“Ngapain sih! Sudah bagus kalian bersikap profesional seperti tadi!”
“Ah sial! Aku awalnya cuma mau bercanda, tapi dia terlalu serius!” ujar Adra kesal.
“Kamu mengancam dia?” tanya Dino lagi.
Adra tidak menjawab, dia hanya segera duduk setelah meraih kertas yang dilempar oleh Eca tadi.
“Bro, enggak semua perempuan merasa tidur dengan pria itu hal biasa. Bisa saja itu hal yang menakutkan bagi dia. Mana bisa kamu bercanda sembarangan seperti itu!” Dino agak meninggikan suaranya.
“Tidur?” Radit yang sejak tadi menyimak, baru menemukan titik pencerahan.
“Hey! Jangan seolah aku sering melakukan itu ya!” suara Adra tak kalah tinggi. “Aku beneran cuma bercanda! Lagian, tadi malam ...,” kalimat Adra terjeda.
Dino dan Radit menyimak.
“Arh enggak! Aku enggak sejauh itu!” ujar Adra.
“Emm yang tahu cuma dirimu sendiri,” sahut Dino sambil menggaruk tengkuknya.
Singkatnya. Adra menceritakan pada kedua temannya itu mengenai kalimat ancaman yang hanya ‘bercanda’ baginya itu.
Radit dan Dino menggelengkan kepala, tidak heran dengan selera humor yang jelek dari seorang Adra.
“Ini justru memperburuk keadaan, Bro. Kalau misal dia menceritakan semuanya ke media, bukannya malah semakin kacau?” ujar Radit.
“Atau misal ternyata dia hamil? Lalu dia membuatmu viral?” sambung Dino.
“Hey guys! Percaya deh, aku enggak sejauh itu. Mana mungkin dia hamil?” Adra kesal. Dia kali ini sudah mengacak-acak rambutnya yang semula klimis.
“Kamu bisa menjamin itu saat kamu mabuk?” Dino menatap Adra.
“Ahh Adra! Aku jadi ikut canggung karena hal ini. Padahal kami sudah deal untuk projek di kantor. Aku harus berpura-pura enggak tahu deh ya,” gerutu Radit.
“Kalian pulanglah. Aku mau sendirian dulu. Terlalu lelah dengan masalah yang ada!”
Tanpa ada kalimat apapun lagi, Dino dan Radit pulang meninggalkan Adra yang sudah merebahkan tubuh di sofa.
Karena kalimat panjang dari kedua temannya, kini dia merasa bersalah dengan perempuan bernama Aneesa itu. Namun dia tidak ingin meminta maaf. Dia masih harus memikirkan bagaimana dia menjelaskan kepada kedua orang tuanya kalau dirinya batal untuk menikahi putri dari rekan ayahnya di partai koalisi.
Adra bahkan masih menyimpan cincin di kotak yang ia persiapkan untuk melamar Deviela, kekasihnya yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Keduanya saling jatuh cinta setelah sering bertemu saat kedua orang tua mereka berada di acara yang sama, dan partai ayah Deviela menjadi partai pengusung bapak Buditama saat menjabat Gubernur di periode pertama.
Deviela berkuliah di Australia dan masih melanjutkan program Magister disana, sehingga mereka harus menjalani hubungan jarak jauh.
Adra yang sangat mencintai perempuan itu, sering kali mengunjungi kekasihnya karena Deviela sulit untuk libur karena banyaknya tugas yang ia miliki.
Seminggu yang lalu, saat usia hubungan mereka genap lima tahun, Adra berencana untuk melamar kekasihnya itu di sebuah restoran mahal di tengah kota. Namun dia ditolak, karena Deviela mengatakan belum ingin menikah karena dia masih ingin mengejar karir sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi di Sidney.
Adra sudah menjelaskan kalau dirinya akan ikut ke Sidney dan mengundurkan diri dari jabatannya sekarang, namun Deviela menolak dengan dalih kalau jabatan Adra jauh lebih penting dari dirinya karena jabatan Adra merupakan mimpi dari kedua orang tua Adra, sementara ia hanyalah seseorang yang hanya akan memutus mimpi itu jika dia egois untuk membiarkan Adra mengikutinya ke Sidney.
Gongnya adalah ketika saat Adra dan Deviela sedang membahas mengenai kelanjutan hubungan keduanya, ponsel Deviela berdering dan menunjukkan nama kontak dengan emotikon hati merah. Dengan gesit, Adra mengambil ponsel itu, dan ia mendapati kalau ternyata selama ini Deviela telah menduakannya dengan pria lain yang ditemui di Sidney.
