Share

4

"Zayn!" 

Arinda berlari ke arah Zayn yang baru saja keluar dari dalam salah satu ruangan di rumah sakit, yang dia tak tahu ruangan apa itu. Dalam hati Arinda bersyukur karena tak perlu bersusah payah untuk menemukan keberadaan lelaki itu karena ternyata dia masih berada di rumah sakit ini. Beruntung dia tak sengaja mendengar pembicaraan para suster yang sepertinya mengaggumi lelaki itu. 

Zayn yang mendengar teriakan itu, langsung berhenti dan membalikan tubuhnya. Keningnya mengernyit sebelum kemudian salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Dia kemudian hanya diam hingga Arinda berdiri tepat di hadapannya dengan wajah terlihat bingung juga putus asa.

"Aku terima penawaranmu, aku mau. Tapi, tolong selamatkan ibuku." Arinda menarik telapak tangan Zayn dan menggenggamnya erat. Bola matanya terlihat basah.

Untuk beberapa saat Zayn hanya diam dengan pandangan menatap dalam wajah cantik Arinda. Akh, wanita angkuh ini sekarang berada dalam genggamannya. Dalam hati Zayn bersumpah akan membuat hidup Arinda menderita, hingga gadis itu akan lebih memilih mati.  

***

Arinda duduk dengan gelisah di hadapan Zayn. Dalam hati dia menguatkan bahwa keputusannya sudah benar. Mau bagaimana lagi, sudah tidak ada cara lain dan ibunya perlu cepat dioperasi. 

Sedangkan itu, Zayn cukup menikmati kegelisahan Arinda. Dia tahu gadis itu ketakutan. Hingga pintu diketuk dan seorang lelaki dengan setelan jas rapi masuk ke dalam. Dia adalah pengacaranya. 

"Malam, Pak Zayn." Pengacara itu memberi hormat pada sosok atasannya, dan hanya tersenyum pada gadis lain di sana. 

Zayn hanya mengangguk. Kemudian dengan tangannya dia mempersilakan pengacaranya yang sudah tua itu duduk. "Kamu sudah menyiapkan surat itu?" tanyanya tanpa menoleh. 

Will mengangguk dan dengan segera mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya. Dia kemudian meletakkannya di hadapan Zayn. Menunggu lelaki itu memeriksanya terlebih dahulu apakah masih ada yang harus diubah atau tidak. 

Arinda tak menyangka jika perjanjiannya dengan Zayn akan serumit ini. Bahkan ini hampir menyentuh tengah malam dan bagaimana bisa Zayn sudah menyiapkan segalanya. Apakah ini sudah lelaki itu rencanakan? Arinda hanya dapat memejamkan matanya dengan telapak tangan yang semakin berkeringat dingin. Dia menunggu Zayn selesai memeriksa surat yang dia tahu surat perjanjian untuk mereka. Setelah selesai terlihat lelaki itu mengangguk-angguk, kemudian membubuhkan tanda tangan di sana. Kemudian dia angsuran map itu kepadanya yang dengan tangan gemetar Arinda terima. 

Arinda mulai membaca poin-poin di dalam surat itu. Di sana dikatakan jika ini bukan hanya hubungan semalam. Melainkan dia harus selalu siap sedia ketika lelaki itu menginginkannya dengan imbalan Zayn akan menanggung biaya operasi Ibunya hingga ibunya sembuh  dan perjanjian itu akan berakhir saat ibunya dinyatakan sembuh dari kanker. Untuk tempat tinggal, Arinda diwajibkan tinggal bersama Zayn. 

Satu bulir air mata Arinda meluncur setelah selesai membaca surat perjanjian itu. Dia mendongak menatap Zayn yang hanya menatapnya dingin. Lelaki itu terlihat bagai monster dimatanya kini. Dia tak memiliki belas kasihan. Tahu tak ada pilihan lain, Arinda meraih bolpoin yang berada di hadapannya. Dia kemudian membubuhkan tanda tangannya tepat di sebelah tandas tangan Zayn. Setelah itu dia berikan surat itu pada pengacara lelaki itu. 

