Share

ARINDA
ARINDA
Penulis: CucokStory

1

"ARINDA!"

Arinda dengan segera menghentikan langkahnya, dia menoleh ke belakang. Menatap jengah pada sosok laki-laki yang kini berlari ke arahnya. Tak ia pedulikan tatapan penuh amarah lelaki itu yang berkobar seakan siap melahapnya. 

"Apa yang kamu lakukan?!" tanya Zayn menggeram, menatap kekasihnya dengan mata memerah marah dengan urat-urat di lehernya yang menonjol. Dapat Ia lihat, di sisi tubuh wanita itu, membawa banyak kantung-kantung paperbag dengan bermacam merek ternama, yang Zayn tahu harganya bisa dua kali lipat dari gajinya bekerja. 

"LEPASKAN TANGANMU BRENGSEK!" Zayn menyentak kasar lengan yang berani menggelantung di leher kekasihnya. Laki-laki sialan!

Laki-laki yang lengannya mendapatkan sentakan dari Zayn itu terkekeh pelan, kemudian mengangkat kedua tangannya ke udara, pertanda dia menyerah. 

Zayn kembali menatap Arinda--kekasihnya atau lebih tepat tunangannya. Wanita itu terlihat santai, tak berniat menjelaskan sama sekali kepadanya. Padahal wanita itu saat ini sedang tertangkap basah sedang berselingkuh. 

"Apa yang kamu lakukan, Arinda?" tanya Zayn menggeram, menuntut penjelasan. 

"Apa? Aku tidak sedang melakukan apa-apa," jawab Arinda ringan tak merasa bersalah sama sekali. 

"APA YANG KAMU BILANG TIDAK MELAKUKAN APA-APA?! LALU APA INI?! SIAPA LAKI-LAKI INI, SIALAN?!" Zayn benar-benar sudah hilang kesabaran. Dia marah melihat kekasihnya berjalan dengan laki-laki lain. 

Arinda menutup mulutnya dengan bola mata yang membola seolah melupakan sesuatu, gerakan yang sengaja untuk mengejek Zayn. "Ah, aku lupa." 

Zayn hanya mampu diam melihat itu, nafasnya masih memburu tak beraturan. Ia masih menunggu apa yang akan wanita itu ucapkan. 

"Aku lupa mengatakan jika, aku mau kita putus," ujar Arinda tanpa ekspresi, nada suaranya pun menunjukan keseriusan. 

"Apa maksud kamu?! Kita sudah bertunangan!" tentu saja mendengar ucapan Arinda membuat amarah Zayn semakin bergejolak. 

Arinda mengangguk-angguk, tak peduli dengan ketidak setujuan laki-laki itu. Ia kemudian melepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Ini, Aku kembalikan cincin murahan milikmu. Aku sudah memiliki cincin berlian yang jauh lebih mahal dari ini, ambil dan kita putus." ujarnya dengan kejam. 

Zayn langsung mencengkram bahu Arinda, hingga si empu mendesis kesakitan karena cengkeraman yang sangat kuat, seolah memang ingin menghancurkan bahu wanita itu. Melihat hal itu, Devon-- Lelaki yang bersama Arinda--yang sedari tadi hanya menyaksikan mulai mengambil peran. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Zayn pada bahu kekasihnya. 

"Jangan kasar dengan kekasihku, Man." 

Zayn menatap menghunus pada Devon, sebelum kemudian-- 

Bugh!

"DEVON!" Arinda berteriak histeris saat melihat Devon yang tersungkur ke tanah karena pukulan Zayn di wajahnya. 

Orang-orang yang sebelumnya hanya menyaksikan keributan mereka, mulai mendekat. Menghalangi Zayn yang terus berusaha untuk merangsak maju, ingin kembali menghajar selingkuhan tunangannya. 

"BRENGSEK KAMU!" Zayn yang kedua tangannya sudah dipegangi oleh warga hanya mampu memaki. Kakinya terus menendang-nendang ke depan berharap mampu mengenai tubuh laki-laki sialan yang sudah merebut wanitanya. 