Walau Deviela sempat mengelak, namun akhirnya dia mengaku kalau ternyata selama ini dia mau menjalin kisah dengan Adra karena permintaan kedua orang tuanya, sebagai hubungan politik.
Adra sangat terpukul dengan fakta-fakta itu. Karena dia benar-benar menginginkan Deviela. Dia hanya berpikir kalau hubungan politik yang terjalin adalah bonus dari hubungan percintaan mereka, namun ternyata dia salah besar.
Adra memejamkan kedua matanya, mencoba untuk melupakan semua masalahnya walau hanya sejenak. Namun ponselnya berdering berkali-kali membuatnya terpaksa untuk membuka mata dan mengangkat panggilan itu.
Ayah. Nama kontaknya.
“Iya, Ayah?”
“Halo Brodi! Bisa-bisanya kamu merahasiakan lamaran kamu sama Deviela sama Ayah? Hah?!” suara ayahnya terdengar nyaring walau tidak di loudspeaker.
Arrghhhhhh. Adra sangat malas menanggapi hal ini.
“Jadi bagaimana? Kapan rencana kalian mau menikah? Bulan depan? Atau tahun depan?” suara ayah terdengar antusias.
“Ayah dapat kabar dari mana?”
“Ayah dapat kabar dari wartawan yang enggak sengaja melihat kalian di restoran. Katanya kalian sangat serasi malam itu.”
Adra mehela napas panjang. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. “Deviela menolak lamaranku, Yah. Dia masih mau fokus menjadi doktor di Sidney.”
“Menolak? Kamu enggak bilang kalau kamu bisa pulang pergi menemui dia disana sampai lulus?”
“Enggak bisa,” jawab Adra. “Dia punya pria lain disana.”
“Maksud kamu bagaimana, Dek?” nada ayah melembut.
“Nanti malam aku ke rumah Ayah untuk cerita semuanya. Sekarang aku mau ke kantor, ada rapat, Yah.”
Adra mematikan telponnya. Dia lalu bergegas mandi untuk kembali pergi ke kantor.
Di tempat yang lain.
Aneesa masih berada di ruangannya, mengerjakan sesuatu di komputernya yang selalu menyala sejak ia kembali ke kantor setelah survei.
Dia meneruskan beberapa catatannya kepada Gilang, dan meminta anak buahnya itu untuk kembali melanjutkan dan menuntaskan proyek tersebut.
Satu gelas kopi yang sudah tidak lagi panas, masih menemaninya di sudut meja bersama dengan sebungkus snack diet. Eca lapar, namun dia sangat malas untuk memakan sesuatu.
Ponsel ia diamkan dan abaikan, berada di dalam tas tak ia sentuh sejak tadi. Beberapa karyawan menghampirinya langsung ke ruangan jika membutuhkan sesuatu.
Samar ia dapat mendengar ponselnya bergetar, namun ia masih tidak ingin menghiraukannya.
Tok tok tok!
“Permisi, Bu.” Ratna kembali ke ruangan Eca, entah sudah ke berapa kalinya ia melakukan ini.
“Revisi kontrak?” tanya Eca menebak.
Ratna menggeleng. “Anak-anak yang lain mau pamit pulang duluan, Bu. Soalnya sudah lewat jam kerja.” Ratna tersenyum canggung.
Eca melihat pada jam tangannya. Segera saja dia mengijinkan semua staf yang telah selesai pekerjaannya untuk pulang terlebih dulu sementara dia masih harus menyelesaikan pekerjaannya.
Ratna sempat menawarkan kopi, namun Eca menolaknya.
Hari sudah semakin malam. Eca mulai merasakan lapar karena dia seharian belum ada makan nasi sama sekali.
Berhubung mobil operasionalnya rusak, Eca harus pulang dengan taksi online. Dia berpamitan kepada satpam sekaligus meminta bantu untuk dilakukan pengecekan lagi di beberapa sudut kantor.
Saat masih menunggu taksi online, Eca dikejutkan dengan sorot lampu jarak jauh sebuah mobil yang terparkir agak jauh.
Sangat silau.
Namun segera ia sadari kalau ternyata itu adalah Felix, yang entah sudah berapa lama menunggu Eca selesai bekerja
***
Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang
Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d
Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip
Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe
Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem
Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s