Share

3

"Tante, saya mohon, bantu saya kali ini saja ..." Dengan berlutut memeluk kaki seorang wanita paruh baya, Arinda memohon. Wajahnya mendongak terlihat sembab, penuh dengan air. Tapi, wanita paruh baya itu terlihat tak sama sekali peduli. Wajahnya tetap memandang ke depan dengan angkuh. Hatinya benar-benar tak tergerak hanya untuk mengasihani gadis cantik yang nyaris menjadi menantunya. 

"Saya janji, saya akan kembalikan uang itu nanti ..." kembali Arinda merayu meminta belas kasihan dari mantan calon ibu mertuanya--Ibu Devon. 

Devita Domanta--Nyonya besar keluarga Domanta--mendengus mendengar itu. "Kapan? Saat kamu mati?" tanyanya sinis. 

Air mata Arinda semakin deras meluncur mendengar pertanyaan itu. Kemudian kepalanya menggeleng-geleng. "Secepatnya, saya janji secepatnya, Tante." ujarnya kemudian.  

Devita menyentak kakinya hingga pelukan Arinda di sana terlepas. Membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan gadis itu, Devita mulai mendesis. "Bahkan jika kamu menukar uang itu dengan nyawa kamu, pun, saya tetap tidak akan sudi memberikannya. Kamu seorang pembunuh memang pantas hidup menderita seperti ini." Setelah mengatakannya, Devita menegakkan punggungnya kembali. "Sekarang kamu pergi dan jangan pernah tunjukkan wajah kamu lagi di hadapan saya atau saya akan membuat hidup kamu jauh lebih buruk dari ini. Kamu mengerti?" Devita baru akan membalikkan tubuhnya, saat kakinya kembali dipeluk oleh gadis yang sangat dibencinya. 

"Saya mohon, Tante ... Saya nggak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa ... Hanya sekali ini saja, saya mohon ..." Arinda benar-benar tak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi selain pada keluarga Domanta. Hanya keluarga Domanta yang dia pikir saat ini dapat membantunya. 

Devita yang mulai kesal menyentak kakinya tak peduli jika gadis itu bisa saja terluka. "Pergi! Saya benar-benar akan membuat kamu lebih menderita jika kamu masih muncul di hadapan saya!" Setelah itu dia membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan membanting hingga menimbulkan suara yang sangat nyaring. 

Sedangkan itu, Arinda mulai menangis tergugu. Dia bingung, pada siapa lagi dia harus meminta bantuan selain keluarga Domanta. Sanak-saudaranya juga sudah tak ada lagi yang peduli dengan keluarganya setelah dia jatuh miskin. Selain itu, tak ada yang sekaya keluarga Domanta, Arinda tak yakin juga mereka memiliki uang dengan nominal sebanyak yang harus didapatkannya untuk operasi ibunya. Jadi, pada siapa dia harus meminta bantuan? 

"Tuhan, kenapa kau uji aku dengan seberat ini? Apa salahku? Aku harus bagaimana sekarang?" tanya Arinda dengan kepala mendongak, seolah di atas sana dia tahu Tuhan tengah melihatnya dan mendengar keluhannya. 

"Aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi ... Aku akan menjadi yatim-piatu dan sebatang kara jika kau ambil ibuku. Aku mohon tolong aku ..." Kembali Arinda berujar, kali ini terdengar pasrah dan menyedihkan. Kemudian, dia kembali menangis tergugu. 

Hujan mulai mengguyur deras saat Arinda melangkahkan kakinya meninggalkan rumah megah itu. Di bawah dinginnya air hujan dan mungkin saja angin malam, Arinda berjalan menuju kembali ke rumah sakit tempat ibunya di rawat. Tak peduli jika saja dia dapat mati karena kedinginan, Arinda tetap berjalan dengan kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri. 

