Home / Romansa / ANOTHER TOXIC STORY / Dilamar saat Sakit

Share

Dilamar saat Sakit

Author: Wonder Icy
last update Last Updated: 2025-04-03 13:25:04

Baru saja Adra selesai membasuh wajahnya di kamar mandi. Ponselnya kembali berdering, sebuah panggilan dari sang ayah yang sangat jarang terjadi di jam kerja.

Fiuuhhh. Adra mencoba menenangkan dirinya sendiri.

“Iya, Ayah?”

“Siapa perempuan itu, Nak?”

Fiuhh. Ayah benar-benar tidak mengenal istilah basa basi. Adra tahu kemana arah pertanyaan sang ayah.

“Bukan siapa-siapa. Cuma teman,” jawab Adra sambil menyandarkan kepalanya pada dinding kamar mandi.

“Nikahi dia!”

“Hah?” Adra merasa ada yang salah dengan pendengarannya.

“Ayah sudah menelepon wartawan yang tempo hari memberitahu mengenai lamaranmu itu dan memintanya untuk menarik berita itu, tapi berita ini bukan dari wartawan manapun. Ini dari netizen antah barantah yang membuatnya heboh hanya dalam sekejap. Kamu pikir kamu bisa menutup semua akun itu?”

“Kenapa ayah panik?  Itu bukan berita buruk,” ujar Adra.

“Ayah panik karena khawatir dengan keamananmu di luar sana! Akan semakin banyak orang yang penasaran dengan kehidupanmu, maka akan banyak juga orang yang mengikutimu.”

Adra kembali menyandarkan kepalanya pada dinding. “Ayah, aku sudah dewasa. Aku bisa mengatasinya sendiri,” ujarnya lagi.

“Kalau berita ini sampai ke Deviela, apa kamu enggak malu? Gosip-gosip seperti ini akan mengganggu karirmu, tahu?” suara ayah masih tinggi.

“Kalau aku tiba-tiba menikah, bukannya ini juga akan jadi gosip?”

“Tidak. Selama lamaranmu di restoran itu tidak diketahui siapapun.”

Hening sejenak.

“Ayah, aku masih rapat. Nanti ku telpon lagi setelah aku memikirkan semuanya.”

Adra mematikan panggilan telponnya dengan sang ayah. Dia kembali ke ruang rapat dan dicari-carinya obat dari penenang, lalu diminum dan dia berusaha untuk tetap mengikuti rapat hingga akhir.

Sangat tidak fokus, Adra hanya berpura mengangguk dan mencatat sesuatu. Dia telah mengirim pesan kepada salah seorang stafnya dan meminta untuk dicatat lalu nanti disalinkan untuk ia pelajari nanti.

Sambil berpikir mengenai gosip dan perempuan bernama Eca itu, Adra meminta banyak informasi dari kedua temannya, informasi yang lebih detail mengenai Eca. Tidak hanya mengenai biodata, namun juga mengenai kehidupannya. Karena jelas Adra sangat malas jika harus bermasalah dengan pacar Eca, yang sebelumnya disebut oleh Radit.

 Saking fokusnya dengan ponsel, Adra bahkan hingga tidak sadar kalau rapat telah selesai. Bahunya ditepuk oleh salah seorang anggota dewan lain yang merupakan seniornya di partai, Pak Ramli, purnawirawan TNI yang juga merupakan teman kecil pak Buditama, ayah Adra.

Adra mengemas barang dan segera keluar dari ruang rapatnya, saat di perjalanan menuju ruang kerjanya, ia berselisihan dengan Radit yang nampak sibuk dengan ponselnya.

“Masih banyak kerjaan, Bro?” Adra berhenti tepat di depan temannya itu.

Radit terhenti, ia lalu menunjukkan layar ponselnya. “Sedang menjadi agen lambe turah ini,” ucapnya. Dia justru disibukkan dengan masalah dari Adra.

Adra memindai penampilan temannya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, kali ini Radit tidak mengenakan seragamnya. Seketika dia mengangguk, hal itu membuat Radit kebingungan.

“Temani aku ke rumah perempuan itu.” Adra memberikan kunci mobilnya pada Radit.

“Sekarang banget?” Radit agak syok, namun tidak ditanggapi oleh Adra.

Selayaknya detektif, atau mungkin lebih tepatnya kru akun gosip selebriti, Radit dan Dino berhasil mengumpulkan banyak data dengan keahlian alami mereka.

Radit yang sedang berpakaian casual itu, menjadi supir dadakan Adra. Mereka pergi ke alamat yang telah ia dapat dari rekan kerja Eca yang sebelumnya telah ditanya-tanya.

