Share

Bab 5

Penulis: Putri putri
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-04 18:08:24

Sesampainya di rumah, segera aku masuk dan berlari ke kamar. Kubaringkan Miko yang sudah tertidur di atas ranjang, kututup pintu dan jendela lalu menguncinya.

Setelah memastikan semuanya aman. Aku menjatuhkan tubuh di balik pintu. Kudongakkan kepala berusaha menahan air mata yang sedari tadi jatuh. 

“Ya Tuhan...!” gumamku pelan

Beberapa kali kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar berharap bisa sedikit menenangkan hatiku, tapi semua itu gagal. Kututup mulutku agar tidak ada yang mendengar tangisanku.

Akhirnya kulepaskan semua beban di dalam dada yang sedari tadi tertahan.

Sejenak terlintas pertanyaan yang tadi aku dengar. 

“Anita, apa dia cucuku?” 

“Iya, Bu! Dia Miko cucu Ibu,” jawabku.

“Maafkan kesalahan Ibu, Anita!” ucapnya tulus.

“Aku sudah memaafkan semua kesalahan Ibu.”

“Bolehkah aku memeluk Miko?” tanyanya ragu.

“Tentu saja, Bu!” jawabku sambil menurunkan Miko dari gendonganku. 

“Sini, sayang! Ini nenek.” Ibu merentangkan tangannya.

Miko perlahan berjalan ke arah Ibu. Matanya masih saja menatapku untuk memastikan bahwa aku mengizinkannya. Aku tersenyum lalu mengangguk.

Kulihat Ibu berjongkok berusaha menyejajarkan tubuhnya dengan Miko. Perlahan Miko mendekat, segera Ibu meraih tangan Miko dan memeluknya.

“Mama...!”Kudengar Miko berteriak.

Seketika aku mengangkat kepala lalu mengedarkan pandangan ke semua sudut ruangan. Kulihat Miko sedang duduk di atas ranjang sambil mengucek matanya.

“Mama...!” teriak Miko sekali lagi.

Segera aku bangkit dan menghampiri Miko. Kupeluk dia yang masih setengah mengantuk. “Ini Mama, sayang!” 

Aku menghembuskan nafas perlahan mencoba meredam debaran di dadaku. Aku lega karena semua itu hanya mimpi. Ternyata tadi aku menangis hingga tertidur.

“Dia memang cucumu, Bu! Namun kupastikan itu hanya dalam mimpi.” 

**

Sore ini aku dan Miko di ajak Rendi makan di luat, sebenarnya Rendi hanya menepati janjinya. Jika Miko juara maka Rendi akan mengajaknya makan bakso.

“Ini hadiah buat Miko,” ucap Rendi sambil menyerahkan bungkusan kecil pada Miko.

“Kok dikasih hadiah lagi, Om! Kan kita udah makan bakso.” Tanya Miko.

“Itu bonus dari Om, karena Miko juara satu,” jawab Rendi.

“Makasih ya, Om! Oh iya Ma, Kok ayah sekarang enggak ngirim hadiah lagi, ya?”

Memang setelah kubuka blokir nomornya, beberapa hari ini Mas Rafi tidak mengirimi Miko hadiah lagi. Ia hanya selalu mengirim pesan walaupun tak pernah kubalas.

“Itu bukan dari ayah, Sayang! Itu hanya dari orang yang mungkin kelebihan uang,” jawabku asal.

“Kalo kelebihan uang, kenapa enggak sekalian kirim uang, Ma? Biar bisa buat bayar sekolah Miko.”

Aku hanya terdiam. Miko memang masih sangat polos. Aku harus sabar dalam memberi pengertian, agar ia tidak menganggap ayahnya masih ada.

“Apa Ayah benar-benar sudah meninggal, Bu?” tanya Miko kemudian.

“Iya, memangnya kenapa? Kok Miko tanyanya begitu.”

“Kalo memang Ayah sudah meninggal, kenapa enggak ganti Om Rendi aja yang jadi Ayahku?” 

Seketika aku dan Rendi saling memandang. Kami sama-sama terkejut dengan perkataan Miko. Aku tak menyangka anak sekecil Miko sudah memiliki pikiran seperti itu. Apa Miko sangat merindukan sosok Ayah dalam hidupnya?

