Share

Penyedia Jasa

Author: Wonder Icy
last update Last Updated: 2025-03-30 13:00:47

Adra baru saja tiba dari kegiatannya sebagai seorang anggota dewan yang berkecimpung dalam bidang ekonomi kreatif. Masih dengan pakaian batiknya, sangat formal, ia mengambil motor trail yang cukup lama tersimpan di gudang.

Sejak dilantik beberapa bulan lalu, pemuda itu disibukkan dengan kegiatan kemasyarakatan yang mengharusnya dia menomorduakan hobinya menaiki motor trailnya. Kini dia hanya sesekali lari sore di lingkungan rumahnya sendiri.

“Mau touring, bos?” ujar pria muda botak, yang baru saja memarkirkan mobil. Dia adalah Dino, teman baik Adra, seorang pemilik WO yang sesekali mendampingi Adra menjadi supir pribadinya.

“Enggak. Sayang banget lama enggak dipanasin,” sahut Adra mencoba untuk menyalakan.

Satat kedua pria muda itu disibukkan dengan motor trail Adra, seorang temannya yang lain menelepon memberitahukan sebuah info yang dibutuhkan oleh Adra.

Adra sudah mulai memikirkan untuk melakukan renovasi rumah sejak bulan lalu, namun masih tertunda karena masalah dan suatu hal. Dia ingin bagian dapurnya diperbaiki, juga bagian ruang kerja yang lebih rapi dan nyaman.

“Bisa survei sekarang? Lebih cepat lebih baik.” Adra cukup antusias.

Dino agak nyimak, sambil mengutak atik motor yang tak kunjung menyala.

“Walau gagal nikah, rumah tetap renov ya Bro?” godanya paada Adra yang segera memukul pelan kepala temannya yang botak.

Dino terkekeh. “Kamu sudah punya jawaban kalau ayahmu tanya?” tanyanya.

Adra menarik napas panjang. “Bukan salahku, jadi aku akan mengatakan semuanya. Perempuan itu menolakku dan bahkan mengkhianatiku, lalu hubungan kami berakhir,” ucapnya.

“Apakah akan semudah itu?” ujar Dino.

“Entahlah. Tapi ayah enggak akan rugi apapun kalau kami batal menikah. Justru ayah perempuan itu lah akan rugi karena anaknya gagal menjadi istri anggota dewan, yang akan menjadi wali kota ini.”

Dino mencibir kesombongan temannya itu. “Kamu enggak rugi? Kamu sudah mengecek angka di rekeningmu? Seberapa besar yang kamu berikan untuk dia, dan seberapa besar yang kamu keluarkan sampai kamu berhenti menangis?”

“Heh diam!” Adra menatap temannya itu dengan kesal.

Dino hanya tertawa kecil.

Tidak lama kemudian, dua buah mobil memasuki perkarangan rumah Adra. Salah satunya berpelat merah.

“Siang pak bos !” sapa Radit sumringah dengan pakaian dinas coklatnya.

Adra menyapa temannya itu, begitu juga dengan Dino.

Namun saat Radit memperkenalkan penyedia jasa dan meubel, pandangan Adra tertuju pada Eca, lalu senyumnya memudar.

Eca dan Adra saling pandang untuk beberapa saat, keduanya bahkan enggan untuk saling berjabat tangan karena suasana canggung yang tercipta diantara keduanya.

Dino segera berdiri, dia agak familiar dengan sosok Eca. Namun dia tidak begitu yakin, karena kali ini Eca berpenampilan rapi tidak seperti sebelumnya yang terlihat sangat payah.

Sempat hening, namun Adra menyalami Eca dengan profesional. Dia lalu mengajaknya untuk menuju ruangan yang hendak ia renov dan ditambah beberapa meubel.

Dino menarik Radit, bertanya kenapa temannya itu bisa bersama dengan Eca dan membawanya ke rumah Adra.

“Kenapa?” Radit bingung. Dino tidak menjawab, dia hanya ingin memastikan kalau keadaan ‘survei’ tidak berubah canggung dan tidak profesional.

Adra sangat profesional, bahkan Eca sempat mengira kalau pria muda itu tidak mengenalinya.

“Jadi apakah bisa direalisasikan sesuai gambaranku tadi?” tanya Adra yang melangkah mendekati Eca.

Spontan Eca melangkah mundur, jemarinya sedikit gemetar saat mencatat beberapa poin dari hasil survei ruangan.

Adra menatap Eca, dia tahu kalau perempuan itu menghindari kontak mata dengannya.

Eca berpindah tempat, dia mengamati sudut ruangan yang lain. Sialnya, dia menuju sudut yang salah. Sudut yang tertutup dan tidak ada ruang gerak, saat ia berbalik dan mendapati Adra sedang berdiri di hadapannya.

