LOGINBab 8: Tamu yang tak diduga.
Wanda menelan ludahnya sendiri saat Akmal menyerahkan bungkusan di tangannya. Ada sedikit keraguan menyelinap di hatinya untuk menerima bungkusan itu.
Sejenak ia memandang Nadya yang bersikap acuh padanya. Perlakuan yang membuat dadanya berdesir. Membuat hatinya bertanya. Apakah Nadya marah padanya?
“Ini, Pa. Cepat ambil. Akmal mau kekamar mandi. Sudah tidak tahan, nih,” ucap Akmal membuat Wanda terkesiap.
Sambil menghela nafas, dengan berat hati Wanda menerima bungkusan itu. Kembali ia memandang Nadya. Masih sama seperti tadi. Nadya terlihat acuh.
“Kalian sudah makan?” tanya Wanda. Ia tahu kalimat itu hanya sekedar basa-basi kepada istrinya. Tapi ia seolah tidak menemukan kata-kata lain yang dapat dirangkai nya untuk diutarakan pada Nadya.
“Sudah, Pa. Kami tadi makan di warung. Kata mama. Papa dibungkuskan nasi goreng saja,” ucap Tania. “Kata mama, karena papa suka nasi goreng,” lanjut gadis itu. Mendengar penuturan anaknya, jantung Wanda berdesir. Ada rasa hangat mengaliri darahnya.
Nadya. Istri yang selama ini telah merasa sangat kecewa dengannya ternyata begitu perhatian. Tak ingin membuat Nadya merasa kesal dengan sikapnya, Wanda bergegas ke dapur. Duduk di meja makan menyantap nasi goreng yang dibawa istrinya. Ia ingin memperlihatkan jika dirinya sangat menghargai apapun yang dilakukan wanita itu. Meski, untuk mengucapkan secara langsung ia merasa tidak sanggup.
“Enak, kan, Pa. Nasi goreng nya?” tanya Akmal begitu dia keluar dari kamar mandi.
Wanda hanya mengangguk karena mulutnya masih sibuk mengunyah. Karena sejak dari siang menahan rasa lapar. Nasi goreng itu sebentar saja sudah dihabiskannya.
“Enak. Tapi lebih enak nasi goreng buatan mama. Kalau mama yang buat papa makannya bisa nambah.” Tanpa bermaksud mencari muka, Wanda mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Ternyata tanpa sepengetahuan nya Nadya sudah berdiri di belakang Wanda sambil memperhatikan lelaki itu makan.
Melihat Wanda makan begitu lahap, Nadya tahu jika suaminya benar-benar sangat kelaparan. Tak ayal hati perempuan itu terenyuh.
“Memangnya tadi kamu tidak jadi makan di rumah mamak?” tanya Nadya. Padahal dia sebenarnya tahu. Wanda tidak akan mungkin meminta makan di sana.
“Tidak. Aku sengaja menunggu kamu pulang. Rencananya aku mau beli mie instan saja untuk kita makan bersama,” ucap Wanda berbohong. Padahal uang sepeserpun sudah tidak ada di sakunya.
“Hm.” Nadya tidak berkomentar apa-apa. Kembali ia merasa menyesal telah membiarkan suaminya menahan rasa lapar begitu lama. Tapi kembali pula rasa itu ia tepis. Ia tidak ingin lagi tenggelam di dalam perasaannya selama ini ternyata telah membuat nya terjebak dalam situasi yang semakin rumit.
Ia sudah tidak ingin membuat suaminya merasa aman, nyaman dan merasa tidak punya masalah dalam hidup. Hingga membuatnya selama ini tidak berani mengambil keputusan dan tindakan untuk keluarganya sendiri.
Ketika sepasang suami-istri istri itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba…
Bammm…!
Di luar tepatnya dari arah rumah Mak Onah terdengar suara pintu yang dibanting dengan keras. Membuat mereka berempat terkejut dan saling berpandangan.
“Sudah. Tidak usah dipikirkan ayo tidur,” ajak Wanda pada istri dan kedua anaknya.
Tanpa banyak bicara mereka masuk ke kamar masing-masing. Dan Wanda segera mematikan lampu.
“Dasar kurang ajar mereka. Apa Wanda itu tidak bisa mengajar istrinya untuk berbagi denganku. Apa salahnya, sih jika dia juga membelikan aku makanan. Huh. Menantu tidak punya akhlak!” omel Mak Onah.
Ternyata saat Nadia dan kedua cucu nya pulang Mak Onah melihat dan mendengar jika mereka membawakan nasi goreng untuk Wanda.