Setelah semua selesai makan kami memutuskan pulang sebelum hari beranjak petang. Kami berjalan santai karena memang jarak warungnya tak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan kami menyapa beberapa tetangga yang kebetulan sedang berkumpul dan berjalan-jalan sekedar menikmati sore.

“Eh, Nak Rendi! Habis ngajakin Anita jalan, ya?” sapa Bu Yati ketika berjalan melewati rumahnya.

“Iya, Bu! Habis makan bakso di warung depan,” jawab Rendi sopan.

“Pasti Bu Yati mau bikin gara-gara,” batinku.

“Awas hati-hati kalo ngajakin Anita jalan, takutnya nanti Rafi datang kamu di marahin loh,” ucap Bu Yati.

Benar saja dugaanku, pasti Bu Yati akan bicara macam-macam. 

“Aku lihat Rafi sekarang sering datang mengunjungi Nita sama Miko, loh! Dia juga ngirimi Miko banyak mainan. Liat aja sekarang mainan Miko banyak. Mana mampu Nita beli mainan mahal-mahal kalo enggak dibelikan Rafi,” imbuhnya.

“Aku udah tau kok, Bu!” jawab Rendi.

“Jangan terlalu berharap sama nita, Nak! Sainganmu berat.”

“Kemarin kata Nita, kalo Rafi nawarin uang lagi dia mau mintanya dua ratus juta. Emang Nak Rendi mampu?” 

“Lah, bukannya aku di ajarin Bu Yati kemarin. Katanya jangan Cuma minta seratus, makanya aku minta dua ratus,” selaku.

“Terus kamu jadinya di kasih berapa?” tanya Bu Yati.

“Bu Yati Kepo, deh!” candaku.

“Oh iya, Bu! Katanya Santi anak Ibu mau nikah, ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Iya, tiga bulan lagi. Besok jangan lupa datang, ya!” ucap Bu Yati dengan wajah berbinar.

“Pasti dong, Bu! Oh iya, tolong bilangin sama Santi besok kalo dikasih seserahan jangan mau kalo Cuma sedikit, bilang aja sama calonnya kalo tetangga sebelah di kasih dua ratus juta. Begitu ya, Bu!”

Kutinggalkan Bu Yati yang masih terdiam menyusul Rendi dan Miko yang jalan terlebih dahulu. Mungkin sekarang Bu Yati sedang mencerna kata-kataku.

Mulut Bu Yati memang tak bisa di rem, selalu saja mencampuri urusan orang lain. Pantas saja ia dijuluki tahu mercon, orang omongannya pedas begitu. Tapi tenang saja, makanan pedas itu favoritku. Jangankan tahu mercon, bubuk cabai saja aku doyan. Makanya aku selalu bisa menaklukkan Bu Yati.

Sesampainya di depan rumah aku mengucapkan terima kasih pada Rendi dan segera masuk. Aku langsung menghidupkan semua  lampu, karena suasana di dalam sudah gelap.

Saat aku masuk ke kamar aku mendengar dering panggilan telepon. Segera aku mengecek ponselku dan terdapat panggilan dari Mas Rafi. Seperti sebelumnya aku langsung menolak panggilan itu. Kulihat ada 23 panggilan tak terjawab dan 33 pesan masuk. 

[Anita, cepat pulang! Aku tahu kamu sedang jalan sama Rendi]

[Enggak usah terima hadiah dari Rendi, Nanti aku belikan yang lebih bagus]

[Jangan racuni pikiran Miko dengan bilang ayahnya udah meninggal. Aku masih hidup, Anita! Apa lagi sampai menjadikan Rendi ayah Miko. Sampai kapan pun hanya aku ayahnya Miko...]

Aku mengernyit heran dengan pesan-pesan yang dikirimkan Mas Rafi. Dari mana dia tahu apa yang aku bicarakan dengan Rendi? Apa mengirimkan mata-mata untuk mengawasiku?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ANAK 50 JUTA   JEBAKAN

    Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c

  • ANAK 50 JUTA   KENYATAAN DI MASA LALU

    “Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam

  • ANAK 50 JUTA   DENDAM

    “Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw

  • ANAK 50 JUTA   MASA LALU

    “Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t

  • ANAK 50 JUTA   BAHRI SUSANTO

    “Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”

  • ANAK 50 JUTA    IBu

    "Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status