Anila tidak menjawab pertanyaan Pak Malik, dirinya hanya terdiam menunduk.
Erika dan teman-temannya menyeringai senang.
"Lihatlah si Nenek reot itu, bukankah bodoh sekali dia?" ucap Erika tertawa sinis diikuti
tawa teman-temannya.Anila mulai melangkah pergi.
"Oh iya, jangan lupa bawa kan bola kesayangan bapak di atas meja guru!"
Anila berbalik sebentar, pandangannya tetap menunduk.
"Dan satu lagi, Anila, tidak boleh ada yang membantu. Kamu harus membawa semua itu sendiri karena ini adalah hukuman," tambah Pak Malik.Anila hanya mengangguk mengiyakan.
Kakinya berjalan menuju ke gudang sekolah, pikirannya berkecamuk "Mengapa aku dihukum? Padahal aku hanya telat beberapa menit. Sedang kemarin, Erika dan teman-temannya bahkan membolos untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga tetapi mereka?" Muka Anila tampak sedih, "Ah sudahlah" Ia menangkis pikiran buruknya.
"Sadar diri saja Anila, kau ini siapa? Bukankah sudah biasa ya? Yang cantikkan selalu di depan," tukas hatinya mengingatkan.Anila tersenyum. Mengambil beberapa barang. Dirinya kini berjalan sempoyongan membawa peralatan voli. Tangan kanannya memegang ranjang bola. Tangan kirinya menenteng net dan satu bola spesial milik pak Malik.
Kali ini dirinya teringat buku itu lagi. Dia lupa belum menanyakannya kepada Gata.
"Oh iya, aku ingat! Gata kan sangat tidak suka diajak ngobrol oleh teman-temannya. Dia benci membicarakan atau bicara hal yang tidak penting. Lebih baik dia berangkat terlambat atau berangkat sepagi mungkin. Jadi, mungkin tadi dia terlambat, dan aku tidak melihatnya," sangka Anila melamun.
Di dalam sebuah kelas, ada seorang pria sedang fokus menulis tugas di bangku depan. Pria itu melihat Anila dari bingkai pintu. Melamun, berjalan sempoyongan membawa peralatan voli.
Karena tidak fokus pada jalan yang dilalui, bola kesayangan milik pak Malik, yang dibawa Anila pun terjatuh.
"Aduh!" Bola itu menggelinding. Anila berusaha untuk mengambilnya.
Pria itu semakin tidak tega melihat Anila begitu kesusahan mengambil bola.
"Bu, izin keluar," ucap Pria itu singkat.
"Mau kemana kamu?" tanya bu Ria yang sedang menjelaskan.
Pria itu sama sekali tidak hirau, langsung saja keluar entah diijinkan ataupun tidak.
"Hey, jawab Ibu! atau nilaimu akan ibu kurangi!"
Sangat tak acuh, Ia tetap tidak peduli dengan ancaman gurunya barusan. Justru langkahnya malah semakin Ia percepat.
彡
"Kemana anak itu, disuruh ngambil bola malah kayak ibu-ibu belanja di pasar. Lama banget!" ucap Pak Malik yang dengan badan besar dan kekarnya sangat ditakuti anak-anak. Mungkin ini efek karena sering berolahraga, wajahnya terlihat sangat bengis.
"Andra! Cari di mana temanmu itu pergi. Kenapa kok belum kembali juga," perintah pak Malik pada Andra, sang ketua kelas.
"Siap Pak!" tanpa disuruh dua kali Andra langsung bergegas pergi.
Anila masih berusaha keras mengambil bola yang terus menggelinding. Tiap kali Anila hendak mengapai, bola itu malah tergelinding semakin menjauh.
Tiba-tiba ada sebuah tangan membantunya, berbarengan mengambil bola itu.Kepala Anila mendongak ke atas melihat seorang Pria di depannya. Rambutnya lurus dan tebal. Rambut poninya sedikit menutupi sebelah matanya mengembang. Bajunya tidak terlalu rapi. Tetapi, tubuhnya sangat masuk untuk digunakan pakaian apa pun. Bahkan, jika memungkinkan untuk baju pangeran kerajaan sekalipun.
"Gata." Wajah anila semringah.
