Sesampainya di rumah, segera aku masuk dan berlari ke kamar. Kubaringkan Miko yang sudah tertidur di atas ranjang, kututup pintu dan jendela lalu menguncinya.
Setelah memastikan semuanya aman. Aku menjatuhkan tubuh di balik pintu. Kudongakkan kepala berusaha menahan air mata yang sedari tadi jatuh. “Ya Tuhan...!” gumamku pelanBeberapa kali kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar berharap bisa sedikit menenangkan hatiku, tapi semua itu gagal. Kututup mulutku agar tidak ada yang mendengar tangisanku.Akhirnya kulepaskan semua beban di dalam dada yang sedari tadi tertahan.Sejenak terlintas pertanyaan yang tadi aku dengar. “Anita, apa dia cucuku?” “Iya, Bu! Dia Miko cucu Ibu,” jawabku.“Maafkan kesalahan Ibu, Anita!” ucapnya tulus.“Aku sudah memaafkan semua kesalahan Ibu.”“Bolehkah aku memeluk Miko?” tanyanya ragu.“Tentu saja, Bu!” jawabku sambil menurunkan Miko dari gendonganku. “Sini, sayang! Ini nenek.” Ibu merentangkan tangannya.Miko perlahan berjalan ke arah Ibu. Matanya masih saja menatapku untuk memastikan bahwa aku mengizinkannya. Aku tersenyum lalu mengangguk.Kulihat Ibu berjongkok berusaha menyejajarkan tubuhnya dengan Miko. Perlahan Miko mendekat, segera Ibu meraih tangan Miko dan memeluknya.“Mama...!”Kudengar Miko berteriak.Seketika aku mengangkat kepala lalu mengedarkan pandangan ke semua sudut ruangan. Kulihat Miko sedang duduk di atas ranjang sambil mengucek matanya.“Mama...!” teriak Miko sekali lagi.Segera aku bangkit dan menghampiri Miko. Kupeluk dia yang masih setengah mengantuk. “Ini Mama, sayang!” Aku menghembuskan nafas perlahan mencoba meredam debaran di dadaku. Aku lega karena semua itu hanya mimpi. Ternyata tadi aku menangis hingga tertidur.“Dia memang cucumu, Bu! Namun kupastikan itu hanya dalam mimpi.” **Sore ini aku dan Miko di ajak Rendi makan di luat, sebenarnya Rendi hanya menepati janjinya. Jika Miko juara maka Rendi akan mengajaknya makan bakso.“Ini hadiah buat Miko,” ucap Rendi sambil menyerahkan bungkusan kecil pada Miko.“Kok dikasih hadiah lagi, Om! Kan kita udah makan bakso.” Tanya Miko.“Itu bonus dari Om, karena Miko juara satu,” jawab Rendi.“Makasih ya, Om! Oh iya Ma, Kok ayah sekarang enggak ngirim hadiah lagi, ya?”Memang setelah kubuka blokir nomornya, beberapa hari ini Mas Rafi tidak mengirimi Miko hadiah lagi. Ia hanya selalu mengirim pesan walaupun tak pernah kubalas.“Itu bukan dari ayah, Sayang! Itu hanya dari orang yang mungkin kelebihan uang,” jawabku asal.“Kalo kelebihan uang, kenapa enggak sekalian kirim uang, Ma? Biar bisa buat bayar sekolah Miko.”Aku hanya terdiam. Miko memang masih sangat polos. Aku harus sabar dalam memberi pengertian, agar ia tidak menganggap ayahnya masih ada.“Apa Ayah benar-benar sudah meninggal, Bu?” tanya Miko kemudian.“Iya, memangnya kenapa? Kok Miko tanyanya begitu.”“Kalo memang Ayah sudah meninggal, kenapa enggak ganti Om Rendi aja yang jadi Ayahku?” Seketika aku dan Rendi saling memandang. Kami sama-sama terkejut dengan perkataan Miko. Aku tak menyangka anak sekecil Miko sudah memiliki pikiran seperti itu. Apa Miko sangat merindukan sosok Ayah dalam hidupnya?Setelah semua selesai makan kami memutuskan pulang sebelum hari beranjak petang. Kami berjalan santai karena memang jarak warungnya tak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan kami menyapa beberapa tetangga yang kebetulan sedang berkumpul dan berjalan-jalan sekedar menikmati sore.“Eh, Nak Rendi! Habis ngajakin Anita jalan, ya?” sapa Bu Yati ketika berjalan melewati rumahnya.“Iya, Bu! Habis makan bakso di warung depan,” jawab Rendi sopan.