Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa.
“Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya.
“Maaf ya, Mel ….” Hanya itu kata yang kulontarkan. Lalu kami terjebak dalam keheningan.
Mobil melaju dalam diam. Hanya lantunan lagu janji suci yang mengalun membawa kami bernostalgia pada masa-masa belia. Di mana ada janji yang terpaksa kuingkari dan tak kutunaikan. Janji akan membawanya ke pelaminan.
Kecanggungan itu berangsur sirna ketika mobil sudah terparkir di area parkiran perusahaan. Aku dan Meli turun. Dia menenteng pukis yang sudah tak panas lagi dan berjalan menjejeri langkahku. Pukisnya gak panas, tapi hatiku yang menghangat tiap kali dekat dengannya.
“Mas, kita sarapan di lobi atau kantin?” tanyanya.
“Di lobi saja, Mel. Buatin kopi, ya?” Aku menoleh padanya.
“Oke.” Meli berucap sambil menautkan telunjuk dan jempol membentuk huruf o.
Meli gegas masuk ke office. Kulihat dia menyimpan tas di kubikelnya. Sementara itu, aku lekas menyimpan laptop yang tiap hari memang kubawa pulang. Kusimpan ke dalam ruangan. Kuregangkan otot-otot perlahan. Lekas aku menatanya dan menyalakan layarnya sambil memperhatikan ke luar ruangan. Menunggu Meli lewat membawakan kopi ke lobi.
Tombol on sudah kupijat. Laptop pun menyala. Tampak foto gembil Mahe dan Daffa yang menjadi wallpaper laptopku. Tetiba rasa risau singgah, apakah kedua anakku baik-baik saja? Namun, ketukan pada daun pintu yang terbuat dari kaca membuatku kembali mengangkat wajah. Nampak Meli tengah tersenyum dan mengangkat satu cangkir kopi ke arahku. Aku pun mengangguk dan mengisyaratkannya untuk duluan. Meli melenggang ke lobi. Dia sangat manis dengan kemeja lengan pendek dan rok di bawah lutut. Rambutnya digerai sebahu dan bodynya memang gak banyak berubah. Dia hanya sedikit lebih berisi, tetapi tetap langsing dan dan terjaga. Ah bahagianya andai aku bisa memilikinya.
Tiba-tiba bayangan nakal berlarian. Namun gegas kugelengkan kepala. Lantas segera keluar dan menemuinya yang sudah menunggu di area meeting room yang ada di lobi. Secangkir kopi panas dan senyuman manis Meli sudah menyambutku. Kami duduk bersisian dan menikmati kue pukis. Kue langganan kami setiap dulu kencan.
Pada saat menyuap, kembali ingatan tentang Mahendra dan Daffa melintas. Rasa pukis yang manis dan tadi menggugah, tiba-tiba rasanya jadi hambar dan entah. Dalam hati merutuki kebodohan Hanum yang seenak hatinya nantangin aku buat menceraikannya. Coba kalau dia sedikit saja sabar, mungkin aku tak akan sekacau ini kehilangan mereka.
“Mas!” Suara Meli agak kencang bersama tepukan pada pipiku.
Aku mengerjap, lantas menoleh padanya. Kedua pupil hitamnya tengah menatapku lekat.
“Kamu mikirin apa, sih, Mas?” tanyanya.
“Ahm, enggak, Mel. Kok nanya gitu, sih?” tanyaku seraya mencoba bersikap biasa.
“Kamu jangan bohong. Kamu pikir, aku gak tahu kalau kamu lagi banyak pikiran, seperti apa. Ceritalah … andai pun aku gak bisa bantu, setidaknya bisa ringanin beban kamu, Mas.” Suara lembutnya terdengar menyentuh hati.
Aku menelan saliva. Mempertimbangkan apakah harus cerita atau tidak? Namun pikiranku yang masih dilemma, kembali ditarik oleh suara lembut Meli.
“Mas … ada apa?” Meli menatapku.
Aku memejamkan mata sekilas. Lalu menghembuskan napas kasar.
“Hanum pergi dari rumah, bawa anak-anak. Aku jadi kepikiran, mereka sekarang tinggal di mana?” tukasku pada akhirnya. Padahal dari dulu, aku paling tak suka jika ada orang yang mengumbar masalah keluarganya di kantor. Namun, entah kenapa, aku jadi seringan ini bertukar pikiran dengan Meli.