Pria itu adalah Gata.
Gata hanya menjawab mengembangkan senyumnya. Wajahnya yang tampan, kulitnya yang putih semakin sempurna dipadu cahaya matahari pagi yang menyengat.
"Kok kamu di sini Gata?" Anila celingukan, melihat sekitar mencari jawaban.
"Lagi pingin," jawab Gata singkat.
"Ha? Lagi pengen? Gata! Bolos pelajaran itu ga baik," Anila sok menasehati.
"Aku ga bolos." jawab Gata dingin.
"Ya Ilahi... sikapmu serasa buatku pindah sekolah ke di Kutub Utara,"
"Hm, pindah aja," wajahnya tetap datar. Meski saat melawak sekalipun.
Anila hanya menggeleng. Mengulum senyumnya.
"Bawa sini bolanya." Serobot Anila pada bola yang dibawa Gata.
"Gak usah, biar aku bantu bawa," kata Gata menghindarkan bola, menolak penawaran Anila.
"Nggak usah Gata. Kali ini nggak usah,"
"Nggak papa aku pingin,"
"Ayolah gata, bawa sini" Gata masih terus menghidar, tidak mau memberikan bola itu.
Gata terus memutar-mutar bola ke atas, samping, tubuhnya hingga Anila tetap tidak bisa menggapainya.
"Gata!" Anila melotot menyuruhnya memberikan.
Gata akhinya mengalah, memberikan bola itu, belum sempat dilepasnya. Tiba-tiba Andra datang.
"Oh jadi begitu, disuruh ambil peralatan voli. Ditungguin, malah pacaran di sini..."
Anila menatap Andra terkejut, melepaskan bolanya tiba-tiba. Hingga Gata tersentak ke belakang.
"Ga, engga kok Ndra, gak ada yang pacaran. Kamu cuma salah paham aja," Anila berusaha menjelaskan dengan senyum-senyum cengengesan.
"Tuh buktinya apa? Kalian berdua di sini kan?"
"Heh, Andra!" Gata meninggikan suaranya.
"Heh?. Hah heh, hah heh! Aku ini kakak kelas kamu loh!" sungut Andra tidak terima.
Anila menyangka keduanya pasti akan berdebat panjang. Dia harus segera berusaha mengakhirinya.
"Bawa sini bolanya!" Anila lantas merebut bola dari tangan Gata.
"Sudahlah, Ndra, ayo Ndra! kita ke aula lapangan lagi aja, udah biarin aja, udah," ajak Anila, mendorong-dorong punggung Andra sembari keberatan membawa.
"Heh, Lakik! Bantuin!" teriak Gata meminta Andra membantu.
Andra menengok lagi ke belakang. Matanya melotot lagi. Bersungut-sungut ingin mengajak bertengkar.
"Ayolah Ndra, biarin! Dari pada nanti kamu malah di hukum pak Malik!" ucap Anila memperingatkan.
Gata terdiam, tertinggal semakin jauh.
Anila kembali menengok ke belakang, menggerakkan mulutnya tanpa suara.
"Nanti jangan pulang dulu, ada yang mau aku omongin sama kamu..."
Gata yang mengerti. Meyakinkan menunjuk ke dirinya sendiri "Aku?" begitulah maksudnya demikian.
Anila hanya mengangguk tersenyum dan kembali berjalan menuju lapangan voli.
* * 彡* *
"Ada apa?" tanya Gata memulai perbincangan di bawah pohon taman sekolah. Tempat favorit mereka bertemu.
"Wah, Impressif! Kamu tanya?" Anila menggoda heran.
"Ya, aku pengen,"
"Ih..." Anila mengercap sebal. Temannya itu tidak pernah menanggapi godaannya secara serius.
"Ada apa?" tanyanya lagi, memastikan.
"Gak, cuma sebel aja. Percuma ngomong sama kamu, sama aja kayak ngomong sama foto tau ga?!" dengus Anila.
"Kamu pernah ngobrol bersama fotoku?" Gata menggodanya datar.
"Hidih, enggak ya. Ada-ada aja. Ngapain aku ngobrol sama fotomu?" Anila cemberut sebentar, menengok ke wajah pria di sampingnya itu.
