Share

5

"Ini kamar, Nona. Apa Nona suka?" 

Arinda yang tengah menatap sekeliling langsung mengalihkan perhatiannya, dia kemudian mengangguk pelan. Membuat wanita paruh baya itu tersenyum senang. Dia sudah menyiapkan semua yang terbaik untuk Nona barunya. 

"Ah, senang mendengarnya." ujar Lady masih dengan senyum senang di bibirnya. "Nona pasti mau langsung istirahat. Saya akan meninggal Nona kalau begitu," ujar Lady lagi yang tak dijawab oleh Arinda. Dia membiarkan wanita paruh baya itu berlalu keluar dari dalam kamar--yang katanya kini menjadi miliknya. Sepeninggalan Lady, Arinda kembali menatap sekeliling ruangan. 

Arinda berjalan mendekati jendela lalu menyibak gorden, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam. Kemudian dia kembali menatap sekeliling. Kamar ini cukup luas atau ... memang luas dengan tempat tidur king size di tengah-tengahnya. Sangat baik untuk ukuran kamar seorang pelacur, pikir Arinda ironi. 

Arinda mendongakkan kepalanya, menghalau cairan bening meluncur saat ingatan tentang alasan kenapa dia bisa berada di sini muncul. Dadanya terasa diremas dengan tangan tak kasat mata rasanya. Pada akhirnya tangisannya pecah juga, dia mulai terduduk di lantai kamar yang dingin itu. Meraung kesal kepada Tuhan kenapa semua ini bukan hanya mimpi. Arinda masih saja berharap jika semua ini hanyalah mimpi buruk dan saat dia terbangun dia akan menemukan ibunya tersenyum hangat kepadanya. Tapi, sekali lagi Arinda menyadarinya bahwa semua ini nyata. 

"Tuhan, ambil saja nyawaku ...." lirihnya sebelum kemudian dia kehilangan kesadarannya. 

Pada kenyataannya saat Arinda ditinggalkan di meja makan tadi, dia tak sama sekali menyentuh makanannya. Dia hanya duduk diam dan merenung, hingga Lady kembali datang dan bertanya yang Arinda jawab jika dia tak ingin makan. Meski sempat melihat wajah tak puas wanita paruh baya itu, tapi wanita itu tetap mengangguk, kemudian membawa Arinda ke kamar ini. Lady pikir mungkin Nona mudanya memang masih kenyang jadi dia tak ingin memaksa, padahal yang sebenarnya sudah sejak kemarin Arinda tak makan apapun walaupun hanya sebuah roti. Lady yang tak tahu apa-apa hanya berpikir jika Arinda mungkin saja hanya membutuhkan istirahat, jadi dia putuskan untuk meninggalkannya. Siapa yang sangka jika akan berakhir seperti ini, Lady yang baru saja masuk kembali ke kamar Arinda karena ingin memberitahu jika Nona mudanya itu membutuhkan bantuan bisa memanggilnya langsung terpekik kaget melihat kondisi gadis itu yang sudah tergeletak di lantai. 

***

"Nona, anda sudah sadar?" 

Arinda dapat mendengar pertanyaan itu dengan jelas, sedangkan kelopak matanya masih berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam rentina matanya. Setelah matanya benar-benar dapat melihat dengan jelas, dia dapati seorang gadis yang dia pikir usianya jauh lebih muda darinya tersenyum berseri-seri menatapnya. 

"Ah, Nona benar-benar sudah sadar ternyata." ujar gadis itu semakin berseri-seri senang menatap Arinda. 

"Siapa kamu?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Arinda saat dia semakin dibuat bingung dengan keberadaan gadis itu. Dia tak mengenali gadis itu. 

Gadis itu terlihat meringis malu, kemudian menggaruk belakang kepalanya yang Arinda yakin tak gatal sama sekali. "Saya Morie, Nona. Pelayan di rumah ini, tadi Lady yang menyuruh saya untuk menemani Nona. Takut-takut jika Nona sadar dan membutuhkan sesuatu." jelasnya, kembali memasang senyum di bibirnya. 

Arinda ber-oh-ria dalam hati. Dia tahu sekarang. Kemudian, Arinda baru menyadari jika salah satu telapak tangannya juga diinfus. 