“Pasti Bu Yati mau bikin gara-gara,” batinku.“Awas hati-hati kalo ngajakin Anita jalan, takutnya nanti Rafi datang kamu di marahin loh,” ucap Bu Yati.Benar saja dugaanku, pasti Bu Yati akan bicara macam-macam. “Aku lihat Rafi sekarang sering datang mengunjungi Nita sama Miko, loh! Dia juga ngirimi Miko banyak mainan. Liat aja sekarang mainan Miko banyak. Mana mampu Nita beli mainan mahal-mahal kalo enggak dibelikan Rafi,” imbuhnya.“Aku udah tau kok, Bu!” jawab Rendi.“Jangan terlalu berharap sama nita, Nak! Sainganmu berat.”“Kemarin kata Nita, kalo Rafi nawarin uang lagi dia mau mintanya dua ratus juta. Emang Nak Rendi mampu?” “Lah, bukannya aku di ajarin Bu Yati kemarin. Katanya jangan Cuma minta seratus, makanya aku minta dua ratus,” selaku.“Terus kamu jadinya di kasih berapa?” tanya Bu Yati.“Bu Yati Kepo, deh!” candaku.“Oh iya, Bu! Katanya Santi anak Ibu mau nikah, ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Iya, tiga bulan lagi. Besok jangan lupa datang, ya!” ucap Bu Yati dengan wajah berbinar.“Pasti dong, Bu! Oh iya, tolong bilangin sama Santi besok kalo dikasih seserahan jangan mau kalo Cuma sedikit, bilang aja sama calonnya kalo tetangga sebelah di kasih dua ratus juta. Begitu ya, Bu!”Kutinggalkan Bu Yati yang masih terdiam menyusul Rendi dan Miko yang jalan terlebih dahulu. Mungkin sekarang Bu Yati sedang mencerna kata-kataku.Mulut Bu Yati memang tak bisa di rem, selalu saja mencampuri urusan orang lain. Pantas saja ia dijuluki tahu mercon, orang omongannya pedas begitu. Tapi tenang saja, makanan pedas itu favoritku. Jangankan tahu mercon, bubuk cabai saja aku doyan. Makanya aku selalu bisa menaklukkan Bu Yati.Sesampainya di depan rumah aku mengucapkan terima kasih pada Rendi dan segera masuk. Aku langsung menghidupkan semua lampu, karena suasana di dalam sudah gelap.Saat aku masuk ke kamar aku mendengar dering panggilan telepon. Segera aku mengecek ponselku dan terdapat panggilan dari Mas Rafi. Seperti sebelumnya aku langsung menolak panggilan itu. Kulihat ada 23 panggilan tak terjawab dan 33 pesan masuk. [Anita, cepat pulang! Aku tahu kamu sedang jalan sama Rendi][Enggak usah terima hadiah dari Rendi, Nanti aku belikan yang lebih bagus][Jangan racuni pikiran Miko dengan bilang ayahnya udah meninggal. Aku masih hidup, Anita! Apa lagi sampai menjadikan Rendi ayah Miko. Sampai kapan pun hanya aku ayahnya Miko...]Aku mengernyit heran dengan pesan-pesan yang dikirimkan Mas Rafi. Dari mana dia tahu apa yang aku bicarakan dengan Rendi? Apa mengirimkan mata-mata untuk mengawasiku?Seperti biasa setiap pagi aku akan menyiapkan keperluan Miko dan mengantarnya sekolah terlebih dulu sebelum berangkat kerja. Sebagai Ibu tunggal aku harus bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan Miko. Walaupun kadang aku merasa sangat lelah, tapi aku harus bertahan. Kadang aku merasa iri setiap aku melihat teman-temanku yang telah menikah. Mereka mempunyai suami yang bisa menafkahi sekaligus menjadi teman untuk berkeluh kesah.“Mbak, apa Mas Rafi masih sering ke sini?” tanya Ari sambil mencomot gorengan yang baru saja kuangkat.“Enggak, Ri! Udah jarang sekarang,” jawabku.Kebetulan hari ini Ari libur kerja jadi kami bisa sarapan bersama. Bekerja di sebuah pusat perbelanjaan membuat Ari jarang mendapatkan jatah libur.“Duduk, Mbak! Aku mau ngomong sebentar.”“Mau ngomong apa?” “Sebelumnya aku minta maaf. Apa Mbak Nita masih mengharapkan Mas Rafi?” tanya Ari serius.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Jangan pernah berpikir untuk kembali, Mbak! Aku enggak mau Mbak kecewa seperti dulu
