Baru saja Adra selesai membasuh wajahnya di kamar mandi. Ponselnya kembali berdering, sebuah panggilan dari sang ayah yang sangat jarang terjadi di jam kerja.
Fiuuhhh. Adra mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Iya, Ayah?”
“Siapa perempuan itu, Nak?”
Fiuhh. Ayah benar-benar tidak mengenal istilah basa basi. Adra tahu kemana arah pertanyaan sang ayah.
“Bukan siapa-siapa. Cuma teman,” jawab Adra sambil menyandarkan kepalanya pada dinding kamar mandi.
“Nikahi dia!”
“Hah?” Adra merasa ada yang salah dengan pendengarannya.
“Ayah sudah menelepon wartawan yang tempo hari memberitahu mengenai lamaranmu itu dan memintanya untuk menarik berita itu, tapi berita ini bukan dari wartawan manapun. Ini dari netizen antah barantah yang membuatnya heboh hanya dalam sekejap. Kamu pikir kamu bisa menutup semua akun itu?”
“Kenapa ayah panik? Itu bukan berita buruk,” ujar Adra.
“Ayah panik karena khawatir dengan keamananmu di luar sana! Akan semakin banyak orang yang penasaran dengan kehidupanmu, maka akan banyak juga orang yang mengikutimu.”
Adra kembali menyandarkan kepalanya pada dinding. “Ayah, aku sudah dewasa. Aku bisa mengatasinya sendiri,” ujarnya lagi.
“Kalau berita ini sampai ke Deviela, apa kamu enggak malu? Gosip-gosip seperti ini akan mengganggu karirmu, tahu?” suara ayah masih tinggi.
“Kalau aku tiba-tiba menikah, bukannya ini juga akan jadi gosip?”
“Tidak. Selama lamaranmu di restoran itu tidak diketahui siapapun.”
Hening sejenak.
“Ayah, aku masih rapat. Nanti ku telpon lagi setelah aku memikirkan semuanya.”
Adra mematikan panggilan telponnya dengan sang ayah. Dia kembali ke ruang rapat dan dicari-carinya obat dari penenang, lalu diminum dan dia berusaha untuk tetap mengikuti rapat hingga akhir.
Sangat tidak fokus, Adra hanya berpura mengangguk dan mencatat sesuatu. Dia telah mengirim pesan kepada salah seorang stafnya dan meminta untuk dicatat lalu nanti disalinkan untuk ia pelajari nanti.
Sambil berpikir mengenai gosip dan perempuan bernama Eca itu, Adra meminta banyak informasi dari kedua temannya, informasi yang lebih detail mengenai Eca. Tidak hanya mengenai biodata, namun juga mengenai kehidupannya. Karena jelas Adra sangat malas jika harus bermasalah dengan pacar Eca, yang sebelumnya disebut oleh Radit.
Saking fokusnya dengan ponsel, Adra bahkan hingga tidak sadar kalau rapat telah selesai. Bahunya ditepuk oleh salah seorang anggota dewan lain yang merupakan seniornya di partai, Pak Ramli, purnawirawan TNI yang juga merupakan teman kecil pak Buditama, ayah Adra.
Adra mengemas barang dan segera keluar dari ruang rapatnya, saat di perjalanan menuju ruang kerjanya, ia berselisihan dengan Radit yang nampak sibuk dengan ponselnya.
“Masih banyak kerjaan, Bro?” Adra berhenti tepat di depan temannya itu.
Radit terhenti, ia lalu menunjukkan layar ponselnya. “Sedang menjadi agen lambe turah ini,” ucapnya. Dia justru disibukkan dengan masalah dari Adra.
Adra memindai penampilan temannya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, kali ini Radit tidak mengenakan seragamnya. Seketika dia mengangguk, hal itu membuat Radit kebingungan.
“Temani aku ke rumah perempuan itu.” Adra memberikan kunci mobilnya pada Radit.
“Sekarang banget?” Radit agak syok, namun tidak ditanggapi oleh Adra.
Selayaknya detektif, atau mungkin lebih tepatnya kru akun gosip selebriti, Radit dan Dino berhasil mengumpulkan banyak data dengan keahlian alami mereka.
