Share

Bab 3

Author: Evie Yuzuma
last update Huling Na-update: 2023-03-31 09:48:52

Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya? 

Aku memijat nomor Ibu. Panggilan pun terhubung. Beberapa detik menunggu, hingga akhirnya tak ada jawaban kudapatkan. Kucoba lagi, tapi masih sama. Akhirnya kusudahi saja, biar besok pagi aku mampir ke rumah Ibu sebelum berangkat kerja. 

Kurebahkan tubuh, baru saja hendak terpejam. Layar ponsel menyala, getarnya terdengar. Lekas kuraih lagi. Rupanya Meli yang mengirimiku pesan.

[Night! Makasih dah anter pulang! Nice dream.] 

Lengkung bibirku tertarik begitu saja. Rasanya lagi nostalgia. Dulu, waktu Meli sering main sama Risna. Diam-diam kami pacaran. Meli sering sekali mengirimiku pesan seperti ini. Ah, rindu itu kembali beterbangan. Rindu masa-masa belia yang indah. Bahkan hanya saling pandang saja terasa sampai mengawang-awang. 

[Nice dleam, too!] 

Aku mengetik kalimat itu dengan senyum masih mengembang. Sejenak lupa akan kegalauanku karena kepergian Hanum dari rumah ini. Aku kira dia bakal balik dan memohon-mohon agar tak jadi diceraikan. Namun, rupanya aku salah. Hanum beneran pergi dan aku sama sekali gak tahu dia ada di mana.

[Dih, belum tidur, ya? Kok masih balesi?] Pesan Meli kembali datang. 

Pikiranku yang sedetik tadi berlari pada Hanum, kini kembali pada layar gawai. Jemari ini mengetik dengan cepat.

[Gak bisa tidur.] 

Pesan terkirim. Tampak Meli lagi mengetik. Sesekali kantuk datang. Aku mulai menguap. 

[Kenapa? Apa mau ditemani?] 

Eh, aku membeliak ketika melihat kalimatnya yang memancing. Namun, senyum pada bibir ini terus saja mengembang. 

[Emang mau nemani?] tulisku lagi. 

Meli tampak mengetik kembali. Namun, kutunggu, lama sekali. Akhirnya aku menguap dan kantuk pun menyergap. Aku terlelap dengan gawai yang masih dalam genggaman. 

*** 

Pagi menjelang. Aku menemukan gawaiku yang tertidur juga di dekat bantal. Sebelum apa-apa, aku lekas membuka layar gawai. Masih ingat, semalam aku sedang berbalas pesan dengan Meli. Rasanya penasaran apa balasannya. 

[Tergantung, sih, Mas. Mau gak halalin aku.] 

Seketika kedua netraku membeliak. Gak salah ini? Aku mengucek lagi kedua mata ini. Apa benar, Meli masih menginginkan kuhalalkan? Betapa baik hatinya kalau iya, padahal dulu kutinggal dia nikah, pada saat hubungan kami sedang manis-manisnya. 

Rupanya bukan hanya itu, masih ada berderet pesan lainnya.

[Mas, kok gak bales?] 

[Maaas!] 

[Ih, ditinggal tidur, ya?] 

Aku tersenyum dan mengusap sederet tulisan yang Meli kirimkan. Rasanya hati menghangat kembali setelah perasaan ini kubuat mati karena harus menikahi Hanum---perempuan pilihan Ibu. Lekas kuketik pesan balasan.

[Met pagi, Mel! Maaf semalem ketiduran. Sampai ketemu di kantor.] 

Aku mengetik dengan cepat. Lantas turun dari tempat tidur dan bergegas membersihkan diri dengan guyuran shower yang airnya sudah kusetting agar hangat. 

Rumah ini masih bersih, masih rapi seperti kemarin. Aku sudah mengatur orang untuk membersihkannya dua hari sekali. Kalau tiap hari kan biayanya lumayan, makanya kuatur dua hari sekali saja. Walau dua hari sekali, tanpa keberadaan Hanum dan anak-anakku, rumah tetap rapi dan bersih. Hanya saja ada yang asing, karena dulu, setiap pagi, Hanum sudah menyiapkan pakaian dan sarapanku di meja. Sekarang harus cari sendiri di luar, kopi pun harus buat sendiri. 

[Mas, aku kesiangan. Duh ketinggalan jemputan. Jemput sekalian, bisa?] 