“Apa aku masih punya kesempatan, Nit?” tanya Rendi yang saat ini tengah mengunjungi rumahku.“Aku sudah bilang jangan tanyakan itu lagi,” bentakku.“Tapi sampai kapan, Nit?”“Entahlah, Ren!”Entah mengapa Rendi tiba-tiba berbicara serius seperti itu. Padahal ia mengaku datang ke sini hanya untuk menemui Miko. Tapi Miko malah di ajak teman-temannya main bola di halaman.Aku dan Rendi adalah sahabat sejak kecil. Hampir setiap hari kami bersekolah dan bermain bersama tentu saja dengan teman-teman yang lain. Tak ada yang spesial di antara kami selain hubungan pertemanan pada umumnya.Setelah lulus SMA, Rendi memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota sebelah. Mulai saat itu hubungan kami semakin renggang. Hanya sesekali bertegur sapa lewat media sosial dan bertemu hanya ia libur atau saat hari raya.Rendi kembali ke rumah setelah ayahnya meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di sekitar sini agar bisa menemani Ibunya. Mulai saat itu kami mulai sering bertemu. Saat itu aku se
“Mirip dari mananya? Orang beda gini, kok!” kata Mas Rafi cuek lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Jelas beda dong, Tante! Miko kan item beda sama Omnya!” candaku. Aku mencoba ikut berbicara agar Silvi tidak terlalu memperhatikan kemiripan Miko dan Mas Rafi. Sembari makan, kami berbicara banyak hal. Silvi juga menanyakan tentang kehidupanku sepeninggal ayah Miko. Akhirnya aku sedikit bercerita, tentu saja tidak termasuk Mas Rafi di dalamnya. Sebenarnya aku hanya ingin memberi sedikit pelajaran untuk Mas Rafi. Biar dia tahu rasanya tak di anggap.“Terima kasih atas semuanya, Mbak! Kami pulang dulu.” Aku berpamitan setelah selesai makan. “Bilang terima kasih sama tante, Nak!” perintahku pada Miko. "Terima kasih, Tante! Miko pulang dulu," ucap Miko sambil mencium tangan Mbak Silvi. Mbak Silvi menyejajarkan tubuhnya dengan Miko lalu memeluk Miko. Aku terharu melihat perlakuan Mbak Silvi, pasti dia sangat merindukan seorang anak dalam hidupnya. Tadi ia bercerita sangat menyukai anak
[Selamat malam, apa benar ini nomornya Mbak Anita, Mamanya Miko. Ini Silvi, Mbak.]Aku kaget saat membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Dari mana Mbak Silvi tahu nomor ponselku? Apa dia juga ikut bersekongkol dengan Mas Rafi dan Bu Fitri? Kalo iya, berarti aku yang tertipu kemarin.[Benar, Mbak! Ini Mamanya Miko. Mbak kok bisa tau nomorku?]Balasku dengan ragu-ragu. Aku penasaran apa tujuan Mbak Silvi menghubungiku.[Kemarin aku ke tempat kerja Mbak Anita, tapi Mbak sudah pulang, makanya aku minta nomor Mbak sama temennya.]Aku lega membaca balasan yang Mbak Silvi kirim. Semoga saja semua itu benar. Aku memang sempat memberi tahu tempat kerjaku kemarin saat kami bertemu.[Mbak, bolehkan aku ketemu Miko lagi?]Sebuah pesan dari Mbak Silvi masuk lagi[Tentu saja, Mbak boleh]Akhirnya kami janji akan bertemu besok minggu di sebuah taman kota. Aku juga memintanya untuk tak mengajak Mas Rafi dengan alasan agar Miko tidak salah paham lagi. Dan Mbak Silvi pun menyetujuinya.Sebenarnya
