Adra baru saja tiba dari kegiatannya sebagai seorang anggota dewan yang berkecimpung dalam bidang ekonomi kreatif. Masih dengan pakaian batiknya, sangat formal, ia mengambil motor trail yang cukup lama tersimpan di gudang.
Sejak dilantik beberapa bulan lalu, pemuda itu disibukkan dengan kegiatan kemasyarakatan yang mengharusnya dia menomorduakan hobinya menaiki motor trailnya. Kini dia hanya sesekali lari sore di lingkungan rumahnya sendiri.
“Mau touring, bos?” ujar pria muda botak, yang baru saja memarkirkan mobil. Dia adalah Dino, teman baik Adra, seorang pemilik WO yang sesekali mendampingi Adra menjadi supir pribadinya.
“Enggak. Sayang banget lama enggak dipanasin,” sahut Adra mencoba untuk menyalakan.
Satat kedua pria muda itu disibukkan dengan motor trail Adra, seorang temannya yang lain menelepon memberitahukan sebuah info yang dibutuhkan oleh Adra.
Adra sudah mulai memikirkan untuk melakukan renovasi rumah sejak bulan lalu, namun masih tertunda karena masalah dan suatu hal. Dia ingin bagian dapurnya diperbaiki, juga bagian ruang kerja yang lebih rapi dan nyaman.
“Bisa survei sekarang? Lebih cepat lebih baik.” Adra cukup antusias.
Dino agak nyimak, sambil mengutak atik motor yang tak kunjung menyala.
“Walau gagal nikah, rumah tetap renov ya Bro?” godanya paada Adra yang segera memukul pelan kepala temannya yang botak.
Dino terkekeh. “Kamu sudah punya jawaban kalau ayahmu tanya?” tanyanya.
Adra menarik napas panjang. “Bukan salahku, jadi aku akan mengatakan semuanya. Perempuan itu menolakku dan bahkan mengkhianatiku, lalu hubungan kami berakhir,” ucapnya.
“Apakah akan semudah itu?” ujar Dino.
“Entahlah. Tapi ayah enggak akan rugi apapun kalau kami batal menikah. Justru ayah perempuan itu lah akan rugi karena anaknya gagal menjadi istri anggota dewan, yang akan menjadi wali kota ini.”
Dino mencibir kesombongan temannya itu. “Kamu enggak rugi? Kamu sudah mengecek angka di rekeningmu? Seberapa besar yang kamu berikan untuk dia, dan seberapa besar yang kamu keluarkan sampai kamu berhenti menangis?”
“Heh diam!” Adra menatap temannya itu dengan kesal.
Dino hanya tertawa kecil.
Tidak lama kemudian, dua buah mobil memasuki perkarangan rumah Adra. Salah satunya berpelat merah.
“Siang pak bos !” sapa Radit sumringah dengan pakaian dinas coklatnya.
Adra menyapa temannya itu, begitu juga dengan Dino.
Namun saat Radit memperkenalkan penyedia jasa dan meubel, pandangan Adra tertuju pada Eca, lalu senyumnya memudar.
Eca dan Adra saling pandang untuk beberapa saat, keduanya bahkan enggan untuk saling berjabat tangan karena suasana canggung yang tercipta diantara keduanya.
Dino segera berdiri, dia agak familiar dengan sosok Eca. Namun dia tidak begitu yakin, karena kali ini Eca berpenampilan rapi tidak seperti sebelumnya yang terlihat sangat payah.
Sempat hening, namun Adra menyalami Eca dengan profesional. Dia lalu mengajaknya untuk menuju ruangan yang hendak ia renov dan ditambah beberapa meubel.
Dino menarik Radit, bertanya kenapa temannya itu bisa bersama dengan Eca dan membawanya ke rumah Adra.
“Kenapa?” Radit bingung. Dino tidak menjawab, dia hanya ingin memastikan kalau keadaan ‘survei’ tidak berubah canggung dan tidak profesional.
Adra sangat profesional, bahkan Eca sempat mengira kalau pria muda itu tidak mengenalinya.
“Jadi apakah bisa direalisasikan sesuai gambaranku tadi?” tanya Adra yang melangkah mendekati Eca.
Spontan Eca melangkah mundur, jemarinya sedikit gemetar saat mencatat beberapa poin dari hasil survei ruangan.
