Share

Bab 2

Sial, tak mungkin jika itu mantan istriku. Di rumah saja penampilannya kusut semrawut gak karuan. Lagi pula, Hanum kan yatim piatu. Gak mungkin, gak mungkin kalau itu Hanum. Namun, kenapa wajah mereka sama?

Perempuan itu pun melangkah dengan penuh percaya diri. Aku menatapnya sampai tak berkedip, terlebih ketika dia melirik dan melempar senyum kepada seluruh hadirin yang memenuhi ballroom hotel. Senyum itu, kerlingan mata dan lesung pipinya pun persis Hanum. Hanya saja, wajah perempuan yang berada di atas podium sana, tampak sekali mulus dan terawat. Namun, kalau dimake up, bisa saja ‘kan Hanum pun jadi seperti itu. Aku masih ingat, waktu awal nikah dulu, Hanum pun cantik. Hanya saja, aku memang belum cinta. Ya gitu, pernikahan karena dijodohkan, kadang seperti ini. Mungkin hanya ada di dalam drama yang berakhir dengan bucin dan indah. Namun dalam kehidupan nyata gak seindah itu.

Dia pun mulai memberikan sambutan. 

“Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan pada jajaran tim yang sudah bekerja keras sehingga acara ini terlaksana dengan hampir sempurna. Kenapa saya bilang hampir, karena yang sempurna hanya milik Allah. 

Saya juga memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya untuk para karyawan baik itu dari jajaran operator, helper, cleaning service hingga jajaran direksi yang sudah mencurahkan seluruh energi positifnya sehingga perusahaan kita tetap bisa melaunchingkan produk-produk kecantikan terbaik. Terima kasih juga untuk para perwakilan supplier yang sudah berkenan hadir memenuhi undangan kami.

Cantik hati memang perlu, tetapi cantik wajah juga dibutuhkan. Karena apa? Karena kesan pertama ketika bertemu dengan seseorang ‘kan yang tampak itu wajahnya dulu, baru tahu hatinya kalau sudah dekat. Jadi saya harap, kita akan tetap menelurkan produk-produk terbaik untuk dipersembahkan bagi seluruh masyarakat di negeri ini. Pada saat ini, alhamdulillah B erl masih menjadi produk andalan yang kita luncurkan. Tetap berinovasi dan berikan penemuan-penemuan terbaik demi membantu seluruh perempuan Indonesia memiliki kulit glazed atau yang dikenal dengan istilah glazed skin yang maksimal.”

Dia menjeda. Riuh tepuk tangan terdengar mengalir begitu saja. Ya, perusahaan di mana tempatku kerja memang menjadi supplier perusahaan kosmetik ternama ini. Meskipun kami hanya membuatkan dus kemasan dan bukan bahan-bahan untuk produk kecantikannya. Namun, tetap saja kami kecipratan orderan yang meningkat ketika produk tersebut laris di pasaran.

Dia pun terus melontarkan kalimat demi kalimat yang aku tak lagi fokus padanya. Meli membawakanku puding dan mengangsurkannya padaku. 

“Sambil dimakan, Mas. Acara makan-makannya masih lama, nanti keburu pingsan.” Meli tersenyum. Senyum yang buat aku betah mandangin dia lama-lama. 

“Makasih, Mel.” 

Aku menarik cup puding yang diberikan padaku lalu menyuap. Perlahan rasa manis menjalar hingga ke kerongkongan. Meli pun menemaniku dengan satu cup puding yang ada di tangannya juga. Sementara itu, aku menatap lekat perempuan yang melanjutkan pidatonya itu. Dari semua gerak-gerik, mimik wajah dan kerlingan mata, semua persis Hanum. Hanya saja, rasanya gak mungkin dia.

Acara berlangsung hingga jam sembilan malam. Sehabis ini, aku mengantar dulu Meli ke mall sebentar seperti rencana semula, lalu langsung pulang ke kontrakannya. Sebagai manager baru, aku harus bisa memastikan keselamatan staffku hingga bisa tiba dengan selamat.  

“Mel, ngapain sih ngontraknya di tempat yang sempit seperti ini?” tanyaku padanya. 

“Cari yang murah, Mas.” Dia turun hendak turun seraya mengangguk sopan. 

“Ya walaupun murah, ya gak yang kayak gini juga kali, Mel. Sempit banget juga gangnya.” Aku melempar komplen. Memang masuk gang kontrakan dia hanya pas satu mobil. Benar-benar menyusahkan kalau pas berpapasan dengan mobil orang lain. 

“Ya nanti kalau ada yang nambahin bayar kontrakannya, aku pindah, Mas. Maklum gaji staff admin doang, berapa, sih?” kekehnya. Wajahnya menunduk dengan senyum yang penuh makna. 

Duh, aku jadi gak enak. Namun, uang gajiku sudah ada alokasinya masing-masing. Ah, sudahlah, biar kupikirkan lagi nanti. 

Meli pun turun. Aku menatap tubuh seksinya yang melenggang dan lalu berdiri di depan pintu kontrakan. Agak lama, dia lalu melambaikan tangan seraya mengulas senyum manisnya. Senyuman yang sejak dulu aku rindukan. Senyuman cinta pertamaku yang tergerus oleh perjodohanku dengan Hanum, kini kembali datang.

