Share

BAB 5

Senja merasakan tubuhnya kaku dihadapan Eyang Chandra dan Gauri. Apalagi saat ini mereka bertiga sedang makan malam diruangan khusus keluarga, dan Senja duduk bersama seakan ia juga bagian dari keluarga Maheswara. Senja tidak suka berada di posisi ini. Seperti diistimewakan padahal hanya orang suruhan.

Selama makan, hanya suara sendok dan garpu berdenting yang terdengar. Mereka bertiga makan dalam diam. Tak satupun memulai pembicaraan.

Banyaknya menu makanan yang terhidang di meja tidak satupun menggugah selera makan Gauri. Ia hanya memasukkan beberapa suapan kedalam mulutnya.

“Aku udah selesai,” ucap Gauri memecah keheningan. “Kak Tri, aku mau balik ke kamar,” panggil Gauri pada Trisma, asistennya Gauri.

Trisma yang mendengar suara Gauri, beranjak dari dapur menuju ruang makan utama.

Eyang Chandra juga menyudahi makan malamnya dan menyeka bibirnya dengan serbet. Lalu berkata pada Gauri, “Sebentar sayang, ada yang mau Eyang bicarakan dengan kamu dan Senja.”

Trisma berbalik arah lagi menuju dapur, namun baru empat langkah, Eyang Chandra memanggilnya.

Trisma membalikkan tubuhnya menghadap Eyang Chandra. “Iya, Eyang,” jawabnya.

“Tolong beritahu orang yang berada didapur untuk pergi dari sana dan menutup ruang makan keluarga ini,” perintah Eyang Chandra.

“Ta—tapi…Eyang,” Trisma khawatir dengan Gauri.

“Cuma sebentar, Trisma. Tidak akan terjadi apa-apa.”

Trisma meragukan ucapan Eyang Chandra. Seingatnya terakhir kali saat ruang makan keluarga ditutup, trauma Gauri kambuh kembali. Tetapi ia juga tidak memiliki keberanian membantah Eyang Chandra. Maka dari itu ia menutup pintu ruang makan dan menyuruh Mbok Asih, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim yang sedang berada didapur untuk keluar sebentar menuju ruang istirahat.

“Apa yang mau Eyang bicarakan?” tanya Gauri saat Trisma sudah berlalu dari ruang makan.

“Hal penting, sayang,” jawab Eyang Chandra.

“Hal penting apa sampai harus menutup pintu dan…” Gauri melihat Senja yang duduk didepannya secara terang-terangan. “Ada orang asing disini.”

Senja balas menatap Gauri. Ia memang orang asing dirumah ini. Ia juga merasa tidak pantas berada diruang makan ini.

“Eyang, sebaiknya Senja keluar,” ucap Senja sambil berdiri.

“Duduk, Senja,” suruh Eyang Chandra. “Pembicaraan ini menyangkut kamu juga.”

Senja duduk kembali di kursinya, lalu meminum air putihnya hingga tandas. Kerongkongannya terasa kering sekali. Ia merasa disituasi yang sulit saat ini. Seperti maju kena, mundur juga kena.

“Kamu sudah berkenalan dengan cucu Eyang ‘kan?” tanya Eyang Chandra pada Senja.

Senja menjawabnya dengan anggukan kepala yang pelan.

“Bagaimana kesannya? Sesuai dengan apa yang Eyang ceritakan?”

“Sedikit,” jawab Senja yang membuat Eyang Chandra tertawa kecil.

“Bagaimana Senja mengajar lesnya, sayang? Kamu menyukainya?” kali ini pertanyaan untuk Gauri.

Gauri bersidekap, wajah cantiknya bertekuk masam. “Cukup basa-basinya. Katakan apa yang sebenarnya mau Eyang bicarakan.”

“Baiklah…” Eyang tampak berpikir sebentar. “Sebenarnya Eyang berencana akan memasukkanmu ke sekolah formal SMA.”

“Apa!?” pekik Gauri kemudian menggelengkan kepala dengan cepat. “Aku nggak mau.”

Senja juga terkejut mendengar rencana Eyang Chandra. Senja tahu bahwa semenjak usia Gauri lima tahun, Eyang Chandra menyuruhnya untuk school at home atau biasa yang disebut dengan homeschooling. Tetapi Senja tidak pernah bertanya pada Eyang Chandra alasan mengapa Gauri sekolah dirumah sejak kecil. Ia hanya berasumsi itu kebiasaan orang kaya, menyekolahkan anaknya dirumah.

“Eyang mau kamu berkembang dan memiliki banyak teman, sayang,” bujuk Eyang Chandra.

“Aku nggak butuh teman,” sahut Gauri. “Jangan ambil keputusan tanpa seiizinku.”