Adra menatap Eca, dia tahu kalau perempuan itu menghindari kontak mata dengannya.
Eca berpindah tempat, dia mengamati sudut ruangan yang lain. Sialnya, dia menuju sudut yang salah. Sudut yang tertutup dan tidak ada ruang gerak, saat ia berbalik dan mendapati Adra sedang berdiri di hadapannya.
Deg.
Sial. Eca menundukkan pandangannya.
“Ternyata kamu seorang penyedia jasa, ya?” ujar Adra. Tatapannya tak teralihkan dari wajah Eca.
“Meubel, Pak. Saya penyedia meubel bukan penyedia jasa,” jawab Eca mencoba tenang dengan mengalihkan pandangannya ke bagian ruangan yang lain.
Semakin tak nyaman, eca mencoba menatap Adra yang semakin mendekat.
Semakin jelas wajah pria muda itu yang tampan dengan manik mata hitamnya yang indah, hidungnya yang mancung dengan tahi lalat di atas bibirnya yang tipis. Pandangannya mulai turun ke bagian bahu yang bidang, dengan dada yang ototnya jelas terlatih dengan baik.
Tanpa ia sadari, Eca menelan ludahnya.
“Kamu meminta kekurangan uangmu?” tanya Adra.
“Sorry?” Eca tersadar dari lamunannya.
“Ah aku tidak pegang uang cash. Kalau mau, aku transfer saja. Oke?” Adra mengaluarkan ponselnya, membuka aplikasi mobile banking.
“Maaf, Pak. Saya bukan seperti yang bapak pikirkan.” Eca mendorong tubuh Adra yang enggan berpindah.
“Segini, cukup?” Adra menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan nominal dua digit yang siap ia transfer. “Berikan aku nomor rekeningmu,” imbuhnya.
Eca geram, ia mehela napas panjang lalu menatap pria muda dihadapannya dengan lekat.
“Dengar ya! Malam tadi adalah kesalahanku! Aku akui aku yang salah! Aku mohon lupakan saja! Aku sudah ikhlas dengan yang kamu berikan!” Eca menekan suaranya.
“Aku hanya mencoba bertanggung jawab,” ujar Adra.
“Tidak perlu. Terimakasih.” Eca mencoba mendorong tubuh Adra, namun pria itu justru menahan tubuhnya dengan sedikit memeluknya.
“Maka kamu yang harus bertanggungjawab!” Adra membisikkan kalimatnya pada Eca. Lengannya mencengkeram cukup erat bagian pinggang perempuan itu.
Eca terdiam, dia semakin kesal namun tidak berdaya.
“Apa kamu bisa berjanji kalau ini enggak akan merusak citraku?” ujar Adra. “Kamu tahu berapa kerugianku kalau sampai hal ini muncul ke media?”
Eca melirik Adra. “Kamu pikir aku tidak rugi dengan hal ini?”
“Apa kerugianmu? Kamu hanya karyawan swasta, ‘kan? Hal terburuknya adalah kamu dipecat, lalu kamu bisa cari kerja di tempat lain. It’s simple. Kamu enggak perlu memulihkan nama baikmu dan nama baik keluargamu!”
Bruk!
Eca berhasil mendorong tubuh Adra cukup keras hingga membuatnya menjauh.
“Nama baikmu ataupun nama baik keluargamu itu akan buruk karena sikapmu sendiri! Kamu pergi ke kelab dan mabuk lau tidur dengan seorang perempuan, itu salahmu sendiri! Jangan pernah membawa orang lain dalam masalahmu! Bersikaplah dewasa!” suara Eca agak nyaring.
Radit dan Dino yang berada di luar ruangan dapat mendengarnya lirih, namun tidak begitu jelas.
Segera saja Eca pergi setelah melempar catatannya ke Adra. Tanpa pamit dan tanpa basa basi, ia keluar dari rumah mewah itu walau sempat hendak ditahan oleh seorang pelayan yang telah menyediakan hidangan untuk para tamu.
Beruntung, Lukman tidak ikut masuk ke dalam karena mobilnya mengalami sedikit masalah, sehingga ia tidak mengetahui adanya keributan antara atasannya itu dengan calon klien.
