Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya?
Aku memijat nomor Ibu. Panggilan pun terhubung. Beberapa detik menunggu, hingga akhirnya tak ada jawaban kudapatkan. Kucoba lagi, tapi masih sama. Akhirnya kusudahi saja, biar besok pagi aku mampir ke rumah Ibu sebelum berangkat kerja.
Kurebahkan tubuh, baru saja hendak terpejam. Layar ponsel menyala, getarnya terdengar. Lekas kuraih lagi. Rupanya Meli yang mengirimiku pesan.
[Night! Makasih dah anter pulang! Nice dream.]
Lengkung bibirku tertarik begitu saja. Rasanya lagi nostalgia. Dulu, waktu Meli sering main sama Risna. Diam-diam kami pacaran. Meli sering sekali mengirimiku pesan seperti ini. Ah, rindu itu kembali beterbangan. Rindu masa-masa belia yang indah. Bahkan hanya saling pandang saja terasa sampai mengawang-awang.
[Nice dleam, too!]
Aku mengetik kalimat itu dengan senyum masih mengembang. Sejenak lupa akan kegalauanku karena kepergian Hanum dari rumah ini. Aku kira dia bakal balik dan memohon-mohon agar tak jadi diceraikan. Namun, rupanya aku salah. Hanum beneran pergi dan aku sama sekali gak tahu dia ada di mana.
[Dih, belum tidur, ya? Kok masih balesi?] Pesan Meli kembali datang.
Pikiranku yang sedetik tadi berlari pada Hanum, kini kembali pada layar gawai. Jemari ini mengetik dengan cepat.
[Gak bisa tidur.]
Pesan terkirim. Tampak Meli lagi mengetik. Sesekali kantuk datang. Aku mulai menguap.
[Kenapa? Apa mau ditemani?]
Eh, aku membeliak ketika melihat kalimatnya yang memancing. Namun, senyum pada bibir ini terus saja mengembang.
[Emang mau nemani?] tulisku lagi.
Meli tampak mengetik kembali. Namun, kutunggu, lama sekali. Akhirnya aku menguap dan kantuk pun menyergap. Aku terlelap dengan gawai yang masih dalam genggaman.
***
Pagi menjelang. Aku menemukan gawaiku yang tertidur juga di dekat bantal. Sebelum apa-apa, aku lekas membuka layar gawai. Masih ingat, semalam aku sedang berbalas pesan dengan Meli. Rasanya penasaran apa balasannya.
[Tergantung, sih, Mas. Mau gak halalin aku.]
Seketika kedua netraku membeliak. Gak salah ini? Aku mengucek lagi kedua mata ini. Apa benar, Meli masih menginginkan kuhalalkan? Betapa baik hatinya kalau iya, padahal dulu kutinggal dia nikah, pada saat hubungan kami sedang manis-manisnya.
Rupanya bukan hanya itu, masih ada berderet pesan lainnya.
[Mas, kok gak bales?]
[Maaas!]
[Ih, ditinggal tidur, ya?]
Aku tersenyum dan mengusap sederet tulisan yang Meli kirimkan. Rasanya hati menghangat kembali setelah perasaan ini kubuat mati karena harus menikahi Hanum---perempuan pilihan Ibu. Lekas kuketik pesan balasan.
[Met pagi, Mel! Maaf semalem ketiduran. Sampai ketemu di kantor.]
Aku mengetik dengan cepat. Lantas turun dari tempat tidur dan bergegas membersihkan diri dengan guyuran shower yang airnya sudah kusetting agar hangat.
Rumah ini masih bersih, masih rapi seperti kemarin. Aku sudah mengatur orang untuk membersihkannya dua hari sekali. Kalau tiap hari kan biayanya lumayan, makanya kuatur dua hari sekali saja. Walau dua hari sekali, tanpa keberadaan Hanum dan anak-anakku, rumah tetap rapi dan bersih. Hanya saja ada yang asing, karena dulu, setiap pagi, Hanum sudah menyiapkan pakaian dan sarapanku di meja. Sekarang harus cari sendiri di luar, kopi pun harus buat sendiri.
[Mas, aku kesiangan. Duh ketinggalan jemputan. Jemput sekalian, bisa?]
