Senja merasakan tubuhnya kaku dihadapan Eyang Chandra dan Gauri. Apalagi saat ini mereka bertiga sedang makan malam diruangan khusus keluarga, dan Senja duduk bersama seakan ia juga bagian dari keluarga Maheswara. Senja tidak suka berada di posisi ini. Seperti diistimewakan padahal hanya orang suruhan.
Selama makan, hanya suara sendok dan garpu berdenting yang terdengar. Mereka bertiga makan dalam diam. Tak satupun memulai pembicaraan.
Banyaknya menu makanan yang terhidang di meja tidak satupun menggugah selera makan Gauri. Ia hanya memasukkan beberapa suapan kedalam mulutnya.
“Aku udah selesai,” ucap Gauri memecah keheningan. “Kak Tri, aku mau balik ke kamar,” panggil Gauri pada Trisma, asistennya Gauri.
Trisma yang mendengar suara Gauri, beranjak dari dapur menuju ruang makan utama.
Eyang Chandra juga menyudahi makan malamnya dan menyeka bibirnya dengan serbet. Lalu berkata pada Gauri, “Sebentar sayang, ada yang mau Eyang bicarakan dengan kamu dan Senja.”
Trisma berbalik arah lagi menuju dapur, namun baru empat langkah, Eyang Chandra memanggilnya.
Trisma membalikkan tubuhnya menghadap Eyang Chandra. “Iya, Eyang,” jawabnya.
“Tolong beritahu orang yang berada didapur untuk pergi dari sana dan menutup ruang makan keluarga ini,” perintah Eyang Chandra.
“Ta—tapi…Eyang,” Trisma khawatir dengan Gauri.
“Cuma sebentar, Trisma. Tidak akan terjadi apa-apa.”
Trisma meragukan ucapan Eyang Chandra. Seingatnya terakhir kali saat ruang makan keluarga ditutup, trauma Gauri kambuh kembali. Tetapi ia juga tidak memiliki keberanian membantah Eyang Chandra. Maka dari itu ia menutup pintu ruang makan dan menyuruh Mbok Asih, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim yang sedang berada didapur untuk keluar sebentar menuju ruang istirahat.
“Apa yang mau Eyang bicarakan?” tanya Gauri saat Trisma sudah berlalu dari ruang makan.
“Hal penting, sayang,” jawab Eyang Chandra.
“Hal penting apa sampai harus menutup pintu dan…” Gauri melihat Senja yang duduk didepannya secara terang-terangan. “Ada orang asing disini.”
Senja balas menatap Gauri. Ia memang orang asing dirumah ini. Ia juga merasa tidak pantas berada diruang makan ini.
“Eyang, sebaiknya Senja keluar,” ucap Senja sambil berdiri.
“Duduk, Senja,” suruh Eyang Chandra. “Pembicaraan ini menyangkut kamu juga.”
Senja duduk kembali di kursinya, lalu meminum air putihnya hingga tandas. Kerongkongannya terasa kering sekali. Ia merasa disituasi yang sulit saat ini. Seperti maju kena, mundur juga kena.
“Kamu sudah berkenalan dengan cucu Eyang ‘kan?” tanya Eyang Chandra pada Senja.
Senja menjawabnya dengan anggukan kepala yang pelan.
“Bagaimana kesannya? Sesuai dengan apa yang Eyang ceritakan?”
“Sedikit,” jawab Senja yang membuat Eyang Chandra tertawa kecil.
“Bagaimana Senja mengajar lesnya, sayang? Kamu menyukainya?” kali ini pertanyaan untuk Gauri.
Gauri bersidekap, wajah cantiknya bertekuk masam. “Cukup basa-basinya. Katakan apa yang sebenarnya mau Eyang bicarakan.”
“Baiklah…” Eyang tampak berpikir sebentar. “Sebenarnya Eyang berencana akan memasukkanmu ke sekolah formal SMA.”
“Apa!?” pekik Gauri kemudian menggelengkan kepala dengan cepat. “Aku nggak mau.”
Senja juga terkejut mendengar rencana Eyang Chandra. Senja tahu bahwa semenjak usia Gauri lima tahun, Eyang Chandra menyuruhnya untuk school at home atau biasa yang disebut dengan homeschooling. Tetapi Senja tidak pernah bertanya pada Eyang Chandra alasan mengapa Gauri sekolah dirumah sejak kecil. Ia hanya berasumsi itu kebiasaan orang kaya, menyekolahkan anaknya dirumah.
“Eyang mau kamu berkembang dan memiliki banyak teman, sayang,” bujuk Eyang Chandra.
“Aku nggak butuh teman,” sahut Gauri. “Jangan ambil keputusan tanpa seiizinku.”