"Kamu boleh pergi." ujar Zayn pada pengacaranya. Tatapannya terus menatap Arinda yang mulai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan mulai terisak. 

Pengacara Zayn mengangguk patuh. "Saya permisi, Pak." Melirik kasihan pada sosok Arinda, dia kemudian cepat-cepat keluar dari dalam ruangan itu. 

Setelah kepergian pengacaranya, Zayn merogoh kantung jasnya, mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Dia terlihat berkutat sebentar sebelum kemudian meletakkan benda pipih itu di telinganya. "Lakukan operasi untuk Kinan Geovan malam ini juga," ujarnya kemudian langsung mematikan sambungan teleponnya. 

Arinda yang mendengar itu menurunkan kedua telapak tangannya. Dia menatap Zayn dengan mata basahnya sedangkan lelaki itu masih setia dengan tatapan dinginnya. Bibir tipis Arinda bergetar mengucapkan kata, "terimakasih."

Zayn tak membalas dan langsung bangkit berdiri. Entah kenapa mendadak dia merasakan hantaman ngilu. "Besok akan ada orang yang menjemputmu," ujarnya dingin kemudian berlalu keluar dari ruangan itu.

Setelah kepergian Zayn, Arinda mengusap wajahnya putus asa. Air mata tak mau berhenti mengalir dari kedua bola matanya yang indah. "Mama ..." lirihnya pilu. 

***

Dengan langkah gontai Arinda berjalan menuju ruangan ibunya, dia berjalan ke arah kursi tunggu dan duduk di sana. Tatapannya kosong dengan telapak tangan yang saling meremas gelisah pelan. Sedangkan itu, pikirannya berkelana memikirkan apa yang akan terjadi padanya dalam waktu beberapa jam yang akan datang. Rasanya Arinda tak sanggup membayangkannya tapi itu sudah menjadi kesepakatan yang nyata. Dia sudah membaca perjanjian itu dan menandatanganinya secara sadar. Ibunya bahkan sudah selesai dioperasi. Jadi, dia tak bisa untuk mengelak lagi atau menganggap itu hanyalah mimpi. 

Tarikan nafas panjang gadis itu terdengar disusul senyum getir di bibirnya. Dia kemudian bangkit berdiri. 

"Mama ..." Dari kaca pintu, Arinda menatap ibunya yang baru saja selesai dioperasi. Dokter belum mengijinkannya untuk masuk, jadilah dia hanya berdiri di sini menatap ibunya yang masih setia memejamkan matanya padahal operasi sudah selesai dilakukan.  

Arinda mengusap pipinya saat air mata yang dia pikir sudah habis mengering nyatanya masih saja meluncur bebas. "Ma ... Arinda mohon cepat bangun. Mama adalah alasan Arinda masih bertahan sampai saat ini. Jadi, Arinda mohon bangun ya, Ma." lirihnya. 

Perlahan tubuh Arinda lirih ke lantai. Lagi, dia meraung menangisi nasibnya. Menyalahkan Tuhan yang sudah dengan tega memberikannya takdir semalang ini. 

Arinda tahu ini adalah buah dari kejahatannya dulu. Tapi, apakah harus dia membayarnya dengan takdir sekejam ini. Tak cukup ayahnya bangkrut dan meninggal. Kenapa ibunya harus turut serta, lalu sekarang ditambah dengan Zayn--lelaki masa lalunya yang dia pikir penyebab dari nasib buruknya saat ini. Arinda yakin, semua kemalangannya saat ini adalah hukuman karena dulu dia telah menyakiti hati lelaki itu.

