Share

Mulai berani

Hari yang melelahkan dengan segala pekerjaan yang membuat seluruh tulangku seakan rontok dari pengaitnya. Meski melelahkan tapi aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini.

Hampir 2 bulan tubuhku dirajam dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Lelah? Tentu, tapi tak se-lelah hati ini mendapat perlakuan yang begitu buruk dari Ibu dan adik-adikku.

Dulu ketika nenek masih hidup, mereka tak begini padaku meski sama tak menganggapku ada tetapi mereka tak berani membebaniku dengan semua pekerjaan rumah yang tak ada habisnya ini. Pun dengan Ibu, ketika nenek masih hidup, perlakuan Ibu tak seburuk sekarang. Entah apa salah dan dosaku padanya.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam saat aku masuk ke kamar yang selama ini aku tempati bersama nenek. Sekarang, kamar ini sangat multifungsi. Disamping sebagai tempatku melepas penat, juga merangkap sebagai tempat setrika dan tempat menumpuk baju-baju yang belum di setrika, bahkan ada beberapa kardus tempat pakaian yang sudah tidak terpakai lagi dan beberapa barang lain. Ya, lebih tepatnya kamar ini sekarang lebih mirip dengan gudang penyimpanan barang bekas.

Baru dua bulan nenek meninggalkanku, tetapi rasanya aku sudah sangat tersiksa. Aku berkeinginan untuk pergi saja, toh mereka tak menganggapku ada sejak aku masih kecil. Tapi, rasa penasaranlah yang membuatku masih bertahan hingga detik ini meski perlakuan mereka diluar batas terhadapku.

Apakah aku anak pungut? Atau anak haram? Atau bukan anak Ibuku? 

Berbagai tanya melintas di kepalaku. Terlebih, sikap dan perlakuan Ibu dan adik-adikku berubah drastis setelah nenek meninggal. Ada apa ini? Itu yang selalu aku tanyakan dan belum ada jawabannya. 

Kembali aku teringat akan video pendek anak kesayangan Ibu yang tadi aku lihat di ponsel Aldi. Aku benar-benar tak habis pikir dengannya. Anak manja kesayangan Ibu yang selalu di banggakan dan digaung-gaungkan begitu perhatian terhadap Ibu nyatanya tak ubahnya seorang pelac*r. Mengumbar tubuhnya untuk para lelaki hidung belang, bahkan dengan senang hati tubuh polosnya ia pertontonkan dengan goyangan erotis mengundang syahwat. Tak jarang tangan-tangan kotor para lelaki itu menggerayangi tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun menutupi. 

Pantas saja ia selalu pulang menjelang subuh dan akan bangun menjelang jam 12 siang. Rupanya ia benar kelelahan, setelah bergoyang erotis tanpa busana bisa saja ia segera melayani para lelaki yang nafsunya sudah di ubun-ubun melihat tubuh polosnya. Aku bergidig memikirkannya. 

Ia masih 19 tahun, bahkan kuliah saja ia baru semester 2 karena telat masuk. Apakah uang jajannya kurang hingga melakukan itu demi pundi-pundi rupiah? Apakah Ibu dan Raka tahu kelakuan tuan putri di rumah ini?

Ah, otakku tak sampai menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang tetiba muncul di kepalaku. Tubuh lelahku sudah meminta haknya untuk diistirahatkan, aku segera menepis semua pikiran yang bergelayut di otak ini. Mulai memejamkan mata meski telinga tak kunjung meninggalkan suara di alam nyata. 

🌺🌺🌺

Byur!

Aku terperanjat bukan kepalang mendapati siraman air yang dingin membasahi wajah dan bagian atas tubuhku. Aku bangkit dan mendapati tuan putri sudah berdiri berkacak pinggang dan satu tangannya memegang gayung. 

"Masakin! Gue laper!" Perintahnya dengan ketus.

Aku melihat jam yang menempel di dinding, jarum pendek menunjuk angka 4 dan jarum panjang menunjuk angka 10. Ya, pukul empat kurang sepuluh menit! Itu artinya baru benerapa jam aku menapaki alam mimpi dan dia membangunkanku dengan cara yang tak ku sangka-sangka. 

Marah? Jelas, tapi aku bisa apa? Bodoh? Iya, aku akui itu. Aku bodoh sudah bertahan sejauh ini di tempat ini, dengan perlakuan mereka yang kian semena-mena terhadapku. 