***

Tepat tengah malam, Arinda sampai di rumah sakit. Pandangannya terlihat kosong dengan tubuh yang basah kuyup dan menggigil. Wajahnya bahkan sudah terlihat pucat dengan bibir membiru. Dia terus berjalan akan masuk ke dalam rumah sakit saat seorang suster yang bertugas menunggu resepsionis datang menghampirinya. 

"Anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya suster itu menghentikan langkah Arinda tapi dia tak menjawab tetap dengan pandangan kosongnya. "Nyonya, Anda basah kuyup dan--ASTAGA!" belum sempat dia melanjutkan ucapannya, tubuh Arinda lunglai dan jatuh ke lantai, membuatnya terkejut. Temannya yang sedari tadi hanya melihat dari meja resepsionis dengan segera berlari membantu. 

***

"Ssh ..." 

Arinda membuka matanya secara perlahan dan menemukan langit-langit kamar berwarna putih. Dia kemudian mulai mengubah posisinya menjadi duduk dan menyadari jika dia berada di salah satu kamar rawat rumah sakit. Selain itu, dia juga menyadari jika pakaiannya telah berganti dengan pakaian rumah sakit dan jangan lupakan infus yang menancap di punggung tangannya. 

Arinda mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dengannya, sebelum kemudian ingatan jika dia harus menemui ibunya kembali. Segera saja dia melompat turun dari ranjang dan dengan brutal mencopot infus yang menancap di tangannya. Baru saja membalikkan tubuhnya, pintu kamar rawatnya terbuka menampilkan seorang laki-laki muda dengan jas putih. Keduanya sama-sama diam kemudian dengan ekspresi yang berbeda. Arinda yang terlihat tak peduli dan laki-laki itu dengan kening mengernyit tak setuju.  

Laki-laki muda dengan nametag dr. Dante di jas putihnya itu kemudian berjalan mendekati Arinda. Diraihnya tangan gadis itu yang meneteskan darah akibat dari melepaskan jarum infus yang tak sabar. "Apa yang kamu lakukan? Kamu membuatnya menjadi semakin buruk." ujarnya sembari berusaha menghentikan pendarahan di punggung tangan Arinda. 

Arinda yang seolah baru tersadar dengan segera menarik tangannya. Dia akan meninggalkan dokter muda itu saat lengannya malah ditahan. "Hei, kamu masih belum sembuh benar." ujarnya. 

Arinda langsung saja menggeleng. "Nggak, saya harus menemui ibu saya." ujarnya akan kembali berlalu saat lagi-lagi Dante menahan lengannya. 

"Di sini saya yang bertanggung jawab atas kamu, jika terjadi sesuatu dengan kamu saya yang akan kena. Jadi, kembali di ranjangmu dan tunggu sampai saya mengatakan kamu benar-benar pulih dan boleh pergi." Dante terlihat tegas dengan ucapannya kali ini. "Sebentar lagi sarapanmu akan datang, saya harap kamu menghabiskannya nanti." ujarnya kini terdengar jauh lebih hangat, dia kembali memasangkan infus di punggung tangan Arinda saat gadis itu sudah pasrah untuk kembali duduk di ranjangnya. 

Selesai memeriksa Arinda, Dante akan bersiap pergi saat gadis itu malah menangis. Membuatnya mengurungkan niatnya untuk pergi. 

"Saya benar-benar harus pergi sekarang, ibu saya membutuhkan saya saat ini ..." ujar Arinda mendongak, dengan mata basahnya dia menatap tepat ke bola mata Dante.

Dante tertegun. Dia seolah dapat merasakan kepedihan yang saat ini gadis itu rasakan melalui bola matanya. Dalam hati, Dante bertanya-tanya apa yang terjadi dengan gadis itu hingga terlihat sangat putus asa. Apalagi semalam dia tahu gadis itu pingsan dalam keadaan tubuh basah kuyup dan badan menggigil kedinginan, belum lagi perawat yang menemukannya mengatakan jika gadis itu sebelum pingsan terlihat linglung.

