Share

Bab 4

Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa. 

“Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya. 

“Maaf ya, Mel ….” Hanya itu kata yang kulontarkan. Lalu kami terjebak dalam keheningan. 

Mobil melaju dalam diam. Hanya lantunan lagu janji suci yang mengalun membawa kami bernostalgia pada masa-masa belia. Di mana ada janji yang terpaksa kuingkari dan tak kutunaikan. Janji akan membawanya ke pelaminan. 

Kecanggungan itu berangsur sirna ketika mobil sudah terparkir di area parkiran perusahaan. Aku dan Meli turun. Dia menenteng pukis yang sudah tak panas lagi dan berjalan menjejeri langkahku. Pukisnya gak panas, tapi hatiku yang menghangat tiap kali dekat dengannya. 

“Mas, kita sarapan di lobi atau kantin?” tanyanya. 

“Di lobi saja, Mel. Buatin kopi, ya?” Aku menoleh padanya. 

“Oke.” Meli berucap sambil menautkan telunjuk dan jempol membentuk huruf o. 

Meli gegas masuk ke office. Kulihat dia menyimpan tas di kubikelnya. Sementara itu, aku lekas menyimpan laptop yang tiap hari memang kubawa pulang. Kusimpan ke dalam ruangan. Kuregangkan otot-otot perlahan. Lekas aku menatanya dan menyalakan layarnya sambil memperhatikan ke luar ruangan. Menunggu Meli lewat membawakan kopi ke lobi. 

Tombol on sudah kupijat. Laptop pun menyala. Tampak foto gembil Mahe dan Daffa yang menjadi wallpaper laptopku. Tetiba rasa risau singgah, apakah kedua anakku baik-baik saja? Namun, ketukan pada daun pintu yang terbuat dari kaca membuatku kembali mengangkat wajah. Nampak Meli tengah tersenyum dan mengangkat satu cangkir kopi ke arahku. Aku pun mengangguk dan mengisyaratkannya untuk duluan. Meli melenggang ke lobi. Dia sangat manis dengan kemeja lengan pendek dan rok di bawah lutut. Rambutnya digerai sebahu dan bodynya memang gak banyak berubah. Dia hanya sedikit lebih berisi, tetapi tetap langsing dan dan terjaga. Ah bahagianya andai aku bisa memilikinya. 

Tiba-tiba bayangan nakal berlarian. Namun gegas kugelengkan kepala. Lantas segera keluar dan menemuinya yang sudah menunggu di area meeting room yang ada di lobi. Secangkir kopi panas dan senyuman manis Meli sudah menyambutku. Kami duduk bersisian dan menikmati kue pukis. Kue langganan kami setiap dulu kencan. 

Pada saat menyuap, kembali ingatan tentang Mahendra dan Daffa melintas. Rasa pukis yang manis dan tadi menggugah, tiba-tiba rasanya jadi hambar dan entah. Dalam hati merutuki kebodohan Hanum yang seenak hatinya nantangin aku buat menceraikannya. Coba kalau dia sedikit saja sabar, mungkin aku tak akan sekacau ini kehilangan mereka. 

“Mas!” Suara Meli agak kencang bersama tepukan pada pipiku. 

Aku mengerjap, lantas menoleh padanya. Kedua pupil hitamnya tengah menatapku lekat. 

“Kamu mikirin apa, sih, Mas?” tanyanya. 

“Ahm, enggak, Mel. Kok nanya gitu, sih?” tanyaku seraya mencoba bersikap biasa. 

“Kamu jangan bohong. Kamu pikir, aku gak tahu kalau kamu lagi banyak pikiran, seperti apa. Ceritalah … andai pun aku gak bisa bantu, setidaknya bisa ringanin beban kamu, Mas.” Suara lembutnya terdengar menyentuh hati.

Aku menelan saliva. Mempertimbangkan apakah harus cerita atau tidak? Namun pikiranku yang masih dilemma, kembali ditarik oleh suara lembut Meli. 

“Mas … ada apa?” Meli menatapku. 

Aku memejamkan mata sekilas. Lalu menghembuskan napas kasar. 

“Hanum pergi dari rumah, bawa anak-anak. Aku jadi kepikiran, mereka sekarang tinggal di mana?” tukasku pada akhirnya. Padahal dari dulu, aku paling tak suka jika ada orang yang mengumbar masalah keluarganya di kantor. Namun, entah kenapa, aku jadi seringan ini bertukar pikiran dengan Meli. 