Melihat perempuan itu pergi dengan wajah marah. Dino mehela napas panjang, dia memandangi Adra dari kejauhan untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghampiri dan memukul kepala temannya itu.
“Ngapain sih! Sudah bagus kalian bersikap profesional seperti tadi!”
***
Eca duduk, dia membiarkan Adra masih berdiri dengan cicin di tangannya. Eca merasa semakin pusing karena kedatangan pria muda itu.“Kamu enggak mau ninggalin pacarmu?” kata Adra. “Aku bisa pastikan aku seribu kali lebih baik dari dia.”Eca mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada Adra untuk berhenti bicara. Tubuh Eca mulai kembali berpeluh dingin.“Apapun yang mau kamu katakan. Aku mau kita tetap menikah,” Adra benar-benar batu kali ini. Dia tidak menghiraukan Eca yang menjadi semakin lemah dengan penyakitnya.“Pergi! Kamu membuatku semakin sakit!” usir Eca. Suaranya masih sangat lemah. Dia berusaha untuk berdiri, namun tubuhnya yang masih lemah terjatuh nyaris tak sadarkan diri.Beruntung Adra sigap sehingga dia sempat menahan tubuh Eca dengan kedua tangannya. Dilihatnya Eca yang masih hendak bicara, Adra menggeleng. Adra tidak mengijinkan perempuan itu untuk mengatakan apapun.Adra membaringkan tubuh Eca pada sofa, dia segera pergi ke dapur untuk mengambil air hangat di gelas
Baru saja Adra selesai membasuh wajahnya di kamar mandi. Ponselnya kembali berdering, sebuah panggilan dari sang ayah yang sangat jarang terjadi di jam kerja.Fiuuhhh. Adra mencoba menenangkan dirinya sendiri.“Iya, Ayah?”“Siapa perempuan itu, Nak?”Fiuhh. Ayah benar-benar tidak mengenal istilah basa basi. Adra tahu kemana arah pertanyaan sang ayah.“Bukan siapa-siapa. Cuma teman,” jawab Adra sambil menyandarkan kepalanya pada dinding kamar mandi.“Nikahi dia!”“Hah?” Adra merasa ada yang salah dengan pendengarannya.“Ayah sudah menelepon wartawan yang tempo hari memberitahu mengenai lamaranmu itu dan memintanya untuk menarik berita itu, tapi berita ini bukan dari wartawan manapun. Ini dari netizen antah barantah yang membuatnya heboh hanya dalam sekejap. Kamu pikir kamu bisa menutup semua akun itu?”“Kenapa ayah panik? Itu bukan berita buruk,” ujar Adra.“Ayah panik karena khawatir dengan keamananmu di luar sana! Akan semakin banyak orang yang penasaran dengan kehidupanmu, maka aka
VIRAL!Anggota Dewan Perwakilan Masyarakat, Adra Buditama, tertangkap kamera netizen sedang bersama seorang perempuan di kelab malam!Belum diketahui siapa perempuan yang tengah digendongnya itu, namun sebelumnya Adra juga sempat tertangkap kamera sedang membeli sebuah cincin berlian pada sebuah toko perhiasan ternama.Kurang lebihnya begitu artikel yang sedang ramai bertebaran di media sosial. Tidak hanya narasi yang menarik, mereka juga mencantumkan beberapa foto dari kamera amatir yang menunjukkan Adra sedang menggendong seorang perempuan di sebuah kelab, beserta klip pendek yang hanya berdurasi sekitar lima detik.Klip lain menunjukkan saat Adra sedang berbincang dengan seorang penjaga toko perhiasan, ditemani dengan seorang teman yang berambut tipis alias botak.Beberapa komentar juga menyebutkan tentang ‘Pertunangan’ dan ‘Lamaran’ yang diduga dilakukan oleh putra tunggal Gubernur itu secara tertutup.Lantas apakah perempuan di kelab adalah tunangan Adra?---“Argh sial!” Eca nya
