Share

Bab 3

Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya? 

Aku memijat nomor Ibu. Panggilan pun terhubung. Beberapa detik menunggu, hingga akhirnya tak ada jawaban kudapatkan. Kucoba lagi, tapi masih sama. Akhirnya kusudahi saja, biar besok pagi aku mampir ke rumah Ibu sebelum berangkat kerja. 

Kurebahkan tubuh, baru saja hendak terpejam. Layar ponsel menyala, getarnya terdengar. Lekas kuraih lagi. Rupanya Meli yang mengirimiku pesan.

[Night! Makasih dah anter pulang! Nice dream.] 

Lengkung bibirku tertarik begitu saja. Rasanya lagi nostalgia. Dulu, waktu Meli sering main sama Risna. Diam-diam kami pacaran. Meli sering sekali mengirimiku pesan seperti ini. Ah, rindu itu kembali beterbangan. Rindu masa-masa belia yang indah. Bahkan hanya saling pandang saja terasa sampai mengawang-awang. 

[Nice dleam, too!] 

Aku mengetik kalimat itu dengan senyum masih mengembang. Sejenak lupa akan kegalauanku karena kepergian Hanum dari rumah ini. Aku kira dia bakal balik dan memohon-mohon agar tak jadi diceraikan. Namun, rupanya aku salah. Hanum beneran pergi dan aku sama sekali gak tahu dia ada di mana.

[Dih, belum tidur, ya? Kok masih balesi?] Pesan Meli kembali datang. 

Pikiranku yang sedetik tadi berlari pada Hanum, kini kembali pada layar gawai. Jemari ini mengetik dengan cepat.

[Gak bisa tidur.] 

Pesan terkirim. Tampak Meli lagi mengetik. Sesekali kantuk datang. Aku mulai menguap. 

[Kenapa? Apa mau ditemani?] 

Eh, aku membeliak ketika melihat kalimatnya yang memancing. Namun, senyum pada bibir ini terus saja mengembang. 

[Emang mau nemani?] tulisku lagi. 

Meli tampak mengetik kembali. Namun, kutunggu, lama sekali. Akhirnya aku menguap dan kantuk pun menyergap. Aku terlelap dengan gawai yang masih dalam genggaman. 

*** 

Pagi menjelang. Aku menemukan gawaiku yang tertidur juga di dekat bantal. Sebelum apa-apa, aku lekas membuka layar gawai. Masih ingat, semalam aku sedang berbalas pesan dengan Meli. Rasanya penasaran apa balasannya. 

[Tergantung, sih, Mas. Mau gak halalin aku.] 

Seketika kedua netraku membeliak. Gak salah ini? Aku mengucek lagi kedua mata ini. Apa benar, Meli masih menginginkan kuhalalkan? Betapa baik hatinya kalau iya, padahal dulu kutinggal dia nikah, pada saat hubungan kami sedang manis-manisnya. 

Rupanya bukan hanya itu, masih ada berderet pesan lainnya.

[Mas, kok gak bales?] 

[Maaas!] 

[Ih, ditinggal tidur, ya?] 

Aku tersenyum dan mengusap sederet tulisan yang Meli kirimkan. Rasanya hati menghangat kembali setelah perasaan ini kubuat mati karena harus menikahi Hanum---perempuan pilihan Ibu. Lekas kuketik pesan balasan.

[Met pagi, Mel! Maaf semalem ketiduran. Sampai ketemu di kantor.] 

Aku mengetik dengan cepat. Lantas turun dari tempat tidur dan bergegas membersihkan diri dengan guyuran shower yang airnya sudah kusetting agar hangat. 

Rumah ini masih bersih, masih rapi seperti kemarin. Aku sudah mengatur orang untuk membersihkannya dua hari sekali. Kalau tiap hari kan biayanya lumayan, makanya kuatur dua hari sekali saja. Walau dua hari sekali, tanpa keberadaan Hanum dan anak-anakku, rumah tetap rapi dan bersih. Hanya saja ada yang asing, karena dulu, setiap pagi, Hanum sudah menyiapkan pakaian dan sarapanku di meja. Sekarang harus cari sendiri di luar, kopi pun harus buat sendiri. 

