Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang
Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d
Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip
Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe
Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem
Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s