"Maafkan aku, Zayn ... Maaf ...." Arinda tak tahu untuk apa dia menggumamkannya. Hanya saja saat sekelebat bayangan di masa lalu muncul, dia merasakan penyesalan itu. Dia cukup andil dalam perubahan sikap lelaki itu, dia tahu. Dulu Zayn adalah sosok yang hangat dan humoris, ya, Arinda masih ingat itu. Karena sifatnya itulah Arinda jatuh cinta pada lelaki itu. Arinda bahagia saat tahu ternyata cintanya tak bertepuk sebelah tangan, bahkan dia tahu bahwa cinta lelaki itu jauh lebih besar dari cinta yang dia miliki. Tapi, semuanya hancur karena keegoisannya. Dia lebih memilih uang dan meninggalkan Zayn begitu saja, padahal dia tahu lelaki itu sudah memiliki rencana akan melamarnya di hadapan orang tuanya. 

Arinda akui, Zayn adalah sosok pejuang yang tak takut kalah. Meskipun tahu ayahnya tak akan merestui hubungan mereka, tapi Zayn selalu mengatakan bahwa dia akan terus berusaha membuat dirinya pantas di mata ayahnya. Semuanya lelaki itu lakukan untuknya, bekerja, belajar Arinda masih ingat bagaimana wajah lelah Zayn karena lelaki itu tak sama sekali tidur dalam dua hari. Zayn sangat berambisi untuk mengumpulkan modal agar mereka bisa bersama. Arinda tentu tersentuh, sangat malah. Hanya saja, Arinda tak sesabar itu. Dia menghancurkan segalanya dengan berselingkuh dengan Devon yang memang sudah berasal dari keluarga kaya. Dari sanalah kemalangan mulai menghampirinya terus-menerus hingga membawanya kembali pada lelaki itu--lelaki yang telah dia sakiti. 

***

"Nona Arinda?" 

Arinda seketika mengangkat wajahnya. Dia mengerutkan alisnya bingung saat seorang pria paruh baya menghampirinya. Pria itu tersenyum lembut padanya, terlihat sangat sopan. Arinda mencoba mengingat-ingat siapa lelaki tua di hadapannya saat ini. 

"Saya supir yang disuruh Tuan Zayn untuk menjemput Anda," ujar Robin masih dengan senyuman hangat di bibirnya.  

Arinda terperangah mendengar itu. Dia terdiam cukup lama. Dia belum siap. 

"Nona," 

Panggilan lembur itu menyentak Arinda. Dia kemudian mengangguk. "Anda bisa menunggu saya di luar, Pak. Sebentar lagi saya menyusul," ujarnya dengan pandangan memohon. 

Robin yang melihat perubahan ekspresi wajah Arinda merasa bingung. Tapi, kemudian dia mengangguk. "Kalau begitu saya tunggu di depan, Non." ujarnya lalu berlalu pergi. 

Setelah kepergian lelaki yang mengaku utusan Zayn itu, Arinda menarik nafas dalam-dalam. Dia memejamkan matanya kuat-kuat. Lalu membuka matanya kembali dengan rasa sesak di dadanya. 

Arinda berjalan terlebih dahulu ke arah ruangan ibunya, kembali berdiri di depan pintu rawat--menatap ibunya yang masih belum membuka matanya. "Ma, Arinda pergi dulu ya. Arinda janji akan secepatnya kembali," ujarnya lalu melangkah menjauh dari sana. Sampai di halaman rumah sakit, Arinda dengan segera berjalan ke arah sebuah mobil lexus berwarna putih dimana di sana terlihat sosok lelaki yang tadi mengatakan menjemputnya berdiri di sisi mobil itu, melambai kepadanya. 

"Sudah, Non?" Robin hanya berbasa-basi. Saat wanita di hadapannya mengangguk, dia ikut mengangguk dan membukakan pintu penumpang untuk wanita itu. 

Arinda menggumamkan kata terima kasih. Dia menatap keluar jendela saat mobil yang ditumpanginya mulai berjalan meninggalkan halaman rumah sakit. Pikirannya mendadak kosong, tak ingin menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya yang sudah pasti dia ketahui. 