"KAMU YANG BRENGSEK ZAYN, KAMU MISKIN, KAMU TIDAK AKAN BISA MEMBAHAGIAKAN AKU DENGAN KEMISKINAN KAMU! AKU CAPEK PACARAN SAMA KAMU YANG MISKIN!" teriak Arinda marah saat melihat kekalapan mantan kekasihnya. 

Zayn terperangah mendengar kalimat itu, matanya memandang tak percaya pada Arinda. Wanita itu apa? Mengatakan jika dia tak bahagia karena dirinya miskin. Jadi, ini tentang harta. "Rinda, kamu bilang kita akan sukses bersama-sama. Kamu akan selalu bersamaku, mendukungku hingga aku dapat menjadi orang sukses," ujar Zayn pelan, mengingatkan wanita itu tentang janjinya kepadanya dulu. 

Arinda tertawa yang terdengar hambar, satu bulir air matanya meluncur bebas di pipinya yang langsung saja ia usap dengan kasar. Ia pandang Zayn dengan pandangan meremehkan. "Itu dulu saat aku masih naif dengan mengagungkan cinta, Zayn. Tapi, sekarang? Sekarang aku sadar, cinta nggak akan bisa bikin aku bahagia. Kamu nggak akan bisa bikin aku bahagia dengan kemiskinan kamu," ujar Arinda menunjuk laki-laki itu. 

Zayn mengangguk pelan, kemudian tersenyum getir. Meresapi bagaimana sakitnya dadanya saat mendengar ucapan dari wanita yang sangat ia cintai. Kemudian ia kembali menatap Arinda dengan tatapan penuh janji. "Sekarang, mungkin aku masih miskin. Tapi lihat nanti, aku akan buktikan kepadamu tanpa kamu, aku bisa melebihi laki-laki sialan itu." ujarnya penuh tekad, menunjuk Devon benci. 

"LEPAS!" Zayn sentak kedua lengannya yang masih saja dipegangi oleh orang.-orang. ia kemudian berbalik pergi meninggalkan kekasih--oh, mantan kekasihnya maksudnya dengan kebencian yang mendalam. 

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Arinda, membantu Devon bangkit berdiri. Ia dapat melihat luka sobek di sudut bibir laki-laki itu. Astaga, 

"Kita harus ke rumah sakit," kembali Arinda berujar, kini terdengar lebih panik. 

Devon menahan lengan Arinda yang akan menariknya, lelaki itu menggeleng. Kemudian memeluk gadis itu. Membuat yang dipeluk menahan nafas dengan perasaan yang entahlah, Ia sendiri bingung. 

"Apa yang kamu lakukan tadi sudah benar," ujar Devon kemudian menarik lengan Arinda menuju mobil sedan putihnya. 

Arinda hanya mengangguk pelan. Gadis itu tak tahu harus berucap apa. 

***

CYAR!!!

"ARGH!!! SIAL!!!" 

BRUK! 

Zayn banting semua barang yang berada di dalam kamarnya. Lelaki itu melampiaskan kemarahannya pada barang-barang yang tak bersalah itu. Peduli setan, saat ini rasanya yang Ia inginkan hanyalah menghabisi orang untuk melampiaskan kemarahannya. 

"Arinda, kenapa kamu lakukan ini kepadaku? Kenapa?" perlahan-lahan tubuh itu jatuh merosot ke lantai. Menangis untuk rasa sakit yang Ia rasakan di dadanya karena dikhianati. 

Zayn Braham sudah hampir lima tahun menjalin hubungan dengan Hanum Arinda Geovan. Mereka menjalani semua lika-liku berpacarab bersama-sama, sampai pada akhirnya Zayn memberanikan diri melamar gadis itu tepat satu minggu yang lalu. Bukan sebuah lamaran resmi, karena saat itu hanya ada mereka berdua. 

Rencananya Zayn akan melamar secara resmi Arinda nanti malam mengajak Ibunya. Tapi, siapa sangka siang ini Ia temukan kekasih hatinya tengah bersama lelaki lain. Berjalan mesra dengan belanjaan di kedua tangan kekasihnya. Ah, laki-laki itu memang kaya. Zayn? Tentulah tak ada apa-apanya.

