Mag-log inMendengar teriakan mertuanya seperti orang kesurupan Nadya yang baru saja selesai menunaikan shalat ashar dalam keadaan masih mengenakan mukena menghambur keluar. Detak jantung nya seakan hendak lepas mendengar ibu mertuanya seperti akan menghabisi putrinya.
“Mana Tania, aku mau bicara dengan anak itu!” desak Mak Onah. Memaksa Agar Nadya menghadapkan Tania padanya.
“Mau apa mamak mencari anakku?” tanya Nadya dengan kasar. Ia sudah tidak peduli siapa orang yang berada di hadapannya.
“Jika kamu tidak bisa mengajar anak, biar aku saja yang mengajar cucuku. Dasar perempuan tidak jelas. Tidak becus mendidik anak!” maki Mak Onah pada menantunya.
Mendengar suara teriakan Mak Onah yang begitu kencang, sebentar saja halaman rumah itu kembali ramai dikerubungi tetangga. Bahkan orang yang sedang melintasi jalan merasa penasaran hingga menghentikan sepeda motor ditepi jalan.
Begitu juga dengan Tania dan Wanda yang berada di dapur bergegas keluar rumah dengan hati bertanya-tanya.
“Tania! siapa laki-laki yang kamu temui kemarin sore, ha?!” bentak perempuan tua itu setelah melihat cucu perempuannya sudah berdiri diambang pintu.
“Lihat kelakuan anakmu Wanda, Diam-diam dia sekarang sudah berani bertemu dengan laki-laki diluar rumah. Aku yakin pasti karena istrimu tidak becus mendidik cucuku!” tuduh Mak Onah dengan kasar. Telunjuk perempuan tua itu mengarah pada wajah Nadya yang tentunya merasa bingung.
Mendengar perkataan kasar yang menuduh dirinya serendah itu Nadya hampir tidak bisa menahan emosi. Masih dalam keadaan mengenakan mukena ia meraih sapu dan melayangkannya pada Mak Onah Yang hanya berjarak dua meter darinya.
Untung saja Wanda suaminya dengan sigap menahan tangan Nadya sambil meminta Nadya Untuk beristighfar.
“Lihat oleh kalian kelakuan perempuan ini. Benar-benar tidak ada akhlak. Kalian bisa lihat sendiri dengan mata kepala kalian. Aku ibu mertuanya saja hendak dipukulnya dengan sapu!” teriaknya merasa menang karena kali ini ia berharap Wanda akan membela dirinya.
“Menyesal aku punya menantu seperti kamu, Nadya!” kembali kata-kata kasar yang sangat menusuk hati Nadya diucapkanMak Onah dari mulut tuanya.
“Astagfirullah hal azim.” Bertubi-tubi ucapan istighfar terdengar dari mulut kerumunan orang yang menyaksikan kegaduhan itu.
“Mengapa kamu tahan istrimu, Wanda. Biarkan saja dia memukul ibumu dengan sapu itu. Kalau perlu mulutnya itu dihancurkan saja biar tidak bisa seenaknya mengghibah lagi!” teriak salah satu tetangga yang ikut merasa kesal dengan kelakuan Mak Onah.
“Diam kalian, jangan ikut campur. Ini urusan keluargaku!” bentak Mak Onah pada perempuan yang baru saja menghujatnya. Bukannya mendapat simpati, Orang-orang itu malah mendukung menantunya.
Nadya yang hampir kehilangan kendali akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa karena dekapan suaminya yang begitu erat. Wanda mengucap istighfar berulang-ulang ke telinga istrinya, namun ucapan itu tetap tidak bisa meredam emosinya.
Tak tahan melihat keadaan ibunya yang sering merasa tertekan karena ulah neneknya, Tania gadis belia itu bersuara.
“Maksud nenek apa berbicara seperti itu. Aku–” Tania tidak sanggup meneruskan kata-katanya, suaranya terasa tercekat di kerongkongan. Air mata tampak mulai jatuh dari pelupuk matanya. Tidak hanya perkataan neneknya yang membuat luka dihati gadis itu, juga rasa malu yang tak tertahan karena telah dipermalukan didepan semua orang.