"Non," 

Panggilan dari arah depan menyadarkan Arinda yang tengah melamun. Dari spion tengah, Arinda dapat melihat jika supir yang membawanya saat ini tengah menatapnya juga dari sana. Arinda hanya diam saja tak menyahut, dia menunggu apa yang akan dikatakan oleh lelaki paruh baya itu. 

"Kalau boleh tahu, Non siapanya Pak Zayn? Terus siapa yang sakit, Non?" Robin kembali menatap ke arah jalan di depannya. Dia menunggu jawaban Arinda yang malah hanya diam saja, membuatnya mengernyit heran. 

Robin berdehem saat pertanyaannya tak kunjung dijawab. Apakah pertanyaannya sesulit itu? 

"Sa--saya Arinda. Sa--saya ..." Arinda tak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya jika dia adalah pelacur Zayn mulai saat ini. 

Mata Robin tiba-tiba saja berbinar. "Arinda?" tanyanya tak percaya. "Cucu saya namanya juga Arinda, kok bisa sama ya, Non?" Mata Robin melirik dari kaca spion. 

Arinda terdiam. Dia tidak tahu, dia pikir siapa saja bisa menggunakan nama itu. 

"Anak saya sangat mengidolakan Arinda Luwis, jadilah dia memberi nama anaknya sama dengan idolanya. Walaupun saya lebih suka nama Sonya, tapi mau bagaimana lagi." Nada suara Robin terdengar pasrah. "Tapi, setelah saya tahu nama Nona juga Arinda. Saya pikir nama itu akan membawa keberuntungan. Sama seperti Nona, mungkin cucu saya nanti akan tumbuh menjadi gadis cantik." Robin memamerkan senyum lebarnya. 

Arinda hanya diam mendengar itu. Dia pikir lelaki di depannya saat ini sangat naif. Nama Arinda tak akan membawa keberuntungan, yang ada hanya nasib sial. Jadi, apakah perlu dia memberitahu lelaki itu agar nama cucunya segera diganti sebelum kemalangan datang? Ah, bukan namanya yang membawa nasib malang. Tapi, memang setiap orang membawa nasibnya sendiri-sendiri. 

"Non," 

Panggilan itu menyentak Arinda. Dapat Arinda lihat jika lelaki di depannya terlihat penasaran dengan apa yang sedang dia pikirkan. 

"Non, pacarnya Pak Zayn, kan?" 

Arinda terdiam cukup lama, sebelum kemudian memilih untuk mengangguk pelan. Dia tak bisa mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya, dia belum siap untuk dipandang hina.

Robin mengangguk-angguk dengan puas. "Pak Zayn memang sangat pintar memilih perempuan," ujarnya yang tak mendapatkan sahutan, dan Robin kemudian memilih untuk diam. 

Sisa perjalanan mereka akhirnya hanya diisi oleh keheningan. Hanya sesekali Robin melirik Nona barunya-- setidaknya menurutnya mulai saat ini Arinda memang majikannya. Robin sebenarnya cukup penasaran dengan raut wajah Arinda yang terlihat tak menampakkan ekspresi senang sama sekali. Sebaliknya, raut wajah wanita itu malah lebih terlihat terpaksa. Ada apa? Bukankah dia seharusnya senang? Pikir Robin. Menjadi kekasih dari seorang Zayn Abraham tentu menjadi impian banyak wanita. Siapa yang tak mengenal lelaki itu, pemilik dari Zy Group--Perusahaan yang sedang berkembang pesat dan sedang melakukan banyak pembangunan saat ini. Selain itu, paras Zayn yang tampan tentu menjadi nilai tambahan. Jadi, apa yang membuat wanita di kursi penumpangnya saat ini merasa sedih?