Tiba-tiba saja seorang suster masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Dante tersadar dari lamunannya, dia membalas senyuman perawat wanita itu yang langsung berlalu keluar setelah memberikan sarapan pada Arinda. Kemudian perhatiannya kembali pada gadis itu yang masih setia menangis. "Makan sarapanmu lebih dulu, baru kamu bisa pergi." ujarnya kemudian akan membalikkan tubuhnya saat lengannya di tahan, membuatnya mengurungkan niatnya dan menatap dengan kening mengernyit gadis di hadapannya. 

"Saya--tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit saya. Apa bisa saya membayarnya--" ucapan Arinda terpotong saat Dante berganti menyentuh lengannya lembut dan menatapnya dengan sorot mata menenangkan. 

"Kamu tidak perlu memikirkannya," ujar Dante tersenyum tipis kemudian berlalu pergi. 

Arinda menghembuskan nafas pelan, sedikit merasa lega. Dia mengusap pipinya saat cairan beningnya menetes dengan sendiri. Perlahan, dia mulai mengambil mangkuk bubur di atas nakas dan mulai memakannya. Dia harus cepat pulih agar dia bisa dengan cepat menemui ibunya. Dia juga masih harus mencari pinjaman uang. 

Sepanjang memakan buburnya, Arinda benar-benar tak dapat merasakan apapun itu selain rasa sakit di tenggorokannya. Arinda benar-benar merasa seperti tengah memakan batu saat ini. Rasanya sakit sekali. Beberapa kali dia mendongak dan menarik nafas dalam-dalam untuk menghentikan air mata yang berulang kali ingin jatuh dari pelupuk matanya. 

Ini sulit. Sangat sulit, Tuhan. batin Arinda yang pada akhirnya menjatuhkan kembali juga air matanya. Dia mulai menangis tergugu, melupakan niat awalnya yang ingin menghabiskan bubur di pangkuannya cepat lalu berlalu juga dengan cepat untuk menemui ibunya.

***

"Tolong, Dok, operasi ibu saya dulu. Saya janji saya akan melunasinya setelah ibu saya dioperasi ..." Dengan wajah meminta belas kasihan, Arinda memohon pada Dokter Surya--Dokter yang menangani ibunya--setelah lelaki paruh baya itu mengatakan jika kondisi ibunya semakin memburuk dan perlu cepat diambil tindakan. Sedangkan, dia sendiri masih belum mendapatkan uang untuk biayanya. 

Dokter Surya dengan wajah penuh rasa bersalah menggeleng lemah. "Tidak bisa, ini sudah menjadi prosedur rumah sakit ini. Jika ingin operasi cepat dilakukan kamu harus membayar biaya administrasinya terlebih dahulu." jelasnya berharap gadis di hadapannya mau mengerti jika bukan kehendaknya untuk tak segera melakukan operasi pada ibunya. 

"Dok ... saya mohon ..." Arinda menyentuh lengan Dokter Surya agar melihatnya, berharap lelaki itu dapat memahami keadaannya.

"Maaf, saya tidak bisa membantu. Saya permisi." Dokter Surya yang semakin merasa tak tega, sedangkan dia juga tak bisa membantu memilih untuk meninggalkan Arinda. Rasanya hatinya seperti diremas-remas setiap kali melihat wajah gadis muda itu yang terlihat sangat malang. Karena itu dia lebih memilih untuk pergi atau dia akan melakukan kesalahan yang berakibat pada dirinya sendiri hanya karena rasa kasihannya. 

Setelah kepergian Dokter Surya, Arinda jatuh terduduk di lantai rumah sakit, dia mulai kembali menangis. "Ibu, Arinda harus bagaimana ..." gumamnya membayangkan wajah ibunya di dalam sana yang masih terbaring lemah. Isakannya terdengar menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya. 