“Aduh, perutku lapar. Menyesal juga tadi aku hanya membeli telur sebutir. Tidak tahunya jam segini aku lapar lagi,” sesalnya.
Wanita itu sebenarnya berharap Wanda berinisiatif mengantarkan nasi goreng itu padanya. Tapi sudah lama menunggu ternyata dia tidak melihat ada tanda-tanda Wanda datang ke rumahnya membawa nasi goreng yang dibeli Nadya.
“Awas kalian. Lihat saja nanti kalau aku buat rendang. Aku tidak akan memberi kalian secuil pun!” geram Mak Onah. Akhirnya malam itu Mak Onah tidur dengan menahan lapar.
Akibat beberapa kali terjaga saat tidur, membuat Mak Mak Onah kesiangan. Hingga ia kehilangan waktu untuk mengerjakan sholat subuh. Ditambah lagi badannya begitu lemah karena tidak makan.
“Ah, kalau sepagi ini aku pergi ke penjual sarapan pagi pasti belum buka. Sialan!” umpat nya setelah ia membasuh muka dan menyikat gigi. “Lebih baik aku minum teh hangat saja. Mudah-mudahan badanku bisa kuat!” ucapnya lagi sambil membuka tutup toples gula.
“ya, ampun. Gula cuma tinggal satu sendok.” Kembali ia ngomel begitu melihat gula pasir di toples tinggal satu sendok. “Ah. Apa boleh buat aku buat setengah gelas saja. Yang penting pagi ini aku minum teh hangat,” ucapnya pada diri sendiri.
Mak Onah meminum air tehnya di dapur seorang diri sambil berkali-kali melirik ke arah jam dinding. Ia merasa jarum jam begitu lama berpindah tempat. Membuat hatinya semakin gusar. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi ke tempat penjual sarapan pagi karena sudah tidak bisa menahan rasa lapar.
“Buatkan aku lontong sayur satu piring,” pinta Mak Onah pas pemilik warung begitu dia tiba.
Pemilik warung memandangnya sesat. “Iya, sebentar. Aku sedang menggoreng bakwan,” ucap Bu Erna pemilik warung. Tidak seperti penjual pada umumnya. Wajahnya Bu Erna terlihat tidak senang begitu melihat kedatangan Mak Onah. Terlihat dari sikapnya yang dingin.
Tidak hanya Bu Erna. Pengunjung lain yang sedang menikmati sarapan di warung itupun terlihat tidak memperdulikan Mak Onah. Padahal mereka semua mengenal Mak Onah.
“Jangan ngutang lagi, Mak Onah. Bikin kedaiku sial saja!” Bu Erna menghidangkan sepiring lontong sayur di hadapan Mak Onah dengan wajah masam. Mendengar ucapan Bu Erna semua orang yang sedang makan langsung memandang Mak Onah.
Mak Onah yang merasa dipermalukan di depan orang banyak merasa tidak terima. Saat ia hendak membalas perkataan Bu Erna seorang perempuan yang baru turun dari motor matic berseru pada Bu Erna. Membuatnya tidak memiliki kesempatan, karena pemilik warung segera berlalu dari hadapannya.
“Bu Erna, sudah selesai pesanan saya tadi?” serunya sambil melangkah ke dalam kedai.
“Sudah. Ini,” bals Bu Erna dengan sangat ramah dan senyum mengembang. Sangat berbeda dengan perlakuan yang pada Mak Onah.
“Mela. Kamu beli lontong juga?” Mak Onah yang tadinya merasa dongkol menyapa Mela dengan sangat ramah. Ia merasa itu adalah momen yang tepat baginya untuk menetralisir hatinya yang menjadi tidak enak karena dipermalukan Bu Erna.
“Eh, ternyata ada Mak Onah,” balas Mela. Seolah baru melihat Mak Onah. Padahal sejak motornya masih di jalan ia sudah melihat Mak Onah duduk di dalam warung. “Iya. Mamanya Bang Ridwan ingin sarapan lontong pecal,” ucap Mela menjawab pertanyaan Mak Onah tadi.
“Berapa, Bu Erna? Oh, iya, sekalian lontong Mak Onah dihitung, ya. Biar saya bayar, ucap Mela sambil membuka dompet.
“Wah, terimakasih Mela. Beruntung sekali mama si Ridwan punya menantu sepertimu. Tidak seperti menantuku si Nadya itu. Tega membiarkan aku tadi malam kelaparan. Sedangkan dia enak-enakan makan nasi goreng dengan anak dan suaminya.” Kembali penyakit Mak Onah kumat. Begitu ada kesempatan ia langsung menjelek-jelekkan Nadya. Tidak peduli di depan orang ramai.