“Yang sabar, Mas. Semoga Mbak Hanum cepet ketemu. Memang ada masalah apa sampai-sampai minggat dari rumah. Kalau ada masalah, harusnya bicara baik-baik dulu ‘kan bisa.”
Meli kudengar cukup dewasa dalam pemikirannya. Padahal usia Hanum dan Meli harusnya sama. Ya, begitulah. Andai Meli yang jadi istriku, mungkin kejadian seperti ini gak akan pernah terjadi, harusnya. Sayangnya, semua sudah terjadi. Aku dan Meli hanyalah sepasang mantan yang dipertemukan kembali dalam keadaan yang tak diperkirakan.
“Ya gitulah, Mel. Hanum itu kekanak-kanakkan. Ngurus rumah doang aja gak bisa, padahal kan dia gak kerja. Selalu saja anak dijadikan alasan. Ini lah itu lah.Terus saja anak-anakku dijadikan alasan olehnya.”
Meli memandangku dan membiarkanku menghabiskan sisa waktu sebelum bell untuk bercerita. Lumayan lega rasanya setelah ada teman berkeluh kesah. Ketika jam kerja dimulai, perasaanku sedikit ringan. Apalagi Meli selalu sigap mengerjakan semua hal yang aku minta. Meli memang bisa diandalkan.
***
Pulang kerja, setengah jam berlalu. Aku sedikit terlambat pulang. Tadinya mau tenggo. Alias ketika bell berbunyi teng, aku langsung go. Namun karena ada sedikit materi presentasi lagi yang belum selesai, terpaksa aku selesaikan.
Aku keluar dari ruangan. Namun dahiku berkerut melihat Meli yang masih ada di kubikelnya. Ruangan manager dan staff memang terpisah.
“Belum pulang, Mel?” tanyaku. Kulihat jam tangan, benar memang sudah lambat tiga puluh menit dari waktunya pulang.
“Tanggung tadi kerjain laporan dulu, Mas. Ini baru mau pulang.” Dia menyibak poninya yang sudah sedikit melewati alisnya.
“Oh gitu, memang masih ada jemputannya?” tanyaku. Seingatku, jemputan karyawan biasanya on time. Kalaupun lambat, gak bakal mau nunggu sampai setengah jam seperti ini. Paling telat sepuluh sampai lima belas menitan.
“Kurang tahu, Mas. Mungkin sudah ditinggal. Paling nanti cari tebengan sampai keluar kawasan, Mas. Kan ada angkutan umum juga. Naik angkutan umum lebih murah, sih.” Dia tersenyum sambil menyelempangkan tasnya lalu berjalan keluar dari kubikel.
“Nebeng siapa, Mel?” tanyaku memastikan. Kulihat Ervan sudah pulang dari tadi. Dia sudah info juga tadi mau pulang awal.
“Belum tahu, Mas. Kalau boleh, ikut ke depan, Mas. Nanti naik angkutan kok di depan.” Dia tersenyum.
“Ya sudah, ayo!” tukasku.
Akhirnya aku pulang bareng Meli lagi. Lekas melajukan mobil dan meninggalkan area pabrik yang ada di dalam kawasan ini. Meli cuma minta sampai depan, tetapi aku rasanya gak tega. Akhirnya kembali aku antar dia sampai depan kontrakan.
“Makasih banyak, Mas. Maaf merepotkan. Mampir dulu, yuk! Aku buatin kopi dulu.” Meli menawari mampir dan melempar senyuman manisnya.
“Ahm, ya sudah, bentar doang, ya!” Aku pun kembali tergoda. Apapun mengenai Meli selalu menggoyahkan pikiranku. Kami pun duduk di ruang teras kontrakan yang sempit dan mengobrol bersama. Usai segelas kopi habis, aku pamit pulang.
Tadinya mau ke rumah Ibu langsung, tapi kalau gini caranya. Aku lebih baik pulang dulu, mandi, baru berangkat ke sana. Sudah maghrib lewat juga. Akhirnya mobil kulajukan hingga ke depan rumah.
Aku menyipitkan mata ketika melihat sosok yang tak asing tengah duduk di depan pintu gerbang. Astagaaa, itu ‘kan Ibu. Lekas aku turun dan menyalaminya.
“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku. Mungkin mau lihat orang yang ada di mobilku.
Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku.
“Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu
“Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s
Seratus gram emas batangan antam menjadi mas kawin pernikahanku yang kedua kalinya dengan dia dan dua cincin perak yang sama agar aku bisa juga memakainya. Setelah berpisah aku baru tahu kalau lelaki tak boleh memakai emas. Perempuan yang arti kehadirannya kurasakan setelah kusia-siakan. Ijab qabul kuucap dengan fasih. Sesekali kulihat wajahnya yang menunduk. Jujur, hati takut jika dia menolakku lagi. Kemarin ketika dia mendengar jika dia sudah menerima CV taaruf dari seorang istri kyai. Aku langsung mencari tahunya, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan pucuk pimpinan pondok pesantren itu hanya demi satu hal, meminta bantuannya untuk menyerahkan profilku CV yang kubuat mendadak itu padanya. Aku tak banyak menuliskan detail diri. Percuma baginya posisi manager dan uang berlimpah, sebagai putri dari pemilik saham, dia pasti sudah punya semuanya. Aku hanya menuliskan satu hal. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya, menyayangi anak-anak dan membangun rumah tangga sakinah, mawadd
“Han, Mbak Hanumnya sudah dipanggil Mama.” Aku mengangkat wajah, Mas Rega melirik ke arah kami. “Yuk!” tukasnya seraya membagi pandang padaku dan Hana. Hana bangkit dan meraih lenganku. Aku pun ikut berdiri dan melangkah mengimbangi langkah Hana yang lebih dulu mengayun. “Mbak, tangannya dingin banget.” Hana terkekeh seraya berbisik. “Gugup, Na.” Aku menjawab sejujurnya. Bahkan aku merasa jika saat ini lebih gugup dari pada ketika aku pertama menikah dulu. “Bismillah, Mbak … Insya Allah ini yang terbaik buat Mbak Hanum.” Hana kembali meyakinkan. Aku pun menuruni anak tangga perlahan, Hana menggenggam erat lenganku dan menemani meniti anak tangga satu-satu. Sementara itu, Mas Rega sudah berjalan lebih dulu dan kembali bergabung di ruang tengah. Aku hanya menoleh sekilas, tetapi tak bisa jelas melihat seperti apa sosok lelaki pilihan Mama. Barulah ketika titian pada anak tangga terakhir, aku mendongakkan wajah. “Hanum, sini, Nak!”Mama melambaikan tangan ke arahku yang mematung
“CV-nya ada di rumah. Ummi sudah tunjukkan soft copy sama Bu Esti. Dia sudah pilih juga yang mana buat kamu. Mari ….” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bukannya apa-apa aku tak mau melihat-lihat dulu. Namun melihat kesetiaan Mama pada almarhum Papa, hal itu saja sudah membuktikan jika lelaki yang meninggalkannya adalah lelaki terbaik, tak bisa tergantikan hingga sekarang. Karenanya aku juga yakin, kalau Mama tak akan salah pilih untuk anaknya. Semoga saja setelah aku memilih, Mas Ramdan akan berhenti mengejar-ngejarku lagi.Kami sudah tiba di teras rumah luas milik Ummi. Seseorang datang dan menyajikan minuman. Tak berapa lama Ummi permisi ke dalam, lalu kembali dengan satu map yang dia pegang.“Bu Esti, ini hard copynya. Kemarin Ibu sudah baca-baca semua yang dikirimkan melalui whatsapp.” Ummi menyerahkan amplop berwarna cokelat itu pada Mama. Aku menunduk menetralkan jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat berdegub. “Makasih, Ummi.” Mama menerimanya dan tersenyum padaku.“Bis
