Share

ANAK KESAYANGAN IBUKU
ANAK KESAYANGAN IBUKU
Penulis: Atiexbhawell

Kharisma Wijayanti

"Risma! Makan dulu, Nak!" Teriakan wanita berusia 54 tahun itu menggema di rumah kecil ini hingga siapapun pasti dapat mendengarnya.

Ya, beliau adalah Ibuku. Teriakannya tadi apakah memanggilku? Tentu saja bukan, melainkan memanggil anak perempuan kesayangannya, Kharisma Wijayanti, adik bungsuku yang kini berusia 19 tahun.

Aku menghela nafas besar, melepaskan sesak yang kian menghimpit dada ini. Sudah jam 9 lebih tetapi anak manja itu tak kunjung meninggalkan alam mimpinya. Sedangkan aku? Sudah bermandikan keringat sejak usai subuh.

"Sayang! Bangun dong! Makan dulu, nanti asam lambung kamu naik loh!" 

Lagi, suara wanita yang telah melahirkanku 27 tahun yang lalu itu kembali menggema, kini dibarengi dengan ketukan pintu cukup keras. Namun, sang putri tak kunjung merespon.

"Sayang, habis makan kita ke salon yuk?" 

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, bukan hal baru bagiku mendengar dan melihat Ibuku merayu anak kesayangannya itu dengan berbagai hal yang menarik. 

Aku berusaha menutup telingaku dari suara Ibu merayu anak manja itu. Toh, pada akhirnya semua bujuk rayu itu tak akan mempan membangunkan putri kesayangannya di jam segini.

Aku terus menggerakkan sabit di tanganku, mencabut rumput-rumput liar yang hampir memenuhi halaman kecil ini. Teriknya matahari tak menyurutkan semangatku, keringat mengucur membasahi wajah dan tubuhku. Tak mengapa, asalkan pekerjaanku segera selesai.

Suara riuh para penghuni perutku mulai nyaring terdengar, aku tersenyum miris. Karena, sekeras apapun mereka berdemo, mereka tak akan mendapat apapun sebelum semua pekerjaan selesai aku kerjakan. Itulah yang membuatku nekat menantang matahari yang terik ini demi untuk mendapatkan hak para penghuni perutku.

Dengan sisa-sisa tenaga, akhirnya pekerjaan mencabut rumput liar di halaman depan telah selesai aku kerjakan. Gemetar seluruh tubuhku, rasanya kaki sudah tak bertulang hingga tak mampu lagi menahan bobot tubuh yang kian berkurang sejak kepergian nenek 2 bulan yang lalu.

Meski tubuh kian gemetar, aku tetap harus mengumpulkan sampah dan membuangnya lebih dulu sebelum aku mengayunkan langkah menuju rumah.

Pandangan mata kian gelap, dengan sisa tenaga aku ayunkan kaki menuju dapur guna mengambil air untuk membasahi tenggorokan yang kering ini.

Baru seteguk air membasahi kerongkongan, setumpuk pakaian kotor mendarat tepat di kakiku. Aku menoleh dan mendapati tuan putri bersedekap dada dengan rambut kusut khas bangun tidur. 

"Cuciin yang bersih! Jangan disikat, baju mahal!" Ocehnya, lantas berbalik badan dan meninggalkanku dalam kepasrahan. Bahkan, tak diijinkannya sedikit suaraku keluar dari bibir ini.

Segera aku memunguti semua pakaian itu dan membawanya menuju kamar mandi belakang, merendamnya sebentar sebelum aku cuci dengan kedua tanganku.

Sembari menunggu rendaman baju, aku kembali ke dapur. Membuka tudung saji di meja khusus untukku, kembali aku tersenyum getir mendapati dua mangkuk yang berada di sana. Satu mangkuk berisi nasi dan satu lagi berisi sayur, lebih tepatnya kuah sayur karena memang hanya terdapat kuah dan dua potong wortel saja. Kemana ayam, sayur sop dan tempe yang sehabis sholat subuh tadi aku masak?

Andai nenek masih ada, tak mungkin aku makan dengan kuah sayur saja. Ah, tapi semua sudah digariskan oleh sang pencipta, kenapa aku harus menggerutu? Bukankah sekarang nenek sudah tidak lagi merasakan sakit tubuh dan hatinya karena mendapat perlakuan yang buruk dari anak kandungnya sendiri?

Tanpa terasa, air mata kembali meyeruak keluar dengan derasnya, mengiringi suapan nasi berikut kuah sayur ke dalam mulutku.

Jika saja aku punya pilihan lain, tentu aku tak mau ada di posisi ini. Aku terus memandangi nasi yang sudah aku siram dengan kuah ini, aku harus segera memindahkan nasi ini ke dalam perutku. Biar bagaimanapun, aku butuh nasi ini untuk menemaniku melakukan pekerjaan yang tiada habisnya di rumah ini.

🌺🌺🌺

"Mana baju yang kemarin?" Ketus Raka, adik sulungku sembari mengacak-acak tumpukan baju yang baru saja selesai aku lipat. 

Tanpa bersuara, aku meraih kemeja berwarna navy itu dari gantungan dan mengulurkannya. Dengan segera ia menerimanya dan berlalu dari hadapanku tanpa sepatah katapun. Aku hanya mampu menatap baju-baju yang kini telah berhamburan kembali itu dengan tatapan nanar.

Dengan cekatan, kembali aku melipat ulang semua baju itu. 

Bruk,

Tumpukan baju yang belum dilipat terlempar ke arah tanganku yang sedang melipat ulang baju yang berserakan itu, dan pelakunya adalah Desi istri Raka, adik iparku.