[Mas, aku kesiangan. Duh ketinggalan jemputan. Jemput sekalian, bisa?] 

Pesan dari Meli kembali kuterima. Padahal baru saja aku hendak ke rumah Ibu dan memastikan keberadaan Hanum dan anak-anak sebelum berangkat kerja. Namun, kasihan Meli. Dia pasti tengah bingung mau pergi ke kantor caranya gimana? 

Sepertinya agenda ke rumah Ibu, diganti sore saja. Pagi ini biar sekalian kujemput Meli dulu. Toh, Hanum juga sudah besar. Lagian dia masih pegang juga uang bulanan yang kukasih. Pasti dia gak akan biarin anak-anak lapar. Aku tahu sekali, bagi dia anak-anak lebih utama, bahkan ngalahin prioritas ngurus aku. Itu yang buat aku kesal.

Mobil Innova hitam metalik milikku melaju membelah jalanan. Derunya masih lembut. Mobil ini memang baru kubeli beberapa bulan setelah aku diangkat jadi manager. Meskipun masih nyicil, tapi cukup menaikkan gengsiku di kantor. Mereka bahkan muji aku, katanya hebat sudah kebeli mobil Innova. Kalau yang lain paling banter pada beli mobil yang harganya seratus jutaan. 

Meli tampak tengah berdiri di tepi tukang jualan pukis. Dia menggunakan tasnya untuk menutup wajahnya yang terkena sinar matahari pagi. Aku berhenti dan menurunkan kaca. Senyumku langsung disambut hangat olehnya. 

“Mas, tunggu bentar! Aku lagi beli pukis. Mas, mau?” Meli menunjuk pada pukis yang masih dalam cetakan. 

Seketika mataku berbinar. Aku memang belum sarapan. Tadinya mau sarapan di rumah Ibu. Namun, karena gak tega sama Meli. Aku menjadi jemput dia ke sini. Aku pun mengangguk dan mengacungkan jempol. Meli tampak menambah pesanannya.

Tak berapa lama, aroma pukis menguar memenuhi mobilku ketika Meli beranjak duduk di jok samping kiriku. 

“Makasih ya, Mas. Kalau gak dijemput kamu, aku bingung ke kantor naik apa.” Dia tersenyum. Aku mengangguk dan langsung menaikkan kaca mobil lalu menginjak gas. 

“Mas mau muter musik, ya?” izinnya. 

“Hmmm, ok.” Aku menjawab singkat. 

Meli langsung menyalakan lagu dari tape mobil. Dia menoleh dan tersenyum ketika dia memutar musik dan lagu yang dilantunkan adalah lagu janji suci yang dipopulerkan Yovie and Nuno.

“Duh, nostalgia banget, sih,” celotehnya.

Aku tersentak. Aku baru sadar kalau waktu itu, aku nembak dia sepulang sekolah dengan lagu ini. Sontak aku mengusap wajah. Rasanya malu mengingat kekonyolanku. 

“Kamu masih inget saja, sih, Mel.” Aku membuang pandang, tetapi mengulum senyuman. 

“Dih, jahat, ya!” Dia cemberut, tetapi tanpa kusangka tangannya mencubit perutku. 

“Ih, kok bilang jahat. Nyubit pula?” Aku mencuri pandang pada wajahnya yang makin manis saja, rasanya. 

“Ya iyalah, di saat aku lagi terpana dan tergila-gila sama kamu, tiba-tiba ngilang dan nikah. Eh, sekarang giliran aku masih inget lagi ini, malah diledekin. Mau gak dibilang jahatnya di mana coba?” Dia mengerucutkan bibirnya. Mengingatkanku pada Meli belia yang manja dan sangat bergantung padaku. 

“Iya, maaf. Yang lalu biarlah berlalu. Di depan sana, masih panjang masa depan yang harus kita lalui.” Aku menjadi merasa bersalah. Memang aku gak punya nyali untuk menolak perjodohan waktu itu. 

“Maksudnya? Apa artinya kita punya kesempatan lagi untuk mengarungi masa depan dan melupakan masa lalu yang menyakitkan itu, Mas?” 

Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa. 

“Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
Suaminya Hanum dpt jabatan yg bgs mgkin gara2 Hanum jg... Hanum kan putri pemilik perusahaan. ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status