“Seandainya saja yang menjadi menantuku itu kamu. Bukan Si Nadya,” ucap Mak Onah. Sementara orang-orang di sekitarnya merasa muak dengan sikap perempuan tua itu.
“Untung saja bukan kamu yang jadi menantunya Mak Onah, Mela. Kalau tidak, pasti hidupmu sengsara seperti Nadya,” ucap salah seorang perempuan yang duduk tak jauh dari mak Onah.
“Iya, kasihan Nadya. Kalau aku yang jadi dia, sudah minta cerai aku,” celetuk yang lainya dengan nada ketus. Membuat wajah mak Onah memanas. Tapi karena rasa lapar yang tidak tertahankan ia terpaksa mengabaikan omongan itu dan lebih memilih menghabiskan lontong sayur di hadapannya. Sementara Mela bergegas pergi meninggalkan warung
Setelah perutnya kenyang menyantap sepiring lontong sayur ditambah empat buah bakwan mak Onah pulang dengan hati dongkol.
“Kenapa semua orang selalu berpihak pada Nadya? Tahu apa mereka tentang Nadya itu. Pasti otak mereka sudah diracuni oleh Si Nadya.” Sepanjang perjalanan pulang Mak Onah terus menggerutu. Hatinya tidak Terima karena semua orang lebih berpihak pada Nadya.
“Ah, sudah lah. Yang penting sekarang aku sudah kenyang. Untung tadi ada Mela yang membayar lontong aku. Si Erna tahu saja kalau aku sebenarnya mau ngutang.”
Tiba di rumah, karena merasa letih Mak Onah duduk di ruang tamu di kursi yang menghadap ke pintu. Pikirannya yang masih sibuk menghitung-hitung kesalahan Nadia tiba-tiba terhenti. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di tepi jalan tepat di depan rumahnya.
“Mobil siapa itu?” Mata tua Mak Onah terus mengawasi mobil itu hinga seorang perempuan membuka pintu dan berjan kearah rumahnya.
“A…apa aku mimpi? Apa aku tidak salah lihat? Dia datang. Ternyata Allah mengijabah doa ku.”
_______________________
Bersambung
Bab 87: Warga tercengang. Wajah Nadya dan pak Hardi memerah disertai rasa panas yang menjalar sampai ke tengkuk. Dari kaca kecil yang tergantung di depan nya Pak Hardi masih sempat melihat Nadya tersipu malu dan salah tingkah. Sementara Bude Ijum yang duduk di samping Nadya malah memandang keluar melalui jendela yang sengaja tidak ditutup. ‘Menikah? Ah, dari kemarin dia tidak juga melamarku,” gerutu Nadya di hatinya karena kesal, ia merasa berada di suatu penantian yang tidak pasti. Sekilas ia pun sempat menatap kaca kecil di depan Pak Hardi yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya. Deg! Ia merasa darahnya berdesir. Rasanya baru kali ini ia menatap sorot mata lelaki dengan jelas meski hanya dari sebuah cermin. Tapi ia yakin tatapan itu sama sekali tidak bohong. Nadya tahu Pak Hardi juga sedang merasakan sebuah getaran yang sama dengan yang ia rasakan. Hanya saja sepertinya Tania yang duduk sendiri di bangku belakang tidak merespon per
Bab 86: Perjuangan belum berakhir. “Pak Hardi tadi bicara apa?” tanya Nadya. Sebuah pertanyaan yang membuat harapannya kembali muncul. Bagaimana tidak. Meski pertanyaan itu tidak jelas. Tapi Nadya tahu pertanyaan itu sangat serius. “Itu, tadi…maksudnya…” kembali Pak merasa lidahnya terkunci. Kalimat yang harusnya sudah bisa di utarakan langsung pada Nadya harus tertahan di kerongkongan. Sebuah rasa yang sangat menyiksanya. Membuat ia hanya bisa mengumpat pada diri sendiri.Padahal ini adalah kesempatan yang tepat. Ia kembali menarik nafas panjang agar kekuatannya kembali terkumpul untuk menyatakan isi hatinya. Tapi sayangnya, saat itu pula Bude Ijum muncul dengan membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas teh panas. “Nadya makan dulu. Ini juga aku buatkan teh panas supaya tubuhmu segar.” Bude Ijum meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas teh di hadapan Nadya. “Ih, Bude. Bisa tidak munculnya nanti saja. Gagal lagi…gagal lagi,” getutu
