Share

BAB 4

Suara teriakan, cacian, dan kemarahan menggema di seluruh arena The BR. Suara wanita lebih terdengar mendominasi karena ketakutan.

“Sial! Apa-apaan ini!?” ucap si Kadal. “Kenapa bisa mati lampu?” tanyanya penasaran.

Dipta mengambil handphonenya dan menyalakan flashlight kearah wajah si Kadal.

“The game is over,” sahut Dipta dengan menyeringai seram.

*~*~*~*~*

“Gimana tadi mengajar lesnya, Mbak?” tanya Trisma sambil melipat pakaiannya dan menyimpannya kedalam lemari.

“Lumayan," jawab Senja yang sedang mengeringkan rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan hairdryer.

Trisma tidak puas dengan jawaban itu. “Lumayan apa? Capek? Seru? Asik?”

Senja tertawa kecil, lalu berkata, “lumayan suram.”

“Iya sih,” Trisma membenarkan. “Kakak sama adik sama aja,” keluhnya.

“Kamu dari umur berapa kerja disini, Ris?” tanya Senja mengubah topik pembicaraan.

“Tamat SMA, Mbak. Umur 18 tahun.”

“Berarti udah dua tahun, ya. Kalau Mbak boleh tahu, kenapa kamu nggak kuliah?”

“Iya, Mbak. Kalau dipikir-pikir, lama juga aku bertahan disini,” Trisma menghentikan kegiatannya melipat pakaian. “Aku nggak suka belajar, Mbak. Sukanya kerja.”

“Mbak salut sama kamu,” puji Senja dengan tulus. “Tahu apa yang diinginkan dan impikan.”

“Aku juga salut sama, Mbak. Posisi Mbak dirumah ini setara dengan Tuan Dipta dan Nona Gauri.”

Senja menggelengkan kepala, “Posisi Mbak itu sama seperti posisi kamu, Mbok Minah, Mbok Asih, Pak Mahmud, Pak Kasim, dan lainnya. Kita semua bekerja untuk Eyang Chandra.

“Tapi Eyang sendiri yang bilang, kalau Mbak Senja harus diperlakukan sama seperti Tuan Dipta dan Nona Gauri. Mbak juga dikasih kamar sendiri, tapi kenapa Mbak pilih tidur dikamar ini?”

“Mbak nggak nyaman kalau diperlakukan khusus begitu, lagipula Mbak lebih senang ada teman ngobrol, apa kamu keberatan kalau Mbak disini?”

Trisma menggeleng cepat, “Nggak, Mbak. Aku juga senang ada teman ngobrol. Senang banget malahan,” lalu Trisma tersenyum lebar.

Senja mengikat rambutnya yang sudah kering. Melihat itu Trisma berujar, “Rambut Mbak Senja bagus banget. Panjang, bergelombang, lebat, dan berkilau, kayak di iklan sampo, Mbak. Sayang banget kalau diikat rambut sebagus itu.”

Senja tersenyum malu, ia memang sudah sering mendengar pujian seperti itu. “Terima kasih pujiannya, tapi Mbak lebih suka rambut diikat daripada digerai.”

“Mbak, aku pikir kita seumuran waktu pertama kali ketemu, loh.”

“Sudah cukup pujiannya,” Senja tertawa geli mendengar Trisma melontarkan pujian terus-menerus, “Nanti Mbak melayang, Ris. Lagi pula perbedaan umur kita nggak jauh-jauh amat.”

“Empat tahun itu cukup jauh, Mbak. Beneran, muka Mbak itu nggak boros kayak aku.”

“Muka boros itu bagaimana sih?”

“Mukanya kelihatan tua dari umurnya, Mbak.”

Senja tampak berpikir sebentar, lalu berujar, “Jangan salah, biasanya orang yang punya muka seperti itu, sewaktu tua dia terlihat muda.”

“Iyakah? Amin deh kalau gitu,” ucap Trisma mengamini kemudian terkekeh sendiri. “Hayo…berarti Mbak Senja mengakui kalau mukaku boros, ya?”

Senja menjadi serba salah dan bingung mau menjawab apa. “Aduh, Mbak salah ngomong, ya? Maafin ya, Mbak nggak bermaksud ngomong begitu.”

Trisma tertawa lepas, kemudian melambaikan tangannya. “Nggak usah minta maaf, Mbak. Aku bercanda.”

Senja tersenyum kecut, “Mbak takut udah buat roommatenya Mbak tersinggung, padahal baru hari pertama kerja. Kalau ada ucapan dan sikap Mbak yang membuat kamu nggak nyaman, tolong diutarakan, ya.”

Trisma bersyukur memiliki roommate seperti Mbak Senja. “Iya, Mbak.”

Seseorang mengetuk pintu kamar Senja dan Trisma. Senja beranjak untuk membukakan pintu. Mbok Asih, yang menjabat sebagai kepala dapur berdiri dihadapannya. “Makan malam udah siap, Non,” katanya pada Senja.

“Iya, Mbok. Makan dimana?”