"Kata dokter Nona kelaparan dan kekurangan cairan. Apa Nona mau makan?" Morie bertanya dengan salah satu alis naik. 

Arinda sempat mengernyit dengan cara Morie berkata sebelum kemudian dia menggeleng pelan memaklumi, Morie jelas masih muda. Lagi pula Arinda juga tak terlalu suka dengan bagaimana Lady bersikap kepadanya, terlalu berlebihan menurutnya bahkan jika sekalipun dia yang mempekerjakan wanita itu. Dulu saat Arinda kayapun, dia juga tak terlalu suka jika pelayan-pelayan di rumahnya bersikap terlalu sopan. Dia lebih suka jika mereka bersikap layaknya keluarga baginya. Dan, mungkin Morie akan dianggapnya adik selama dia di sini. 

"Nona," panggil Morie saat tak mendapatkan balasan apa-apa dari wanita yang kini sudah duduk bersandar di kepala ranjang. 

Arinda mendongak menatap Morie. "Aku ... air saja," ucapnya kemudian.  

Morie mangangguk. "Tapi, dokter berpesan agar Nona segera makan setelah sadar. Jadi, saya ambilkan sekalian makan ya, Nona? Saya juga takut Tuan Zayn marah lagi jika Nona tidak segera makan." Morie bergidik membayangkan bagaimana wajah Zayn saat marah kepada Lady tadi, sangat mengerikan. Jangan sampai setelah ini dia yang kena amukan lelaki itu karena kekasihnya tak mau makan. 

Mendengar nama Zayn disebut, Arinda merasakan detak jantungnya bertalu-talu sangat keras. Telapak tangannya pun tanpa sadar sudah saling meremas cemas. "Zayn ... ada di sini?" tanyanya dengan sorot mata cemas. 

Morie mengangguk tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajah Nona barunya. "Lady tadi memberitahu Tuan Zayn jika Anda pingsan, lalu tidak lebih dari tiga puluh menit Tuan Zayn sudah ada di sini. Saya pikir Tuan Zayn sangat mengkhawatirkan Anda, Nona, terlihat jelas di wajahnya." jelasnya. 

Arinda menghembuskan nafasnya tak percaya mendengar ucapan Morie. Mengkhawatirkannya? Mungkin lebih tepatnya lelaki itu khawatir jika dia mati karena dia belum memberikan apa yang lelaki itu inginkan. Sedangkan operasi ibunya sudah dilakukan. Tentu saja lelaki itu akan merugi jika dia mati. 

"Jadi, saya ambilkan makan ya, Nona?" tawar Morie sekali lagi. 

Arinda ingin sekali menggeleng karena dia memang sedang tak bernafsu makan tapi, urung saat mengingat dia bisa saja benar-benar mati jika tetap tak makan dan menuruti nafsunya. Sedangkan ibunya membutuhkannya, dia tak akan sejahat itu dengan membiarkan ibunya sendirian di dunia ini. Bagaimana jika ibunya sadar dan sembuh? Ibunya sudah pasti akan sendirian dan bingung. Dan di atas sana tentu saja Arinda tak akan tenang melihat ibunya seperti itu. 

Morie tersenyum senang saat melihat anggukan pelan Arinda. "Kalau begitu saya akan ambilkan makan dan minum untuk Anda, Nona. Tunggu di sini jangan kemana-mana, kalau mau ke kamar mandi tetap Nona harus menunggu saya dulu." petuahnya kemudian berjalan cepat keluar.

Setelah kepergian gadis yang mengaku bernama Morie itu, Arinda mulai melamun. Dia kembali memikirkan ucapan Morie yang mengatakan jika Zayn sudah ada di sini. Lelaki itu ... Lelaki itu tak akan memintanya sekarang, kan? Arinda belum siap, tak hanya raganya tapi juga jiwanya. Arinda sangat berharap Zayn memiliki sedikit rasa kasihan kepadanya, hingga memberinya waktu untuk benar-benar menyiapkan dirinya. Tapi, mengingat seperti apa Zayn sekarang yang sudah sangat berbeda dengan Zayn tujuh tahun yang lalu membuat Arinda menghela nafas panjang dan memejamkan matanya. Lelaki itu jelas sudah sangat berubah dan itu disebabkan oleh dirinya. Jadi, tidak ada yang bisa diharapkan. 