Radit yang sedang berpakaian casual itu, menjadi supir dadakan Adra. Mereka pergi ke alamat yang telah ia dapat dari rekan kerja Eca yang sebelumnya telah ditanya-tanya.
Cukup jauh, perjalanan memerlukan waktu kurang lebihnya dua puluh menit. Keduanya tiba di sebuah rumah di ujung jalan berpagar ungu. Semua rumah di perumahan ini memiliki gaya bangunan yang sama, namun pagar ungu itu menjadi pembeda yang mencolok.
Adra sedang menggenggam sesuatu di dalam kantong jasnya. Sebuah kotak kecil yang baru ia temukan lagi setelah sebelumnya ia lempar sembarangan di kamarnya.
Adra menarik napas panjang. Sebelum ayahnya menyuruh untuk segera menikahi perempuan yang ada di berita, ia sudah memiliki pikiran mengenai hal itu. Hanya saja dia sangat ragu karena ia mempunyai banyak pertimbangan tanpa dasar.
“Bos?” Radit membuyarkan lamunan putra tunggal pak Gubernur itu.
“Kamu yakin mau ketemu dia? Sudah tahu apa yang akan dibicarakan?” imbuh Radit khawatir.
“Aku mau lamar dia. Sekarang bantu aku untuk mempersiapkan pernikahan dan cari tahu lebih banyak lagi mengenai kehidupan perempuan itu,” jawab Adra. Ia lalu turun dari mobil yang terparkir di seberang rumah berpagar ungu, ia lalu mengetuk pintu dengan tenang.
Sementara Radit, dia menjadi semakin bingung namun tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperjelas kalimat temannya itu.
“Adra gila?” gumamnya. Segera saja dia menelepon Dino untuk memberitahukan apa yang terjadi.
Tok tok tok.
Adra mengetuk pintu dengan perasaan kosong. Pikirannya bahkan kosong, dia hanya tahu kalau dia akan melakukan apa yang ia rencanakan sebelumnya.
Terdengar suara batuk dari dalam rumah. Selang beberapa detik, pintu itu terbuka dan menampakkan sosok seorang perempuan berambut sebahu yang sangat pucat dengan tatapan sayu.
Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Namun setelah sadar, perempuan itu kembali menutup pintunya dengan keras.
Brak!
Eca mematung. Seakan dia baru saja melihat hantu yang menamppak diri di depan pintu rumahnya.
Adra kembali mengetuk pintu itu. “Nes, buka! Aku mau ngomong!” ujarnya, terdengar sangat akrab.
“Aku enggak perlu uangmu. Maaf, sebaiknya kamu pergi!” suara Eca lemah sekali.
“Ini bukan tentang uang itu!” Adra mulai meninggikan suaranya. “Buka pintunya atau aku akan membuat gaduh disini!” ancamnya.
Tok tok tok!
Eca mambuka pintunya perlahan. Dia menampakkan sedikit wajahnya dari balik pintu, tatapannya benar-benar sayu, wajahnya merah, masih dalam pengaruh demam.
Adra memaksa masuk, dengan tatapan yang tak teralihkan dari Eca yang tidak lebih tinggi darinya.
“Aku mau kita nikah!” ucap Adra, dia bahkan tidak memberi kesempatan Eca untuk berkedip.
“Hah?”
“Ayo menikah! Aku akan bertanggungjawab karena malam itu!” ujar Adra sembari mengeluarkan kotak hitam dari kantong jasnya.
Eca mengerjapkan mata. Dia sedang mencermati, apakah ini adalah adegan romantis ‘lamaran’ ? pikirnya.
Belum sempat Eca mengucapkan apapun, Adra kembali berbicara. “Kamu membaca berita yang heboh beberapa hari belakangan? Aku enggak mau hal-hal seperti itu jadi semakin parah kalau mereka tahu kamu hamil, dan itu anakku.”
“Hamil?” Eca mengerutkan dahinya.
Adra mengangguk pelan, tatapannya sangat dalam. “Aku akan mengurus semuanya, kamu cukup menuruti kemauanku saja!” katanya lagi.
Eca menggeleng.
Adra lalu membuka kotak kecil yang ternyata adalah sebuah cincin berlian yang ia beli untuk melamar Deviela beberapa waktu lalu.