Pesan dari Meli kembali kuterima. Padahal baru saja aku hendak ke rumah Ibu dan memastikan keberadaan Hanum dan anak-anak sebelum berangkat kerja. Namun, kasihan Meli. Dia pasti tengah bingung mau pergi ke kantor caranya gimana? 

Sepertinya agenda ke rumah Ibu, diganti sore saja. Pagi ini biar sekalian kujemput Meli dulu. Toh, Hanum juga sudah besar. Lagian dia masih pegang juga uang bulanan yang kukasih. Pasti dia gak akan biarin anak-anak lapar. Aku tahu sekali, bagi dia anak-anak lebih utama, bahkan ngalahin prioritas ngurus aku. Itu yang buat aku kesal.

Mobil Innova hitam metalik milikku melaju membelah jalanan. Derunya masih lembut. Mobil ini memang baru kubeli beberapa bulan setelah aku diangkat jadi manager. Meskipun masih nyicil, tapi cukup menaikkan gengsiku di kantor. Mereka bahkan muji aku, katanya hebat sudah kebeli mobil Innova. Kalau yang lain paling banter pada beli mobil yang harganya seratus jutaan. 

Meli tampak tengah berdiri di tepi tukang jualan pukis. Dia menggunakan tasnya untuk menutup wajahnya yang terkena sinar matahari pagi. Aku berhenti dan menurunkan kaca. Senyumku langsung disambut hangat olehnya. 

“Mas, tunggu bentar! Aku lagi beli pukis. Mas, mau?” Meli menunjuk pada pukis yang masih dalam cetakan. 

Seketika mataku berbinar. Aku memang belum sarapan. Tadinya mau sarapan di rumah Ibu. Namun, karena gak tega sama Meli. Aku menjadi jemput dia ke sini. Aku pun mengangguk dan mengacungkan jempol. Meli tampak menambah pesanannya.

Tak berapa lama, aroma pukis menguar memenuhi mobilku ketika Meli beranjak duduk di jok samping kiriku. 

“Makasih ya, Mas. Kalau gak dijemput kamu, aku bingung ke kantor naik apa.” Dia tersenyum. Aku mengangguk dan langsung menaikkan kaca mobil lalu menginjak gas. 

“Mas mau muter musik, ya?” izinnya. 

“Hmmm, ok.” Aku menjawab singkat. 

Meli langsung menyalakan lagu dari tape mobil. Dia menoleh dan tersenyum ketika dia memutar musik dan lagu yang dilantunkan adalah lagu janji suci yang dipopulerkan Yovie and Nuno.

“Duh, nostalgia banget, sih,” celotehnya.

Aku tersentak. Aku baru sadar kalau waktu itu, aku nembak dia sepulang sekolah dengan lagu ini. Sontak aku mengusap wajah. Rasanya malu mengingat kekonyolanku. 

“Kamu masih inget saja, sih, Mel.” Aku membuang pandang, tetapi mengulum senyuman. 

“Dih, jahat, ya!” Dia cemberut, tetapi tanpa kusangka tangannya mencubit perutku. 

“Ih, kok bilang jahat. Nyubit pula?” Aku mencuri pandang pada wajahnya yang makin manis saja, rasanya. 

“Ya iyalah, di saat aku lagi terpana dan tergila-gila sama kamu, tiba-tiba ngilang dan nikah. Eh, sekarang giliran aku masih inget lagi ini, malah diledekin. Mau gak dibilang jahatnya di mana coba?” Dia mengerucutkan bibirnya. Mengingatkanku pada Meli belia yang manja dan sangat bergantung padaku. 

“Iya, maaf. Yang lalu biarlah berlalu. Di depan sana, masih panjang masa depan yang harus kita lalui.” Aku menjadi merasa bersalah. Memang aku gak punya nyali untuk menolak perjodohan waktu itu. 

“Maksudnya? Apa artinya kita punya kesempatan lagi untuk mengarungi masa depan dan melupakan masa lalu yang menyakitkan itu, Mas?” 

Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa. 

“Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
tunggu saja LAKNAT dan KARMA datang
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
Suaminya Hanum dpt jabatan yg bgs mgkin gara2 Hanum jg... Hanum kan putri pemilik perusahaan. ..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 42 - End

    “Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 41

    “Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 40

    Seratus gram emas batangan antam menjadi mas kawin pernikahanku yang kedua kalinya dengan dia dan dua cincin perak yang sama agar aku bisa juga memakainya. Setelah berpisah aku baru tahu kalau lelaki tak boleh memakai emas. Perempuan yang arti kehadirannya kurasakan setelah kusia-siakan. Ijab qabul kuucap dengan fasih. Sesekali kulihat wajahnya yang menunduk. Jujur, hati takut jika dia menolakku lagi. Kemarin ketika dia mendengar jika dia sudah menerima CV taaruf dari seorang istri kyai. Aku langsung mencari tahunya, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan pucuk pimpinan pondok pesantren itu hanya demi satu hal, meminta bantuannya untuk menyerahkan profilku CV yang kubuat mendadak itu padanya. Aku tak banyak menuliskan detail diri. Percuma baginya posisi manager dan uang berlimpah, sebagai putri dari pemilik saham, dia pasti sudah punya semuanya. Aku hanya menuliskan satu hal. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya, menyayangi anak-anak dan membangun rumah tangga sakinah, mawadd

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 39

    “Han, Mbak Hanumnya sudah dipanggil Mama.” Aku mengangkat wajah, Mas Rega melirik ke arah kami. “Yuk!” tukasnya seraya membagi pandang padaku dan Hana. Hana bangkit dan meraih lenganku. Aku pun ikut berdiri dan melangkah mengimbangi langkah Hana yang lebih dulu mengayun. “Mbak, tangannya dingin banget.” Hana terkekeh seraya berbisik. “Gugup, Na.” Aku menjawab sejujurnya. Bahkan aku merasa jika saat ini lebih gugup dari pada ketika aku pertama menikah dulu. “Bismillah, Mbak … Insya Allah ini yang terbaik buat Mbak Hanum.” Hana kembali meyakinkan. Aku pun menuruni anak tangga perlahan, Hana menggenggam erat lenganku dan menemani meniti anak tangga satu-satu. Sementara itu, Mas Rega sudah berjalan lebih dulu dan kembali bergabung di ruang tengah. Aku hanya menoleh sekilas, tetapi tak bisa jelas melihat seperti apa sosok lelaki pilihan Mama. Barulah ketika titian pada anak tangga terakhir, aku mendongakkan wajah. “Hanum, sini, Nak!”Mama melambaikan tangan ke arahku yang mematung

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 38

    “CV-nya ada di rumah. Ummi sudah tunjukkan soft copy sama Bu Esti. Dia sudah pilih juga yang mana buat kamu. Mari ….” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bukannya apa-apa aku tak mau melihat-lihat dulu. Namun melihat kesetiaan Mama pada almarhum Papa, hal itu saja sudah membuktikan jika lelaki yang meninggalkannya adalah lelaki terbaik, tak bisa tergantikan hingga sekarang. Karenanya aku juga yakin, kalau Mama tak akan salah pilih untuk anaknya. Semoga saja setelah aku memilih, Mas Ramdan akan berhenti mengejar-ngejarku lagi.Kami sudah tiba di teras rumah luas milik Ummi. Seseorang datang dan menyajikan minuman. Tak berapa lama Ummi permisi ke dalam, lalu kembali dengan satu map yang dia pegang.“Bu Esti, ini hard copynya. Kemarin Ibu sudah baca-baca semua yang dikirimkan melalui whatsapp.” Ummi menyerahkan amplop berwarna cokelat itu pada Mama. Aku menunduk menetralkan jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat berdegub. “Makasih, Ummi.” Mama menerimanya dan tersenyum padaku.“Bis

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 37

    “Ya sudah, nanti Mbak check kalau sudah sampai. Hati-hati kalau ada indikasi mencurigakan, kamu panggil keamanan saja, ya!” Aku wanti-wanti padanya. Sepulang dari psikolog kenalan Mama, aku tergesa minta di antar ke toko. Mahe dan Daffa pastinya sudah pulang juga kalau jam segini dan sudah di rumah. “Emang kenapa kok buru-buru banget, Num?” Perempuan paruh baya yang tengah memegang setir itu menatap padaku. “Hmmm, ada yang kirim paketan, Ma. Cuma rasanya aku gak ada pesan belanja online akhir-akhir ini.” “Salah alamat kali, Num.” Aku menggaruk kepala. Pikiranku juga sama, tapi kata Fitria memang benar namanya Hanum. Mobil berhenti juga. Aku turun dan lekas mencium punggung tangan Mama. Bergegas turun dan masuk ke dalam toko. Fitria tampak merapikan bekas makannya di atas meja. Biasanya memang dia suka makan kalau sambil kerja. Sudah kubilang gak apa, tetapi mungkin ada rasa tak enak juga. “Mbak, katanya sejam lagi?” Fitria bangun dan menyapaku. “Iya tadi ternyata lebih cepet

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 36

    Aku lebih memilih diam, tak menimpali mereka. Kugiring menuju parkiran. Aku baru hendak memarkirkan sepeda motor ketika pertanyaan dari mulut mungil Mahendra membuat pergerakanku terhenti.“Ma, kenapa, sih, Papa gak tinggal sama kita?” “Ayo cepetan naik, sudah mau ujan!” tukasku. Tak hendak menjawab pertanyaan mereka. “Jadi ke timezone sama Papanya gak jadi, Ma?” Mahe mendesak. “Iya, Ma. Mau main basket lagi.” Daffa menimpali. “Sama mau mobil lagi sama Papa, Ma.” Mahe juga tak mau kalah. “Sekarang kita pulang dulu, ya! Time zonenya belum buka.” Ah apa saja yang penting mereka diam. “Oh belum buka, Ma?” “Hmmm ….” “Bukanya jam berapa, Ma?” Duhhh … makin hari, mereka makin aktif. Makin saja membuatku kewalahan tentang pertanyaannya yang semakin detail. “Kita pulang dulu, ya, Sayang! Habis Mahe sama Daffa makan, bobok siang, nanti Mama lihat apakah Timezonenya sudah buka atau belum? Oke?” tukasku untuk menyudahi perdebatan yang pastinya akan panjang ini. “Okeee.” Aku pun melaj

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 35

    “Yah, Mama lupa. Jas ujannya gak kebawa.” Aku menghela napas kasar. Pada saat bersamaan, terdengar klakson dari arah belakang. “Duh, bentar, ya! Motor saya mogok!” Aku menoleh. Kukira orang yang kesal karena aku menghalangi jalannya. Namun, ketika aku menoleh, seketika sepasang mata ini mengerjap menatapnya. Seorang lelaki tersenyum dan bergegas keluar dengan sebuah payung menembus hujan. “Ayo naik mobil Papa!” tukasnya seraya berjalan mendekati Mahendra dan Daffa. Aku tersenyum ketika dia pun menoleh padaku. Aku dan dia sudah tak ada masalah lagi. “Num, ayo naik saja. Kebetulan tadi memang Mas mau ke sekolah anak-anak.” Lelaki dengan wajah tirus dan rambut gondrong itu mengalihkan perhatiannya padaku. Saat ini, anak-anak sudah berada di bawah payungnya. “Ahm, gak usah, Mas. Titip Mahe sama Daffa saja, ya … tolong anterin ke sekolah. Saya masih harus urus motor ini ke bengkel.” Kutepuk dua kali sepeda motor kesayanganku. “Gak apa, biar sekalian! Nanti pulang dari sekolah, kamu

  • APA KABAR MANTAN ISTRIKU?   Bab 34

    Pov Hanum “Seperti biasa, Num. Permintaan Mama kamu sama Ummi, minta dicarikan jodoh buat kamu. Apa kamu sudah membuka hati lagi untuk lelaki lain?” Dia memandang lekat wajahku. Pertanyaan yang bukan pertama kali kudapatkan dari pemilik pondok yang tiap bulan memang selalu mendapatkan bantuan yang cukup besar dari Mama ini. Aku tersenyum, lantas menatap perempuan itu dan mama bergantian, lalu setelahnya aku menggeleng perlahan. Mama menghela napas kasar, tetapi Ummi tetap tersenyum dan mengangguk paham. “Sampai kapan, Num?” Mama menatapku. “Sampai hatiku siap, Ma.” Satu jawaban yang membuat Mama kembali bungkam. Aku kembali fokus pada kehidupanku yang sudah tertata dengan lebih baik. Menjadi seorang single mom dan memiliki usaha agen skincare dan kosmetik membuatku memenuhi waktu dengan rancangan masa depan. Mama juga mendukung usahaku. Dia memberiku sejumlah modal dan kini aku sudah mulai membuka satu toko juga. Jaraknya memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi masih bisa d

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status