Zayn hanyalah anak yatim. Ayahnya sudah meninggal setelah meninggalkan banyak hutang pada Bank. Membuat pemuda itu dan Ibunyalah yang harus menanggung hutang-hutang dari si keparat Imanuel Braham itu. Ibunya sendiri hanyalah seorang buruh cuci restorant. Zayn sendiri saat ini tengah merintis usahanya.

Pandangan Zayn tiba-tiba saja menajam. Kedua bola matanya memancarkan kebencian yang amat sangat. Kedua telapak tangannya mengepal. 

"Aku akan buktikan jika aku mampu lebih dari selingkuhanmu itu Rinda, ingat itu." ujar Zayn pasti. 

Yah, Ia akan membalas rasa sakit hatinya. Ia akan buktikan pada wanita pencinta uang itu jika Ia dapat sukses tanpanya. Dan setelah itu, Ia akan hancurkan wanita itu bersama selingkuhannya. 

"Astaga Zayn, apa yang terjadi?" 

Mendengar pintu yang terbuka disusul pekikan dari Ibunya. Membuat Zayn mendongak dan Ia dapati wajah khawatir Ibunya. Wanita paru baya itu langsung berlutut di hadapannya, melihat keadaanya. 

"Zayn nggak papa," ujarnya menenangkan sang Ibu. Ia tak mau Ibunya tahu, tentang Arinda atau Ibunya akan ikut sedih. Mengingat Arinda yang juga sudah sangat dekat dengan Ibunya. Zayn jadi menyesali, kenapa dulu Ia harus mengenalkan Arinda pada Ibunya. 

"Nggak papa gimana?! Lihat, tangan Kamu berdarah!" sentak Wanita paru baya itu saat melihat buku-buku jari anaknya berdarah-darah. Orang tua mana yang tak khawatir melihat Anaknya terluka dengan kekacauan di sekitarnya. 

"Akh... Za-yn..." Tiba-tiba saja dada Mira-- Ibu Zayn terasa sakit sekali dengan nafas yang sesak. 

Melihat sang Ibu yang sesakan sambil memegangi dadanya membuat wajah Zayn langsung pias. Lelaki itu dengan segera merangsak menopang tubuh Ibunya yang sesakan, sulit bernafas. 

"Kenapa? Ibu kenapa?" tanya Zayn khawatir, dengan susah payah lelaki itu mengangkat tubuh Ibunya. Kemudian berlari keluar kamar untuk membawa sang Ibu ke rumah sakit. 

Demi Tuhan, jangan sampai Ibunya kenapa-kenapa. Hanya Ibunyalah yang saat ini Ia punya.

***

Tujuh tahun kemudian... 

Lelaki dengan setelan jas mahal itu keluar dari sebuah limiso sedan hitam setelah sebelumnya seorang security berlari mebukakan pintu mobilnya. Ia pandang gedung pencakar langit di hadapannya. Sebelum kemudian mulai melangkah memasuki lobi gedung itu. 

Sambutan para karyawanlah, yang pertama kali dia terima. 

"Selamat datang, Pak." ujar serempak para karyawan tentunya dengan senyuman mengembang bahkan beberapa diantaranya tersenyum hingga gigi mereka terlihat. Sambutan untuknya yang baru saja kembali dari Amerika, menyelesaikan perjalanan bisnis yang sangat membosankan. Tapi, Ia tetap kembali dengan memenangkan tender-tender besar di sana. 

"Selamat datang kembali, Pak." Gio--Manager perusahaan itu berjalan mendekati Zayn. Mengulurkan telapak tangannya untuk menjabat tangan sang pemilik perusahaan. 

"Hem ...." hanya deheman yang Zayn berikan. 

Kemudian Zayn mengangkat tangannya, pertanda agar kerumunan para karyawan yang menyambut kedatangannya bubar dan kembali ke tempat kerjanya masing-masing. 

"Bagaimana kabar Bapak selama di Amerika?" tanya Gio kembali mengikuti langkah kaki pemilik perusahaan tempatnya bekerja yang menuju lift khusus atasan. 

Zayn memasuki lift, "baik," jawabnya singkat. 