Aku pun lekas melajukan mobil pulang. Hati masih berbunga-bunga. Intensitas pertemuanku dengan Meli, membuat aku semakin candu ingin berada di dekatnya. 

Mobil yang kutumpangi akhirnya berbelok, memasuki gerbang perumahan elit di mana hanya orang-orang menengah ke atas yang tinggal di sini. Dulu, waktu awal menikah dengan Hanum, rumah kami di perumahan rakyat biasa. Tinggal di perumahan type tiga enam. Ya, karena Hanum memang tak betah tinggal bersama Ibu dan Risna---adikku dulu. Risna sering rebut dengan Hanum. Jadinya kami mengontrak di sana. Hanya saja, semenjak Daffa dan Mahe lahir, aku tiba-tiba seperti mendapat guyuran keberuntungan. Karirku yang hanya supervisor, tiba-tiba mendapat promosi menjadi manager. Uang mengalir bertambah dan bisa membeli rumah yang cukup besar ini, meskipun memang masih cicilan. Padahal otakku gak encer-encer amat. 

Aku memijit klakson berulang. Kesal sekali karena gak ada yang bukain pintu. Aku lekas mengambil gawai dan mencari nomor Hanum. Namun, baru saja hendak kutekan nomornya. Aku baru sadar, Hanum ‘kan sudah pergi yang bahkan aku belum sempat mencari keberadaannya. Paling weekend nanti aku akan coba cari tahu dia di mana? 

Kusimpan kembali ponselku, lantas kubuka pintu gerbang sendiri. Kumasukkan mobil ke garasi. Lantas kututup lagi pintu dan lekas masuk. 

Suasana rumah masih rapi, serapi yang kuinginkan. Tadi pagi aku panggil tukang bersih-bersih online sebelum pergi ngantor. Bantal sofa masih tertata pada tempatnya, remote tivi juga, gelas-gelas yang berdiri dekat dispenser masih sama dengan posisi ketika tadi pagi aku berangkat. 

Tak ada lagi teriakan Mahendra dan Daffa yang biasanya berlarian memburuku. Menggelayut pada lenganku dengan tangan yang kadang belepotan dengan cokelat atau eskrim. Hal yang selalu membuat aku marah pada Hanum dulu. Pasti kubentak dia karena anak-anak mengotori lengan kemejaku. Namun, kenapa tiba-tiba sekarang, aku merasa, rindu. 

Aku menghela napas kasar. Tiba-tiba ada rasa yang kosong menyelinap tanpa permisi. Kulepas sepatu dan kusimpan pada rak sepatu dekat pintu. Raknya masih tertata rapi, persis seperti yang kuinginkan. Rumah yang rapi, wangi dan tak berantakan. Namun, entah kenapa, seperti ada yang kurang. Kutepis segera rasa ini. Bukannya aku selalu merasa terganggu oleh ketidak becusan Hanum mengurus rumah dan anak-anak? Hal itu juga yang menjadi pemicu pertengkaran kami hampir tiap hari, hingga akhirnya keluarlah kata talak. 

Kujejaki anak tangga dan menuju kamarku yang ada di lantai dua. Lekas masuk, kamar pun masih serapi pagi tadi. Kunyalakan water heater. Mengambil beberapa potong pakaian milikku dan lekas mengguyur tubuh dengan air hangat. Tiap sentuhan air hangat ini terasa membuat semua rasa lelah ini berlarian. 

“Hanum! Han! Baju Mas bawa sini, Han!” 

Aku menepuk mulutku sendiri yang tanpa komando malah memanggil nama dia. Dia yang kini entah berada di mana? 

Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu, Hanum ‘kan yatim piatu. Dia dijadikan anak angkat oleh almarhum Paman dan Bibiku. Hanya saja keduanya ‘kan meninggal dalam kecelakaan. Hal yang menjadikan asal mula, Ibu memaksaku untuk menikahinya karena satu hal, yaitu amanat almarhum adiknya yang meminta tolong menjaga Hanum---anak angkat yang disayanginya. Hal ini juga yang membuatku harus mengubur impianku menikahi Meli. Dia yang akhirnya pun pergi ketika tahu aku dijodohkan dengan perempuan lain. 

Bukankah rumah almarhum Paman dan Bibi sudah dijual dan sebagiannya dijadikan DP ketika membeli rumah ini dan beli mobil? Lalu, ke mana dia bawa anak-anakku sekarang?

Aku lekas mengakhiri mandi. Sebagai seorang ayah, aku jelas sangat menyayangi Mahendra dan Daffa. Meskipun pernikahan kami tak berdasarkan cinta. Namun, dua setengah tahun hidup bersama. Tetap membuatku berusaha untuk memberi nafkah lahir dan bathin seperti seorang suami pada umumnya. Hanya saja sayangnya, dia gak becus dan membuat aku selalu kecewa. Jangankan menggeser posisi Meli di hatiku, bahkan mengambil sebagian porsi cinta ini saja dia tak bisa. 

Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
gimna ceritanya Hanum tiba2 jd putri pemilik perusahaan... kan Hanum anak yatim piatu.. itupun d rawat dan d asuh oleh pamannya Ramdan... penasaran nih ceritanya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status