Melihat Tania yang tidak mengerti apa-apa dicerca habis-habisan oleh neneknya sendiri, Nadya memeluk Tania.
“Coba mamak jelaskan, mengapa mamak berkata yang tidak-tidak seperti itu,” pinta Wanda masih merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi.
“Ada yang memberitahu aku, sore kemarin Tania bertemu pacarnya diluar sana. Belum lagi tamat SMP sudah gatal. Sudah minta kawin, kamu ha!” Teriak Mak Onah dengan geram, semakin menekan dan memojokkan cucunya.
“Ini akibat kamu terlalu menurut dengan istrimu, Wanda. Dukun mana yang sudah memberinya jampi-jampi sehingga kamu seperti kerbau yang dicucuk hidung!” jeritnya sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri, seolah ia ingin memperlihatkan ke semua orang jika dirinya adalah orang tua yang tersakiti.
“Istighfar Mak. Jaga omongan mamak,” ucap Wanda dengan suara bergetar. Sementara tangisan Tania semakin keras dan air matanya bercucuran dengan deras. Tak tahan dengan cercaan dan tuduhan neneknya gadis itu menenggelamkan wajah di dada ibunya. Demi melihat keadaan anaknya Nadya berusaha mengendalikan emosinya.
“Nenek jangan menuduh Kak Tania seperti itu. Siapa bilang Kak Tania pergi bertemu pacarnya!” ucap seorang anak laki-laki.
Tiba-tiba Akmal muncul dari balik kerumunan orang-orang di halaman rumahnya. Membuat perhatian semua orang tertuju padanya.
“Kemarin Kak Tania tidak pergi sendirian, Kak Tania pergi denganku. Lagi pula aku dan Kak Tania pergi karena disuruh mama mengantar obat herbal pesanan langganan mama. Karena sudah sore tidak mungkin kami mengantarkan ke rumahnya. Jadi kami sepakat bertemu di persimpangan,” terang Akmal dengan suara keras karena ikut terbawa emosi.
“Huuuuuu!” Terdengar teriakan orang-orang menyoraki Mak Onah yang mukanya menjadi merah dan terasa memanas.
“Tanpa memperdulikan ibu mertuanya Nadya membawa masuk Tania yang sangat terpukul karena dituduh yang tidak-tidak dan dipermalukan oleh neneknya sendiri.
“Setelah mengetahui permasalahan penyebab keributan yang terjadi sore itu, berangsur kerumunan orang yang memenuhi halaman rumah Mak Onah mulai membubarkan kan diri.
“Dasar orang kalau hatinya sudah busuk otaknya nya pun tidak bisa berpikir jernih” Celetuk seseorang dari kerumunan itu.
"Orang seperti itu kalau mati seperti apa ya?” sahut yang lainnya.
Wanda yang merasa serba salah dengan keadaan yang sedang terjadi antara keluarganya dan ibu kandungnya sendiri merasa tubuhnya menjadi lemas. Apalagi mendengar tanggapan miring orang-orang tentang ibunya membuat dadanya menjadi sesak.
“Sekarang sudah jelas kan, Mak permasalahannya. Sudahlah, Mak, jangan berprasangka yang tidak-tidak lagi tentang anak dan istriku,” ujar Wanda memohon.
Ucapan yang keluar dari mulut Wanda tidak sedikit pun digubris oleh mak Onah. Ia membiarkan Wanda terus memohon, bahkan menghiba padanya.
"Tolonglah, Mak. Ubah kelakuan mamak itu. Ingat Mak, mamak sudah tua,” ucapnya dengan memelas.
“Apa? Kau mendoakan aku cepat mati!” Mak Onah malah membentak anaknya karena salah mengartikan kata-kata yang diucapkan Wanda.