***

Morie yang tengah bercerita panjang kali lebar langsung menghentikan gerakan bibirnya, saat pintu tiba-tiba saja terbuka menampilkan sosok Zayn. Gadis itu dengan segera bangkit berdiri dan menundukkan kepalanya hormat pada Tuan mudanya itu. Aura Zayn menurutnya sangat mencekam kali ini, jika sebelum-sebelumnya lelaki itu hanya memberikan suasana dingin. Kali ini benar-benar terasa kengerian dari tatapan Tuan mudanya itu, sampai-sampai Morie merasakan bulu kuduknya berdiri. 

Arinda yang sama terkejutnya dengan Morie, langsung saja menghentikan kegiatannya menyuap makanan ke dalam mulutnya. Mendadak selera makannya hilang. Dia langsung saja memberikan mangkuk yang masih menyisakan setengah isinya kepada Morie. Dia menatap dengan pandangan sama waspadanya pada sosok Zayn yang terlihat menatapnya tajam, penuh kebencian. 

Morie segera melangkah keluar saat dengan sorot matanya, Zayn menyuruh keluar. Sampai di luar Morie langsung menghembuskan nafas dan mengusap dadanya lega. Tapi, sedetik kemudian wajahnya terlihat panik. Arinda, Nona barunya masih di dalam. Kemudian Morie teringat jika wanita itu adalah kekasih Zayn, perasaan khawatirnya langsung saja menghilang. Lelaki itu jelas tak akan melukai kekasihnya sendiri yang ada dia akan memanjakan kekasihnya. Morie benar, kan? Pada akhirnya dia memutuskan untuk berlalu dari sana dengan tenang, membawa mangkuk kotor bekas Arinda makan bersamanya.

Sedangkan itu, di dalam kamar Arinda menelan ludahnya susah payah saat Zayn mulai berjalan mendekatinya. Lelaki itu terlihat sangat marah dari sorot matanya, dan Arinda tak tahu apa yang membuatnya marah? Ah, tentu saja dirinya. 

Sampai di sisi ranjang, Zayn langsung mencengkeram rahang Arinda. Hingga si empu meringis kesakitan. Tapi, Zayn tak mempedulikannya. 

"Apa kau berusaha mati dengan tak makan, heh? Kau ingin menipuku?" desis Zayn tepat di telinga Arinda. Bola matanya terlihat memerah, marah. 

Arinda merasakan hujaman di dadanya saat mendapatkan perlakuan kasar dari lelaki yang pernah dicintainya, sangat. Sebulir cairan bening menetes tanpa bisa dicegahnya, Zayn masih mencengkeram rahangnya kuat. Dia ingin berbicara tapi tak bisa. Jadi, hanya kepalanya yang menggeleng dengan pelan. 

Zayn berdecih melihat itu. "Kau perempuan licik, kau tidak bisa dipercaya. Kau memang suka mengingkari janji, heh?" tanyanya sinis. Mendadak ingatannya terlempar pada saat Arinda berjanji tak akan meninggalkannya dan akan selalu menemaninya, tapi pada kenyataannya gadis itu meninggalkannya. Mengingat itu Zayn semakin marah, tanpa sadar dia semakin kuat mencengkram rahang Arinda hingga gadis itu merasa jika mungkin saja sebentar lagi rahangnya akan remuk. 

"Sa ... kit," dengan susah payah akhirnya Arinda berhasil menggumamkannya. Dia menatap memohon pada Zayn agar mau melepaskannya dan dia langsung menarik nafas dalam-dalam saat pada akhirnya lelaki itu melepaskannya juga, meskipun dengan kasar. 

"Dengar ini Arinda! Dengar! Kamu tidak bisa pergi begitu saja, kamu tahu sekalipun itu ke neraka. Kamu harus merasakan lebih dahulu neraka yang aku ciptakan sama seperti kamu dulu, kamu tahu?" Zayn mendesis. 

Arinda menatap penuh penyesalan kepada Zayn. Apa sedalam itu kebencian lelaki itu kepadanya? Apa memang tak ada maaf untuknya? 