Bab 85: Curhat dengan Pak Hardi. Nadya turun dari motornya sejenak dia diam berdiri samping motor yang selalu menemaninya pegi. Wajahnya terlihat letih. Letih menanggung rasa takut yang berlebihan. Wanita itu menghela nafas. Ia memandangi dua orang yang juga memperhatikannya dengan menyimpan sebuah pertanyaan. “Kenapa melamun disitu, Nadya?” tanya Bude Ijum dari tempat duduknya. Pak Hardi yang sebenarnya ingin bertanya mulutnya terkunci. Bukan lagi karena merasa malu. Tapi karena teringat dengan peristiwa tadi malam. “Pak Hardi saya takut Akmal pergi dari hidup saya.” Nadya mendekati Pak Hardi yang kemudian memberinya sebuah kursi kosong untuk duduk agar dapat bercerita bercerita lebih tenang. Lelaki itu sekilas menatap wajah Nadya yang terlihat sembab karena menangis semalaman. “Bu Nadya jangan berpikir yang aneh-aneh seperti itu. Tidak mungkin Akmal meninggalkan ibunya. Percaya sama saya,” ucap Pak Hardi tidak bertele-tele, dan tidak
Bab 84: Lamaran yang tertunda. Paginya setelah sholat subuh Bude Ijum yang merasa penasaran dengan apa yang terjadi di tempat kemalangan sengaja menemui keponakannya sambil membawa kopi dan bubur ayam hasil buatannya. “Bapakmu mana, Za?” tanya Bude Ijum pada Reza yang sedang mencuci mobil. “Di Dalam Bude. Masih ngaji,” ucap Reza sambil menyiram air dengan selang panjang ke arah mobil. “Bawa sarapan cuma untuk bapak saja. Malang sekali nasibku tidak ada yang yang mengurus. Nasib…nasib…” ucap Reza dengan suara yang sengaja dikeraskan. Mendengar sindiran pemuda itu Bude Ijum berhenti dan menoleh padanya. Tapi Reza malah pura-pura sibuk. “Kalau mau ambil sendiri sana di dapur. Tanganku cuma dua,” ucap Bude Ijum lalu meneruskan langkahnya ke teras. Saat itu pula Pak Hardi muncul dari pintu samping. “Nih, sarapan dulu. Mumpung masih hangat.” ucap Bude Ijum. “Jam berapa nanti kamu mengantar Nadya dan Tania kesana lagi?” tanya bude ijum
Ban 83: Akmal bertemu ayahnya. “Apa? Tidak! Kamu harus pulang Akmal!” Nadya menarik tangan putranya agar pergi bersamanya dari tempat itu. Namun ternyata Wanda memegangi tubuh Akmal hingga Nadya dibuatnya tertahan karena tentunya tenaga Wanda lebih kuat. “Nadya, tolong. Biarkan Akmal bersamaku. Aku mohon. Aku selama ini merindukan dia,” ucap Wanda memelas. Permohonan lelaki itu bukannya membuat rasa iba di hati Nadya, ia malah meradang. Bukan hanya karena tidak suka dengan sikap Wanda, tapi karena rasa takut kehilangan putranya lebih besar menghantui dirinya. “Ternyata kamu sudah menghasut anakku, ya! Tidak, aku tidak akan membiarkan anakku ikut denganmu. Mau jadi apa dia!” bentak Nadya di depan orang ramai. Nadya yang tidak bisa mengendalikan emosinya bersuara dengan keras di tengah keheningan suasana berkabung itu. Membuat orang-orang yang ada di dalam keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sebentar saja halaman rumah Feri sudah dikerumuni
Bab 82: Penolakan Tania. “Akmal…” Seru seorang lelaki bertubuh tegap yang berdiri di depan pintu. Darah Nadya berdesir. Langkahnya terhenti. Dari jarak yang tidak terlalu dekat ia pandangi wajah lelaki yang telah menoreh luka di hatinya. Akmal yang berjalan dibelakang Nadya berlari kearah suara yang memanggilnya. Ia tahu itu suara orang sangat dirindukannya “Papa…” Seru Akmal. Begitu remaja itu sudah berdiri di hadapan Wanda lelaki itu memegang bahu anak lelakinya dengan kedua tangan. Ditatapnya wajah yang dulu kepergiannya tanpa mengucapkan sepatah katapun padanya. “Kamu sudah besar, Akmal. Kenapa kamu tidak pernah menemui papa, Nak?” ucap Wanda dengan menatap lekat wajah Akmal. Tangannya yang tadi berada di atas bahu Akmal kini terangkat, ia mengelus wajah yang sedikit banyaknya menyalin wajahnya. Keadaan Wanda terlihat lusuh, sangat jauh berbeda dengan keadaannya saat madih menjadi suami Nadya. Dulu meski penghasilannya tidak jelas







