“Loh, teuacan pulang, Zam?” Wajah Imas yang berada di dalam ponselku langsung hilang, kedatangan Deri membuatku secepat kilat menekan tombol kembali hingga layar berubah menjadi deretan menu.“Baru mau.” Aku menyahut seadanya, kuraih tas dengan lemas, memasukkan laptop dan beberapa berkas.“Kunaon atuh, Zam? Kamu teh kelihatan kuyu sekali.” Deri malah menarik kursi di sampingku dan duduk menatap dengan raut wajah penasaran.“Masa?” ucapku sambil menoleh. Deri langsung mengangguk.Kuhela napas dalam, lalu mengitari sekitar dengan tatapan. Keadaan sudah sepi, mungkin ada baiknya aku bertanya pada Deri perihal kejanggalan di hati.“Der, memangnya pelet itu beneran ada?” tanyaku.“Bahas pelet lagi …,”“Ssstt!” ucapku cepat karena merasa nada intonasi suara Deri telalu tinggi, aku tak mau siapa pun tahu perihal ini.“Iya, iya. Punten.” Deri berujar dan memelankan suaranya.“Kenapa sih, Zam. Nanyain begituan terus? Aku teh jadi takut,” cetusnya seraya menggidikkan kedua bahu.“Jawab saja, p
Neneng POV“Memang nggak tahu malu adik sepupumu itu!” hardik Nenek seraya tak henti membelai punggungku.Bagaimana tidak sakit perasaanku ini? Setelah menerima kabar gembira jika akan ada seorang pemuda untuk melamar, tiba-tiba saja semuanya batal, dikarenakan orang yang dilamar salah orang, katanya.Tak masalah jika pemuda itu orang asing, tapi jelas bukan. Pemuda itu adalah orang yang selama ini kuharapkan menjadi suami. Selama masa sekolah dulu, aku sudah menaruh hati, hanya saja tak mampu mengungkapkan karena tak mungkin juga wanita yang memulainya terlebih dahulu.“Sakit hati Neneng, Nek.” Aku mendongak, menampakkan wajah yang sudah penuh dengan uraian air mata.“Sabar, nanti Nenek akan coba bicara lagi. Lagi pula, tidak baik kalau Imas melangkahimu. Bagaimana pun, kamu kakaknya.” Sembari memelukku Nenek berujar, walau demikian aku masih belum menghentikan tangisan, apa lagi mengingat tamparan Imas yang terasa menghina dan menjatuhkan harga diri.Entah bagaimana ceritanya, Kang
"Kenapa pada diam?" tanya Kang Azzam, aku dan Nenek hanya membeku saat lelaki itu berjalan mendekat ke arah kami. "Neng, jawab. Kamu mengguna-gunaku?" tanyanya lirih dengan tatapan lekat, jarak sedekat ini bisa membuatku melihat mata Kang Azzam yang berembun. "Jawab, Neng ... jawab," pintanya sembari meraih tanganku, tak sedikit pun terdengar nada membentak keluar dari mulutnya. Kerongkonganku seolah tercekat sampai tak bisa mengeluarkan satu baris kata pun, yang ada hanya air mata meluncur bebas membasahi kedua pipi. Sakit, sedih, segalanya bergumul di dalam hatiku. Apa lagi tatkala melihat Kang Azzam menangis di hadapanku, untuk yang pertama kali. "Jang Azzam, dengarkan dulu." Nenek menyela, suamiku itu langsung menatap. "Saya sudah dengar semuanya, Nek," jawabnya membuatku semakin menunduk. "Jang Azzam salah paham." "Tidak, saya tidak salah paham. Saya juga tidak cukup bodoh untuk mengartikan segala perkataan Nenek barusan." Nenek terdiam, mungkin bingung harus menjawab sua
Please follow authornya juga setelah selesai membaca agar bisa tahu perkembangan cerita ini. Terima kasih.🦋🦋🦋“Kang Azzam!” pekikku tak percaya saat melihat sosok yang amat kurindukan itu berada di depan mata.Dengan segera aku bangkit dari tempat tidur, berlari ke arahnya dan memeluknya bersama segenap rasa cinta yang ada.“Kenapa lama sekali, Kang? Neng rindu,” ucapku sembari tersedu-sedu, tapi Kang Azzam malah membisu, tak kurasakan dia membalas pelukanku.“Jang Azzam pasti lapar. Ayo, kita ke dapur. Ibu sudah masakin banyak makanan.” Suara Ibu membuatku melepas pelukan, sedangkan Kang Azzam masih setia bergeming.“Ayo, Jang. Ajak Neneng juga, selepas kepergian Jang Azzam, waktu makan istrimu jadi berantakkan. Singkirkan ego kalian, demi janin yang berada di dalam rahim Neneng,” lanjut Ibu membuatku menatap Kang Azzam kembali.Lelaki di hadapanku itu nampak menghela napas, matanya melihatku sekilas.“Baik, Bu.” Mendengar suaranya membuat sedikit rasa nyeriku berkurang.Ibu ters