“Bukan seperti itu, Mak,” ucap Wanda semakin merasa bingung tidak tau harus berkata apa dengan ibunya. .
“Sudah! Jangan kau ajari aku,”sungutnya.
Dengan menghentakkan kaki ke tanah Mak Onah beranjak dari tempatnya berdiri. Masih dengan omelan yang tidak jelas dan sumpah serapah dari mulutnya ia berjalan menuju rumahnya. Wajah tuanya yang dipenuhi garis-garis keriput terlihat semakin tampak mengerikan.
Wanda tak mampu berkata apapun pada ibunya. Hatinya semakin tertekan tidak tau harus berbuat apa. Dengan sorot mata yang susah diartikan lelaki itu menatap tubuh tua Mak Onah hingga menghilang dibalik pintu.
“Papa …kakak, Pa...!" Teriak Akmal dari dalam rumah.
*************
Bersambung
Bab 45 : Ada apa dengan Mak Onah? Mak Sri dan Mak Endah berlari keluar rumah, disusul oleh Mak Yeyen yang pakaian bawahnya telah basah karena buang air kecil yang tidak bisa ditahannya. tubuh mereka gemetaran melihat lima orang polisi berpakaian preman dan berwajah menyeramkan berdiri tegap di depan tempat tidur Mak Onah. Di teras beberapa warga menghadang dan menangkap ketiga nenek itu yang mereka kira hendak melarikan diri. “Ayo, mau lagi kemana kalian!” sergap salah seorang tetangga. “Tangkap nenek-nenek jahat ini pak polisi, jangan biarkan mereka kabur!” Warga berteriak ikut melampiaskan kekesalan mereka selama ini karena ulah Mak Onah dan teman-temannya. “Masukkan mereka ke penjara biar tidak bikin onar lagi!” teriak yang lainya. Membuat ketiganya semakin ketakutan. . “Ampun, tolong, tolong jangan tangkap kami. Biarkan kami lepas. Kasihani kami sudah tua.” Mereka meratap memohon ampun di tengah kerumunan warga yang
Bab 44: Akhirnya semua orang tahu perbuatan gila Mak Onah dan teman-temannya. “Mamak sudah sadar!” jerit Rina. Mereka berlari ke dalam ingin mengetahui keadaan Mak Onah. Hanya Wanda yang masih bertahan berdiri di halaman meratapi kepergian istrinya. Seperti anak kecil yang tidak tahu malu lelaki bertubuh tegap itu terus berteriak memanggil nama istrinya. Membuat tetangga yang terusik dengan kehebohan itu keluar rumah dan mendatangi kediaman Mak Onah. “Nadya…jangan pergi… maafkan abang…!” lulungnya begitu dramastis. Membuat Orang-orang yang sudah berkumpul memandangnya keheranan. “Nadya…!” jeritnya lagi. Suaranya sangat mengenaskan. Sepintas orang yang mendengar akan ikut terhanyut merasakan kepiluan hatinya “Akh… !” “Wanda, kenapa kamu ini? Apa kamu sudah gila?!” teriak salah seorang dari mereka ketika melihat Wanda menghantamkan kepalanya di tiang penyangga
Bab 43 : Keputusan akhir Nadya. Tubuh Mak Onah tergeletak pingsan di di tempat tidur yang sudah dipindahkan anak-anaknya di ruang tengah. Tampak tubuh kurus wanita tua renta itu terbaring lemah dengan kepala dan kaki diperban. “Kenapa mamak bisa ditabrak mobil, memangnya kalian dari mana?” tanya Feri sangat cemas dengan keadaan Mak Onah. Begitu juga dengan Danur. Mendengar kabar Mak Onah mengalami kecelakaan mereka bergegas menyusul ke kerumah sakit. Mak Onah mengalami patah tulang akibat benturan benda keras yang menghantam kakinya. Sementara kepalanya harus dijahit karena koyak. “Mereka memutuskan untuk tidak merawat Mak Onah berobat di rumah sakit. Karena pihak rumah sakit menyarankan agar kaki Mak Onah dioperasi. Karena faktor usia, semua anaknya memilih melanjutkan pengobatan alternatif patah tulang. “Mamak sebenarnya tidak ditabrak tapi mamak yang menabrakkan diri,” jawab Wanda. “Apa?! Masak mamak mau bunuh diri