Tidak! Aku tidak boleh lemah lagi! Aku harus melawan mereka, aku anak tertua di rumah ini. Harusnya mereka menghargaiku bukan menindasku seperti ini.

Aku menatap nyalang ke arahnya, ia sedikit terperanjat melihatku berani melawan tatapannya. Tapi, detik berikutnya dia bisa menguasai keadaan.

"Berani Lu lihat gue begitu? Gue aduin sama Ibu baru tahu rasa Lu!" Bentaknya membuatku kian berani menantangnya.

Aku berdiri tepat di hadapannya. Aku tahu dia sedikit ciut nyali, tapi arogansinya menolak mengakui itu.

"Jam segini kamu bilang lapar? Habis dari mana kamu?" Hardikku membuatnya mundur satu langkah. 

Mungkin ia tak percaya aku berani melawannya.

"Apa para lelaki yang kamu layani itu tak memberimu makan?" Ejekku dengan senyum samar.

Matanya melebar sempurna mendengar ucapanku. Mungkin dia terkejut aku mengetahui rahasianya. Wajahnya mendadak pias, air mukanya berubah pucat. Fix, jika begini itu artinya Ibu dan Raka tak tahu akan kelakuannya ini.

"Kenapa diam saja?" Lagi aku bersuara membuat kedua iris hitam itu menatap mataku. 

"Kamu bilang lapar, kan? Baiklah! Akan aku masakkan menu spesial untukmu. Ingat! Se pe si al!" Sengaja aku mengeja kata spesial dengan penuh penekanan, membuatnya menelan ludah susah payah.

"Eng-enggak usah! Aku gak lapar!" Gagapnya dan hendak berbalik untuk keluar dari kamar ini.

Dengan cepat aku mencekal pergelangan tangannya, membuatnya tersentak kaget. Sedikit kasar hingga ikatan baju handuk yang membalut tubuhnya terlepas dan nampaklah pakaian yang ia kenakan. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tersungging. 

Dia menepis tanganku kasar dan segera merapikan baju handuknya, menatapku dengan tatapan yang entah!

"Berani buka mulut akan aku pastikan mulutmu itu gak akan lagi bisa bersuara!" Ancamnya dengan mata melotot.

Aku tertawa keras! Aku berharap semua penghuni rumah ini akan bangun mendengar tawaku dan memergoki tuan putri dalam keadan yang seperti ini.

"Tutup mulutmu!" Bentaknya lagi.

"Kenapa? Apa kau takut?" Ejekku di tengah tawa.

Brak!

Tetiba terdengar suara pintu terbuka lebar, dan muncullah Desi, sang menantu kesayangan Ibu sudah berdiri dengan raut wajah tak enak dipandang mata.

"Berisik tau gak! Udah gila, Lu ya!" Hardiknya dengan mata melotot.

"Iya nih, udah gak waras perempuan ini!" Lanjut Risma diatas angin merasa ada sekutunya datang.

"Ya, aku gila dan gak waras! Sebentar lagi, kalian yang akan gila!" Jawabku asal dengan senyum mengejek.

"Ingat! Aku punya bukti goyangan erotismu di club malam!" Bisikku tepat di telinga Risma, membuat tubuhnya menegang dan segera berlalu dari kamar ini. Tak lupa menarik kakak iparnya dengan segera.

Jantungku berdegub kencang, tubuhku terjatuh di lantai. Aku masih tak menyangka, aku berani melawan tuan putri itu. Ada rasa lega sekaligus takut yang mendera hati ini. Bagaimana jika dia mengadu pada Ibu dan Ibu akan menghukumku? Atau aku tunjukkan saja video itu pada Ibu? Tapi, bagaimana jika penyakit asma Ibu kambuh?

Jauh di sudut hatiku merasa puas dan senang melihat ketakutan di mata Risma. Apakah aku gunakan saja rahasia Risma untuk membalas perlakuan mereka? Ah, sepertinya bermain-main dengan mereka akan membuatku tetap waras. 

Baiklah, mulai hari ini aku akan bangkit melawan mereka yang semena-mena terhadapku. Tak peduli jika Ibu akan mengusirku dari rumah ini. Tapi, sebelumnya aku harus pastikan atas nama siapa surat rumah ini. Karena mengingat ucapan nenek sebelum meninggal bahwa rumah ini adalah hakku dan jikapun harus ada yang pergi itu mereka bukan aku. Itu artinya, aku memiliki hak penuh atas rumah ini. Ya, aku harus cari dimana surat rumah ini lebih dulu.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status