Deg.

Sial. Eca menundukkan pandangannya.

“Ternyata kamu seorang penyedia jasa, ya?” ujar Adra. Tatapannya tak teralihkan dari wajah Eca.

“Meubel, Pak. Saya penyedia meubel bukan penyedia jasa,” jawab Eca mencoba tenang dengan mengalihkan pandangannya ke bagian ruangan yang lain.

Semakin tak nyaman, eca mencoba menatap Adra yang semakin mendekat.

Semakin jelas wajah pria muda itu yang tampan dengan manik mata hitamnya yang indah, hidungnya yang mancung dengan tahi lalat di atas bibirnya yang tipis. Pandangannya mulai turun ke bagian bahu yang bidang, dengan dada yang ototnya jelas terlatih dengan baik.

Tanpa ia sadari, Eca menelan ludahnya.

“Kamu meminta kekurangan uangmu?” tanya Adra.

“Sorry?” Eca tersadar dari lamunannya.

“Ah aku tidak pegang uang cash. Kalau mau, aku transfer saja. Oke?” Adra mengaluarkan ponselnya, membuka aplikasi mobile banking.

“Maaf, Pak. Saya bukan seperti yang bapak pikirkan.” Eca mendorong tubuh Adra yang enggan berpindah.

“Segini, cukup?” Adra menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan nominal dua digit yang siap ia transfer. “Berikan aku nomor rekeningmu,” imbuhnya.

Eca geram, ia mehela napas panjang lalu menatap pria muda dihadapannya dengan lekat.

“Dengar ya! Malam tadi adalah kesalahanku! Aku akui aku yang salah! Aku mohon lupakan saja! Aku sudah ikhlas dengan yang kamu berikan!” Eca menekan suaranya.

“Aku hanya mencoba bertanggung jawab,” ujar Adra.

“Tidak perlu. Terimakasih.” Eca mencoba mendorong tubuh Adra, namun pria itu justru menahan tubuhnya dengan sedikit memeluknya.

“Maka kamu yang harus bertanggungjawab!” Adra membisikkan kalimatnya pada Eca. Lengannya mencengkeram cukup erat bagian pinggang perempuan itu.

Eca terdiam, dia semakin kesal namun tidak berdaya.

“Apa kamu bisa berjanji kalau ini enggak akan merusak citraku?” ujar Adra. “Kamu tahu berapa kerugianku kalau sampai hal ini muncul ke media?”

Eca melirik Adra. “Kamu pikir aku tidak rugi dengan hal ini?”

“Apa kerugianmu? Kamu hanya karyawan swasta, ‘kan? Hal terburuknya adalah kamu dipecat, lalu kamu bisa cari kerja di tempat lain. It’s simple. Kamu enggak perlu memulihkan nama baikmu dan nama baik keluargamu!”

Bruk!

Eca berhasil mendorong tubuh Adra cukup keras hingga membuatnya menjauh.

“Nama baikmu ataupun nama baik keluargamu itu akan buruk karena sikapmu sendiri! Kamu pergi ke kelab dan mabuk lau tidur dengan seorang perempuan, itu salahmu sendiri! Jangan pernah membawa orang lain dalam masalahmu! Bersikaplah dewasa!” suara Eca agak nyaring.

Radit dan Dino yang berada di luar ruangan dapat mendengarnya lirih, namun tidak begitu jelas.

Segera saja Eca pergi setelah melempar catatannya ke Adra. Tanpa pamit dan tanpa basa basi, ia keluar dari rumah mewah itu walau sempat hendak ditahan oleh seorang pelayan yang telah menyediakan hidangan untuk para tamu.

Beruntung, Lukman tidak ikut masuk ke dalam karena mobilnya mengalami sedikit masalah, sehingga ia tidak mengetahui adanya keributan antara atasannya itu dengan calon klien.

Melihat perempuan itu pergi dengan wajah marah. Dino mehela napas panjang, dia memandangi Adra dari kejauhan untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghampiri dan memukul kepala temannya itu.

“Ngapain sih! Sudah bagus kalian bersikap profesional seperti tadi!”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ANOTHER TOXIC STORY   Meminta Maaf

    Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang

  • ANOTHER TOXIC STORY   Berisik nan Tenang

    Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d

  • ANOTHER TOXIC STORY   Kamar Ibu

    Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip

  • ANOTHER TOXIC STORY   Pusara Ibu

    Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe

  • ANOTHER TOXIC STORY   Hanya 2 jam

    Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem

  • ANOTHER TOXIC STORY   Fokus dengan Suami

    Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status