Ting! 

Sebelum keluar, Zayn berucap pada Gio. "Bawakan laporan perusahaan selama aku di Amerika," ujarnya. 

Gio tentu langsung mengangguk. "Baik, Pak." 

Setelah mendengar itu, Zayn berlalu keluar. Seorang sekretaris cantik langsung menyambut kedatangannya. Sekretaris itu langsung bangkit berdiri saat melihat kehadirannya. Menundukkan kepalanya hormat. 

"Pagi, Pak," sapa Katy-- Sekretaris Zayn.  

Zayn menghentikan langkahnya di depan meja Katy, memandang sekretaris jalangnya tanpa ekspresi. "Bawakan agenda seminggu ke depan," ujarnya, kemudian berlalu. 

Setelah melihat sosok atasannya berlalu, Katy mengusap dada lega. Pasalnya bos tampannya itu terlalu dingin dan memiliki tatapan mata yang tajam. Membuat siapa saja yang berada di dekatnya menjadi mengigil ketakutan. Tak heran jika banyak lawan perusahaan yang tumbang karena sosok laki-laki itu. 

Zy Group adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Konstrastruktur. Tak hanya itu, Zy group juga bergerak di bidang kesehatan. Sudah banyak rumah sakit yang dibangun oleh perusahaan ini. 

***

Zayn memandang keramaian Ibu kota dari balik kaca besar di ruangannya. Meskipun pandangannya memandang tajam ke bawah sana tapi, pikiran lelaki itu menerawang jauh entah kemana. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. 

Sesekali terdengar tarikan nafas. Tiba-tiba saja telapak tangannya mengepal di dalam saku celananya dan pandangan Zayn semakin menajam. Kilas balik kejadian tujuh tahun yang lalu kembali berputar. Kilasan yang tak pernah Zayn lupakan begitu saja sampai sekarang. 

Tujuh tahun yang lalu, dirinya hancur untuk pertama kalinya. Tunangannya berselingkuh hanya karena dia miskin. Dia ditinggalkan disaat rasa sayangnya yang sudah menggunung. 

Selain itu, kilasan saat Ibunya merenggut nyawa juga berputar di kepala Zayn. Kilasan saat bagaimana pihak rumah sakit yang saat itu ia gunakan untuk membawa Ibunya berobat menolaknya. Hanya karena dia tak memiliki uang. 

Oh, betapa kejamnya dunia hanya karena kita miskin. 

Tapi itu dulu. Kini dia adalah orang terkaya di Negeri ini. Dia penguasa Negeri ini. Apapun kini dia miliki. 

Zy Group, itulah nama Perusahaannya. Zayn tak sudi memakai nama Braham, karena itu hanya akan mengangkat nama Ayahnya yang tak berguna. Sedangkan yang sebenarnya adalah Perusahaan ini ada karena usahanya sendiri. 

Sesaat Zayn terlihat bangga dengan semua ini. Tapi, yang sebenarnya dia merasa bosan. Nyatanya walaupun kini dia kaya raya, tapi tak ada lagi tujuan untuknya. 

Dulu ada Arinda dan Ibunya yang di jadikannya sebagai alasan kenapa dia ingin bangkit dan sukses. Tapi, sekarang. Zayn bingung, untuk apa sebenarnya semua kekayaan ini. Arinda sudah meninggalkannya tujuh tahun yang lalu. Ibunyapun juga sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. 

"Pak." 

Panggilan itu mampu menyentak kesadaran Zayn yang sudah berkelana sangat jauh. Dia menoleh, mendapati Gio menunduk takut karena sudah mengagetkannya. 

"Maaf Pak," ujar Gio kemudian. 

"Kamu sudah membawa apa yang aku perintahkan?" tanya Zayn tak mempedulikan dengan sikap tak sopan managernya itu. Lelaki itu kemudian duduk di kursi kebesarannya. 

Gio mengangguk, kemudian meletakan sebuah berkas di meja hadapan Zayn. "Ini, Pak." 

Zayn mengangguk. "Kamu boleh pergi," 

Gio mengangguk kemudian berlalu dari ruangan sang atasan. Meninggalkan bosnya dengan dokumen yang ia bawakan. 

