Eca menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit di dapur kantor hanya untuk meminum banyak air putih. Dia merasa sangat dehidrasi karena kehilangan fokus sejak pagi. Ia duduk sembari memakan snack yang distok di lemari makanan.
Jemarinya masih sibuk scroll sosial media membaca hampir seluruh berita mengenai sosok pemuda yang telah membuatnya hampir jantungan.
Adra Buditama.
Eca kembali memijat pelan kepalanya, entah sudah berapa kali dia menuang air pada gelas yang terus diminum olehnya.
“Permisi, Bu Eca.”
Ratna, seorang staf menghampirinya di dapur. Eca cukup terkejut, ia bahkan hampir menyembur saat hendak meneguk minumannya.
Ratna sempat terdiam, merasa bersalah karena telah mengejutkan atasannya. “Apa ibu baik-baik saja?” tanyanya.
Eca mengangguk, “Ada apa?”
“Maaf, Bu. Ini ... klien kita, pak Radit, dia mau ibu langsung yang ke tempat mereka untuk survei lapangan. Dia bilang, mau sekalian ada yang dibicarakan mengenai harga dan pajak, begitu.”
“Saya?” tanya Eca yang dijawab anggukan oleh stafnya yang berkacamata itu.
“Saya bahkan enggak tahu mengenai projek ini,” ujar Eca. “Pak Radit itu siapa?”
“Itu bu, yang dari kantor Dewan. Sebelumnya di urus sama mas Gilang, tapi mas Gilang sedang ke luar kota lalu pak Radit minta ibu langsung yang datang. Katanya, biar lebih enak langsung sama bosnya saja.”
Eca mengerutkan dahi, dia tahu mengenai projek yang dipegang Gilang. Namun dia sedang tidak dalam mood yang baik untuk bertemu dengan klien.
“Bagaimana bu?” Ratna menatap Eca, memohon.
“Baiklah, tiga puluh menit lagi saya ke sana. Minta tolong persiapkan berkas yang perlu saya bawa.”
Ratna sumringah mendengar jawaban dari atasannya itu. Segera saja dia pergi untuk menyiapkan berkas yang diminta oleh Eca.
Di kantor ini, Disbin Meubel, Eca dipercayakan menjadi kepala cabang di kota Lidai. Pengalaman kerjanya yang sudah mumpuni membuat pimpinan perusahaan tak ragu untuk menunjuknya walau dia baru menginjak tahun kedua di perusahaan ini.
Sebelumnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aneesa itu adalah seorang marketing di perusahaan meubel lain, namun karena ada masalah ia lalu mengundurkan diri dan melamar pekerjaan pada Disbin Meubel.
Setelah mendapat berkas dari Ratna, Eca pergi ke kantor klien sesuai dengan janji dengan diantar oleh seorang staf bernama Lukman yang merangkap sebagai supir di perusahaan.
Selama di perjalanan, Eca membaca halaman demi halaman berkas perjanjian kontrak yang sebelumnya telah ia tandatangani. Dia sambil memutar memori ketika Gilang mendiskusikan projek ini dengannya beberapa waktu lalu. Eca familiar dengan projek ini, namun dia tidak familiar dengan pak Radit, yang disebut oleh Ratna.
“Partisi dan paket meja kursi untuk pejabat, ya?” gumam Eca.
Dibacanya lagi pelan-pelan, seketika ia terbelalak ketika mendapati kalau dia akan melakukan survei ke kantor Dewan Kota, yang itu berarti dia akan menuju tempat seorang Adra Buditama berada.
“Ah sial. Kenapa aku baru sadar!” geramnya.
“Bu, kita sampai.” Lukman mematikan mesin mobil.
Lagi-lagi Eca mengomel dan menggerutu dengan dirinya sendiri.
Dipandanginya sekitar, tampak halaman parkir yang luas itu dipenuhi oleh mobil plat merah. Seketika jantung Eca kembali berdebar kencang.
“Bu?” Lukman menyadarkan lamunan Eca.
Eca hanya menatap stafnya itu, lalu dia menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk turun.
Dia meminta Lukman untuk menemaninya bertemu dengan pak Radit, dia mengatakan kalau dirinya sedang lapar, khawatir kalau dirinya lemas karena perbincangan yang panjang, sehingga dia akan meminta bantuan Lukman.