“Senja, bagaimana menurutmu?” Eyang Chandra beralih bertanya pada Senja.

‘Bagaimana apanya?’ batin Senja.

Senja berada pada posisi dilema. Ia bingung mau menjawab apa. Ia takut mempekeruh suasana. Mengapa Eyang Chandra menempatkannya pada posisi seperti ini? Bukankah dirinya akan semakin dibenci? Oleh Dipta dan Gauri?

Kalau alasan selama ini Gauri school at home karena disabilitas fisik, berarti Gauri tidak pernah merasakan bersekolah formal layaknya orang normal. Maka dari itu, Senja menyetujui rencana Eyang Chandra. Senja juga ingin melihat Gauri ceria, tertawa, dan bahagia bersama teman-temannya atau orang yang disayanginya.

“Menurut Senja, harus ditanyakan pada Nona Gauri,” jawab Senja pada akhirnya. Ia melihat napas Gauri tak beraturan, sepertinya Gauri sedang mengontrol emosinya. “Semua keputusan ada ditangan Nona.”

Eyang Chandra tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Senja. “Bukan itu. Menurutmu rencana Eyang bagaimana? Kamu setuju?”

“Hentikan!” teriak Gauri dengan memukul meja makan dengan garpu. “Hentikan pembicaraan ini. Untuk apa Eyang meminta persetujuan dari dia?” Gauri menunjuk Senja dengan garpu ditangannya.

Senja menahan napasnya sesaat. Bagaimana ini? pikirnya. Sepertinya Gauri sudah salah paham terhadap dirinya.

“Jadi ini alasan dia ada disini?” Gauri menatap marah pada Senja.

“Jangan begitu sayang, letakkan garpunya,” Eyang Chandra mencoba meraih garpu ditangan Gauri, tetapi tidak berhasil. Garpu itu dipindahkan Gauri dari tangan kanan ke tangan kiri dan digenggam erat diatas meja “Kita bisa bicara baik-baik, sebentar lagi kamu sudah dewasa.”

Gauri tertawa hambar. “Iya, orang dewasa yang cacat! Nggak bisa jalan, lumpuh.”

“Jangan bicara seperti itu!” sanggah Eyang Chandra. “Kamu bukan cacat, sayang.”

“Tenang, Non,” ujar Senja menenangkan. “Eyang nggak akan memaksa Nona untuk masuk sekolah formal.”

Gauri semakin marah saat Senja mencoba masuk kedalam pembicaraan.

“Diam kamu!” bentak Gauri pada Senja. “Tau apa kamu!? Hah? Kamu siapa?”

Senja semakin terpojokkan, ia ingin sekali pergi dari ruang makan keluarga yang mencekam ini. Ia takut akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sedari tadi hatinya tak henti memanjatkan doa agar tidak terjadi apa-apa.

“Maaf, aku minta maaf, Non,” kata Senja.

“DIAM!” Gauri semakin berang. “Aku bilang diam! DI—AM. Kamu tuli?”

Eyang Chandra mencoba menenangkan Gauri. “Sayang, Senja tidak salah apa-apa. Eyang yang salah. Eyang minta maaf.”

Gauri tahu itu permintaan maaf palsu dari Eyangnya. Ia yakin Eyangnya akan memaksanya untuk masuk sekolah formal dan menyuruh Senja untuk memenuhi keinginannya itu.

“Gauri benci Eyang! Inikah yang Eyang mau?” Gauri mengangkat garpu yang sedari tadi digenggamnya dengan erat dan menusukkannya ke tangan kanannya.

“Aakkhhh….” suara rintihan terdengar menggema didalam ruang makan.

Eyang Chandra langsung menekan tombol alarm dari bawah meja makan. Pintu ruang makan terbuka dan mencengangkan semua orang yang melihatnya.

Punggung tangan Senja tertancap garpu yang dipegang oleh Gauri. Saat melihat tanda-tanda Gauri mau menyakiti dirinya sendiri, tubuh Senja secara refleks keatas meja dan menggenggam tangan kanan Gauri sehingga punggung tangan kanannyalah yang tertusuk garpu. Senja bersyukur dirinyalah yang terluka. Ia juga senang refleks dirinya sungguh cepat.

Darah Senja yang menetes semakin banyak melumuri tangan Gauri dan bercecer hingga kelantai.

Gauri sungguh terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia juga semakin terkejut saat melihat senyuman tulus yang muncul diwajah Senja. Gauri melepaskan garpu yang digenggamnya. Kedua tangannya bergemetar hebat. Apa yang dilakukan guru les barunya ini? Gauri mencoba menatap kedua mata Senja, dan mata itu menyiratkan kalimat yang sangat ingin Gauri dengar, ‘tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja’.

*~*~*~*~*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status