Share

ARWAH SI KEMBAR
ARWAH SI KEMBAR
Author: Yuli Estika

Hamil muda

"Ya Allah, Nduk ... Kamu kenapa?" Ibu beringsut mendekatiku sembari memperhatikan darah segar menganak sungai di kaki ku.

Aku mengerang akibat rasa sakit luar biasa pada perut yang seperti diremas-remas.

Namaku Dewi Arnita Sari, panggil saja Dewi.

Wanita berusia 22 tahun yang tengah dilanda badai nestapa.

~~~

    Kuhirup udara senja yang mulai terasa sejuk, lembayung mulai tenggelam ditelan kegelapan dan mulai melenyapkan cakrawala.

Aku masih sibuk berseluncur di media sosial berlogo F untuk menghubungi Dirga.

Dia adalah lelaki yang selama 2 tahun ini telah mengisi hatiku.

 "Akunnya juga sudah dua minggu ini tidak aktif,sebenarnya kemana dia?" fikiranku menerawang jauh  menerka-nerka sesungguhnya apa yang terjadi sehingga Dirga seolah sengaja menghindariku.

Bukan tanpa alasan aku sangat sibuk mencari kabarnya, karena sudah dua bulan ini aku telat haid.

Ku kira ini normal karena jadwal menstruasiku memang selalu maju mundur dan kadang dua bulan sekali.

Ku putuskan membeli testpack untuk memastikan rasa penasaranku.

Betapa terkejutnya aku setelah menggunakannya, benda kecil dan pipih itu menunjukkan dua garis merah.

Aku menatap kosong kesembarang arah yang mulai berbaur kepekatan semesta. Namun, masih dapat ku jangkau karena sorot temaram lampu-lampu dari kejauhan.

Tanpa sengaja aku melihat sosok wanita yang entah dari mana. Ia berdiri mematung di sebrang jalan, menatap sendu kearahku.

Ku kerjapkan mataku beberapa kali untuk memastikan bahwa aku tidak sedang halusinasi.

Wanita itu melambai-lambaikan tangannya, sayang sekali wajahnya tak nampak begitu jelas karena kegelapan dan jarak.

"Nduk, kamu lagi ngelihatin apa to kok serius banget. Nggak baik lo maghrib-maghrib gini masih di luar nanti ada sandikala," suara lembut itu cukup membuatku hampir spot jantung.

Lalu pandanganku beralih kepada wanita yang sangat aku sayangi itu. Dialah Ibuku- Wening Ambarwati.

"Eh Ibu, ngagetin aja, itu lo ada cewek yang lagi liatin Dewi sambil lambai-lambai." Telunjukku mengarah keposisi tadi wanita itu berdiri , namun nihil, tak kudapati seorang pun di sebrang sana.

"Mana nggak ada siapa-siapa kok, udah dibilang jangan diluar rumah kalo udah maghrib," ajak Ibu sembari menuntunku untuk masuk.

"Iya Bu, mungkin tadi Dewi cuma salah lihat aja. Ngmong-ngomong sandikala itu apa sih, Bu?" tanyaku penasaran.

 

Ibu menutup pintu lalu mengajakku duduk di kursi kayu usang yang terletak di ruang tamu.

"Sandikala itu makhluk halus yang keluar waktu surup (senja). Ia suka memasuki rumah-rumah untuk mengganggu manusia. Makanya, kalau maghrib dianjurkan untuk menutup pintu atau jendela dengan melafaskan asma Allah, Nduk, supaya makhluk itu tidak bisa masuk. Biasanya makhluk itu suka sekali mengganggu wanita haid, wanita hamil, wanita yang baru melahirkan dan juga balita, Nduk," jelas Ibu panjang lebar.

"Tapi kan, di rumah ini nggak ada ciri-ciri wanita yang berpeluang diganggu seperti yang Ibu sebutkan tadi, Bu," protesku.

 Aku seperti tercubit mendengar penjelasan Ibu. Aku memang belum berani menceritakan pasal kehamilanku kepada Ibu.

"Nggak ada salahnya hal baik itu diterapkan, Nduk.  Ibu sholat maghrib dulu, kamu juga solat ya." Ibu berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Alih-alih mengambil air wudhu lalu sholat, aku justru memilih masuk kamar. Rasanya raga ini terlalu hina untuk menghadap kepada sang khalik.

Aku menutup kamarku lalu menghempaskan bobotku ke atas kasur. 

Sebenarnya siapa wanita tadi, kok ilangnya cepet banget sih, masa iya sih aku halusinasi, tapi itu nyata banget tadi.

Terus perkara sandikala seperti yang Ibu ceritakan, apakah yang kulihat tadi itu setan yang menyukaiku karena aku sedang hamil. Dari pada berfikir yang tidak-tidak lebih baik aku coba hubungi lagi Mas Dirga.

Banyak sekali pesan yang ku kirim ke akun milik Mas Dirga,namun tak satupun dibuka.

Dadaku sesak sekali , mengingat kenangan indah bersama Dirga. Netraku memanas dan deraian airmata pun tak terelakkan.

Setelah lelah dengan adegan penuh bawang itu pun aku memutuskan untuk mengistirahatkan jiwa dan ragaku, biar esok saja aku cari Mas Dirga kerumahnya.

Dan akhirnya aku pun terlelap.

~~~

      Kicauan burung menelusup gendang telingaku dan perlahan mengembalikan kesadaranku secara utuh.

Hangatnya terik matahari menerobos celah-celah fentilasi memaksaku segera beranjak dari tempat ternyaman dalam rumahku ini.