Senja belum tahu para pekerja rumah ini makan seperti apa. Apakah sendiri-sendiri, atau beramai-ramai, apakah diruang istirahat, karena ruang itu sungguh luas dan memliliki meja panjang besar. Ataukah dikamar masing-masing?

“Nona akan makan malam bersama Nona Gauri dan Eyang Chandra,” jawab Mbok Asih.

“Hah?”

*~*~*~*~*

Gerka Joule, sahabat baik dari seorang Dipta R. Maheswara mengakui kalau sahabatnya itu sudah berada di level teratas orang-orang berpengaruh. Padahal nyatanya sahabatnya ini hanya seorang pengangguran yang hobi pukul orang.

“Gimana caramu melakukan itu, Ta?” tanya Gerka heran.

Saat ini, Dipta, Gerka dan Yohan sedang berada di Flying High Club yang merupakan salah satu Club malam termahal di Indonesia. Mereka bertiga memesan ruangkan khusus VIP yang super duper Luxury, tanpa ada wanita penghibur didalamnya.

“Satu kali pancing, tiga ikan tertangkap,” ujar Yohan.

Dipta meneguk gelas wiskinya .“Saat ditangkap, ikannya berlutut dikakiku.”

“Memangnya ikan punya lutut?” tanya Yohan asal.

“Garing, Han!” ejek Dipta sambil menuangkan wiski kedalam gelas kecil lalu meneguknya kembali.

Gerka mengambil sebatang rokok By Ji Ga (BJG) pada saku celananya dan memantikkan macis pada ujung rokoknya. “Gila! Sekelas anak menteri, bertekuk lutut dihadapanmu. Dan… ini bukan anak menteri kacangan, Bro.”

“Minta rokokmu, Ka,” ucap Dipta.

Gerka memberikan kotak rokok BJG kearah Dipta.

“Merek yang lain!” Dipta melemparkan kotak rokoknya kembali kearah Gerka. “Aku nggak suka merek itu.”

“Sori, Bro! BJG selalu dihati.”

“Iya, BJG! Ba…ji…ngan.” Dipta mengolok-ngolok merek rokok favorit Gerka.

“Teeet! Salah. Yang benar adalah Baik, Jantan dan Ganteng,” balas Gerka.

“Boleh juga, tapi sebenarnya itu Buruk, Jelek, Gak Guna.”

“Stop!” Yohan menghentikan pertengkaran kekanak-kanakan yang sedang terjadi diantara kedua temannya ini. “Aku BJG!”

Gerka dan Dipta melirik Yohan, lalu kembali bertatapan muka berdua, kemudian kembali menatap Yohan yang sedang berpikir.

“Apa? Kamu Bajingan?” tanya Dipta heran.

Yohan menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku Bisa Jadi Gila.”

“Nggak lucu!” seru Gerka sambil melemparkan kacang almond kewajah Yohan.

Dipta menyodorkan minuman keras kearah Yohan. “Untuk merayakan sejarah kali ini, kamu harus minum, Han.”

Yohan mengangkat gelas jus mangganya. “Ini aku udah minum, Ta.”

“Minum yang ini,” tunjuk Dipta pada botol wiski. “Atau yang ini,” lalu menunjuk botol vodka.

Yohan tertawa. “Sori, aku hanya mau yang ini.” Menunjuk jus mangganya.

“Nggak asik kamu, Han,” kata Gerka. “Perlu dipertanyakan kejantananmu. Minum nggak mau, rokok nggak suka.”

“Setidaknya aku ikut merayakan kedalam club ini. Kalian paling tahu aku sangat anti masuk kedalam sini.”

“Ya..ya…Pak Bramasta!” ungkap Gerka. “Si..E..O.”

“Mulai lagi, jangan panggil aku dengan sebutan itu.”

“Kenapa? Kamu ‘kan memang menjabat sebagai Si…E…O.”

“Ayolah, temanmu yang menjabat sebagai itu bukan hanya aku aja.” Yohan melirik Dipta yang sudah mulai teler.

Gerka melihat Dipta. “Kalau dia bukan Si..E..O, tapi Si Bego!”

Yohan dan Gerka tertawa lepas. Sangat jarang mereka bisa menghina seorang Dipta R. Maheswara didepan wajahnya langsung.

Di sela tawa mereka berdua, seorang laki-laki memakai setelan jas dan celana hitam masuk, diiringi dua orang yang memakai stelan yang sama. Kedua orang itu memapah Dipta yang sudah tidak sadarkan diri hingga keluar ruangan.

Gerka dan Yohan selalu heran, mengapa para pengawal Dipta selalu bisa menemukan keberadaannya.

“Saya akan membawa Tuan Dipta pulang,” ucap seorang ketua pengawal yang mereka ketahui bernama Bima.

“Bawa aja, Bim,” suruh Yohan.

“Sampai rumah diikat kalau perlu, biar nggak bisa keluar tuanmu itu,” canda Gerka.

*~*~*~*~*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status