Eca duduk, dia membiarkan Adra masih berdiri dengan cicin di tangannya. Eca merasa semakin pusing karena kedatangan pria muda itu.
“Kamu enggak mau ninggalin pacarmu?” kata Adra. “Aku bisa pastikan aku seribu kali lebih baik dari dia.”
Eca mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada Adra untuk berhenti bicara. Tubuh Eca mulai kembali berpeluh dingin.
“Apapun yang mau kamu katakan. Aku mau kita tetap menikah,” Adra benar-benar batu kali ini. Dia tidak menghiraukan Eca yang menjadi semakin lemah dengan penyakitnya.
“Pergi! Kamu membuatku semakin sakit!” usir Eca. Suaranya masih sangat lemah. Dia berusaha untuk berdiri, namun tubuhnya yang masih lemah terjatuh nyaris tak sadarkan diri.
Beruntung Adra sigap sehingga dia sempat menahan tubuh Eca dengan kedua tangannya. Dilihatnya Eca yang masih hendak bicara, Adra menggeleng. Adra tidak mengijinkan perempuan itu untuk mengatakan apapun.
Adra membaringkan tubuh Eca pada sofa, dia segera pergi ke dapur untuk mengambil air hangat di gelas dan di sebuah wadah untuk mengompres perempuan itu.
Eca masih marah, namun dia tidak memiliki tenaga lagi.
Adra menelepon Radit untuk menyiapkan mobil, dia akan membawa Eca ke Rumah Sakit agar mendapatkan perawatan yang lebih baik.
“Tidur saja,” bisik Adra saat ia menggendong tubuh Eca menuju mobilnya.
Eca tidak sadarkan diri. Dia membuka matanya saat ia telah berada di kamar di rumah sakit bersama dengan beberapa perawat yang sedang menyuntikkan obat pada infusnya.
“Saya kenapa, mba?” tanya Eca bingung.
Perawat perempuan itu tersenyum. “Ibu terkena penyakit demam berdarah, tapi tenang saja hasil pemeriksaannya bagus,” jawab perawat.
“Saya rawat inap?” tanya Eca lagi.
Perawat itu mengangguk. “Karena ibu tadi tidak sadarkan diri, jadi ibu perlu kami rawat lebih lanjut. Kalau besok sudah semakin baik, dokter bilang boleh rawat jalan saja.”
Eca menghela napas lega.
Perawat berpamitan dan keluar ruangan. Eca baru menyadari kalau dirinya berada di ruang VIP. Saat ia mengedarkan pandangan, ia melihat pria muda yang sebelumnya telah membuatnya semakin sakit, tertidur di sofa dengan pakaian yang sudah tidak lagi rapi. Jasnya tergeletak di atas meja, dengan kemeja bagian kerah yang berantakan dengan dasi yang nyaris lepas. Tangan pria itu terjatuh dan berjuntai hampir ke lantai, diperhatikan oleh Eca dengan seksama terlihat bekas luka di bagian pergelangan tangan, namun tidak begitu jelas.
Saat hendak menyingkirkan poni, Eca kembali dikejutkan dengan keberadaan cincin di jari manisnya. Cincin yang sebelumnya di bawa oleh Adra saat mengunjungi rumahnya.
“Apa ini?” Eca geram, langsung saja ia melepasnya namun saat hendak meletakkannya di meja, seorang pria yang sudah familiar oleh Eca, masuk ke ruangannya.
“Bu Eca sudah sadar?” sapanya.
“Pak Radit?”
Radit menyeringai seperti kuda, agak canggung dirasa olehnya. Dia melihat Eca melepas cincin, namun tidak dihiraukannya.
Radit menghampiri Adra yang masih pulas, dia menepuk pelan bahu temannya itu. Eca memperhatikan dari kejauhan.
“Apa bu Eca sudah bisa pulang besok?” tanya Radit.
“Semoga saja,” jawab Eca singkat.
Radit mengangguk lega. “Kalau begitu, acaranya lusa,” gumamnya.
“Acara apa?” tanya Eca yang mendengarnya.
“Acara pernikahan kalian,” jawab Radit polos.
Ekspresi wajah Eca langsung berubah masam. Perempuan itu berdecak kesal dan menggigit giginya.
“Tenang, Bu. Kami sudah mengurus semuanya, termasuk kakaknya bu Eca juga sudah kami kabarin.”
Kalimat Radit membuat Eca semakin geram.