Arinda menghentikan tangisannya, saat sepasang kaki dengan sepatu mengkilap dan pasti mahal tiba-tiba saja berhenti di hadapannya. Dia mendongak, dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa yang saat ini berdiri di hadapannya. Bahkan dia dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat, sebelum kemudian dia tersadar dan mulai mengusap air mata di wajahnya, lalu dia bangkit berdiri. 

Berdiri berhadap-hadapan dengan Zayn tentu tak pernah Arinda bayangkan lagi, setelah perpisahan mereka. Jadi, yang Arinda lakukan saat ini hanyalah diam dengan kepala menunduk--karena jujur saja tatapan mantan kekasihnya itu saat ini terasa sangat menakutkan. Arinda tahu, seharusnya dia pergi saja saat ini. Tapi, entah kenapa kakinya terasa dipaku, menyuruhnya untuk tetap di sana menunggu apa yang ingin lelaki itu katakan padanya.

"Aku bisa membantumu." 

Arinda langsung mendongakkan kepalanya, menatap Zayn dengan tatapan terkejut. Membantu? Membantu dirinya yang sudah pernah menghancurkan lelaki itu? Ah, harusnya dia tahu Zayn adalah lelaki yang sangat baik. Tanpa dapat Arinda tahan bibirnya tersenyum haru. Air matanya mulai kembali menetes, hanya saja kali ini air mata bahagia. 

"Terima kasih. Aku benar-benar sudah putus asa. Dan kau datang mau membantuku, aku benar-benar berterima kasih banyak." Andai tak ingat jika dia pernah menyakiti Zayn, sudah pasti Arinda akan memeluk lelaki itu. Jadi, hanya gumaman itu yang dapat dia lakukan. 

Zayn hanya diam saja dengan pandangan terus menyorot setiap ekspresi di wajah Arinda. Dia menarik nafas jengah saat dirasanya gadis itu terlalu berlebihan. Apa mantan pacarnya ini benar-benar naif? Apa dia pikir bantuan yang diberikannya hanya sebuah bantuan cuma-cuma? Ah, Zayn semakin bersemangat sekarang untuk menghancurkannya. Dia jadi semakin tak sabar untuk melihat bagaimana reaksi Arinda saat mendengar syarat yang belum sempat dia katakan. Apakah masih menangis haru? Ataukah akan berganti dengan tangisan darah? Apapun itu, Zayn tak sabar untuk melihatnya. 

"Kamu tak berpikir jika aku akan membantumu secara percuma bukan?" 

Seketika raut wajah Arinda terlihat menegang, dia kembali mendongak menatap wajah Zayn. Arinda menelan ludah, seketika harapan yang sempat tergambar jelas di wajahnya hilang berganti dengan raut wajah pucat pasi. Apa? Apa yang Zayn inginkan sebenarnya?

Sedangkan itu, Zayn tersenyum dalam hati melihat itu. Ah, ini sepertinya akan menyenangkan. Bahkan dia belum mengatakannya dan gadis itu sudah terlihat ketakutan. 

"Apa? Apa yang kamu inginkan dariku? Aku bahkan sudah tidak memiliki apa-apa lagi?" tanya Arinda serak, terdengar malang. 

Zayn mengangguk-angguk percaya. Dia kemudian menatap dalam bola mata Arinda yang basah. Tatapan yang seolah mengunci Arinda. "Tubuhmu, kamu masih memilikinya bukan?" bisik Zayn di depan wajah Arinda. Kemudian dia tarik wajahnya menjauh, melihat bagaimana reaksi gadis itu dan betapa puasnya dia saat mendapati wajah cantik itu kini memerah. 

Mendengar itu, Arinda merasakan dadanya kembang-kempis. Marah? Malu? Merasa direndahkan? Semuanya menjadi satu. Ingin sekali rasanya dia menampar wajah Zayn, tapi ingatan jika dia juga pernah melakukan hal yang sama pada lelaki itu menahannya.