Bab 42 : Penyesalan berujung bencana. “Pak polisi, jangan masukkan saya ke penjara…” raung Mak Onah. Perempuan itu dengan sisa-sisa kekuatannya merangkak ke arah lelaki berseragam polisi. Membuat pemandangan di ruangan itu semakin menggemparkan. “Siapa nenek ini, Kak Alifa?” tanya lelaki itu dengan sorot mata kebingungan. Bagaimana dia tidak bingung, baru saja datang, seorang nenek tua memeluk kakinya sambil meraung-raung seperti orang kesurupan, hingga ia kesusahan untuk berdiri. Sedangkan Wanda yang merasa nyawanya sudah melayang ke langit hanya termangu. Otak nya sudah tidak dapat berpikir dengan jernih. “Ada apa sebenarnya ini, Kak? tolong jelaskan,” pinta lelaki itu. Matanya menatap pada semua orang yang berada di ruangan itu meminta penjelasan. “Tidak ada masalah bukan dengan acara pernikahanya?” tanyanya lagi dengan cemas. Dengan hati yang masih diliputi rasa bingung ia berusaha melepas tangan Mak Onah yang memeluk kakinya
Bab 41: Menerima kenyataan. “Iya, memang sudah beberapa bulan ini Syarif tidak di sini. Sedang ada urusan di Malaysia. Makanya, setiap Mak Onah datang kemari tidak pernah bertemu denganya,” terang Bu Anggraini. Dengan sangat santun Syarif menyalami Wanda dan Mak Onah. Saat tangan mereka bersentuhan Syarif merasakan tangan kedua orang yang baru dikenalnya itu terasa begitu dingin. “Tapi bukankah Laras dan suaminya sudah bercerai?” tanya Mak Onah dengan suara bergetar. Seluruh tubuh perempuan tua itu terasa panas dingin. Begitu juga dengan Wanda. Bukan hanya terkejut. Lelaki itu merasa sangat malu hingga tidak sanggup mengangkat wajahnya. “Siapa yang mengatakan begitu pada Mak Onah?” tanya Laras dengan kening berkerut. Ia lalu memandang Alifa dan adik iparnya yang saat itu hanya tersenyum. Kecil. “Tempo hari. Laras sendiri yang mengatakannya padaku saat mengantar oleh-oleh dari tanah suci.” Dengan menahan rasa malu Mak Onah mencer
Bab 40: Mak Onah dan Wanda pasang aksi. “Kamu jangan bohong dengan mamak, Wanda. Kamu masih suka bukan dengan Laras. Ya, aku tahu. Dari sorot matamu saat menatap Laras waktu itu. “Tapi apa mungkin Laras juga masih mau denganku? Mamak tahu sendiri bukan, meski dulu aku dan Laras pernah saling mencintai tapi sekarang dalam segi ekonomi aku tidak lebih baik dari mantan suaminya itu. Bukan tidak mungkin dia akan mencari pengganti suami seorang lelaki yang jauh lebih mapan dari aku. Bahkan dari mantan suaminya. “Kamu ini, jadi laki-laki kok mental tempe. Pantasan saja selama ini kamu mau dibodoh-bodohi istrimu itu,” ucap Mak Onah kesal karena Wanda belum apa-apa sudah menyerah. “Percaya dengan mamak. Asal kamu yakin tidak ada yang tidak mungkin. Lagi pula aku akan berdiri di belakangmu. Kamu tahu bukan, doa seorang ibu seperti apa?” ucapnya dengan nada penuh tekanan. Seolah mendapat semangat baru Wanda menetapkan keputusannya. Berusaha







