pernah habis. Jika diibaratkan suara kentut tetangga yang terdengar sayup-sayup pun tak akan luput dari perhatian mereka.
“Dasar menantu-menantu tidak tahu diri. Kenapa bisa anak-anakku mau menjadikan mereka istri,” umpat Mak Onah. “Apa anak-anakku sudah diguna-guna oleh mereka, sehingga mereka lebih mendengar ucapan istrinya daripada aku ibunya sendiri?” ujar Mak Onah mulai menjelek-jelekkan menantunya.
“Kenapa kamu tidak mencari dukun untuk mengembalikan mantra-mantra menantumu itu,” celetuk Mak Sri menanggapi perkataan Mak Onah. Membuat yang lainya mulai bersiap-siap membahas bahan gosip yang dibawa Mak Onah
Lain pula dengan Mak Endah, ia merasa pembahasan tentang menantu Mak Onah sudah bukan lagi berita hangat. Wanita bertubuh gempal itu lebih memilih membahas tentang cucu perempuan Mak Onah.
“Mak Onah, memang nya kamu tidak tahu, Tania cucu perempuanmu itu sudah berani menemui laki-laki di luar rumah,” ujar Mak Endah sambil mencolek paha Mak Sri.
Belum sempat Mak Onah merespon ucapan Mak Endah, Mak Sri yang sudah paham dengan kode dari Mak Endah langsung bersuara.
“Memangnya kamu tahu dari mana Mak Endah? Rasanya aku baru dengar. Hm, tapi sepertinya tidak mungkin. Selama ini yang aku tahu Tania itu anaknya baik, sopan, seperti yang selama ini Mak Onah ceritakan,” ujar Mak Sri dengan nada mencemooh sambil melirik Mak Asnah yang duduk bersandar pada tiang kayu penyangga atap teras.
Mendengar nama cucu perempuannya menjadi bahan ghibah teman- teman karibnya Mak Onah memandang Mak Endah dengan kening berkerut dan bibir cemberut. Sedang hatinya bertanya. Darimana temannya itu mendapatkan berita tentang cucunya?
“Zaman sekarang jangan percaya dengan anak gadis yang kelihatan baik. Di rumah, didepan orang tuanya pintar bersandiwara bersikap manis, seperti anak bangsawan. Tapi diluar sana entah apa yang dikerjakannya. Apalagi anak gadis sekarang sekolah membawa motor sendiri, pegang Handphone sendiri. Ih, aku tidak bisa membayangkannya,” ujar Mak endah. Sepertinya ia terlihat begitu senang berbicara begitu pada Mak Onah.
Sudah menjadi rahasia umum, meski mereka terlihat akrab, tapi diantara mereka tidak akan pernah merasa senang jika ada yang lebih menonjol dalam hal apapun salah satu diantara mereka.
Mendengar kata-kata Mak Endah, Mak Onah merasa mukanya memanas. Seketika ia terbayang wajah Tania cucu perempuan kebanggaannya. Gadis belia berwajah cantik yang selalu mengenakan kerudung setiap keluar rumah
Meskipun Mak Onah dan ibu cucunya tidak pernah akur. Namun ia selalu membanggakan Tania pada teman-temanya, karena selalu berprestasi di sekolah. Kadang ia terlalu berlebihan membanggakan cucunya membuat ketiga sahabatnya merasa muak.
“Iya, tetangga saudaraku anaknya seumuran Tania, kelakuannya terlihat baik. Kerudung tidak pernah lepas dari kepalanya. Tidak taunya dia dihamili oleh pacarnya.” Dengan wajah serius Mak Asnah bercerita tentang tentang berita yang didengarnya, berharap Mak Onah akan kena mental.
“Cobalah katakan pada Wanda anakmu itu, supaya lebih berhati-hati menjaga anak gadisnya. Sayang jika punya anak perempuan sebaik itu, tiba-tiba dia mendadak minta dikawinkan karena sudah hamil,” ucap, Mak Sri berapi-api. Harapannya sama dengan kedua temannya. Membuat Mak Onah kena mental.
“Seandainya nanti Tania menikah, kita bisa makan enak. Sambal rendang daging buatan Mak Onah,” Sorak Mak Asnah membayangkan makanan enak.
“Hahaha!” Tanpa dikomando ketiga teman Mak Onah tertawa terpingkal-pingkal seolah merasa ada yang lucu. Sepertinya teman-teman mak Onah sengaja memanas- manasi hati Mak Onah, mereka terlihat begitu bahagia seolah merasa terhibur melihat Mak Onah bertambah kesal.
“Kamu tidak punya anak perempuan, Mak Onah. Jadi kamu tidak tahu caranya mendidik dan menjaga anak perempuan,” tambah Mak Asnah sambil menyunggingkan senyum khasnya. Senyum yang oleh sebagian orang akan merasa muak melihatnya. Karen dari senyumannya itu terekspresi sifatnya yang suka mencemooh orang.