"Aku tahu kamu membenciku, tapi aku mohon jangan mempermainkan aku disituasiku saat ini ..." Dengan lelah Arinda meminta pengertian Zayn. Arinda berharap Zayn mau pergi setidaknya jika lelaki itu tidak benar-benar mau membantunya. 

Zayn hanya terdiam, bola matanya menatap gerak-gerik Arinda yang kini terlihat terduduk lemas di kursi tunggu dengan isakan pelan. Mendadak rasa kasihan menghantam Zayn. Tapi, saat ingatan tentang apa yang sudah gadis itu lakukan padanya berputar perasaan kasihan itu seketika menghilang. Membuat hatinya kembali mengeras. 

"Aku tidak main-main dengan tawaranku," ujar Zayn kemudian dengan wajah dingin, bola matanya menyorot dalam bola mata Arinda yang menatapnya. Setelah itu dia berlalu pergi dari sana, meninggalkan Arinda yang terdiam dengan wajah pias terlihat shock. 

Arinda menatap punggung Zayn yang semakin mengecil hingga menghilang. Setelah itu dia mulai kembali menangis, menangisi nasibnya. "Tuhan ... apa lagi kali ini? Kenapa kau terus mengujiku ... Kenapa?" Isaknya putus asa. "Ma ... bagaimana sekarang?" Arinda mengusap wajahnya lelah. 

***

Sampai malam tiba, Arinda masih hanya duduk terdiam di kursi tunggu rumah sakit. Dia masih belum memutuskan apapun. Tapi, dari sorot bola matanya dapat terlihat jika gadis itu kebingungan dan putus asa. Sesekali terlihat cairan bening menetes dari sana. 

"Apa yang harus aku lakukan? Aku akan kehilanganmu, Ma, jika aku masih di sini. Tapi, tawaran Zayn--itu akan membunuhku ..." gumam Arinda kembali, mulai terisak. Dia menutup wajahnya yang penuh dengan air mata. 

"Ma ... apa yang harus aku lakukan? Aku nggak tahu harus bagaimana ..." gumamnya lagi disela-sela isakannya. 

Arinda tahu, Zayn hanya ingin membalas perbuatannya dulu. Tapi, haruskah sampai sejauh itu. Arinda menyesal, menyesali perbuatannya dulu pada lelaki itu. Dia mulai berandai-andai. Andai dulu dia tak memutuskan Zayn dengan cara mempermalukan lelaki itu yang berakhir menyakiti perasaan lelaki itu. Mungkin tak seperti ini jadinya. Mungkin jika saja dulu dia memutuskan Zayn dengan cara baik-baik mungkin lelaki itu dulu akan bisa memahaminya. Tapi, semua sudah terlanjur. Zayn membencinya, teramat membencinya. 

Tit! Tit! Tit! 

Arinda langsung bangkit berdiri saat alarm dari dalam ruangan ibunya berbunyi disusul dengan kedatangan Dokter Surya dan dua perawat yang terburu-buru masuk ke dalam sana. Melihat itu tentu saja Arinda merasa panik. 

"Apa yang terjadi, Dok?" Dengan wajah tegang, ketakutan Arinda bertanya. Tapi, lelaki paruh baya itu seperti tak mendengarnya dia langsung masuk ke dalam sana. 

Dari luar Arinda melihat bagaimana ibunya diperiksa oleh Dokter Surya. Butuh beberapa menit, sebelum kemudian Dokter Surya keluar. Tanpa diberitahu, Arinda sudah tahu apa yang ingin lelaki itu sampaikan. Wajah lelaki paruh baya itu sudah cukup menjelaskan semuanya tentang kondisi ibunya. 

"Saya akan mendapatkan uang itu, Dok. Malam ini juga Dokter bisa mengoperasi ibu saya." ujar Arinda yakin, tanpa keraguan. Tapi, tatapan bola matanya terlihat kosong, putus asa. Dia kemudian menunduk dalam, dengan kedua telapak tangan mengepal. 

Tidak ada jalan lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status