"Jadi gini, kemaren kamu ngasih aku kado ulang tahun?" tanyanya sangat antusias."Hm."
"Apa? Buku bukan? Kamu ngasih aku apa? Ha? Buku kan?" Anila sungguh tidak tahan untuk diam, ia ingin segera mendapatkan jawabannya.
"Buku apa? Aku mau buat kejutan di luar sama kamu aja, sama kakak kamu dilarang," tangkasnya tampak malas.
"Hah kejutan?" Mata Anila melotot tak percaya, "Kejutan Apa?–Aih kamu mah," Anila tersipu malu, membuang pandangannya ke samping.
Gata mendengus senang, "Iya aku ngirim kado, tapi aku ga ngirim buku. Aku cuman mengirim beberapa barang yang ada di list buku diary lama kamu," jelas Gata singkat.
"Ha? Buku diary lama? Kamu baca?" Anila bersungut-sungut.
"Sekilas,"
"Ishh, kamu mah! Malu! Nggak sopan tahu!" Anila mengalihkan pandangannya, melipat tangannya marah.
"Sorry, hehe.... Aku pengen,"
"Ish, terus? Kamu ga ngasih aku buku diary berarti?!"
"Nggak, kayaknya ga ada buku,"
"Bukunya warna biru, ada tulisannya 'Mereya' di depannya?"
Gata menggeleng.
"Ayolah tidak usah berbohong, atau aku nanti marah," ancam Anila
"Marah aja, udah biasa juga dimarah. Lagian, seorang aku bohong? Mending ga usah jawab pertanyaan," tungkas Gata, membuang napas ringan.
Anila terdiam. Melamun. Gata benar, dia sering mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Malas berbual. Apalagi berbohong hal tidak penting seperti itu padanya. Sangat masuk akal.
"Hei kenapa?" Gata menyadarkan lamunan Anila.
"Tidak, tidak papa,"
"Okelah, ayok pulang,"
Gata sebenaranya penasaran, sifatnya yang dingin mengharuskan ia melepas rasa ingin tahunya. Mereka berjalan berdampingan dengan Anila yang masih terus melamun.
"Jadi, jika bukan Gata yang memberikan buku itu? Lantas siapa?"
Semua orang sudah melalui wawancara Anila tetapi tidak ada yang mengatakan 'Iya'.
Bahkan, hingga Anila pun bertanya kepada Erika. Alhasil malah terkena cacian lagi."Oke. Lupakan! Buku itu mungkin sengaja dikirim tuhan untukku. Atau mungkin ada suatu hal misterius yang aku tak tahu."
Anak-anak berlarian keluar kelas, bel sekolah berdering tiga kali. Menandakan istirahat telah tiba. Ibu guru mengakhiri penjelasannya. Menutup buku, membawanya pergi kembali ke kantor. "Yee... Istirahat..." Anak-anak berkejaran menuju kantin sekolah. Beberapa yang lain besiap untuk makan bekalnya. "Hey Stevanus! Bawa sini loh," teriak Ilona, salah satu teman Erika. Ia mengejar sebuah barang yang dibawa lari Stevanus. "Bawa sini, jangan dibawa keluar," Stevanus malah langsung membawanya keluar. "Ini.... Ambil aja, cepet," ujar Stevanus. "Stevanus!" Ilona kembali berkejaran di teras sekolah, berteriak-teriak memperingatkan Stevanus yang tetap tak hirau. Berbolak-balik sedari tadi. "Stevanus, bawa sini! Kembalikan," kata Ilona tidak memperhatikan arah larinya. Tak beberapa lama, mereka berkejaran.Kaki Ilona tersandung kotak sampah besi.Ilona terjatuh, giginya me
Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluh-kesahnya pada sebuah buku. Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca indranya hanya untuknya. ~•~ [GATA] Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin. [Setega itu dirimu hadir,dan setega itu pula dirimu menyingkir.] Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar. [Bersuka ria kita hardik waktu bersama-samabisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.] Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin. [Bukankah kamu temanku?atau dirimu sama seperti mereka yang hanya mema
Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil. Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter. Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku. "Nenek," sapa kedua anak kembar itu. "Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih. Anila melangkah."Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek. "Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka. "Ada apa, Cucuku?" "Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah sa
Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah
Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn
Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin