Sial, tak mungkin jika itu mantan istriku. Di rumah saja penampilannya kusut semrawut gak karuan. Lagi pula, Hanum kan yatim piatu. Gak mungkin, gak mungkin kalau itu Hanum. Namun, kenapa wajah mereka sama?
Perempuan itu pun melangkah dengan penuh percaya diri. Aku menatapnya sampai tak berkedip, terlebih ketika dia melirik dan melempar senyum kepada seluruh hadirin yang memenuhi ballroom hotel. Senyum itu, kerlingan mata dan lesung pipinya pun persis Hanum. Hanya saja, wajah perempuan yang berada di atas podium sana, tampak sekali mulus dan terawat. Namun, kalau dimake up, bisa saja ‘kan Hanum pun jadi seperti itu. Aku masih ingat, waktu awal nikah dulu, Hanum pun cantik. Hanya saja, aku memang belum cinta. Ya gitu, pernikahan karena dijodohkan, kadang seperti ini. Mungkin hanya ada di dalam drama yang berakhir dengan bucin dan indah. Namun dalam kehidupan nyata gak seindah itu.
Dia pun mulai memberikan sambutan.
“Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan pada jajaran tim yang sudah bekerja keras sehingga acara ini terlaksana dengan hampir sempurna. Kenapa saya bilang hampir, karena yang sempurna hanya milik Allah.
Saya juga memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya untuk para karyawan baik itu dari jajaran operator, helper, cleaning service hingga jajaran direksi yang sudah mencurahkan seluruh energi positifnya sehingga perusahaan kita tetap bisa melaunchingkan produk-produk kecantikan terbaik. Terima kasih juga untuk para perwakilan supplier yang sudah berkenan hadir memenuhi undangan kami.
Cantik hati memang perlu, tetapi cantik wajah juga dibutuhkan. Karena apa? Karena kesan pertama ketika bertemu dengan seseorang ‘kan yang tampak itu wajahnya dulu, baru tahu hatinya kalau sudah dekat. Jadi saya harap, kita akan tetap menelurkan produk-produk terbaik untuk dipersembahkan bagi seluruh masyarakat di negeri ini. Pada saat ini, alhamdulillah B erl masih menjadi produk andalan yang kita luncurkan. Tetap berinovasi dan berikan penemuan-penemuan terbaik demi membantu seluruh perempuan Indonesia memiliki kulit glazed atau yang dikenal dengan istilah glazed skin yang maksimal.”
Dia menjeda. Riuh tepuk tangan terdengar mengalir begitu saja. Ya, perusahaan di mana tempatku kerja memang menjadi supplier perusahaan kosmetik ternama ini. Meskipun kami hanya membuatkan dus kemasan dan bukan bahan-bahan untuk produk kecantikannya. Namun, tetap saja kami kecipratan orderan yang meningkat ketika produk tersebut laris di pasaran.
Dia pun terus melontarkan kalimat demi kalimat yang aku tak lagi fokus padanya. Meli membawakanku puding dan mengangsurkannya padaku.
“Sambil dimakan, Mas. Acara makan-makannya masih lama, nanti keburu pingsan.” Meli tersenyum. Senyum yang buat aku betah mandangin dia lama-lama.
“Makasih, Mel.”
Aku menarik cup puding yang diberikan padaku lalu menyuap. Perlahan rasa manis menjalar hingga ke kerongkongan. Meli pun menemaniku dengan satu cup puding yang ada di tangannya juga. Sementara itu, aku menatap lekat perempuan yang melanjutkan pidatonya itu. Dari semua gerak-gerik, mimik wajah dan kerlingan mata, semua persis Hanum. Hanya saja, rasanya gak mungkin dia.
Acara berlangsung hingga jam sembilan malam. Sehabis ini, aku mengantar dulu Meli ke mall sebentar seperti rencana semula, lalu langsung pulang ke kontrakannya. Sebagai manager baru, aku harus bisa memastikan keselamatan staffku hingga bisa tiba dengan selamat.
“Mel, ngapain sih ngontraknya di tempat yang sempit seperti ini?” tanyaku padanya.
“Cari yang murah, Mas.” Dia turun hendak turun seraya mengangguk sopan.
“Ya walaupun murah, ya gak yang kayak gini juga kali, Mel. Sempit banget juga gangnya.” Aku melempar komplen. Memang masuk gang kontrakan dia hanya pas satu mobil. Benar-benar menyusahkan kalau pas berpapasan dengan mobil orang lain.
“Ya nanti kalau ada yang nambahin bayar kontrakannya, aku pindah, Mas. Maklum gaji staff admin doang, berapa, sih?” kekehnya. Wajahnya menunduk dengan senyum yang penuh makna.
Duh, aku jadi gak enak. Namun, uang gajiku sudah ada alokasinya masing-masing. Ah, sudahlah, biar kupikirkan lagi nanti.
Meli pun turun. Aku menatap tubuh seksinya yang melenggang dan lalu berdiri di depan pintu kontrakan. Agak lama, dia lalu melambaikan tangan seraya mengulas senyum manisnya. Senyuman yang sejak dulu aku rindukan. Senyuman cinta pertamaku yang tergerus oleh perjodohanku dengan Hanum, kini kembali datang.
Aku pun lekas melajukan mobil pulang. Hati masih berbunga-bunga. Intensitas pertemuanku dengan Meli, membuat aku semakin candu ingin berada di dekatnya.
Mobil yang kutumpangi akhirnya berbelok, memasuki gerbang perumahan elit di mana hanya orang-orang menengah ke atas yang tinggal di sini. Dulu, waktu awal menikah dengan Hanum, rumah kami di perumahan rakyat biasa. Tinggal di perumahan type tiga enam. Ya, karena Hanum memang tak betah tinggal bersama Ibu dan Risna---adikku dulu. Risna sering rebut dengan Hanum. Jadinya kami mengontrak di sana. Hanya saja, semenjak Daffa dan Mahe lahir, aku tiba-tiba seperti mendapat guyuran keberuntungan. Karirku yang hanya supervisor, tiba-tiba mendapat promosi menjadi manager. Uang mengalir bertambah dan bisa membeli rumah yang cukup besar ini, meskipun memang masih cicilan. Padahal otakku gak encer-encer amat.
Aku memijit klakson berulang. Kesal sekali karena gak ada yang bukain pintu. Aku lekas mengambil gawai dan mencari nomor Hanum. Namun, baru saja hendak kutekan nomornya. Aku baru sadar, Hanum ‘kan sudah pergi yang bahkan aku belum sempat mencari keberadaannya. Paling weekend nanti aku akan coba cari tahu dia di mana?
Kusimpan kembali ponselku, lantas kubuka pintu gerbang sendiri. Kumasukkan mobil ke garasi. Lantas kututup lagi pintu dan lekas masuk.
Suasana rumah masih rapi, serapi yang kuinginkan. Tadi pagi aku panggil tukang bersih-bersih online sebelum pergi ngantor. Bantal sofa masih tertata pada tempatnya, remote tivi juga, gelas-gelas yang berdiri dekat dispenser masih sama dengan posisi ketika tadi pagi aku berangkat.
Tak ada lagi teriakan Mahendra dan Daffa yang biasanya berlarian memburuku. Menggelayut pada lenganku dengan tangan yang kadang belepotan dengan cokelat atau eskrim. Hal yang selalu membuat aku marah pada Hanum dulu. Pasti kubentak dia karena anak-anak mengotori lengan kemejaku. Namun, kenapa tiba-tiba sekarang, aku merasa, rindu.
Aku menghela napas kasar. Tiba-tiba ada rasa yang kosong menyelinap tanpa permisi. Kulepas sepatu dan kusimpan pada rak sepatu dekat pintu. Raknya masih tertata rapi, persis seperti yang kuinginkan. Rumah yang rapi, wangi dan tak berantakan. Namun, entah kenapa, seperti ada yang kurang. Kutepis segera rasa ini. Bukannya aku selalu merasa terganggu oleh ketidak becusan Hanum mengurus rumah dan anak-anak? Hal itu juga yang menjadi pemicu pertengkaran kami hampir tiap hari, hingga akhirnya keluarlah kata talak.
Kujejaki anak tangga dan menuju kamarku yang ada di lantai dua. Lekas masuk, kamar pun masih serapi pagi tadi. Kunyalakan water heater. Mengambil beberapa potong pakaian milikku dan lekas mengguyur tubuh dengan air hangat. Tiap sentuhan air hangat ini terasa membuat semua rasa lelah ini berlarian.
“Hanum! Han! Baju Mas bawa sini, Han!”
Aku menepuk mulutku sendiri yang tanpa komando malah memanggil nama dia. Dia yang kini entah berada di mana?
Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu, Hanum ‘kan yatim piatu. Dia dijadikan anak angkat oleh almarhum Paman dan Bibiku. Hanya saja keduanya ‘kan meninggal dalam kecelakaan. Hal yang menjadikan asal mula, Ibu memaksaku untuk menikahinya karena satu hal, yaitu amanat almarhum adiknya yang meminta tolong menjaga Hanum---anak angkat yang disayanginya. Hal ini juga yang membuatku harus mengubur impianku menikahi Meli. Dia yang akhirnya pun pergi ketika tahu aku dijodohkan dengan perempuan lain.
Bukankah rumah almarhum Paman dan Bibi sudah dijual dan sebagiannya dijadikan DP ketika membeli rumah ini dan beli mobil? Lalu, ke mana dia bawa anak-anakku sekarang?
Aku lekas mengakhiri mandi. Sebagai seorang ayah, aku jelas sangat menyayangi Mahendra dan Daffa. Meskipun pernikahan kami tak berdasarkan cinta. Namun, dua setengah tahun hidup bersama. Tetap membuatku berusaha untuk memberi nafkah lahir dan bathin seperti seorang suami pada umumnya. Hanya saja sayangnya, dia gak becus dan membuat aku selalu kecewa. Jangankan menggeser posisi Meli di hatiku, bahkan mengambil sebagian porsi cinta ini saja dia tak bisa.
Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya?
“Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu
“Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s
Seratus gram emas batangan antam menjadi mas kawin pernikahanku yang kedua kalinya dengan dia dan dua cincin perak yang sama agar aku bisa juga memakainya. Setelah berpisah aku baru tahu kalau lelaki tak boleh memakai emas. Perempuan yang arti kehadirannya kurasakan setelah kusia-siakan. Ijab qabul kuucap dengan fasih. Sesekali kulihat wajahnya yang menunduk. Jujur, hati takut jika dia menolakku lagi. Kemarin ketika dia mendengar jika dia sudah menerima CV taaruf dari seorang istri kyai. Aku langsung mencari tahunya, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan pucuk pimpinan pondok pesantren itu hanya demi satu hal, meminta bantuannya untuk menyerahkan profilku CV yang kubuat mendadak itu padanya. Aku tak banyak menuliskan detail diri. Percuma baginya posisi manager dan uang berlimpah, sebagai putri dari pemilik saham, dia pasti sudah punya semuanya. Aku hanya menuliskan satu hal. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya, menyayangi anak-anak dan membangun rumah tangga sakinah, mawadd
“Han, Mbak Hanumnya sudah dipanggil Mama.” Aku mengangkat wajah, Mas Rega melirik ke arah kami. “Yuk!” tukasnya seraya membagi pandang padaku dan Hana. Hana bangkit dan meraih lenganku. Aku pun ikut berdiri dan melangkah mengimbangi langkah Hana yang lebih dulu mengayun. “Mbak, tangannya dingin banget.” Hana terkekeh seraya berbisik. “Gugup, Na.” Aku menjawab sejujurnya. Bahkan aku merasa jika saat ini lebih gugup dari pada ketika aku pertama menikah dulu. “Bismillah, Mbak … Insya Allah ini yang terbaik buat Mbak Hanum.” Hana kembali meyakinkan. Aku pun menuruni anak tangga perlahan, Hana menggenggam erat lenganku dan menemani meniti anak tangga satu-satu. Sementara itu, Mas Rega sudah berjalan lebih dulu dan kembali bergabung di ruang tengah. Aku hanya menoleh sekilas, tetapi tak bisa jelas melihat seperti apa sosok lelaki pilihan Mama. Barulah ketika titian pada anak tangga terakhir, aku mendongakkan wajah. “Hanum, sini, Nak!”Mama melambaikan tangan ke arahku yang mematung
“CV-nya ada di rumah. Ummi sudah tunjukkan soft copy sama Bu Esti. Dia sudah pilih juga yang mana buat kamu. Mari ….” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bukannya apa-apa aku tak mau melihat-lihat dulu. Namun melihat kesetiaan Mama pada almarhum Papa, hal itu saja sudah membuktikan jika lelaki yang meninggalkannya adalah lelaki terbaik, tak bisa tergantikan hingga sekarang. Karenanya aku juga yakin, kalau Mama tak akan salah pilih untuk anaknya. Semoga saja setelah aku memilih, Mas Ramdan akan berhenti mengejar-ngejarku lagi.Kami sudah tiba di teras rumah luas milik Ummi. Seseorang datang dan menyajikan minuman. Tak berapa lama Ummi permisi ke dalam, lalu kembali dengan satu map yang dia pegang.“Bu Esti, ini hard copynya. Kemarin Ibu sudah baca-baca semua yang dikirimkan melalui whatsapp.” Ummi menyerahkan amplop berwarna cokelat itu pada Mama. Aku menunduk menetralkan jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat berdegub. “Makasih, Ummi.” Mama menerimanya dan tersenyum padaku.“Bis
“Ya sudah, nanti Mbak check kalau sudah sampai. Hati-hati kalau ada indikasi mencurigakan, kamu panggil keamanan saja, ya!” Aku wanti-wanti padanya. Sepulang dari psikolog kenalan Mama, aku tergesa minta di antar ke toko. Mahe dan Daffa pastinya sudah pulang juga kalau jam segini dan sudah di rumah. “Emang kenapa kok buru-buru banget, Num?” Perempuan paruh baya yang tengah memegang setir itu menatap padaku. “Hmmm, ada yang kirim paketan, Ma. Cuma rasanya aku gak ada pesan belanja online akhir-akhir ini.” “Salah alamat kali, Num.” Aku menggaruk kepala. Pikiranku juga sama, tapi kata Fitria memang benar namanya Hanum. Mobil berhenti juga. Aku turun dan lekas mencium punggung tangan Mama. Bergegas turun dan masuk ke dalam toko. Fitria tampak merapikan bekas makannya di atas meja. Biasanya memang dia suka makan kalau sambil kerja. Sudah kubilang gak apa, tetapi mungkin ada rasa tak enak juga. “Mbak, katanya sejam lagi?” Fitria bangun dan menyapaku. “Iya tadi ternyata lebih cepet
Aku lebih memilih diam, tak menimpali mereka. Kugiring menuju parkiran. Aku baru hendak memarkirkan sepeda motor ketika pertanyaan dari mulut mungil Mahendra membuat pergerakanku terhenti.“Ma, kenapa, sih, Papa gak tinggal sama kita?” “Ayo cepetan naik, sudah mau ujan!” tukasku. Tak hendak menjawab pertanyaan mereka. “Jadi ke timezone sama Papanya gak jadi, Ma?” Mahe mendesak. “Iya, Ma. Mau main basket lagi.” Daffa menimpali. “Sama mau mobil lagi sama Papa, Ma.” Mahe juga tak mau kalah. “Sekarang kita pulang dulu, ya! Time zonenya belum buka.” Ah apa saja yang penting mereka diam. “Oh belum buka, Ma?” “Hmmm ….” “Bukanya jam berapa, Ma?” Duhhh … makin hari, mereka makin aktif. Makin saja membuatku kewalahan tentang pertanyaannya yang semakin detail. “Kita pulang dulu, ya, Sayang! Habis Mahe sama Daffa makan, bobok siang, nanti Mama lihat apakah Timezonenya sudah buka atau belum? Oke?” tukasku untuk menyudahi perdebatan yang pastinya akan panjang ini. “Okeee.” Aku pun melaj
“Yah, Mama lupa. Jas ujannya gak kebawa.” Aku menghela napas kasar. Pada saat bersamaan, terdengar klakson dari arah belakang. “Duh, bentar, ya! Motor saya mogok!” Aku menoleh. Kukira orang yang kesal karena aku menghalangi jalannya. Namun, ketika aku menoleh, seketika sepasang mata ini mengerjap menatapnya. Seorang lelaki tersenyum dan bergegas keluar dengan sebuah payung menembus hujan. “Ayo naik mobil Papa!” tukasnya seraya berjalan mendekati Mahendra dan Daffa. Aku tersenyum ketika dia pun menoleh padaku. Aku dan dia sudah tak ada masalah lagi. “Num, ayo naik saja. Kebetulan tadi memang Mas mau ke sekolah anak-anak.” Lelaki dengan wajah tirus dan rambut gondrong itu mengalihkan perhatiannya padaku. Saat ini, anak-anak sudah berada di bawah payungnya. “Ahm, gak usah, Mas. Titip Mahe sama Daffa saja, ya … tolong anterin ke sekolah. Saya masih harus urus motor ini ke bengkel.” Kutepuk dua kali sepeda motor kesayanganku. “Gak apa, biar sekalian! Nanti pulang dari sekolah, kamu
Pov Hanum “Seperti biasa, Num. Permintaan Mama kamu sama Ummi, minta dicarikan jodoh buat kamu. Apa kamu sudah membuka hati lagi untuk lelaki lain?” Dia memandang lekat wajahku. Pertanyaan yang bukan pertama kali kudapatkan dari pemilik pondok yang tiap bulan memang selalu mendapatkan bantuan yang cukup besar dari Mama ini. Aku tersenyum, lantas menatap perempuan itu dan mama bergantian, lalu setelahnya aku menggeleng perlahan. Mama menghela napas kasar, tetapi Ummi tetap tersenyum dan mengangguk paham. “Sampai kapan, Num?” Mama menatapku. “Sampai hatiku siap, Ma.” Satu jawaban yang membuat Mama kembali bungkam. Aku kembali fokus pada kehidupanku yang sudah tertata dengan lebih baik. Menjadi seorang single mom dan memiliki usaha agen skincare dan kosmetik membuatku memenuhi waktu dengan rancangan masa depan. Mama juga mendukung usahaku. Dia memberiku sejumlah modal dan kini aku sudah mulai membuka satu toko juga. Jaraknya memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi masih bisa d