***

Saat mobil yang ditumpanginya mulai memasuki halaman sebuah mansion megah, pandangan Arinda mulai terlihat nanar. Dia menunduk, menatap jemarinya yang saling memilin karena cemas. Takut, ya Arinda mengakuinya. 

"Kita sudah sampai, Nona." 

Arinda terperanjak saat pintu mobil di sisinya tiba-tiba saja terbuka dan terlihat Robin di sana tersenyum tulus kepadanya. Sejak kapan mobil yang dia tumpangi berhenti? Arinda mengerjap, kemudian mulai melangkah turun dari mobil. Kepala Arinda mendongak, menatap manspion di hadapannya. Manspion yang dia perkirakan dua kali lipat dari mansionnya dulu tinggal. Sebelum kemudian mansionnya disita oleh Bank untuk menutup hutang perusahaan.

"Ayo, Non." 

Arinda tersadar dari lamunannya. Dia kemudian mengikuti langkah Robin menaiki undakan tangga menuju pintu masuk mansion. Dia berdiri di sisi Robin yang baru saja selesai memencet bel. Tak butuh waktu lama pintu bercat putih di hadapannya terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang Arinda perkirakan usianya di atas lima puluh tahun. Wanita itu pada awalnya terlihat kesal melihat Robin, tapi saat menangkap keberadaannya ekspresi wajah wanita itu seketika tersenyum cerah. 

"Ahh, Nona sudah sampai?" tanya wanita itu masih dengan senyumnya, senyum yang terlihat sama tulusnya dengan senyum Robin padanya tadi. Arinda hanya dapat mengangguk singkat. 

"Mari, Non, masuk. Tuan Zayn sudah mengatakan tadi dan saya sudah menyiapkan segalanya untuk Nona agar Nona betah berada di sini." Lanjut wanita itu, membuka pintu semakin lebar mempersilakannya untuk masuk. 

Robin tak ikut masuk dan Arinda tak mempermasalahkan itu. Dia cukup tahu jika pekerjaan Robin tak sampai sini. Jadi, dia hanya mengikuti langkah wanita paruh baya di hadapannya saat ini yang entah akan membawanya kemana. Sepanjang berjalan, bola mata Arinda tak henti-hentinya memindai. Dia juga mengantisipasi, jika, jika ternyata ada Zayn di sini. Dan bodohnya dia dengan ketakutannya, lelaki itu jelas ada di sini, ini rumahnya. Hanya saja maksud Arinda--

"Ah, saya belum mengenalkan diri tadi. Maaf, sangking senangnya saya, saya sampai lupa." Arinda tak menyahut dia hanya diam menatap wanita di hadapannya yang berhenti menghadap dirinya yang ikut berhenti. "Lady, Nona bisa memanggil saya seperti itu. Saya pelayan tertua di manspion ini dan yang paling dipercaya oleh Tuan Zayn." Arinda tak menangkap nada bangga saat wanita itu mengatakannya, hanya senyum tulus khas seorang ibu yang dia lihat. 

Lady terlihat salah tingkah saat wanita di hadapannya tak sama sekali merespon ucapannya. Dia kemudian melanjutkan langkahnya, hingga sampailah mereka di meja makan. "Nona pasti lapar? Kami sudah menyiapkan makanan untuk Nona. Ayo, Nona makan terlebih dahulu." ujarnya menarik kursi untuk Nonanya duduki. 

Arinda dengan canggung duduk di kursi itu. Dia hanya diam saja saat wanita yang mengenalkan diri sebagai Lady itu mulai mengambilkan makanan untuknya. 

"Setelah makan, saya akan mengantar Nona ke kamar Nona nantinya." 

Arinda menatap wajah Lady yang terlihat santai mengucapkannya sembari terus mengambilkannya makanan. Wanita paruh baya itu kemudian membalas tatapannya dan tersenyum. Sebelum kemudian ijin undur diri, meninggalkannya sendirian termenung di meja makan yang luas itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status