“Kita sama-sama diuntungkan dalam kesepakatan ini.” Adra menyodorkan cincin itu. “Kamu enggak akan dapat masalah, begitu juga aku,” imbuhnya.
***
Eca duduk, dia membiarkan Adra masih berdiri dengan cicin di tangannya. Eca merasa semakin pusing karena kedatangan pria muda itu.“Kamu enggak mau ninggalin pacarmu?” kata Adra. “Aku bisa pastikan aku seribu kali lebih baik dari dia.”Eca mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada Adra untuk berhenti bicara. Tubuh Eca mulai kembali berpeluh dingin.“Apapun yang mau kamu katakan. Aku mau kita tetap menikah,” Adra benar-benar batu kali ini. Dia tidak menghiraukan Eca yang menjadi semakin lemah dengan penyakitnya.“Pergi! Kamu membuatku semakin sakit!” usir Eca. Suaranya masih sangat lemah. Dia berusaha untuk berdiri, namun tubuhnya yang masih lemah terjatuh nyaris tak sadarkan diri.Beruntung Adra sigap sehingga dia sempat menahan tubuh Eca dengan kedua tangannya. Dilihatnya Eca yang masih hendak bicara, Adra menggeleng. Adra tidak mengijinkan perempuan itu untuk mengatakan apapun.Adra membaringkan tubuh Eca pada sofa, dia segera pergi ke dapur untuk mengambil air hangat di gelas
Baru saja Adra selesai membasuh wajahnya di kamar mandi. Ponselnya kembali berdering, sebuah panggilan dari sang ayah yang sangat jarang terjadi di jam kerja.Fiuuhhh. Adra mencoba menenangkan dirinya sendiri.“Iya, Ayah?”“Siapa perempuan itu, Nak?”Fiuhh. Ayah benar-benar tidak mengenal istilah basa basi. Adra tahu kemana arah pertanyaan sang ayah.“Bukan siapa-siapa. Cuma teman,” jawab Adra sambil menyandarkan kepalanya pada dinding kamar mandi.“Nikahi dia!”“Hah?” Adra merasa ada yang salah dengan pendengarannya.“Ayah sudah menelepon wartawan yang tempo hari memberitahu mengenai lamaranmu itu dan memintanya untuk menarik berita itu, tapi berita ini bukan dari wartawan manapun. Ini dari netizen antah barantah yang membuatnya heboh hanya dalam sekejap. Kamu pikir kamu bisa menutup semua akun itu?”“Kenapa ayah panik? Itu bukan berita buruk,” ujar Adra.“Ayah panik karena khawatir dengan keamananmu di luar sana! Akan semakin banyak orang yang penasaran dengan kehidupanmu, maka aka
VIRAL!Anggota Dewan Perwakilan Masyarakat, Adra Buditama, tertangkap kamera netizen sedang bersama seorang perempuan di kelab malam!Belum diketahui siapa perempuan yang tengah digendongnya itu, namun sebelumnya Adra juga sempat tertangkap kamera sedang membeli sebuah cincin berlian pada sebuah toko perhiasan ternama.Kurang lebihnya begitu artikel yang sedang ramai bertebaran di media sosial. Tidak hanya narasi yang menarik, mereka juga mencantumkan beberapa foto dari kamera amatir yang menunjukkan Adra sedang menggendong seorang perempuan di sebuah kelab, beserta klip pendek yang hanya berdurasi sekitar lima detik.Klip lain menunjukkan saat Adra sedang berbincang dengan seorang penjaga toko perhiasan, ditemani dengan seorang teman yang berambut tipis alias botak.Beberapa komentar juga menyebutkan tentang ‘Pertunangan’ dan ‘Lamaran’ yang diduga dilakukan oleh putra tunggal Gubernur itu secara tertutup.Lantas apakah perempuan di kelab adalah tunangan Adra?---“Argh sial!” Eca nya