"Satu lagi, dokter mengatakan jika kondisi ibumu setelah dioperasi semakin membaik. Apa kamu ingin meninggalkannya sendirian di sini, Arinda?" Zayn menatap ekspresi wajah gadis di hadapannya yang terlihat shock, entah apa arti dari ekspresi itu dia tak tahu.  

Setelah beberapa saat hanya hening. Pada akhirnya, Arinda mendongak, menatap tepat di bola mata Zayn yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya. Mengesampingkan rasa takutnya, dia kemudian menampilkan ekspresi memohon. "Boleh aku mengunjungi ibuku? Baik, tidak sekarang atau besok. Tapi, kapan-kapan. Aku mohon," tanyanya kemudian. 

Zayn tak tahu, bagaimana bisa wanita di hadapannya saat ini bisa bersikap sangat tak tahu diri. Apa terbiasa hidup dengan kaya membuatnya masih berpikir jika semua dapat dia lakukan sesuka hatinya? Tentu saja jawabannya ya. Tapi, Zayn tak akan membiarkannya disaat wanita itu adalah tawanannya. 

Zayn membungkukkan tubuhnya, hingga kepalanya sejajar dengan Arinda. "Kamu tahu, kamu kubawa ke sini untuk apa? Aku tidak membawamu untuk kujadikan Nyonya, Arinda. Di sini kamu sama dengan pelayan." Zayn menjeda, cukup menikmati ekspresi wajah Arinda. "Bahkan kamu jauh lebih rendah dari mereka," lanjutnya kejam.

Melihat tak ada keinginan wanita itu untuk membantah ucapannya, Zayn kembali menegakkan tubuhnya. "Jangan membuatku menghentikan pengobatan untuk ibumu, kau tahu rasanya mati secara perlahan itu menyakitkan, kan?" Setelahnya, Zayn membalikkan tubuhnya dan berlalu dari sana. 

Arinda menelan ludahnya susah payah mendengar itu. Dia hanya diam saja, menatap dengan nanar punggung tegap Zayn yang kemudian hilang di balik pintu. Setelah kepergian lelaki itu, Arinda memejamkan matanya lelah. Tak ada lagi air mata yang menyusul keluar, barangkali karena kabar tentang ibunya yang membaik. Tapi, Arinda tetap dapat merasakan sakit itu di dadanya saat Zayn mengingatkannya tentang siapa dirinya di sini. Walau begitu, perasaan lega mengetahui jika ibunya semakin membaik jauh lebih membuat Arinda senang. 

***

Prang!

Zayn tak bisa menahan amarahnya kepada dirinya sendiri saat dengan bodohnya dia langsung berlari pulang dan meninggalkan rapat penting hanya karena mendapat kabar jika wanita itu pingsan. Bagaimana bisa, bagaimana bisa wanita itu masih sangat berpengaruh di hidupnya? Fakta yang membuat Zayn semakin membenci wanita itu. Membuatnya semakin ingin menghancurkannya hingga tak bersisa. Sama seperti wanita itu menghancurkannya.

Zayn mengusap wajahnya kasar. "Sial!" umpatnya kemudian tak peduli pada buku-buku jarinya yang mengeluarkan darah. Dia kemudian menatap cermin di hadapannya yang telah retak tak berbentuk tapi masih dapat menampilkan wajahnya yang mengeras. 

Zayn pikir dengan mengguyur tubuhnya dengan air akan meredam sedikit amarahnya. Tapi, sepertinya itu tak berpengaruh. Dia tetap merasakan amarah masih menguasainya. Lalu tiba-tiba saja bayangannya di depan sana berganti menjadi wajah Arinda dan lelaki itu, keduanya seolah sedang menertawakannya. Membuat Zayn semakin mengeraskan wajahnya dengan gigi bergemelatuk. 

"Brengsek!" Zayn langsung saja menghancurkan kaca itu hingga tak bersisa. Nafas lelaki itu memburu, menatap kepingan-kepingan kaca yang berceceran. Dapat Zayn rasakan beberapa diantaranya melukai kakinya. Tapi, rasa sakit itu seolah tak berarti apa-apa untuknya. Jelas, sakit itu tak ada bandingnya dengan rasa sakit saat dia ditinggalkan sendirian tujuh tahun yang lalu. 

"Aku membencimu, sangat membencimu." desis Zayn dengan sorot mata penuh kebencian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status