Imas POVHidangan makan malam kali ini tak membuatku berselera, bukan karena menunya yang sederhana, justru sore tadi ibu mertuaku mengundang adiknya, Bu Yuni, untuk memasak sajian mewah.Masih tergambar jelas di ingatanku, wajah Pak Azzam yang muram dan sendu saat di mini market tadi. Ya, tak sengaja aku bertemu dengannya juga Teh Neneng saat membeli es krim dan beberapa peralatan mandi.Tiga minggu lalu, Pak Azzam pergi dari rumah, katanya dia bertengkar hebat dengan istrinya. Bahkan aku juga mendengar berita, jika alasan dari pertengkaran mereka itu adalah karena Pak Azzam mengetahui rahasia besar yang disembunyikan Teh Neneng dan Nenek.Aku sendiri mencoba tak percaya, mana mungkin Teh Neneng serta Nenek melakukan hal keji dan memalukan seperti yanag digembor-gemborkan banyak orang. Namun, mengingat kejanggalan sebelum pernikahan mereka terlaksana, aku jadi berpikir kembali, jika gosip itu benar adanya.Apa lagi aku pernah mendengar cerita tentang Nenek dari Mih Enur, kalau beliau
“Ayo, masuk.”“I-iya, Pak.” Aku tergagap mendengar suara Pak Abidzar, lalu menyudahi keterpanaan saat melihat ruangan yang terlihat mewah dan megah.Setelah masuk ke dalam, aku malah merasa bingung harus berbuat apa. Sedangkan Pak Abidzar lenyap ke ruangan yang sepertinya adalah sebuah kamar mandi.“Kenapa masih berdiri di situ?” tukasnya membuatku terkejut.“Tidur, lah, istirahat. Atau mau makan dulu?” tawarnya.“Terserah Bapak saja,” jawabku sambil mengulas senyum, tapi hatiku grogi bukan main.Pak Abidzar mengangguk-angguk, lalu menyuruhku duduk kembali. Aku pun menurut dan mendekat ke dekat ranjang yang luasnya entah berapa hektare. Terlalu berlebihan memang, tapi baru pertama kali ini aku melihat tempat tidur sebesar itu.“Sebentar, ya. Aku mau telepon dulu.” “Iya, Pak.” Tanpa berkata apa pun lagi dia langsung pergi, ketiadaannya di ruangan ini kugunakan untuk menghela napas sedalam mungkin.“Ya Allah, empuk sekali kasurnya.” Aku bergumam sendiri sembari mengelus selimut tebal y
“Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara.“Apa aku tidak boleh tahu masa lalu istriku sendiri, ya?” katanya membuatku tertegun lagi.Dia bilang, istri? Pak Abidzar memanggilku istrinya? Apa namaku sudah tertulis di hatinya walau masih dengan huruf kecil?“Benar, ‘kan?” Suaranya membuatku tersadar, cepat aku memalingkan pandangan.“Kenapa Bapak bisa tahu?” tanyaku sambil menatap Monumen Nasional kembali. “Karena aku lihat dia sangat perhatian denganmu.”“Tidak, Pak. Dia tidak perhatian.”“Tapi saat kamu kena tumpahan air panas waktu di rumah makan, dia begitu sigap memegangi dan menyingkirkan tanganmu.”“Itu hanya refleks, Pak.”“Memangnya kamu tahu itu refleks?” ujarnya lagi, entah kenapa malam ini Pak Abidzar lebih banyak bicara.“Iya, Pak. Sama halnya dengan Bapak yang refleks meraih tangan saya dari genggaman Pak Azzam waktu itu.” Sengaja aku memberanikan diri menatap matanya saat menjawab demikian, entah kenapa Pak Abidzar malah terd
Semalaman aku tak bisa tidur karena memikirkan sikap kemarin pada Pak Abidzar. Kenapa pula aku memiliki keberanian sebesar itu untuk memeluknya? Akhirnya aku malu karena ulah sendiri. "Halo, Imas ...." Aku dikejutkan dengan suara tak asing, melihat wanita yang berjalan dari arah pintu, aku lekas berdiri sambil menyunggingkan senyuman. "Bu Yuni. Apa kabar, Bu?" tanyaku merasa begitu bahagia karena bisa melihatnya lagi. Setelah menikah dengan Pak Abidzar, aku memang diperintahkan untuk fokus mengurus rumah tangga juga Syifa, sehingga terpaksa meninggalkan pekerjaan di fotocopy milik Bu Yuni yang baik hati ini. "Baik sekali, Imas sayang. Lagi pada ngapain ini?" tuturnya setelah memelukku beberapa saat, matanya kini menatap Syifa yang masih asyik menggambar. "Lagi nemenin Syifa menggambar, Bu. Masih sedikit merajuk dia karena kemarin tidak ikut ke Jakarta." "Oalah ...." ucapnya sambil terkekeh. "Kenapa atuh di Jakartanya sebentar pisan?" tanyanya. "Pak Abi harus kerja, Bu." "Pak?