Mendengar perkataan teman-teman karibnya, hati Mak Onah semakin panas. Dadanya seakan terbakar hingga membuat nafasnya naik turun dengan cepat. Menimbulkan suara dengusan kecil dari lobang hidungnya.
“Ini semua karena Nadya yang tidak becus mendidik cucuku. Tania itu tidak tau apa-apa. Pasti dia seperti itu karena terbawa-bawa oleh kelakuan mamanya yang tidak pantas. Dasar menantu tidak jelas!” ucap Mak Onah dengan nafas terengah- engah. Membuat ketiga teman nya semakin senang, terlihat rasa puas pada wajah mereka.
“kamu harus bertindak cepat, Mak Onah. Sebelum semuanya terlambat. Memangnya kamu mau jika salah satu keturunanmu merusak harkat dan martabat keluarga kalian?” tambah Mak Asnah dengan semangat.
Tanpa berkata apa-apa dengan ketiga temannya, Mak Onah beranjak dari duduknya. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan teman-temannya. Wajah ketiganya terlihat berbinar-binar seolah merasa bahagia karena telah sukses membuat mak Onah kebakaran jenggot.
“Mak Onah, kamu mau kemana?” teriak Mak Endah begitu mak Onah sudah hampir berada di jalan.
Tanpa melihat sedikitpun pada ketiga temannya, Mak Onah terus berjalan tanpa memperhatikan jalan yang ia lewati. Hingga membuatnya hampir terjatuh karena tersandung batu.
“Hei, nenek-nenek tua bangka tukang adu domba. Sudah sering kena batunya tidak juga kalian merasa kapok!” Tiba-tiba dari arah samping rumah Mak Sri muncul seorang wanita seumuran Nadya. Matanya melotot sambil berkacak pinggang. Tampak sekali jika ia sangat tidak suka pada Mak Onah dan teman-temannya.
“Katanya sahabat karib, nyatanya jadi korban adu domba kalian juga. Dasar, sudah tua bukannya memperbanyak ibadah. Malah menjadi-jadi berbuat dosa,” ujar Yuni perempuan yang tinggal disamping rumah Mak Sri dengan nada ketus.
“Bukan urusan kamu, Yuni. Awas ya kalau nanti Nadya sampai tahu, pasti kamu yang mengadukannya pada Nadya,” cecar Mak Asnah. Ia juga tidak terima telah dibentak oleh orang yang lebih muda darinya.
“Kalau iya, memangnya kenapa? Masalah buat kalian?” ucap Yuni seakan menantang wanita-wanita tua itu. Dari sorot matanya yang tajam ia seperti menyimpan kebencian dan dendam yang begitu mendalam. Dendan yang sudah terpendam lama.
Sementara Mak Onah yang berjalan dengan tergopoh-tergopoh tanpa memperdulikan orang yang menegur dan memandangnya dengan tatapan aneh. Tak lama orang tua itu akhirnya tiba di halaman rumahnya.
“Tania … Tania …!” teriak Mak Onah di depan pintu rumah Nadya. Nafasnya tersengal-sengal akibat berjalan terburu-buru, ditambah karena menahan emosi yang menggebu-gebu, yang telah berhasil disulut oleh ketiga teman karibnya.
******
Bersambung
Tanpa berpikir apa-apa lagi Wanda berlari ke dalam rumah. Hatinya semakin tidak menentu melihat putrinya terkulai lemah dalam pelukan Nadya. “Tania, sadar, Nak. Tania, bangun!” teriak Wanda dan Nadya. Sepasang suami itu begitu panik melihat Tania pingsan. Belum pernah sebelumnya nya Tania mengalami hal seperti ini.Cukup lama Tania tidak sadarkan diri, membuat kedua orang tua dan adiknya merasa cemas. Merasa sangat cemas dengan keadaan Tania, Wanda berniat hendak memanggil Bidan yang ada di kampung itu. Tapi sebelum ia mengengkol sepeda motor Akmal muncul dari dalam rumah. “Papa, kakak sudah sadar, tidak usah jemput Ibu Bidan,” panggil Akmal, membuat Wanda merasa lebih tenang. Tak ada suara isak tangis lagi yang keluar dari mulut Tania. Gadis belia itu hanya diam, entah apa yang dipikirkannya. Tapi Nadya dapat merasakan apa yang sedang dirasakan anak gadisnya. Wanita itu menghela nafas, pastinya ia merasa begitu khawatir dengan keadaan psikis Tania. Dia takut di dalam diamnya gadis