“Hey! Ini namanya pemaksaan! Kenapa kalian bertindak seenak jidat kalian hah! Apa aku bilang mau menikah sama dia?!” Eca meninggikan suaranya.
“Bukan pemaksaan, Bu. Tapi dia, Pak Adra ini mau bertanggungjawab atas kehamilan ibu. Bukannya itu hal bagus? Ibu akan terhindar dari masalah.”
“Aku tidak hamil!!!!” suara Eca menggema.
Hal itu mengejutkan Adra yang membuatnya terbangun seketika.
“Sekali lagi kutakatan, aku tidak hamil dan aku tidak mau menikah sama dia!” suara Eca masih nyaring.
Radit mencoba menenangkan, mengingat mereka sedang berada di rumah sakit yang membutuhkan ketenangan.
Adra membenarkan posisi duduknya, ia lalu melepas dasi dan memandangi dua orang yang sedang berdebat. Namun detik berikutnya dia menyadari kalau Eca sudah tidak memakai cincin yang ia pasangkan sebelumnya.
Seketika Adra berdiri, mengejutkan Radit dan juga Eca. “Mana cincinnya?!” ujarnya panik.
“Ku lepas,” jawab Eca singkat.
“Hey! Itu kunci keberuntungan dalam hidupmu! Mana? Sini pasang lagi!” Adra menghampiri Eca. Dia menemukan cincin itu di atas meja, segera saja dia memaksa Eca untuk memasangnya kembali.
“Hey! Kamu pikir kamu siapa bisa memaksa aku untuk ini dan itu?!” Eca menatap Adra kesal.
“Aku Adra Buditama! Seorang anggota Dewan Masyarakat sekaligus putra tunggal Gubernur.” Adra membalas tatapan Eca. Ia lalu kembali memasangkan cincin pada jari manis Eca.
“Ini adalah perlakuan tidak menyenangkan, aku bisa membawa ke jalur hukum,” kata Eca.
“Tidak menyenangkan dari sisi mana? Kamu kunikahi dan akan mendapat jaminan kehidupan. Bagian mana yang tidak menyenangkan?” Adra menarik napas panjang, melembutkan suaranya, sedikit.
“Kamu memaksaku untuk menikahimu,” jawab Eca.
“Sudah kubilang ini bentuk pertanggungjawabanku. Sudah kamu enggak usah memberontak, lagian pacarmu enggak bakal marah, karena kalian sudah putus, ‘kan?”
Eca terkejut dengan kalimat Adra.
“Aku bisa memberimu kehidupan yang kamu mau, terlepas dari gosip dan hutang di luar sana. Kamu cukup menjadi istriku dan melakukan apa yang kuperintah. Simple.”
“Kamu stalker! Kamu mencari tahu tentang kehidupan pribadiku! Itu melanggar privasi!” kata Eca.
Adra duduk di tepian tempat tidur Eca. “Apa kita perlu menandatangani kontraknya?” tanya Adra. Dia lalu meminta pada Radit untuk mengambilkan tas berisi berkas di meja dekat sofa.
Rupanya itu adalah berkas yang berisi kontrak pernikahan yang akan dijalani Adra dan Eca. Tiga lembar, semuanya diketik dengan rapi.
“Bacalah dulu, ini sama sekali tidak merugikanmu,” ucap Adra meyakinkan.
Eca berkomat kamit membaca baris demi baris kalimat yang yang tertuang pada kontrak. Selayaknya pasangan suami dan istri pada umumnya, mereka harus bersikap manis dimanapun berada. Adra meminta ada satu ruangan di rumahnya yang tidak bisa disentuh oleh Eca, dia juga tidak mengijinkan Eca untuk menyentuhnya secara privat kecuali dirinya yang menginginkan.
Pada bagian akhir, terdapat kalimat yang meminta Eca untuk dapat membantu Adra membersihkan namanya dan juga nama besar keluarganya dari berbagai gosip yang ada.
“Aku mau kamu membantuku menyelesaikan masalahku juga,” ujar Eca.
“Dengan mantan pacarmu?” tebak Adra yang dijawab anggukan oleh Eca.
“Tidak sulit. Aku akan menambahkan poin itu sebelum kita menandatanganinya.” Adra tersenyum. Ini adalah pertama kalinya bagi Eca melihat senyum dari pria muda itu.
Senyum yang manis dan tampan, namun disaat yang bersamaan wajahnya terlihat kekanakan.
***
Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang
Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d
Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip
Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe
Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem
Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s