Pesan dari Meli kembali kuterima. Padahal baru saja aku hendak ke rumah Ibu dan memastikan keberadaan Hanum dan anak-anak sebelum berangkat kerja. Namun, kasihan Meli. Dia pasti tengah bingung mau pergi ke kantor caranya gimana?
Sepertinya agenda ke rumah Ibu, diganti sore saja. Pagi ini biar sekalian kujemput Meli dulu. Toh, Hanum juga sudah besar. Lagian dia masih pegang juga uang bulanan yang kukasih. Pasti dia gak akan biarin anak-anak lapar. Aku tahu sekali, bagi dia anak-anak lebih utama, bahkan ngalahin prioritas ngurus aku. Itu yang buat aku kesal.
Mobil Innova hitam metalik milikku melaju membelah jalanan. Derunya masih lembut. Mobil ini memang baru kubeli beberapa bulan setelah aku diangkat jadi manager. Meskipun masih nyicil, tapi cukup menaikkan gengsiku di kantor. Mereka bahkan muji aku, katanya hebat sudah kebeli mobil Innova. Kalau yang lain paling banter pada beli mobil yang harganya seratus jutaan.
Meli tampak tengah berdiri di tepi tukang jualan pukis. Dia menggunakan tasnya untuk menutup wajahnya yang terkena sinar matahari pagi. Aku berhenti dan menurunkan kaca. Senyumku langsung disambut hangat olehnya.
“Mas, tunggu bentar! Aku lagi beli pukis. Mas, mau?” Meli menunjuk pada pukis yang masih dalam cetakan.
Seketika mataku berbinar. Aku memang belum sarapan. Tadinya mau sarapan di rumah Ibu. Namun, karena gak tega sama Meli. Aku menjadi jemput dia ke sini. Aku pun mengangguk dan mengacungkan jempol. Meli tampak menambah pesanannya.
Tak berapa lama, aroma pukis menguar memenuhi mobilku ketika Meli beranjak duduk di jok samping kiriku.
“Makasih ya, Mas. Kalau gak dijemput kamu, aku bingung ke kantor naik apa.” Dia tersenyum. Aku mengangguk dan langsung menaikkan kaca mobil lalu menginjak gas.
“Mas mau muter musik, ya?” izinnya.
“Hmmm, ok.” Aku menjawab singkat.
Meli langsung menyalakan lagu dari tape mobil. Dia menoleh dan tersenyum ketika dia memutar musik dan lagu yang dilantunkan adalah lagu janji suci yang dipopulerkan Yovie and Nuno.
“Duh, nostalgia banget, sih,” celotehnya.
Aku tersentak. Aku baru sadar kalau waktu itu, aku nembak dia sepulang sekolah dengan lagu ini. Sontak aku mengusap wajah. Rasanya malu mengingat kekonyolanku.
“Kamu masih inget saja, sih, Mel.” Aku membuang pandang, tetapi mengulum senyuman.
“Dih, jahat, ya!” Dia cemberut, tetapi tanpa kusangka tangannya mencubit perutku.
“Ih, kok bilang jahat. Nyubit pula?” Aku mencuri pandang pada wajahnya yang makin manis saja, rasanya.
“Ya iyalah, di saat aku lagi terpana dan tergila-gila sama kamu, tiba-tiba ngilang dan nikah. Eh, sekarang giliran aku masih inget lagi ini, malah diledekin. Mau gak dibilang jahatnya di mana coba?” Dia mengerucutkan bibirnya. Mengingatkanku pada Meli belia yang manja dan sangat bergantung padaku.
“Iya, maaf. Yang lalu biarlah berlalu. Di depan sana, masih panjang masa depan yang harus kita lalui.” Aku menjadi merasa bersalah. Memang aku gak punya nyali untuk menolak perjodohan waktu itu.
“Maksudnya? Apa artinya kita punya kesempatan lagi untuk mengarungi masa depan dan melupakan masa lalu yang menyakitkan itu, Mas?”
Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa.
“Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya.
Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa. “Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya. “Maaf ya, Mel ….” Hanya itu kata yang kulontarkan. Lalu kami terjebak dalam keheningan. Mobil melaju dalam diam. Hanya lantunan lagu janji suci yang mengalun membawa kami bernostalgia pada masa-masa belia. Di mana ada janji yang terpaksa kuingkari dan tak kutunaikan. Janji akan membawanya ke pelaminan. Kecanggungan itu berangsur sirna ketika mobil sudah terparkir di area parkiran perusahaan. Aku dan Meli turun. Dia menenteng pukis yang sudah tak panas lagi dan berjalan menjejeri langkahku. Pukisnya gak panas, tapi hatiku yang menghangat tiap kali dekat dengannya. “Mas, kita sarapan di lobi atau kantin?” tanyanya. “Di lobi saja, Mel. Buatin kopi, ya?” Aku menoleh pad
“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku. Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku. “Ibu sudah lama, ayo masuk dulu, Bu!” Aku belum bisa jawab pertanyaan Ibu. Lekas kubuka gerbang dan mengajak Ibu masuk. “Kok sepi banget, Dan? Pada ke mana cucu-cucu Ibu?” tanyanya. “Bu, minum dulu saja, ya! Bentar aku masukin mobil dulu.” Aku mengambilkan air mineral dari dalam lemari es untuk Ibu.“Hanum sama cucu-cucu Ibu pada ke mana, Dan? Kok tumben rumahnya sepi kayak gini?” tanyanya lagi. Aku melengos saja. Gegas kutinggalkan Ibu dan memarkirkan mobil ke garasi. Mesin mobil sudah mati, posisi pun sudah pas. Namun aku bingung mau turun. Harus jawab apa s
Gedoran pada daun pintu membuat kesadaranku yang lenyap, tiba-tiba kembali datang. Aku membuka mata, tetapi alangkah kaget kuar biasa. “M--Meli?!” Aku terlonjak ketika mendapati tubuh tanpa sehelai benang pun meringkuk di sampingku. “Astaghfirulloh, Mas Ramdan!” Meli sama-sama memekik kaget. Gedoran pada daun pintu membuat aku yang panik lekas masuk ke dalam. Lebih panik lagi ketika ternyata pakaianku pun hanya menyisakkan celana dalam. Kudengar Meli membuka pintu. “Mbak, tolong, ya! Di sini bukan tempat kumpul kebo! Para tetangga bilang, ada lelaki yang nginep di sini?!” Kudengar suara seseorang dengan suara penuh tekanan. Aku lekas mengenakan pakaian, sedangkan Meli terdengar tengah menyangkal. Namun, sial, rupanya seorang lelaki menerobos ke dalam. “Ini Pak, lelakinya ada di sini!” Beruntung aku sudah mengenakan celana panjang, Hanya saja memang masih telanjang d*da. Si*l sekali aku hari ini. Sudah dibuat lelah dalam pencarian Hanum, kenapa juga malah ketiban s*al lagi di si
“T--tapi, Mas. Aku gak mau pergi. Aku mau, kamu tanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan malam tadi!” pekiknya seraya menepis tanganku. Ya Tuhaaan! Hampir pecah kepalaku jadinya sekarang. “Kita pergi dulu, ya! Aku gak mau ada keributan di sini. Masalah itu, kita urus nanti.” Aku mengisyaratkan agar Meli nurut. Dia tampak menghela napas panjang. Beruntungnya dia tak keras kepala, lalu mengangguk dan menuruti apa yang kukatakan. Aku menatap Ibu ketika Meli pergi ke kamar. “Aku akan ajak dia pergi, Bu. Tadi malam ada insiden. Pulang kerja nanti aku ceritakan.” Aku berucap sambil menunduk. Enggan menatap wajah Ibu yang diliputi kemarahan. Namun tiba-tiba Ibu terduduk dan menangkup wajah. Aku yang kaget lekas membangunkan tubuhnya.“Bu, jangan nangis.” “Hanum ke mana, Dan? Gimana nasib Mahe sama Daffa? Kamu kenapa gak cari mereka?” Ibu terisak. “Maafin aku, Bu. Hanum suka bikin gara-gara terus, sih. Aku jadinya kelepasan. Nanti aku cari lagi. Kemarin aku seharian sampai malam