“Ya sudah, nanti Mbak check kalau sudah sampai. Hati-hati kalau ada indikasi mencurigakan, kamu panggil keamanan saja, ya!” Aku wanti-wanti padanya. Sepulang dari psikolog kenalan Mama, aku tergesa minta di antar ke toko. Mahe dan Daffa pastinya sudah pulang juga kalau jam segini dan sudah di rumah. “Emang kenapa kok buru-buru banget, Num?” Perempuan paruh baya yang tengah memegang setir itu menatap padaku. “Hmmm, ada yang kirim paketan, Ma. Cuma rasanya aku gak ada pesan belanja online akhir-akhir ini.” “Salah alamat kali, Num.” Aku menggaruk kepala. Pikiranku juga sama, tapi kata Fitria memang benar namanya Hanum. Mobil berhenti juga. Aku turun dan lekas mencium punggung tangan Mama. Bergegas turun dan masuk ke dalam toko. Fitria tampak merapikan bekas makannya di atas meja. Biasanya memang dia suka makan kalau sambil kerja. Sudah kubilang gak apa, tetapi mungkin ada rasa tak enak juga. “Mbak, katanya sejam lagi?” Fitria bangun dan menyapaku. “Iya tadi ternyata lebih cepet
Aku lebih memilih diam, tak menimpali mereka. Kugiring menuju parkiran. Aku baru hendak memarkirkan sepeda motor ketika pertanyaan dari mulut mungil Mahendra membuat pergerakanku terhenti.“Ma, kenapa, sih, Papa gak tinggal sama kita?” “Ayo cepetan naik, sudah mau ujan!” tukasku. Tak hendak menjawab pertanyaan mereka. “Jadi ke timezone sama Papanya gak jadi, Ma?” Mahe mendesak. “Iya, Ma. Mau main basket lagi.” Daffa menimpali. “Sama mau mobil lagi sama Papa, Ma.” Mahe juga tak mau kalah. “Sekarang kita pulang dulu, ya! Time zonenya belum buka.” Ah apa saja yang penting mereka diam. “Oh belum buka, Ma?” “Hmmm ….” “Bukanya jam berapa, Ma?” Duhhh … makin hari, mereka makin aktif. Makin saja membuatku kewalahan tentang pertanyaannya yang semakin detail. “Kita pulang dulu, ya, Sayang! Habis Mahe sama Daffa makan, bobok siang, nanti Mama lihat apakah Timezonenya sudah buka atau belum? Oke?” tukasku untuk menyudahi perdebatan yang pastinya akan panjang ini. “Okeee.” Aku pun melaj
“Yah, Mama lupa. Jas ujannya gak kebawa.” Aku menghela napas kasar. Pada saat bersamaan, terdengar klakson dari arah belakang. “Duh, bentar, ya! Motor saya mogok!” Aku menoleh. Kukira orang yang kesal karena aku menghalangi jalannya. Namun, ketika aku menoleh, seketika sepasang mata ini mengerjap menatapnya. Seorang lelaki tersenyum dan bergegas keluar dengan sebuah payung menembus hujan. “Ayo naik mobil Papa!” tukasnya seraya berjalan mendekati Mahendra dan Daffa. Aku tersenyum ketika dia pun menoleh padaku. Aku dan dia sudah tak ada masalah lagi. “Num, ayo naik saja. Kebetulan tadi memang Mas mau ke sekolah anak-anak.” Lelaki dengan wajah tirus dan rambut gondrong itu mengalihkan perhatiannya padaku. Saat ini, anak-anak sudah berada di bawah payungnya. “Ahm, gak usah, Mas. Titip Mahe sama Daffa saja, ya … tolong anterin ke sekolah. Saya masih harus urus motor ini ke bengkel.” Kutepuk dua kali sepeda motor kesayanganku. “Gak apa, biar sekalian! Nanti pulang dari sekolah, kamu
Pov Hanum “Seperti biasa, Num. Permintaan Mama kamu sama Ummi, minta dicarikan jodoh buat kamu. Apa kamu sudah membuka hati lagi untuk lelaki lain?” Dia memandang lekat wajahku. Pertanyaan yang bukan pertama kali kudapatkan dari pemilik pondok yang tiap bulan memang selalu mendapatkan bantuan yang cukup besar dari Mama ini. Aku tersenyum, lantas menatap perempuan itu dan mama bergantian, lalu setelahnya aku menggeleng perlahan. Mama menghela napas kasar, tetapi Ummi tetap tersenyum dan mengangguk paham. “Sampai kapan, Num?” Mama menatapku. “Sampai hatiku siap, Ma.” Satu jawaban yang membuat Mama kembali bungkam. Aku kembali fokus pada kehidupanku yang sudah tertata dengan lebih baik. Menjadi seorang single mom dan memiliki usaha agen skincare dan kosmetik membuatku memenuhi waktu dengan rancangan masa depan. Mama juga mendukung usahaku. Dia memberiku sejumlah modal dan kini aku sudah mulai membuka satu toko juga. Jaraknya memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi masih bisa d