Langsung disambut oleh pria muda berambut keriting, yang diperkirakan Eca berusia kurang lebih dengan dirinya. Radit, begitu dia memperkenalkan diri dengan singkat.
“Mari bu Aneesa, kita bahas sambil menuju ruangan yang hendak ditempatkan meubelnya.” Radit memimpin langkah mereka.
Eca memperhatikan pakaian coklat nan rapi, jelas kalau pria muda ini bukanlah staf biasa.
Tak lama kemudian, seorang lelaki berpakaian hitam putih menyusul dan mendampingi pak Radit. Itu adalah anak magang, pak Radit rupanya memberdayakan anak magang dengan baik.
Radit membawa Eca menuju ruang komisi. Beruntung, kali ini para dewan sedang ada kegiatan di luar kantor sehingga ruangan kosong dan Eca dapat melakukan survei dengan tenang.
Eca mencermati seluruh ruangan dari satu ujung ke ujung lainnya, ekspresinya sangat serius dengan bibir yang berkomat kamit dan jarinya yang menulis pada secarik kertas.
“Ini coretan saya untuk mengira-mengira harga, nanti untuk ukuran pas nya kita bisa ukur ulang,” ujar Eca sambil menyerahkan kertasnya pada Radit.
Pria berambut keriting itu berdecak kagum, namun dia samarkan dengan berdeham seolah tenggorokannya kering. Dia harus mengakui kalau perempuan di hadapannya ini sangat profesional yang mampu mengambil alih pekerjaan anak buahnya dengan sangat apik.
Radit sempat mengangkat telepon dari seseorang, namun sesekali melirik Eca yang sedang duduk meminum minuman yang dihidangkan untuknya.
Eca mendengar panggilan yang berubah-ubah saat pria itu menelepon, ada “Bro”, “Bos” dan juga “Pak”. Suaranya juga berubah menjadi lebih santun dari sebelumnya.
“Maaf, bu Aneesa ...”
“Panggil saja Eca,” sela Eca seketika.
“Oke bu Eca. Pak Adra meminta ibu untuk melakukan survei sekaligus makan siang ke rumah beliau.”
“Siapa?” Eca agak mengerutkan dahinya.
“Pak Adra. Dia yang meminta renovasi ruangan di kantor ini dan dia juga mau melakukan renovasi di rumahnya. Karena tadi kami menginfokan kalian survei hari ini, jadi pak Adra juga mau sekalian di survei. Nanti itu di luar perjanjian kontrak kita, Bu. Itu urusan dia sendiri yang bisa dibahas saat ketemu.”
Eca mengedipkan matanya beberapa kali.
Ponsel Eca berdering, Ratna menelepon dan memberitahunya kalau kekasih Eca menunggu di kantor hendak menemui Eca. Sementara itu Eca masih sangat muak.
“Katakan saja aku masih di luar dan sangat sibuk, jangan tunggu!” jawab Eca singkat.
“Bagaimana? Apakah bisa? Atau mungkin nanti kita jadwalkan ulang? Ini tadi maksudnya mumpung dia pas ada di rumah jadi bisa ngobrol langsung masalah harga dan lain-lain sama bu Eca.” Radit masih menunggu jawaban.
Eca mengangguk. Namun lehernya terasa kaku seolah menyuruhnya untuk menggelengkan kepala.
“Hari ini saja,” ucapnya dengan senyum yang masam.
“Profesional Eca. Ini pekerjaan. Pasti bisa.” Eca berbisik pada dirinya sendiri. Walau pikirannya berkecamuk. Daripada bertemu dengan Felix, Eca pikir bertemu dengan Adra akan sedikit lebih baik. Semoga.
Eca dan Radit pergi dengan mobil yang berbeda, mereka tiba di sebuah rumah mewah yang tidak begitu jauh dari kantor saat gerimis mulai turun.
Eca dapat merasakan kakinya mulai lemas, matanya mulai perih, dia sangat ingin menangis namun tidak ada pilihan selain bersikap profesional.
“Siang pak bos !” sapa Radit pada seorang pria muda yang berdiri memperhatikan motornya yang sedang diperbaiki oleh pria muda lainnya yang botak.
Adra menyapa Radit akrab, namun saat pandangannya tertuju pada Eca, senyumnya memudar.
***
Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang
Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d
Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip
Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe
Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem
Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s