“Jakarta?” Aku menatap sederet alamat itu. Lekas aku mengajak Ibu pulang kembali. Biar siang nanti aku sendiri yang mencarinya ke sana. Gila, masa dia mau bawa anak-anakku jadi pembantu. Ibu macam apa sih, dia?Perjalanan ini terasa melelahkan. Ibu duduk bersandar pada jok di sampingku. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kami sempat mampir dulu istirahat dan membeli makan, tetapi Ibu tetap diam seribu bahasa. Jujur, aku jadi sangat merasa bersalah. Aku tahu, Mahe dan Daffa sangat disayangi Ibu. “Bu, mau apa minumnya?” tanyaku. Namun, Ibu tak menjawab. Dia hanya fokus menyuap, menghabiskan makanan pada piringnya. “Bu, nambah, ya, sopnya!” Aku menawarinya, tetapi lagi-lagi, dia diam seribu bahasa. Ya sudahlah. Aku pun akhirnya diam. Kami di sini bersama tetapi seperti orang yang tak saling kenal. Kadang bingung juga dengan sikap Ibu. Dia selalu lebih membela Hanum dan anak-anak dari pada aku. Padahal ‘kan yang tiap bulan ngasih uang ke dia gaji siap
“Maafin Ayah, Mahe! Daffa!” Aku keluar dari mobil dan berlari-lari menuju ke arah orang berkerumun. Mendengar anak lelaki itu meninggal. Rasanya seluruh duniaku hancur lebur. Senyuman manis Meli yang memabukkan, bahkan terasa menjadi memuakkan. Bukankah gara-gara dia aku menjadi terlambat mencari kedua buah hatiku. Bunyi ambulance meraung kencang. Aku terlambat. Ketiga korban tersebut sudah di evakuasi. “Mahe! Daffa!” Aku seperti orang gila. Berlari-lari mengejar ambulance yang sudah melesat membelah kemacetan.“Mas, Mas! Percuma, kalau lari gak akan ke kejar. Mas keluarga korban?” Seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hijau meneriakiku. Aku berhenti mengejar. Kujatuhkan tubuh dan bersedeku di tanah. Rasanya percuma aku sekolah tinggi-tinggi, bahkan kini aku merasa benar-benar gagal menjadi seorang ayah. Sepeda motor dengan lelaki berjaket hijau itu berhenti di sampingku. Tanpa kuduga, dia menyodorkan helm padaku. “Ayo, Mas! Kita kejar ambulance nya. Paling dibawa ke rumah s
Aku berdecak. Sepertinya Meli sengaja hendak kembali menggagalkanku mencari keberadaan Mahendra dan Daffa. “Dengar, Mel! Saya harus cari anak saya! Dia lebih penting dari segalanya bahkan dari kamu! Paham?!” Tanpa terasa, emosi yang meluap tak tertahan. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar benci dengan yang namanya perempuan. “M--Mas t--tapi?” Kudengar Meli hendak bicara lagi. Namun, aku lekas mematikan sambungan telepon. Perset*n dengan bibir manisnya kali ini. Apa dia gak tahu aku hampir saja gila membayangkan Mahe dan Daffa yang terkapar di rumah sakit tadi. Andai tadi bukan salah orang? Mungkin aku tak akan pernah memaafkan diriku untuk selamanya. Aku pulang dengan lunglai, di antara rasa kacau yang semakin menjalar. Pintu terbuka dengan lebar, ruangan yang rapi dan bersih menjadi pemandangan yang kulihat. Entah kenapa, makin hari, pemandangan ini terasa membosankan. Aku merindukan remahan biskuit yang bercecer, aku merindu celotehan dua buah hatiku yang biasanya menya
Aku pun turun menghentikan mobil dan mengatur napas. Rasanya berdebar sekali mau ketemu dengan Mahe dan Daffa. Aku merapikan rambut, lantas menyemprot parfum juga pada badan. Aku tak mau, ketika anak-anak kupeluk, dia menjauh karena bau. Namun, baru saja aku hendak turun. Dari arah berlawanan, sebuah mobil Alphard dengan plat nomor yang kukenal tiba-tiba berhenti di depan gerbang. Seorang security jaga lekas-lekas membukakan pintunya. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tak salah lagi itu mobilnya Bu Hana. Putri salah satu pemilik saham perusahaan ternama. Lalu, apa ini artinya jika Hana itu benar-benar Hanum? Ataukah Hanum memang bekerja di rumah Hana? Setelah alphard warna putih itu masuk, aku pun lekas melajukan fortunerku dan berhenti di depan gerbang. Lekas mematikan mesin mobil, berjalan keluar dan berdiri di depan gerbang. Seorang security menghampiri. “Selamat siang, Pak!”“Siang!” Aku mengangguk sopan, sementara itu kedua netraku memindai halaman luas yang tampak asri da