Mendengar teriakan mertuanya seperti orang kesurupan Nadya yang baru saja selesai menunaikan shalat ashar dalam keadaan masih mengenakan mukena menghambur keluar. Detak jantung nya seakan hendak lepas mendengar ibu mertuanya seperti akan menghabisi putrinya. “Mana Tania, aku mau bicara dengan anak itu!” desak Mak Onah. Memaksa Agar Nadya menghadapkan Tania padanya. “Mau apa mamak mencari anakku?” tanya Nadya dengan kasar. Ia sudah tidak peduli siapa orang yang berada di hadapannya. “Jika kamu tidak bisa mengajar anak, biar aku saja yang mengajar cucuku. Dasar perempuan tidak jelas. Tidak becus mendidik anak!” maki Mak Onah pada menantunya. Mendengar suara teriakan Mak Onah yang begitu kencang, sebentar saja halaman rumah itu kembali ramai dikerubungi tetangga. Bahkan orang yang sedang melintasi jalan merasa penasaran hingga menghentikan sepeda motor ditepi jalan. Begitu juga dengan Tania dan Wanda yang berada di dapur bergegas keluar rumah dengan hati bertanya-tanya. “Tania! sia
Tak puas melampiaskan rasa dongkol pada dua kucing peliharaannya, sambil mengumpat-ngumpat dengan wajah bersungut-sungut Mak Onah pergi menemui teman-teman karibnya. Seperti biasa empat nenek-nenek itu berkumpul setelah sholat dhuhur. Pertemuan rutin yang selalu mereka lakukan tanpa direncanakan. Seperti terjadwal secara otomatis. Kali ini rumah Mak Sri yang mereka dijadikan tempat untuk berkumpul. Membahas kehidupan orang-orang disekitar mereka.Ada saja yang mereka bicarakan, seakan tidak pernah habis. Jika diibaratkan suara kentut tetangga yang terdengar sayup-sayup pun tak akan luput dari perhatian mereka. “Dasar menantu-menantu tidak tahu diri. Kenapa bisa anak-anakku mau menjadikan mereka istri,” umpat Mak Onah. “Apa anak-anakku sudah diguna-guna oleh mereka, sehingga mereka lebih mendengar ucapan istrinya daripada aku ibunya sendiri?” ujar Mak Onah mulai menjelek-jelekkan menantunya. “Kenapa kamu tidak mencari dukun untuk mengembalikan mantra-mantra menantumu itu,” celetuk M
“Aaalah, dari dulu sudah berapa kali minta cerai, nyatanya sampai hari ini masih tinggal disini. Memangnya jika kamu diceraikan oleh Wanda kamu mau tinggal dimana, mau pulang ke rumah ibumu yang kumuh itu? Ya, sudah pergi sana!” cemooh Mak Onah, menghina keluarga Nadya. “Tapi, jangan coba-coba kau bawa cucuku. Aku tidak sudi cucuku berbaur dengan keluargamu,” ucapnya dengan telunjuk masih mengacung ke wajah Nadya. “menantu tidak tahu Terima kasih, sudah bagus diberi tempat tinggal gratis disini,” ungkit Mak Onah dengan pongah. “Kamu kira, aku tidak bisa hidup ditempat lain, ha!” ucap Nadya gusar. "Dari dulu aku yidak pernah berharap tinggal disini, kalau bukan karena ayah,." Hati perempuan itu terasa begitu sakit karena ibu mertuanya telah mencabik-cabik harga diri nya di depan orang banyak. __________Lagi-lagi kisah tentang konflik ibu mertua dan menantu perempuan yang tidak pernah habis di muka bumi ini. Ibu mertua yang terlalu egois menganggap menantu perempuan sebagai benalu,
Prank! Dengan sangat emosi, Nadya melempar sepiring sambal ikan nila yang masih penuh ke tengah halaman rumah. Membuat sekumpulan ibu-ibu yang sedang berkumpul di teras rumah ibu mertuanya tercengang dan menghentikan obrolan seru mereka. “Kenapa sambal itu kamu buang, memangnya sudah basi?” tanya salah satu teman ibu mertuanya yang bertubuh gempal. Yang dari tadi tidak berhenti mengunyah makanan. “Mak Asnah, jangan sok perhatian, pura-pura baik di depanku. Padahal di belakangku kalian menceritakan aku seenak hati kalian!” bentak Nadya. Meski ia berkata pada Mak Asnah, namun ucapannya jelas ditujukan kepada keempat wanita yang sudah berusia tidak muda lagi. Tanpa terkecuali kepada ibu mertuanya sendiri. “Nadya!” Mak Onah, ibu mertua Nadiya yang dari tadi hanya diam berdiri, kemudian mendekat lalu jari telunjuknya mengarah ke wajah Nadya. “Apa kamu tidak bisa berpikir? Anakku sudah susah payah mencari uang untuk makan kalian, kamu malah membuangnya. Dasar istri tidak tau diri!” umpa