“Yang sabar, Mas. Semoga Mbak Hanum cepet ketemu. Memang ada masalah apa sampai-sampai minggat dari rumah. Kalau ada masalah, harusnya bicara baik-baik dulu ‘kan bisa.” 

Meli kudengar cukup dewasa dalam pemikirannya. Padahal usia Hanum dan Meli harusnya sama. Ya, begitulah. Andai Meli yang jadi istriku, mungkin kejadian seperti ini gak akan pernah terjadi, harusnya. Sayangnya, semua sudah terjadi. Aku dan Meli hanyalah sepasang mantan yang dipertemukan kembali dalam keadaan yang tak diperkirakan. 

“Ya gitulah, Mel. Hanum itu kekanak-kanakkan. Ngurus rumah doang aja gak bisa, padahal kan dia gak kerja. Selalu saja anak dijadikan alasan. Ini lah itu lah.Terus saja anak-anakku dijadikan alasan olehnya.” 

Meli memandangku dan membiarkanku menghabiskan sisa waktu sebelum bell untuk bercerita. Lumayan lega rasanya setelah ada teman berkeluh kesah. Ketika jam kerja dimulai, perasaanku sedikit ringan. Apalagi Meli selalu sigap mengerjakan semua hal yang aku minta. Meli memang bisa diandalkan. 

*** 

Pulang kerja, setengah jam berlalu. Aku sedikit terlambat pulang. Tadinya mau tenggo. Alias ketika bell berbunyi teng, aku langsung go. Namun karena ada sedikit materi presentasi lagi yang belum selesai, terpaksa aku selesaikan. 

Aku keluar dari ruangan. Namun dahiku berkerut melihat Meli yang masih ada di kubikelnya. Ruangan manager dan staff memang terpisah. 

“Belum pulang, Mel?” tanyaku. Kulihat jam tangan, benar memang sudah lambat tiga puluh menit dari waktunya pulang. 

“Tanggung tadi kerjain laporan dulu, Mas. Ini baru mau pulang.” Dia menyibak poninya yang sudah sedikit melewati alisnya. 

“Oh gitu, memang masih ada jemputannya?” tanyaku. Seingatku, jemputan karyawan biasanya on time. Kalaupun lambat, gak bakal mau nunggu sampai setengah jam seperti ini. Paling telat sepuluh sampai lima belas menitan. 

“Kurang tahu, Mas. Mungkin sudah ditinggal. Paling nanti cari tebengan sampai keluar kawasan, Mas. Kan ada angkutan umum juga. Naik angkutan umum lebih murah, sih.” Dia tersenyum sambil menyelempangkan tasnya lalu berjalan keluar dari kubikel. 

“Nebeng siapa, Mel?” tanyaku memastikan. Kulihat Ervan sudah pulang dari tadi. Dia sudah info juga tadi mau pulang awal. 

“Belum tahu, Mas. Kalau boleh, ikut ke depan, Mas. Nanti naik angkutan kok di depan.” Dia tersenyum. 

“Ya sudah, ayo!” tukasku. 

Akhirnya aku pulang bareng Meli lagi. Lekas melajukan mobil dan meninggalkan area pabrik yang ada di dalam kawasan ini. Meli cuma minta sampai depan, tetapi aku rasanya gak tega. Akhirnya kembali aku antar dia sampai depan kontrakan. 

“Makasih banyak, Mas. Maaf merepotkan. Mampir dulu, yuk! Aku buatin kopi dulu.” Meli menawari mampir dan melempar senyuman manisnya. 

“Ahm, ya sudah, bentar doang, ya!” Aku pun kembali tergoda. Apapun mengenai Meli selalu menggoyahkan pikiranku. Kami pun duduk di ruang teras kontrakan yang sempit dan mengobrol bersama. Usai segelas kopi habis, aku pamit pulang. 

Tadinya mau ke rumah Ibu langsung, tapi kalau gini caranya. Aku lebih baik pulang dulu, mandi, baru berangkat ke sana. Sudah maghrib lewat juga. Akhirnya mobil kulajukan hingga ke depan rumah. 

Aku menyipitkan mata ketika melihat sosok yang tak asing tengah duduk di depan pintu gerbang. Astagaaa, itu ‘kan Ibu. Lekas aku turun dan menyalaminya. 

“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku. Mungkin mau lihat orang yang ada di mobilku.

Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status