“Ngapain sih! Sudah bagus kalian bersikap profesional seperti tadi!”“Ah sial! Aku awalnya cuma mau bercanda, tapi dia terlalu serius!” ujar Adra kesal.“Kamu mengancam dia?” tanya Dino lagi.Adra tidak menjawab, dia hanya segera duduk setelah meraih kertas yang dilempar oleh Eca tadi.“Bro, enggak semua perempuan merasa tidur dengan pria itu hal biasa. Bisa saja itu hal yang menakutkan bagi dia. Mana bisa kamu bercanda sembarangan seperti itu!” Dino agak meninggikan suaranya.“Tidur?” Radit yang sejak tadi menyimak, baru menemukan titik pencerahan.“Hey! Jangan seolah aku sering melakukan itu ya!” suara Adra tak kalah tinggi. “Aku beneran cuma bercanda! Lagian, tadi malam ...,” kalimat Adra terjeda.Dino dan Radit menyimak.“Arh enggak! Aku enggak sejauh itu!” ujar Adra.“Emm yang tahu cuma dirimu sendiri,” sahut
Adra baru saja tiba dari kegiatannya sebagai seorang anggota dewan yang berkecimpung dalam bidang ekonomi kreatif. Masih dengan pakaian batiknya, sangat formal, ia mengambil motor trail yang cukup lama tersimpan di gudang.Sejak dilantik beberapa bulan lalu, pemuda itu disibukkan dengan kegiatan kemasyarakatan yang mengharusnya dia menomorduakan hobinya menaiki motor trailnya. Kini dia hanya sesekali lari sore di lingkungan rumahnya sendiri.“Mau touring, bos?” ujar pria muda botak, yang baru saja memarkirkan mobil. Dia adalah Dino, teman baik Adra, seorang pemilik WO yang sesekali mendampingi Adra menjadi supir pribadinya.“Enggak. Sayang banget lama enggak dipanasin,” sahut Adra mencoba untuk menyalakan.Satat kedua pria muda itu disibukkan dengan motor trail Adra, seorang temannya yang lain menelepon memberitahukan sebuah info yang dibutuhkan oleh Adra.Adra sudah mulai memikirkan untuk melakukan renovasi rumah sejak bula
Eca menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit di dapur kantor hanya untuk meminum banyak air putih. Dia merasa sangat dehidrasi karena kehilangan fokus sejak pagi. Ia duduk sembari memakan snack yang distok di lemari makanan.Jemarinya masih sibuk scroll sosial media membaca hampir seluruh berita mengenai sosok pemuda yang telah membuatnya hampir jantungan.Adra Buditama.Eca kembali memijat pelan kepalanya, entah sudah berapa kali dia menuang air pada gelas yang terus diminum olehnya.“Permisi, Bu Eca.”Ratna, seorang staf menghampirinya di dapur. Eca cukup terkejut, ia bahkan hampir menyembur saat hendak meneguk minumannya.Ratna sempat terdiam, merasa bersalah karena telah mengejutkan atasannya. “Apa ibu baik-baik saja?” tanyanya.Eca mengangguk, “Ada apa?”“Maaf, Bu. Ini ... klien kita, pak Radit, dia mau ibu langsung yang ke tempat mereka untuk survei lapangan. Dia bilang, mau sekalian ada yang dibicarakan mengenai harga dan pajak, begitu.”“Saya?” tanya Eca yang dijawab ang
Isak tangis Eca tak tertahan saat ia sedang berada di taksi online. Ia masih ingat dengan jelas saat jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya sedang berselingkuh dengan pelayan Cafe miliknya, di ruang kerja.Saat itu, Eca bergegas menuju Cafe yang merupakan hasil dari kerja sama ia dan kekasihnya, Felix, untuk mengambil dompet yang tertinggal di ruang kerja sang kekasih saat istirahat siang dari kantor tempatnya kerja. Eca sudah menelepon Felix, namun tidak ada jawaban. Dia hanya berfikir mungkin kekasihnya itu sedang sibuk atau istirahat karena Cafe cukup ramai hari itu.Beberapa karyawan menyapa Eca ramah, semuanya berada di meja kasir."Mba Eca ada keperluan apa?" tanya kasir, yang bernama Nita.Eca terhenti sejenak, merasa aneh karena tidak biasanya dia ditanyai seperti itu di Cafe miliknya sendiri. "Pak Felix ada di dalam, 'kan?" ujar Eca diiringi senyumnya."Sepertinya Pak Felix sedang istirahat, Mba. Ruangannya dikunci," imbuh Nit