"Buruan setrikain! Aku mau pakai!" Ujarnya ketus tanpa sopan santun sedikitpun padahal aku ini adalah kakak iparnya. 

"Sebentar, ya!" Jawabku pelan yang berhasil membuatnya menoleh ke arahku dan menatapku tak suka.

"Sekarang! Aku mau pakai sekarang!" Jawabnya dengan suara meninggi dan raut wajah yang tak enak dipandang mata.

"Ada apa, Sayang!" Sahut Ibu yang baru datang dari arah depan.

"Ini, Bu! Dia gak mau setrikain baju aku, kan aku mau pergi sama Mas Raka!" Jawabnya dengan suara mendayu, menjijikkan!

Ibu melotot menatapku, aku tahu arti tatapan itu meski tanpa suara. Dengan terpaksa aku meninggalkan tumpukan baju yang belum tersentuh itu dan melangkah menuju meja setrika yang terletak di ujung kamar sempit ini.

"Kamu siap-siap dulu sana, nanti Ibu anterin bajunya ke kamar kamu!" Bujuk Ibu dengan suara lemah lembut. Suara yang selama 27 tahun aku hidup di dunia, belum sekalipun aku mendengarnya beliau berucap demikian padaku.

Lagi-lagi mataku menghangat, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Desi, yang notabenenya adalah orang lain saja mendapat perlakuan begitu manis dari Ibu, sedangkan aku? Yang lahir dari rahimnya, belum sekalipun beliau memanggil namaku dengan benar. Beliau selalu memanggilku 'hei' atau 'kau' miris, sangat miris!

"Jangan banyak tingkah! Lakukan semua yang kami perintahkan! Atau keluar saja kau dari rumah ini!" Bentak Ibu saat Desi telah berlalu dari kamar 3x3 yang multifungsi ini. 

Bukan sekali, dua kali beliau mengatakan itu padaku, sering dan bahkan sering sekali. Dan lagi-lagi aku hanya bisa diam dan pasrah menerimanya. Bukan aku sanggup menerima semua perlakuan mereka tetapi aku kembali mengingat ucapan nenek sesaat sebelum meninggal.

"Jangan sekalipun kamu berniat pergi dari rumah ini, Ra! Rumah ini milikmu, kalaupun harus ada yang pergi, itu mereka, bukan kamu!" 

Kembali kata-kata nenek terngiang-ngiang di telingaku. Begitu kuatnya keyakinan nenek bahwa akulah pemilik rumah ini, dan merekalah yang harus pergi. 

"Apakah Zahra kuat, Nek?" Gumamku dalam hati. 

🌺🌺

Hari menjelang petang kala aku sampai di kafe tempat kerjaku, aku melirik jam yang menempel di dinding kafe, waktu sudah menunjukkan pukul lima kurang lima menit. Itu artinya, aku terlambat datang hampir satu jam lamanya.

Ya, aku bekerja di sebuah kafe ternama di kota ini. Kafe ini adalah cabang dari kafe besar di ibu kota, bahkan cabangnya sudah menggurita sampai ke seluruh tanah air. Aku bekerja 2 shift, pagi-sore dan sore-malam. Minggu ini kebetulan aku bekerja shif sore yaitu jam 4 sore sampai jam 11 malam. Tapi, lagi-lagi aku terlambat masuk dan ini yang paling parah yaitu hampir 1 jam aku terlambat.

"Zahra! Kamu masih niat kerja gak sih?" Bentak Mbak Nurma, Manager kepercayaan bos, sembari berkacak pinggang melihat kedatanganku. Aku hanya mampu menunduk dalam.

"Maaf Mbak! Saya janji ini yang terakhir saya terlambat!" Jawabku lesu.

"Janji aja terus, sampai kucing bertelor!" Berangnya dengan suara lantang, beruntung saat ini suasana kafe masih sepi jika tidak tentu kami akan jadi pusat perhatian pengunjung kafe.

"Sekali lagi telat, kamu saya pecat!" Bentaknya lagi dengan menggebrak meja membuatku berjingkat kaget. 

Aku berjalan lunglai menuju loker dan segera berganti baju seragam kerjaku dan bergabung dengan teman-temanku yang sudah sibuk berkutat dengan pekerjaan.

"Napa lagi sih, Ra?" Tanya Rika, teman kerjaku yang paling perhatian.

"Biasa, Rik! Ibu negara kebanyakan kasih tugas!" Jawabku asal dan segera menyambar lap untuk membantu membersikan piring dan gelas.

"Dahlah, Ra! Mending kos ajalah sama aku!" Lanjutnya dengan tatapan iba.

"Belum kepikiran, Rik. Mungkin nanti atau malah enggak sama sekali." Jawabku dengan senyum getir.

"Kenapa, Ra? Kamu masih sanggup jadi budaknya mereka?" 

"Entahlah, aku-"

"Zahra!" Suara seseorang memanggilku memotong ucapanku. Aku dan Rika sontak menoleh ke sumber suara, rupanya itu Aldi, rekan kerja kami.

Aldi berjalan cepat ke arahku dan Rika.

"Ra, lihat deh! Ini bukannya adik kamu?" Ucapnya menunjukkan layar ponselnya padaku. 

Aku yang penasaran langsung memperhatikan apa yang Aldi tunjukkan. Rupanya sebuah video singkat. Mataku sontak melebar sempurna dengan mulut menganga lebar, melihat video itu. Bahkan Rika pun tak kalah terkejutnya denganku.

"Jadi, Risma. . ."

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Komen (1)
goodnovel comment avatar
silvi chnel
serubanget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status