***

"Ma, bersabarlah sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit." Gadis itu berujar dengan bibir bergetar ketakutan saat melihat keadaan Ibunya yang semakin parah. Air matanya bercucuran keluar tanpa mampu Ia cegah. 

"Pak, apa tidak bisa lebih cepat sedikit?!" tanya Arinda pada supir taksi yang membawanya dan Ibunya. 

"Iya, ini sudah cepat, Nona." ujar Supir itu, kemudian menambah kecepatan mobilnya. 

"Bersabarlah, Ma," gadis itu pandang bagaimana pucatnya wajah sang Ibu. 

"Sudah sampai, Nona. Mari saya bantu." Supir Taksi itu turun dari mobilnya. Memanggil perawat agar mambantu membawa Ibu dari penumpangnya. 

Beberapa perawat mulai datang, dengan segera membantu. Arinda mengikuti langkah para perawat yang mendorong tubuh Ibunya menggunakan brankar dari belakang. Gadis itu masih setia menangis. 

"Kakak bisa tunggu di luar ya," ujar seorang perawat, ketika Arinda akan ikut masuk ke dalam ruang UGD. 

Arinda tak menyahut, tapi hanya berakhir diam di depan pintu. Tak lama kemudian seorang dokter laki-laki masuk ke dalam ruangan Ibunya. Membuat perasaan gadis itu penuh dengan harap-harap cemas. Ia takut Ibunya kenapa-kenapa. 

"Aku mohon Tuhan, selamatkan Mama." mohonnya. Hanya Ibunyalah yang saat ini Ia punya. 

Tak lama kemudian dokter yang menangani Ibunya keluar. Membuat Arinda langsung menghampiri lelaki paru baya dengan jas putih itu. 

"Bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyanya langsung. 

"Kanker yang Ibu kamu idap sudah memasuki stadium empat, ini sangat beresiko. Diperlukan operasi secepatnya," ujar Dokter dengan nametag Surya itu. 

Mata Arinda membola. "Kanker?" Beo gadis itu tak percaya. Ibunya tidak pernah mengatakan perihal penyakit itu padanya. 

Dokter Surya mengernyit, kemudian mengangguk. "Ya, Ibu kamu terkena kanker otak stadium empat. Untuk kesembuhannya diperlukan operasi yang tak hanya sekali, butuh beberapa kali operasi untuknya bisa sembuh." jelas Dokter itu kembali. 

Arinda limbung, kemudian kembali menatap dokter laki-laki di hadapannya. "Kira-kira berapa biaya operasinya, Dok?" tanyanya kemudian. 

"Sekitar tiga ratus juta untuk sekali operasi." 

Kali ini Arinda benar-benar limbung. Membuat Dokter laki-laki itu terkejut. Membantu memapah tubuh gadis itu untuk duduk di kursi tunggu. 

"Dari mana saya dapatkan uang sebanyak itu, Dok?" tanya Arinda pilu. 

Dokter laki-laki itu menahan nafas. Rasa iba menyergapnya. Tapi Ia tidak bisa membantu apa-apa. Ini sudah menjadi kebijakan rumah sakit. 

"Maaf, Saya tidak dapat membantu. Saya permisi," dengan membawa rasa bersalah, dokter itu berlalu pergi. 

Perlahan kedua tangan Arinda menutupi wajahnya. Ia mulai menangis tergugu. Bayangan kehilangan Ibunya mulai berputar. Jangan, jangan Ibunya. Hanya Ibunyalah yang saat ini Ia punya. 

"Kenapa tidak pernah memberitahu Arinda, Ma ...." isak gadis itu.

"Kenapa selalu diam saja ...." 

"Dari mana Rinda dapetin uang sebanyak itu, Ma, Rinda perlu uang itu biar nggak kehilangan, Mama ...." 

"Rinda sayang, Mama ...." 

Setelahnya tangisan gadis itu mengalun. Mengisi sunyinya lorong rumah sakit itu. Gadis itu putus asa, benar-benar putus asa. Siapa yang bisa menolongnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status