“Eh, Nita! Jadi orang penting sekarang kamu, ya! Tiap hari ada yang nyariin, bermobil pula,” kata Bu Yati yang tiba-tiba datang ke rumah.Aku yang sedang sibuk menjemur pakaian hanya melirik sekilas tak berniat menanggapi. Pasti Bu Yati akan mengataiku macam-macam seperti biasanya. Dia memang seperti CCTV yang selalu memata-mataiku. Tidak ada satu pun kejadian di rumahku yang tidak diketahui Bu Yati. Dan itu sudah terjadi sejak aku hamil Miko dulu. Sampai sekarang dia masih saja setia dengan pekerjaan itu. Padahal kalo dipikir-pikir semua itu enggak ada untungnya buat dia. “Heh, ditanyain malah diem aja,” bentak Bu Yati yang sadar aku tak menanggapinya.“Oh, Bu Yati tanya, ya! Emm... memangnya kenapa kalo banyak yang nyariin, Bu? Yang penting bukan buat nagih utang,” jawabku tanpa menoleh.“Udah kasih aja si Miko sama mereka. Toh nanti kamu bakal di kasih duit banyak. Jangan ngimpi lagi dapet bapaknya Miko, nanti di buang lagi baru tau rasa.”“Nanti kalo aku banyak duit, Bu Yati kepa
“Langsung saja, Mas! Enggak usah basa-basi,” jawabku sambil menyeruput sedikit minuman di depanku.Walaupun terpaksa sore ini aku memenuhi undangan Mas Rafi untuk bertemu. Aku tak mau Mas Rafi bertindak macam-macam apalagi sampai menculik Miko. “Silvi sudah mengetahui semuanya, bahkan sudah sejak lama,” kata Mas Rafi pelan.“Aku sudah tau soal itu. Aku rasa dia bukan wanita bodoh yang enggak mau tahu masa lalu suaminya.”“Dia memintaku menjauhimu dan Miko”“Harusnya kalian memang jauh-jauh dari kami.” “Aku enggak mau melakukan kesalahan yang kedua. Aku tak akan melepas kamu dan Miko lagi.”Mas Rafi berusaha meraih tanganku, tapi dengan cepat aku melepasnya.“Kalo begitu kamu sudah punya rencana apa, Mas?" tanyaku.“Belum tahu, yang jelas mulai sekarang aku akan berusaha untuk bisa bersama kamu dan Miko.” “Kamu yakin sudah mempunyai keberanian untuk menentang keluargamu dan istrimu?”“Pasti," jawabnya mantap.“Kalo begitu nikahi aku secara resmi. Kamu tahu syarat pernikahan kedua s
“Terima uang 50 juta ini. Kalian tidak bisa menikah.”Bak disambar petir, tubuhku seketika kaku mendengar perkataan wanita yang sekarang duduk di hadapanku yang tak lain adalah Ibunya Mas Rafi. Nafasku terasa begitu sesak hingga mulutku terasa kaku dan tak bisa mengeluarkan kata. Sejenak aku hanya terdiam. Apa dia bilang? Tak ada pernikahan? Otakku mulai mencerna kata-kata yang baru saja di dengar. Perlahan mataku mulai mengembun.“Ma...maksudnya bagaimana ya, Bu?” Dengan bibir bergetar aku memberanikan diri bertanya. Kuarahkan pandangan ke arah Mas Rafi yang duduk di sebelah Ibunya, berharap mendapatkan penjelasan, namun saat pandangan mata kami bertemu, ia malah menunduk. Bukankah kami di sini berencana membicarakan pernikahanku dengan Mas Rafi. Tapi mengapa malah berubah? Apa ini bagian dari prank yang Mas Rafi buat untuk mengerjaiku? Ah, banyak pertanyaan-pertanyaan tak jelas yang memenuhi otakku saat ini.“Rafi tidak bisa menikahimu.”“La...lalu bagaimana dengan anak ini?” tany
Perkenalanku dengan Mas Rafi dimulai saat motornya tak sengaja menyerempet motorku di depan kampus. Aku yang notabene dikenal sebagai mahasiswi urakan saat itu, tentu saja langsung marah-marah tak terima dan meminta ganti rugi. Karena kerusakan motor cukup parah, aku dan Mas Rafi jadi sering bertemu untuk membicarakan masalah itu. Walaupun Mas Rafi sempat menawarkan untuk mengganti motorku dengan yang baru, tapi aku menolak karena motor itu adalah motor peninggalan Ibu yang menurutku memiliki nilai sejarah yang tak bisa digantikan.“Heh, cewe aneh! Gara-gara ngurusin motor bututmu ini, aku diputusin pacarku,” kata Mas Rafi sambil menendang motor yang baru keluar dari bengkel ini.“Itu bukan urusanku ya, Mas!” jawabku cuek.“Jelas itu urusan kamu dong! Aku dituduh selingkuh gara-gara sering ketemu dan di telepon kamu.”“Kan aku telepon buat tanya motor, bukan ngerayu kamu. Palingan pacar kamu yang udah bosen sama kamu, jadi bikin alesan enggak jelas kayak gitu.”Memang sebulan ini aku