“Ngapain sih! Sudah bagus kalian bersikap profesional seperti tadi!”“Ah sial! Aku awalnya cuma mau bercanda, tapi dia terlalu serius!” ujar Adra kesal.“Kamu mengancam dia?” tanya Dino lagi.Adra tidak menjawab, dia hanya segera duduk setelah meraih kertas yang dilempar oleh Eca tadi.“Bro, enggak semua perempuan merasa tidur dengan pria itu hal biasa. Bisa saja itu hal yang menakutkan bagi dia. Mana bisa kamu bercanda sembarangan seperti itu!” Dino agak meninggikan suaranya.“Tidur?” Radit yang sejak tadi menyimak, baru menemukan titik pencerahan.“Hey! Jangan seolah aku sering melakukan itu ya!” suara Adra tak kalah tinggi. “Aku beneran cuma bercanda! Lagian, tadi malam ...,” kalimat Adra terjeda.Dino dan Radit menyimak.“Arh enggak! Aku enggak sejauh itu!” ujar Adra.“Emm yang tahu cuma dirimu sendiri,” sahut
Adra baru saja tiba dari kegiatannya sebagai seorang anggota dewan yang berkecimpung dalam bidang ekonomi kreatif. Masih dengan pakaian batiknya, sangat formal, ia mengambil motor trail yang cukup lama tersimpan di gudang.Sejak dilantik beberapa bulan lalu, pemuda itu disibukkan dengan kegiatan kemasyarakatan yang mengharusnya dia menomorduakan hobinya menaiki motor trailnya. Kini dia hanya sesekali lari sore di lingkungan rumahnya sendiri.“Mau touring, bos?” ujar pria muda botak, yang baru saja memarkirkan mobil. Dia adalah Dino, teman baik Adra, seorang pemilik WO yang sesekali mendampingi Adra menjadi supir pribadinya.“Enggak. Sayang banget lama enggak dipanasin,” sahut Adra mencoba untuk menyalakan.Satat kedua pria muda itu disibukkan dengan motor trail Adra, seorang temannya yang lain menelepon memberitahukan sebuah info yang dibutuhkan oleh Adra.Adra sudah mulai memikirkan untuk melakukan renovasi rumah sejak bula
Eca menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit di dapur kantor hanya untuk meminum banyak air putih. Dia merasa sangat dehidrasi karena kehilangan fokus sejak pagi. Ia duduk sembari memakan snack yang distok di lemari makanan.Jemarinya masih sibuk scroll sosial media membaca hampir seluruh berita mengenai sosok pemuda yang telah membuatnya hampir jantungan.Adra Buditama.Eca kembali memijat pelan kepalanya, entah sudah berapa kali dia menuang air pada gelas yang terus diminum olehnya.“Permisi, Bu Eca.”Ratna, seorang staf menghampirinya di dapur. Eca cukup terkejut, ia bahkan hampir menyembur saat hendak meneguk minumannya.Ratna sempat terdiam, merasa bersalah karena telah mengejutkan atasannya. “Apa ibu baik-baik saja?” tanyanya.Eca mengangguk, “Ada apa?”“Maaf, Bu. Ini ... klien kita, pak Radit, dia mau ibu langsung yang ke tempat mereka untuk survei lapangan. Dia bilang, mau sekalian ada yang dibicarakan mengenai harga dan pajak, begitu.”“Saya?” tanya Eca yang dijawab ang
Isak tangis Eca tak tertahan saat ia sedang berada di taksi online. Ia masih ingat dengan jelas saat jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya sedang berselingkuh dengan pelayan Cafe miliknya, di ruang kerja.Saat itu, Eca bergegas menuju Cafe yang merupakan hasil dari kerja sama ia dan kekasihnya, Felix, untuk mengambil dompet yang tertinggal di ruang kerja sang kekasih saat istirahat siang dari kantor tempatnya kerja. Eca sudah menelepon Felix, namun tidak ada jawaban. Dia hanya berfikir mungkin kekasihnya itu sedang sibuk atau istirahat karena Cafe cukup ramai hari itu.Beberapa karyawan menyapa Eca ramah, semuanya berada di meja kasir."Mba Eca ada keperluan apa?" tanya kasir, yang bernama Nita.Eca terhenti sejenak, merasa aneh karena tidak biasanya dia ditanyai seperti itu di Cafe miliknya sendiri. "Pak Felix ada di dalam, 'kan?" ujar Eca diiringi senyumnya."Sepertinya Pak Felix sedang istirahat, Mba. Ruangannya dikunci," imbuh Nit