“Senja, bagaimana menurutmu?” Eyang Chandra beralih bertanya pada Senja.
‘Bagaimana apanya?’ batin Senja.
Senja berada pada posisi dilema. Ia bingung mau menjawab apa. Ia takut mempekeruh suasana. Mengapa Eyang Chandra menempatkannya pada posisi seperti ini? Bukankah dirinya akan semakin dibenci? Oleh Dipta dan Gauri?
Kalau alasan selama ini Gauri school at home karena disabilitas fisik, berarti Gauri tidak pernah merasakan bersekolah formal layaknya orang normal. Maka dari itu, Senja menyetujui rencana Eyang Chandra. Senja juga ingin melihat Gauri ceria, tertawa, dan bahagia bersama teman-temannya atau orang yang disayanginya.
“Menurut Senja, harus ditanyakan pada Nona Gauri,” jawab Senja pada akhirnya. Ia melihat napas Gauri tak beraturan, sepertinya Gauri sedang mengontrol emosinya. “Semua keputusan ada ditangan Nona.”
Eyang Chandra tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Senja. “Bukan itu. Menurutmu rencana Eyang bagaimana? Kamu setuju?”
“Hentikan!” teriak Gauri dengan memukul meja makan dengan garpu. “Hentikan pembicaraan ini. Untuk apa Eyang meminta persetujuan dari dia?” Gauri menunjuk Senja dengan garpu ditangannya.
Senja menahan napasnya sesaat. Bagaimana ini? pikirnya. Sepertinya Gauri sudah salah paham terhadap dirinya.
“Jadi ini alasan dia ada disini?” Gauri menatap marah pada Senja.
“Jangan begitu sayang, letakkan garpunya,” Eyang Chandra mencoba meraih garpu ditangan Gauri, tetapi tidak berhasil. Garpu itu dipindahkan Gauri dari tangan kanan ke tangan kiri dan digenggam erat diatas meja “Kita bisa bicara baik-baik, sebentar lagi kamu sudah dewasa.”
Gauri tertawa hambar. “Iya, orang dewasa yang cacat! Nggak bisa jalan, lumpuh.”
“Jangan bicara seperti itu!” sanggah Eyang Chandra. “Kamu bukan cacat, sayang.”
“Tenang, Non,” ujar Senja menenangkan. “Eyang nggak akan memaksa Nona untuk masuk sekolah formal.”
Gauri semakin marah saat Senja mencoba masuk kedalam pembicaraan.
“Diam kamu!” bentak Gauri pada Senja. “Tau apa kamu!? Hah? Kamu siapa?”
Senja semakin terpojokkan, ia ingin sekali pergi dari ruang makan keluarga yang mencekam ini. Ia takut akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sedari tadi hatinya tak henti memanjatkan doa agar tidak terjadi apa-apa.
“Maaf, aku minta maaf, Non,” kata Senja.
“DIAM!” Gauri semakin berang. “Aku bilang diam! DI—AM. Kamu tuli?”
Eyang Chandra mencoba menenangkan Gauri. “Sayang, Senja tidak salah apa-apa. Eyang yang salah. Eyang minta maaf.”
Gauri tahu itu permintaan maaf palsu dari Eyangnya. Ia yakin Eyangnya akan memaksanya untuk masuk sekolah formal dan menyuruh Senja untuk memenuhi keinginannya itu.
“Gauri benci Eyang! Inikah yang Eyang mau?” Gauri mengangkat garpu yang sedari tadi digenggamnya dengan erat dan menusukkannya ke tangan kanannya.
“Aakkhhh….” suara rintihan terdengar menggema didalam ruang makan.
Eyang Chandra langsung menekan tombol alarm dari bawah meja makan. Pintu ruang makan terbuka dan mencengangkan semua orang yang melihatnya.
Punggung tangan Senja tertancap garpu yang dipegang oleh Gauri. Saat melihat tanda-tanda Gauri mau menyakiti dirinya sendiri, tubuh Senja secara refleks keatas meja dan menggenggam tangan kanan Gauri sehingga punggung tangan kanannyalah yang tertusuk garpu. Senja bersyukur dirinyalah yang terluka. Ia juga senang refleks dirinya sungguh cepat.
Darah Senja yang menetes semakin banyak melumuri tangan Gauri dan bercecer hingga kelantai.
Gauri sungguh terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia juga semakin terkejut saat melihat senyuman tulus yang muncul diwajah Senja. Gauri melepaskan garpu yang digenggamnya. Kedua tangannya bergemetar hebat. Apa yang dilakukan guru les barunya ini? Gauri mencoba menatap kedua mata Senja, dan mata itu menyiratkan kalimat yang sangat ingin Gauri dengar, ‘tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja’.
*~*~*~*~*
“Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”
Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud
Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu
Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende
“Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k