Cukup jauh, perjalanan memerlukan waktu kurang lebihnya dua puluh menit. Keduanya tiba di sebuah rumah di ujung jalan berpagar ungu. Semua rumah di perumahan ini memiliki gaya bangunan yang sama, namun pagar ungu itu menjadi pembeda yang mencolok.

Adra sedang menggenggam sesuatu di dalam kantong jasnya. Sebuah kotak kecil yang baru ia temukan lagi setelah sebelumnya ia lempar sembarangan di kamarnya.

Adra menarik napas panjang. Sebelum ayahnya menyuruh untuk segera menikahi perempuan yang ada di berita, ia sudah memiliki pikiran mengenai hal itu. Hanya saja dia sangat ragu karena ia mempunyai banyak pertimbangan tanpa dasar.

“Bos?” Radit membuyarkan lamunan putra tunggal pak Gubernur itu.

“Kamu yakin mau ketemu dia? Sudah tahu apa yang akan dibicarakan?” imbuh Radit khawatir.

“Aku mau lamar dia. Sekarang bantu aku untuk mempersiapkan pernikahan dan cari tahu lebih banyak lagi mengenai kehidupan perempuan itu,” jawab Adra. Ia lalu turun dari mobil yang terparkir di seberang rumah berpagar ungu, ia lalu mengetuk pintu dengan tenang.

Sementara Radit, dia menjadi semakin bingung namun tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperjelas kalimat temannya itu.

“Adra gila?” gumamnya. Segera saja dia menelepon Dino untuk memberitahukan apa yang terjadi.

Tok tok tok.

Adra mengetuk pintu dengan perasaan kosong. Pikirannya bahkan kosong, dia hanya tahu kalau dia akan melakukan apa yang ia rencanakan sebelumnya.

Terdengar suara batuk dari dalam rumah. Selang beberapa detik, pintu itu terbuka dan menampakkan sosok seorang perempuan berambut sebahu yang sangat pucat dengan tatapan sayu.

Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Namun setelah sadar, perempuan itu kembali menutup pintunya dengan keras.

Brak!

Eca mematung. Seakan dia baru saja melihat hantu yang menamppak diri di depan pintu rumahnya.

Adra kembali mengetuk pintu itu. “Nes, buka! Aku mau ngomong!” ujarnya, terdengar sangat akrab.

“Aku enggak perlu uangmu. Maaf, sebaiknya kamu pergi!” suara Eca lemah sekali.

“Ini bukan tentang uang itu!” Adra mulai meninggikan suaranya. “Buka pintunya atau aku akan membuat gaduh disini!” ancamnya.

Tok tok tok!

Eca mambuka pintunya perlahan. Dia menampakkan sedikit wajahnya dari balik pintu, tatapannya benar-benar sayu, wajahnya merah, masih dalam pengaruh demam.

Adra memaksa masuk, dengan tatapan yang tak teralihkan dari Eca yang tidak lebih tinggi darinya.

“Aku mau kita nikah!” ucap Adra, dia bahkan tidak memberi kesempatan Eca untuk berkedip.

“Hah?”

“Ayo menikah! Aku akan bertanggungjawab karena malam itu!” ujar Adra sembari mengeluarkan kotak hitam dari kantong jasnya.

Eca mengerjapkan mata. Dia sedang mencermati, apakah ini adalah adegan romantis ‘lamaran’ ? pikirnya.

Belum sempat Eca mengucapkan apapun, Adra kembali berbicara. “Kamu membaca berita yang heboh beberapa hari belakangan? Aku enggak mau hal-hal seperti itu jadi semakin parah kalau mereka tahu kamu hamil, dan itu anakku.”

“Hamil?” Eca mengerutkan dahinya.

Adra mengangguk pelan, tatapannya sangat dalam. “Aku akan mengurus semuanya, kamu cukup menuruti kemauanku saja!” katanya lagi.

Eca menggeleng.

Adra lalu membuka kotak kecil yang ternyata adalah sebuah cincin berlian yang ia beli untuk melamar Deviela beberapa waktu lalu.

“Kita sama-sama diuntungkan dalam kesepakatan ini.” Adra menyodorkan cincin itu. “Kamu enggak akan dapat masalah, begitu juga aku,” imbuhnya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ANOTHER TOXIC STORY   Meminta Maaf

    Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang

  • ANOTHER TOXIC STORY   Berisik nan Tenang

    Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d

  • ANOTHER TOXIC STORY   Kamar Ibu

    Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip

  • ANOTHER TOXIC STORY   Pusara Ibu

    Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe

  • ANOTHER TOXIC STORY   Hanya 2 jam

    Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem

  • ANOTHER TOXIC STORY   Fokus dengan Suami

    Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status