Aku bangkit dan meraih handuk lalu keluar kamar untuk mandi karena kamar mandi di rumah ini hanya ada satu, dan letaknya bersebelahan dengan dapur.

Ku lihat Ibu sedang asik berkutat dengan alat dapur lalu tersenyum saat melihatku masih berjalan sempoyongan.

"Melek dulu, Nduk , nanti pintu ditabrak." Ibu terkekeh kecil.

"Udah melek lo, Bu , tapi masih ngantuk," ucapku lesu.

"Ya sudah mandi sana biar segar, terus nanti sarapan," himbaunya yang masih sibuk tanpa menoleh kearahku.

"Iya, Bu," jawabku singkat. Lalu tiba-tiba perutku bergejolak diiringi rasa mual luar biasa.

Aku pun berlari memasuki kamar mandi.

"Hoek ... hoek"

Aku tak mampu meredam suaraku yang memuntahkan isi perutku yang belum terisi itu.

"Loh, Nduk kamu kenapa kok muntah-muntah?" suara panik Ibu justru membuat jantungku berdegub tak beraturan , lebih cepat dari biasanya.

"E ... e ... enggak papa kok, Bu.

Mungkin masuk angin aja, kan tadi malam Dewi langsung tidur lupa nggak makan," jawabku menglabui Ibu.

"Beneran nggak papa, Nduk? Nanti habis mandi minum obat maagh dulu sebelum makan!" perintah Ibu.

"Iya, Bu," lirihku singkat.

Setelah ritualku di kamar mandi usai dan telah berpakaian rapi, aku pun menghampiri Ibu yang sudah menungguku di meja makan yang sangat sederhana.

" Ini Nduk, untung masih ada obat maaghnya , diminum dulu obatnya baru makan nasi ya." Ibu menyodorkan air putih satu gelas dan satu tablet obat berwarna hijau.

Akupun menengguknya hingga meluncur bebas melewati tenggorokanku.

Pada sarapan pagi ini, aku memilih tak banyak bicara karena kekacauan yang sedang menyerang otak dan hatiku.

Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang meramaikan suasana.

Lalu Ibu membuka bicara " Nduk, kok mata kamu sembab, kamu habis nangis ya?

 Kalau ada masalah cerita aja ke Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu" 

"Nggak kok,Bu. Mungkin karena tidurnya semalem terlalu lama jadi bengkak dan merah begini, Bu," elakku agar tidak membuatnya terlalu hawatir.

" Kalo ada masalah jangan dipendam sendiri ya, Nduk.

Nanti jadi penyakit, oh iya nanti habis sarapan Ibu mau ke kebun , kamu mau ikut nggak, Nduk?"

"Tidak, Bu, nanti Dewi mau ada urusan sedikit, Dewi minta izin keluar sebentar ya, Bu." 

"Oh gitu, yaudah yang penting hati-hati di jalan ya, Nduk."

"Iya, Bu"

Setelah ini aku berniat mencari Mas Dirga kerumahnya , semoga saja dia ada di rumah.

Ku lihat benda bulat yang menempel di dinding.

Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit.

Aku mengambil tas dan kunci motor lalu perlahan kupacu kuda besiku membelah jalan yang mulai ramai lalu lalang warga yang beraktivitas.

Sesampainya di depan rumah Mas Dirga, aku menyipitkan mata ketika melihat sepasang sendal wanita bertengger manis di teras rumahnya.

Netraku mengarah ke pintu yang rupanya sedikit memiliki celah.

Aku melangkah ragu, namun ku kokohkan langkahku demi memenuhi rasa penasaranku.

Aku mengintip lewat celah pintu dan aku terperangah , ku tutup mulutku yang menganga tanpa mengeluarkan suara.

 Kaki ku mendadak lemas , mataku panas, pertahanan netraku jebol setelah sepersekian detik aku terpaku ,akhirnya bulir bening meluncur bebas.

Sungguh hancur hatiku, lelaki yang ku percaya dan dialah yang berhasil merenggut mahkotaku tengah kusaksikan ia memadu kasih dengan wanita lain.

Dadaku bergemuruh hebat ,ku usap kasar pipiku untuk menghilangkan jejak lelehan lahar bening dari netraku.

Emosiku membuncah, dan seketika aku seperti mendapat kekuatan yang entah berasal dari mana.

Ku dobrak pintu sekuat tenaga.

"Gubraaaakkk"

Mereka terkejut bukan main melihat kedatangan ku.

"Dasar lelaki b*ngs*t!, rupanya karena wanita ini kamu menghindariku mas, siapa dia, Mas?" Aku berkacak pinggang meluapkan emosi yang kian meledak-ledak.

"Siapa dia, Mas?" ucap perempuan itu sembari mengancingkan bajunya yang tadi tel*njang dada.

Kulihat Mas Dirga diam tak bergeming .

Mungkin sedang memikirkan apa yang harus ia perbuat.

"Kenapa diam, Mas? Oke biar aku jelaskan kepada wanita ini, agar dia tahu kalau aku adalah calon istrimu dan sekarang aku tengah mengandung buah cinta kita," ucapku sembari mengelus perutku yang masih kempis. Emosiku kian membuncah kala kulihat Mas Dirga belum juga buka suara.

Wanita itu pun mendaratkan tamparan keras yang meninggalkan jejak merah di pipi Mas Dirga.

"Tega kamu Mas membohongiku, kamu bilang hanya aku wanita satu-satunya dalam hidupmu," wajah wanita itu terlihat merah padam meluapkan emosi yang tak kalah memuncak.

Ia merapikan baju dan rambutnya yang masih sedikit berantakan lalu mengambil tas di atas nakas dan berlalu hingga punggungnya hilang di balik pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status